Karakteristik Riwayat Pengobatan Lini Pertama Karakteristik Riwayat Pengobatan Lini Kedua Karakteristik frekwensi jenis pengobatan TB MDR yang diberikan

Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Pemeriksaan Laboratorium n = 40 Pemeriksaan Laboratorium Normal Tidak Normal Total n n N HGB 40 100,0 0,0 40 100,0 WBC 29 72,5 11 27,5 40 100,0 PLT 37 92,5 3 7,5 40 100,0 SGOT 37 92,5 3 7,5 40 100,0 SGPT 39 97,5 1 2,5 40 100,0 KGD ad Random 30 75,0 10 25,0 40 100,0 Ureum 40 100,0 0,0 40 100,0 Kreatinin 10 25,0 30 75,0 40 100,0 Keterangan : n = jumlah subjek

4.1.11. Karakteristik Riwayat Pengobatan Lini Pertama

Karakteristik riwayat pengobatan yang dinilai adalah pengobatan lini pertama dan lini kedua. Dari seluruh subjek penelitian, didapatkan 23 orang subjek pernah mendapatkan pengobatan lini pertama 57,5. Sementara itu, 12 orang pernah dua kali mendapatkan pengobatan lini pertama 30. Selain itu, jumlah subjek yang tiga kali mendapatkan pengobatan lini pertama sebanyak 5 orang 12,5. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.11. Tabel 4.11. Distribusi Riwayat Pengobatan Lini Pertama n = 40 Riwayat Pengobatan Lini Pertama N 1 kali 23 57,5 2 kali 12 30 3 kali 5 12,5 Universitas Sumatera Utara

4.1.12. Karakteristik Riwayat Pengobatan Lini Kedua

Untuk riwayat pengobatan lini kedua didapatkan sebanyak 23 orang subjek pernah mendapatkan satu kali pengobatan lini kedua 57,5. Sementara itu, 16 orang belum pernah mendapatkan pengobatan lini kedua 40. Sedangkan yang mendapat dua kali pengobatan lini kedua hanyalah 1 orang 2,5. Tabel 4.12. Distribusi Riwayat Pengobatan Lini Kedua n = 40 Riwayat Pengobatan Lini Kedua N Belum pernah 16 40,0 1 kali 23 57,5 2 kali 1 2,5

4.1.13. Karakteristik frekwensi jenis pengobatan TB MDR yang diberikan

Setelah dilakukan uji resistensi, maka diberikan pengobatan TB MDR kepada masing-masing pasien. Diperoleh data bahwa terdapat 38 orang yang menerima pirazinamid 95. Sebanyak 39 orang yang menerima levofloxacin 97,5, sedangkan yang menerima etionamid ada sebanyak 40 orang 100. Untuk yang mendapat sikloserin, kanamisin, etambutol, PAS, dan kapreomisin berturut-turut sebanyak 39 97,5, 38 95, 8 20, 2 5, dan 1 2,5. Tabel 4.13 Distribusi frekwensi jenis pengobatan TB MDR yang diberikan n = 40 Jenis Obat Dapat Tidak Dapat N N Pirazinamid 38 95 2 5 Etambutol 8 20 32 80 Kanamisin 38 95 2 5 Kapreomisin 1 2,5 39 37,5 Levofloxacin 39 97,5 1 2,5 Universitas Sumatera Utara Sikloserin 39 97,5 1 2,5 Etionamid 40 100,0 0 0 PAS 2 5 38 95 4.2. Pembahasan Sebagaimana telah direncanakan dalam penelitian ini, pengumpulan data hanya dilaksanakan pada 3 bulan pengambilan data, yaitu September 2013 sampai November 2013. Subjek penelitian ini adalah semua penderita yang didiagnosis TB MDR dan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan pewarnaan langsung sputum, kultur BTA dan uji kepekaan terhadap OAT. Berbagai penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk mengidentifikasi kasus TB-MDR di berbagai tempat di Indonesia. Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh karena lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis TB-MDR. Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, yang pada akhirnya akan mengarah pada multi-drug resistance MDR. 9 Pada penelitian ini, berdasarkan jenis kelamin dari subjek penelitian yang terbanyak adalah laki-laki, dibandingkan dengan perempuan. Penelitian serupa oleh Rasmin dkk 47 juga mendapatkan hasil yang serupa dimana jumlah penderita TB-MDR lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini diduga karena laki-laki lebih banyak kontak dengan lingkungan yang lebih besar di luar rumah dibandingkan dengan perempuan di samping faktor biologi, sosial budaya termasuk stigma TB. 22 Dari penelitian ini, tidak ditemukan perbedaan jumlah penderita TB-MDR diantara kedua kelompok umur yang diteliti. Jumlah masing-masing kelompok kelompok baik yang ≤ 44 tahun dan yang 44 tahun masing-masing berjumlah 20 orang 50. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Arifin et al menunjukkan sebaran terbanyak pada rentang umur 25-44 tahun. 22 Surkova et al juga mendapatkan kelompok usia produktif 25-44 yang terbanyak menderita TB-MDR. 25 Penelitian ini juga menemukan sebagian besar responden berasal dari pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Sebagian besar responden adalah berpendidikan Sekolah Menengah Atas SMA. Pada penelitian serupa yang dilakukan oleh Arifin juga Universitas Sumatera Utara menunjukkan tingkat pendidikan terbanyak pada tingkat pendidikan SMA atau sederajat yang diikuti tingkat SD atau sederajat, namun Arifin juga belum bisa menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan rendah cenderung menjadi resiko untuk menjadi TB-MDR. 22 Namun Handayani dkk pada penelitian di RS Paru Batu mendapatkan bahwa kelompok tingkat pengetahuan rendah lebih banyak menderita TB MDR dibandingkan dengan kelompok tingkat pengetahuan baik. 49 Karena itu perlu dilakukannya upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB mulai dari definisi sampai dampak yang akan ditimbulkan jika gagal dalam pengobatan, sehingga dapat menimbulkan permasalah baru seperti TB MDR. Pengetahuan mengenai TB ini sering tidak lengkap dimiliki oleh pasien. Misalnya, kebanyakan pasien menghentikan pengobatan sebelum masanya karena keluhan terhadap efek samping obat seperti yang ditemukan oleh Bagiada di RSUP Sanglah Denpasar. 50 Berdasarkan karakteristik pekerjaan pada subjek penelitian ini didapatkan bahwa pekerjaan terbanyak adalah wiraswasta, yaitu sebanyak 24 orang 60,0. Ibu rumah tangga IRT sebanyak 6 orang 15,0. Pegawai swasta dan supir, masing-masing sebanyak 3 orang masing-masing 7,5. Dosen dan pegawai negeri sipil PNS masing-masing sebanyak 1 orang masing-masing 2,5. Sejalan dengan penelitian lain dikatakan bahwa pekerjaan pasien berdasarkan urutan yang terbanyak sampai yang sedikit, swasta, pengangguran, ibu rumah tangga, buruh, PNS dan pensiunan PNS serta pelajar 22 . Begitu juga dengan Munir et al yang mendapatkan pekerjaan terbanyak pada sektor swasta 35,6 dan dalam penelitian ini tidak diperinci tentang jenis pekerjaan di sektor swasta. 21 Surkova et al mendapat korelasi antara status pekerjaan dengan kejadian TB-MDR, dimana sebanyak 482 pasien TB-MDR pada kelompok yang sudah bekerja sedangkan 78 pasien pada kelompok yang belum bekerja. 25 Pekerjaan amat erat kaitannya dengan TB MDR. Penderita TB yang sibuk dalam bekerja sering tidak memiliki waktu untuk menuntaskan pengobatan atau memenuhi jadwal yang telah ditentukan. 51 Selain itu, menurut Saraswati et al orang yang sudah bekerja bertemu dengan lebih banyak orang sehingga resiko terpapar lebih besar. 52 Berdasarkan karakteristik status perkawinan pada subjek penelitian ini didapatkan bahwa pada umumnya status penderita telah kawin. Hal ini dapat disebabkan Universitas Sumatera Utara resiko tertular dari pasangan lebih besar pada orang yang sudah menikah. 53 Hasil yang serupa juga didapatkan oleh Sharaf et al dimana pasien TB-MDR ditemukan sebanyak 118 pada kelompok yang sudah kawin dan sebanyak 117 pada kelompok yang belum kawin. 54 Sebaliknya, Hirpa et al mendapatkan kejadian TB-MDR lebih banyak pada pasien yang belum kawin 85 dibandingkan dengan kelompok yang sudah kawin 32. 55 Hal ini bisa dikarenakan, tidak adanya pasangan cenderung menyebabkan seseorang tidak patuh berobat karna tidak ada yang mengingatkannya. 52 Dalam penelitian ini, ditemukan empat keluhan utama penderita, yaitu batuk, sesak napas, nyeri dada dan batuk berdarah. Keluhan tersebut memang merupakan gejala klinis dari pasien dengan infeksi tuberkulosis. Hanya saja pada pasien TB MDR gejala lebih lama hilang dikarenakan pengobatan yang lebih sulit dibandingkan dengan non TB MDR. 56 Hal ini dikarenakan mutasi spontan oleh bakteri tuberkulosis untuk membentuk pertahanan terhadap antibiotik yang sudah diberikan sehingga lebih sulit untuk dimusnahkan. 57 Karakteristik riwayat penyakit terdahulu yang didapatkan pada subjek penelitian yang terbanyak adalah diabetes mellitus DM yaitu sebanyak 11 orang dari seluruh subjek penelitian 27,5. Diabetes melitus merupakan salah satu keadaan yang mempermudah reaktivasi infeksi TB dengan risiko relatif berkembangnya TB bakteriologik positif sebesar 5 kali lebih tinggi. Selain itu DM secara bermakna juga berkaitan dengan TB MDR. 46 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fisher et al 58 pasien MDR lebih banyak ditemukan pada pasien diabetes melitus yaitu sebanyak OR 2.1 95 CI 1.1–4.2. Diabetes melitus sendiri diketahui menyebabkan gangguan sistim imun bahkan dapat menyebabkan penekanan pada sistim imun sehingga meningkatkan resiko TB MDR. 59 Salah sistim imun yang tertekan adalah T-helper 1 yang berperan dalam melawan tuberculosis. 60 Karakteristik riwayat sosial yang dinilai adalah merokok, minum alkohol dan penggunaan narkoba. Dari seluruh subjek penelitian, ditemukan perokok 72,5, peminum alkohol 22,55 dan pengguna narkoba 2,5. Baroso et al pada penelitiaannya juga mendapatkan bahwa kelompok perokok dan kelompok perokok disertai konsumsi alkohol memiliki hubungan erat dengan kejadian TB-MDR. 61 Hasil Universitas Sumatera Utara yang mendukung juga dilaporkan oleh Ruddy et al dimana merokok meningkatkan resiko kejadian resistensi terhadap isoniazid. 62 Jika dilihat menurut pemeriksaan hasil foto toraks, maka semua penderita memiliki gambaran bercak mengawan pada semua hasil foto torak. Selain itu, terdapat 30 buah foto torak yang memberikan hasil gambaran fibosis 75,0, gambaran kaviti sebanyak 14 buah 35,0, dan gambaran konsolidasi sebanyak 6 buah 15,0. Sementara itu, gambaran kalsifikasi dan atelektasis masing-masing sebanyak 2 buah 5,0. Dibandingkan dengan gambaran bullae efusi pleura, hanya ada pada 1 buah 2,5 foto torak. Tidak ditemukan adanya foto torak dengan gambaran bercak milier, pneumotorak, bronkiektasis, maupun massa. Hal ini sesuai dengan penelitian lain seperti Brust et al dan Zahirifard et al dimana gambaran infiltrat banyak dijumpai pada foto toraks dada pasien TB-MDR. 63,64 Tuberculosis akan membentuk sarang pneumoni ketika menginfeksi paru, dan apabila terjadi perburukan misalnya TB MDR maka sarang pneumoni dapat meluas dan akan memberikan gambaran infiltrat pada pemeriksaan radiologi dada. 4 Pemeriksaan laboratorium subjek penelitian setelah diterapi dengan nilai tidak normal tertinggi adalah kreatinin, yaitu sebanyak 30 orang 75,0. Dari hasil pemeriksaan leukosit, didapati hasil tidak normal sebanyak 11 orang subjek 27,5. Hasil pemeriksaan trombosit dan SGOT tidak normal didapati sebanyak masing-masing 3 orang dari seluruh subjek penelitian 7,5. Hasil SGPT tidak normal didapati pada 1 orang 2,5. Hal ini dikarenakan efek samping setelah mengkonsumsi obat TB MDR. Francis dalam buku Tuberculosis Drug Information Guide juga menuliskan bahwa pengobatan dengan menggunakan obat MDR contohnya kanamisin dan amikasin, dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kreatinin, dan juga gangguan fungsi hati yang ditandai dengan peningkatan SGOT. 65 Obat-obat yang digunakan pada TB MDR bersifat nefrotoxic. Seperti kanamisin dan amikasin dapat terakumulasi dan tertahan di tubulas proksimal sehingga fisilogi tubulus terganggu menyebabkan penurunan filtration rate dan lebih lanjut akan menyebabkan gangguan ginjal. 66 Untuk riwayat pengobatan sebelumnya didapatkan karakteristik riwayat pengobatan yang dinilai adalah pengobatan lini pertama dan lini kedua . Dari seluruh Universitas Sumatera Utara subjek penelitian, didapatkan 23 orang subjek pernah mendapatkan pengobatan lini pertama 57,5. 12 orang pernah dua kali mendapatkan pengobatan lini pertama 30. Dan jumlah subjek yang tiga kali mendapatkan pengobatan lini pertama sebanyak 5 orang 12,5. Sedangkan untuk riwayat pengobatan lini kedua didapatkan sebanyak 23 orang subjek pernah mendapatkan satu kali pengobatan lini kedua 57,5.16 orang belum pernah mendapatkan pengobatan lini kedua 40. Sedangkan yang mendapat dua kali pengobatan lini kedua hanyalah 1 orang 2,5. Tampak bahwa pasien TB-MDR sebelumnya telah mendapatkan pengobatan sebanyak minimal satu kali atau lebih. Riwayat pengobatan TB sebelumnya yang terbanyak adalah yang pernah mendapatkan pengobatan lini kedua sebanyak satu kali. Arifin et al juga melaporkan bahwa pada pasien TB MDR banyak ditemukan pada subjek dengan kegagalan pengobatan lini pertama atau pasien dengan pengobatan lini kedua. 22 Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan Iseman bahwa pasien dengan TB MDR telah mendapatkan pengobatan sebanyak minimal satu kali atau lebih. 67 Distribusi frekwensi dari masing-masing jenis pengobatan yang diberikan kepada pasien didapatkan obat terbanyak yang diberikan adalah etionamid yaitu 40 orang 100. Kemudian berturut-turut mulai dari yang terbanyak ke yang paling sedikit yakni levofloxacin 3997,5, sikloserin 3997,5, pirazinamid 3895, kanamisin 3895, etambutol 820, PAS 25, kapreomisin 15. Terlihat bahwa ada tiga jenis obat yang jarang diberikan kepada pasien TB MDR yaitu etambutol, PAS, dan kapreomisin. Hal ini berarti bahwa kebanyakan pasien TB MDR yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan, bisa dikatakan resisten terhadap etambutol, PAS, dan kapreomisin. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jain et al juga mendapatkan bahwa resistensi terhadap etambutol tergolong berfrekwensi tinggi. 68 Resistensi terhadap etambutol sendiri disebabkan mutasi gen embB oleh mycobacterium tuberculosis. 69 Ali et al menemukan jenis resistensi TB MDR terbanyak adalah terhadap kapreomisin. 70 Maus et al menduga kuat mutasi dari gen tlyA adalah penyebab dari resitensi terhadap kapreomisin. 71 Terakhir, resistensi terhadap PAS atau para-amino salicylic acid juga banyak ditemukan pada populasi di Beijing berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. 72 Mutasi gen thyA merupakan kemungkinan besar penyebab dari resistensi terhadap PAS. 73 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan