Konsep Semiotika Roland Barthes
                                                                                40
merupakan  sifat  asli  tanda,  membutuhkan  keaktifan  pembaca  agar  dapat berfungsi.  Barthes  menjelaskan  apa  yang  disebut  sebagai  sistem
pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang
di  dalam Mythologies-nya  secara  tegas  ia  bedakan  dari  denotatif  atau sistem pemaknaan tataran pertama.
44
Roland Barthes mengembangkan dua sistem pertandaan bertingkat, yang  disebutnya  sistem  denotasi  dan  konotasi.
45
Barthes  menggunakan istilah “orders  of  signification”. First  order  of  signification adalah
denotasi.  Sedangkan  konotasi  adalah second  order  of  signification. Tatanan  yang  pertama  mencakup  penanda  dan  petanda  yang  berbentuk
tanda.  Tanda  inilah  yang  disebut  makna  denotasi.  Kemudian  dari  tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat
pada  tanda  yang  kemudian  dianggap  sebagai  penanda.  Pemaknaan  baru inilah yang kemudian menjadi konotasi”.
46
Sistem  denotasi  adalah  sistem  pertandaan  tingkat  pertama,  yang terdiri  dari  rantai  penanda  dan  petanda,  yakni  hubungan  materialitas
penanda  dan  konsep  abstrak  yang  ada  di  baliknya.  Pada  sistem  konotasi- atau sistem penandaan tingkat kedua- rantai penandapetanda pada sistem
44
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, cet-4, h. 69
45
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari, 2012, cet-4, h. 159
46
Pappilon Manurung, Editor : M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 56-57.
41
denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan penanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.
47
Denotasi merujuk pada apa yang diyakini akal sehatorang banyak common-sense,  makna  yang  teramati  dari  sebuah  tanda.
48
Makna denotasi  adalah  tingkat  pertandaan  yang  menjelaskan  hubungan  antara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menhasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti.
49
Konotasi  dibentuk  oleh  tanda-tanda  kesatuan  antara  penanda  dan petanda  dari  sitem  denotasi.
50
Petanda  konotasi  bersifat  umum,  global, dan tersebar, boleh juga Anda sebut sebagai fragmen dari ideologi.
51
Melanjutkan  studi  Hjelmsev,  Barthes  menciptakan  peta  tentang bagaimana tanda bekerja:
Tabel 2.2  Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier
penanda 2. Signified
petanda 3. Denotative
sign tanda
denotatif 4. Connotative  signifier  penanda
konotatif 5. Connotative  signified  petanda
konotatif 6. Connotative sign tanda konotatif
47
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari, 2012, cet-4, h. 159.
48
John  Fiske, Pengantar  Ilmu  Komunikasi.  Jakarta,  PT  RajaGrafindo  Persada,  2012, cet-1, h. 140.
49
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari, 2012, cet-4, h. 304.
50
Roland Barthes, Elemen-elemen Semiologi. Yogyakarta: Jalasutra, 2012, h. 93.
51
Roland Barthes, Elemen-elemen Semiologi. Yogyakarta: Jalasutra, 2012, h. 94.
42
Dari  peta  Barthes  di  atas  terlihat  bahwa  tanda  denotati  3  terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan  unsur  material:  hanya  jika  Anda  mengenal  tanda  “singa”,
barulah  konotasi  seperti  harga  diri,  kegarangan,  dan  keberanian  menjadi mungkin.
52
Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna  tambahan  namun  juga  mengandung  kedua  bagian  tanda  denotatif
yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang  sangat  berarti  bagi  penyempurnaan  semiologi  Saussure,  yang
berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.
53
Pada  dasarnya,  ada  perbedaan  antara  denotasi  dan  konotasi  dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh
Barthes.  Dalam  pengertian  umum,  denotasi  biasanya  dimengerti  sebagai makna  harfiah,  makna  yang  “sesungguhnya,”  bahkan  kadang  kala  juga
dirancukan  dengan  referensi  atau  acuan.  Proses  signifikasi  tingkat pertama,  sementara  konotasi  merupakan  tingkat  kedua.  Dalam  hal  ini
denotasi  justru  lebih  diasosiasikan  dengan  ketertutupan  makna  dan, dengan  demikian,  sensor  atau  represi  politis.  Sebagai  reaksi  yang  paling
ekstrem  melawan  keharfiahan  denotasi  yang  bersifat  opresif  ini,  Barthes mencoba  menyingkirkan  dan  menolaknya.  Baginya,  yang  ada  hanyalah
52
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, cet-4, h. 69
53
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, cet-4, h. 69
43
konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap  berguna sebagai  sebuah  koreksi  atas  kepercayaan  bahwa    makna
“harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah Budiman, 1992:22. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,
yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan  pembenaran  bagi  nilai-nilai  dominan  yang  berlaku  dalam
suatu  periode  tertentu.  Di  dalam  mitos  juga  terdapat  pola  tiga  dimensi penanda,  petanda,  dan  tanda,  namun  sebagai  suatu  yang  unik,  mitos
dibangun  oleh  suatu  rantai  pemaknaan  yang  telah ada  sebelumnya  atau, dengan  kata  lain,  mitos  adalah  juga  suatu  sistem  pemaknaan  tataran  ke-
dua.  Di  dalam  mitos  pula  sebuah  petanda  dapat  memiliki  beberapa petanda.
54
Mitos adalah sebuah cerita di mana suatu kebudayaan menjelaskan atau  memahami  beberapa  aspek  dari  realitas  atau  alam.  Mitos  primitif
adalah  mengenai  hidup  dan  mati,  manusia  dan  Tuhan,  baik  dan  buruk. Sementara  mitos  terkini  adalah  soal  maskulinitas  dan  feminitas,  tentang
keluarga,  tentang  kesuksesan,  tentang  polisi  Inggris,  tentang  ilmu pengetahuan.  Mitos  bagi  Barthes,  sebuah  budaya  cara  berfikir  tentang
sesuatu,  cara  mengonseptualisasi  atau  memahami  hal  tersebut.  Barthes melihat mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep yang berelasi.
55
Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos  maupun  ideologi,  hubungan  antara  penanda  konotatif  dan  petanda
54
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, cet-4, h. 71.
55
John  Fiske, Pengantar  Ilmu  Komunikasi.  Jakarta,  PT  RajaGrafindo  Persada,  2012, cet-1, h. 143.
44
konotatif  terjadi  secara  termotivasi.  Barthes  juga  memahami  ideologi sebagai kesadaran palsu  yang membuat orang hidup di dalam dunia  yang
imajiner  dan  ideal,  meski  realitas  hidupnya  yang  sesungguhnya  tidaklah demikian.  Ideologi  ada  selama  kebudayaan  ada,  dan  itulah  sebabnya  di
dalam  SZ  Barthes  berbicara  tentang  konotasi  sebagai  suatu  ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan
demikian  ideologi  pun mewujudkan  dirinya  melalui  berbagai  kode  yang merembes  masuk  ke  dalam  teks  dalam  bentuk  penanda-penanda  penting,
seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
56