Pengawas dan Pengamat Wasmat terhadap pola pembinaan narapidana TNI di Masmil Medan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang
peranannya sebagai institusilembaga yang diharapkan dalam menyelenggarakan pembinaan narapidana TNI.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan
penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Namun, tidak ditemukan judul
penelitiantesis yang sama dengan judul dan permasalahan dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan
jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Konsep pemenjaraan merupakan konsep pembinaan narapidana dengan cara pelanggaran hukum dimana bahwa konsep ini melanggar hak asasi manusia melalui
penyiksaan fisik. Maka, dapat dikatakan bahwa konsep pemejaraan yang diterapkan selama ini menimbulkan dampak negatif. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1777,
John Howard dari Inggris telah mengorbankan harta dan jiwanya untuk mengunjungi
Universitas Sumatera Utara
rumah-rumah penjara yang ada di Inggris bertujuan untuk meringankan orang-orang di penjara hingga pada tahun 1800-an munculah istilah pidana bersyarat probation
dan pelepasan bersyarat porale.
23
Hal di atas merupakan koreksi terhadap konsep pemenjaraan sebab konsep pemenjaraan dipandang sebagai perilaku yang melanggar hukum dan kurang
manusiawi.
24
Pendekatan sistem dalam sistem kepenjaraan security approach dimaksud adalah keamanan penjara yang diutamakan. Narapidana lebih cenderung dianggap
sebagai objek, oleh sebab itu, maka narapidana diberi nomor, diklasifikasikan menurut berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, dan menurut lama pidana
yang dijatuhkan oleh pengadilan. Kemudian dikenal pula golongan-golongan narapidana misalnya Golongan B-I, B-II-a, B-II-b, dan B-III. Perlakuan terhadap
golongan-golongan narapidana seperti ini merupakan bagian dari pendekatan Konsep pemenjaraan yang melanggar hak-hak asasi manusia perlahan-
lahan bergeser ke arah konsep pembinaan. Hingga pada akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang pada intinya
adalah mengedepankan prinsip pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Termasuk dalam hal ini adalah Pemasyarakatan untuk narapidana
TNI di Masmil.
23
Didin Sudiman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembagan Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007, hal. 105.
24
Anton Setiawan, Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Medan: Pasasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU, 2009, hal.
20.
Universitas Sumatera Utara
keamanan. Sehingga pengawasan terhadap keamanan di dalam penjara merupakan hal yang paling diutamakan.
Perlu dikatahui bahwa apabila hal tersebut di atas dilakukan terhadap narapidana, maka dapat menimbulkan rasa tidak aman bagi narapidana tersebut.
Narapidana menjadi kehilangan rasa amannya loss of security, karena setiap gerak- geriknya selalu diawasi. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan Harsono,
sebagai berikut:
25
Security approach sebenarnya didasari pula oleh pertimbangan politik. Sebab pada masa bang sa Indonesia tengah menyusun kekuatan untuk berjuang
menuju kemerdekaan menempatkan penjara sebagai sarana mendekapkan para tokoh politik. Tidak mengherankan jika dalam Reglemen Penjara Tentara
tercantum pula larangan membaca buku, majalah, surat kabar atau mendengarkan radio, karena dikhawatirkan para tokoh politik menggunakan
media massa sebagai upaya memupuk semangat perjuangan bangsa.
Berdasarkan hal itu, maka di dalam konsep pemenjaraan, pendekatan keamanan membawa pengaruh kepada Kepala Kepenjaraan dalam memimpin
penjara. Kepala Kepenjaraan dituntut untuk memimpin dengan memberlakukan keamanan yang lebih keras bahkan kejam. Sehingga narapidana jauh dari konsep
pembinaan. Situasi semacam ini, masih ada dalam sistem pemasyarakatan sekarang ini,
pendekatan keamanan masih merupakan bagian yang penting dan integral dalam sistim pemasyarakatan. Sudah barang tentu pendekatan ini lebih membuat suasana
Lembaga Pemasyarakatan menjadi mirip penjara, menakutkan dan cenderung menganut aliran pembalasan untuk membuat jera seseorang dalam kehidupan di
25
C.I. Harsono., Op. cit., hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemasyarakatan. Pendekatan keamanan sangat bertentangan dengan sistim pemasyarakatan, sebab dalam beberapa komponennya, pemasyarakatan telah
mengubah tujuannya dengan pembinaan dan bimbingan. Teori-teori pemidanaan dalam penerapan sanksi pidana dikenal anatar lain
teori teori retributif absolut, teori relatif teori tujuan, teori gabungan, teori pengobatan treatment, teori tertib sosial social defence, dan teori restoratif
restorative.
26
Teori retributif absolute menekankan pembalasan karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya.
Teori relatif, orientasinya adalah upaya pencegahan terjadinya tindak pidana. Orientasi teori relatif mengedepankan tujuan mencegah, menimbulkan rasa takut, dan
memperbaiki yang salah.
27
Pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini dikenal dengan teori pengobatan treatment memandang
pemidanaan dimaksud untuk memberi tindakan perawatan atau pengobatan treatment kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.
28
26
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta: Sofmedia, 2010, hal. 93.
Teori tertib sosial social defence terbagi dua lairan yakni: aliran radikal memandang
”hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang” dan aliran moderat memandang bahwa setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial
dalam seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan
27
Ibid., hal. 95-97.
28
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya.
29
Teori restoratif restorative mamandang adanya perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana,
masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan
restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang
ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana.
30
Perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata- mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana
dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian
yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.
31
Restoratif mencerminkan keadilan yang menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara
pidana.
32
Pandangan terpenting dari teori restoratif adalah memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
29
Ibid., hal. 88-89.
30
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Pennsylvania: Intercourse, 2002, hal. 18.
31
Ibid.
32
http:pustaka.unpad.ac.idwp-contentuploads201002pikiranrakyat-20100205- keadilanrestor, diakses tanggal 1 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeneses mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan
masyarakat the theori of social defence.
33
Tujuan-tujuan pemidanaan dari teori restoratif di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan pembinaan dan bimbingan narapidana melalui pendekatan
sistim dalam sistim LAPAS dan hal ini merupakan kebijakan yang tepat dalam kebijakan pemidanaan untuk menyadarkan narapidana, mencegah terjadinya tindak
pidana, mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana, dan mencegah terjadinya motif balas dendam setelah keluar dari
pemasyarakatan. Menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan pidana
adalah:
34
1. Titik berat pada kordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana;
2. Pengawasan dan pengedalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana; 3.
Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara;
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration
of justice. Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistim dikenal dalam
lingkungan praktik penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, harus bekerja sama membentuk suatu kesatuan sistim
33
J. Andeneses, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984, hal. 14.
34
Romli Atmasasmita, dalam Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
secara bekerja sama dan terpadu. Keselarasan sub-sub sistim antara satu sama lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan.
35
Sebagaimana yang disebutkan Muladi, bahwa setiap masalah dalam satu sub sistim akan menimbulkan efek ke pada
sistim lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim lainnya. Keterpaduan antara sub sistim dapat diperoleh apabila
masing-masing sub sistim peradilan pidana menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya.
36
Komponen-komponen sistim peradilan pidana tidak dapat bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal. Apalagi lebih besar pemasukan jumlah narapidana
dari pada narapidana yang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan dapat mengakibatkan kelebihan daya tampung over capacity narapidana. Kelebihan
kapasitas seperti ini dapat mengakibatkan terhadap kualitas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatn.
37
Konsep pembinaan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan, merupakan langkah yang tepat dalam kebijakan pidana untuk menyadarkan narapidana,
mencegah terjadniya tindak pidana, mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana, dan mencegah terjadinya motif balas
35
Margono Reksodiputro, Sistim Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994,hal. 87.
36
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op. cit., hal. 25.
37
Irdiansyah Rana, Upaya Penanggulangan Over Capacity Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan, Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2009, hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
dendam setelah keluar dari pemasyarakatan.
38
Untuk mencapai hal tersebut, maka prinsip-prinsip pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan adalah:
39
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar narapidana dapat menjalankan perannya
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna; 2.
Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara; 3.
Berikan bimbingan tetapi bukan penyiksaan agar narapidana dapat bertaubat; 4.
Negara tidak berhak membuat narapidana menjadi lebih buruk atau jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana;
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana atau anak didik
harus dikenalkan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; 6.
Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana atau anak didik tidak boleh bersifat hanya sekedar mengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan
untuk mmenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu, melainkan pekerjaan yang diberikan harus satu persepsi dengan pekerjaan
dalam masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produktivitas;
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana atau anak didik
harus berdasakan Pancasila; 8.
Narapidana atau anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah juga manusia, oleh karenanya harus diperlakukan sebagai manusia;
9. Narapidana atau anak didik hanya dijatuhi pidana hilangnya kemerdekaan
sebagai salah satu derita yang dialaminya; dan 10.
Disediakan dan dipupuk sarana-sarana dan fungsi-fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistim pemasyarakatan.
Pola pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, secara garis besar dikelompokkan dalam 2 dua kelompok yaitu:
40
1. Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari
yang membina sebagai cermin pemenuhan kebutuhan masyarakat; dan 2.
Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari yang dibina.
38
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 20.
39
Irdiansyah Rana, Op. cit., hal. 24.
40
Anton Setiawan, Op. cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pola pembinaan narapidana di atas, sistem pemasyarakatan terlihat adanya suatu pengintegrasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan
masyarakat. Jadi, pemasyarakatan tidak hanya sekedar melakukan rehabilitasi dan resosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial
narapidana dengan masyarakat setelah menjalani pidana dan setelah narapidana kembali ke masyarakat.
Menurut Mardjono Reksodiputro, pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan terdapat suatu pengawasan yang ditujukan terutama dalam hal
pelaksanaan disiplin, penyiksaan, penganiayaan, atau pengawasan terhadap perilaku yang melanggar kesusilaan dari semua narapidana, perawatan medis, melakukan
kegiatan keagamaan, serta dalam hal pelaksanaan lain-lain yang dibenarkan oleh peraturan yang berlaku sehubungan dengan tetap dihargainya martabat terpidana
sebagai manusia.
41
Pembinaan dilakukan tanpa membeda-bedakan kedudukan narapidana di hadapan hukum. Ciri yang menonjol di negara hukum adalah adanya pengakuan
terhadap persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap warga negaranya.
42
41
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistim Pembaharuan Pidana, Jakarta: Universitas Indonesia, 1997,hal. 99.
Perihal persamaan kedudukan di hadapn hukum, dalam UUD 1945 dicantumkan kedudukan
warga negara di hadapan hukum tanpa mebeda-bedakan suku, agama, warna kulit, status sosial, dan sebagainya. Semua warga negara bersamaan hak dan kedudukannya
42
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
43
Pidana penjara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah: pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu.
Jadi, hukum berlaku terhadap siapapun, pejabat maupun rakyat, segala suku apapun termasuk anggota TNI dan
apabila kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang berlaku rule of law serta tidak ada seorangpun yang tidak dapat dipidana.
44
Andi hamzah menyebutkan bahwa pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan. Dapat dikatakan bahwa pidana penjara
merupakan bentuk utama dan umum dari pidanakehilangan kemerdekaan. Akan tetapi dalam hukum adat Indonesia tidak dikenal istilah pidana penjara karena hanya
mengenal istilah pidana pembuangan, pidana badan berupa pemotongan anggota badan atau dicambuk, pidana denda atau pembayaran ganti rugi.
45
Pengertian pidana penjara menurut P.A.F. Lamintang adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di
43
Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
44
Pasal 12 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUH Pidana.
45
Andi Hamzah, Suatu Tinjaun Ringkas Sistim Pemidanaan Di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1998, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dnegan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.
46
Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari 2 dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu:
47
1. Aspek perlindungan masyarakat. Pemidanaan akan efektif apabila dapat
mencegah atau mengurangi kejahatan. Kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain kriterianya terletak
pada seberapa jauh efek pencegahan umum dari pidana penjara dapat mencegah warga masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.
2. Aspek perbaikan si pelaku. Ukuran efektivitas terletak pada masalah seberapa
jauh pidana penjara mempunyai pengaruh terhadap si pelakuterpidana. Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana.
Pendekatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan telah berlangsung beratus-ratus tahun.
48
Penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua setua dengan peradaban manusia itu sendiri. Namun
demikian cara tersebut masih sering dipersoalkan, oleh karena itu terdapat dua pendapat mengenai hal ini. Pertama, adalah pendapat yang tidak setuju bahwa sanksi
pidana digunakan untuk menanggulangi tindak pidana, sedangkan pendapat kedua, setujua dengan penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan tindak pidana.
49
Terhadap pendapat pertama di atas, Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa terdapat pelaku tindak pidana atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak
46
P.A.F. Lamintang, Hukum Penintensir Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hal. 69.
47
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 224.
48
Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995, hal. 1.
49
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
perlu dikenakan pidana. Pidana merupakan peninggalan dari kebebasan masa lalu.
50
Pidana penjara penuh dengan gambaran-gambaran mengenai pelakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Selanjutnya
dikatakan bahwa gerakan pembaharuan pidana penjara di Eropa Kontinental justru merupakan rekasi humanistik terhadap kekejaman pidana.
51
2. Landasan Konsepsional