pemerintah tetapi yang terjadi adalah bahwa pemerintah lebih sering berpihak kepada pengusaha.
2. Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Oleh Perusahaan
Dalam hubungan industri Pemutusan Hubungan Kerja PHK tidak terlepas dari hak-hak, syarat-syarat, unsur-unsur yang termasuk PHK dan prosedur PHK
itu sendiri yang harus dipenenuhi oleh pengusaha ketika terjadi pengakhiran hubungan kerja. Hal ini bermaksud untuk melindungi buruh. Dalam Pasal 150 UU
No.13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dengan pengusaha. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
PPHI yang dikenal sebagai hakim Ad Hoc yang efektif berlaku, baik pengusaha maupun buruh harus tetap melaksanakan segala kewajiban atau pengusaha dapat
melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing kepada buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya
yang biasanya diterima buruh Pasal 155 ayat 2 dan ayat 3 UU No.13 Tahun 2003 dan menurut Pasal 153 UU No.13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pengusaha
dilarang melakukan PHK jika buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 dua belas bulan
secara terus menerus, buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
Universitas Sumatera Utara
memenuhi kewajibannya terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya, buruh menikah, buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya, buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau
pengurus Serikat Buruh, buruh melakukan kegiatan Serikat Buruh di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kera bersama, karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan, dan buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit akibat hubungan kerja
yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima Pasal 156 ayat 1 UU No.13 Tahun 2003.
Penghitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut menurut Pasal 156 ayat 2 UU No.13 Tahun 2003. Masa kerja 1 tahun adalah sebulan upah,
masa kerja 1 tahunlebih tetapi kurang dari 2 tahun adalah dua bulan upah, masa kerja 2 tahun tetapi kurang dari 3 tahun adalah 3 bulan upah, masa kerja 3 tahun
tetapi kurang dari 4 tahun adalah 4 bulan upah, masa kerja 4 tahun tetapi kurang dari lima tahun adalah 5 bulan upah, masa kerja 5 tahun tetapi kurang dari enam
tahun adalah 6 bulan upah, masa kerja enam tahun tetapi kurang dari 7 tahun
Universitas Sumatera Utara
adalah 7 bulan upah, masa kerja 7 tahun tetapi kurang dari 8 tahun adalah 8 bulan upah dan masa kerja 8 tahun atau lebih adalah 9 bulan upah.
Berdasarkan undang-undang pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap buruh dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat seperti
melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan atau uang milik perusahaan. Buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri memperoleh
uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam UU No.13 Tahun 2003 dan ditambah dengan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan PKB bila tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung diatur dalam Pasal 162 UU
No.13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup Pasal 164 UU No.13 Tahun 2003 atau perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa perusahaan melakukan efisiensi, buruh berhak mendapat dua kali ketentuan uang pesangon, 1 kali
ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Dan pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh karena perusahaan pailit, bila
hubungan kerja berakhir karena buruh meninggal dunia, ahli waris buruh berhak mendapatkan dua kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak pasal 166 UU No.13 Tahun 2003.
Kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang pemutusan hubungan kerja adalah untuk memberikan jaminan agar buruh
Universitas Sumatera Utara
dapat menerima haknya jika mengalami pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan. Sebab dalam undang-undang tersebut sudah jelas dikatakan bahwa
perusahaan dapat memberhentikan pekerjaburuh dengan ketentuan undang- undang yang berlaku. Pemutusan hubungan kerja sebenarnya dilakukan apabila
kondisi perusahaan tidak memungkinkan lagi untuk mempekerjakan buruh. Dalam beberapa kasus yang terjadi antara lain di PT. Bank Mega Syariah
Jalan Sutomo Kota Pematangsiantar, PT. Karyabhakti Manunggal Jl. Medan Km.7,5, Pematangsiantar, PT. Fast Food Indonesia, Tbk, PT. Suzuki Finance
Indonesia, PT. Angin Timur Sosro dan PT. Adira Finance Jl. Asahan Komplek Mega Land masalah pemutusan hubungan kerja secara sepihak terjadi.
Hal ini tentu saja membuat buruh menjadi pihak yang dirugikan. Oleh sebab itu dalam hal ini buruh meminta perlindungan kepada pemerintah melalui Dinas
Tenaga Kerja dan sebagai pembela, buruh juga dapat meminta bantuan Serikat Buruh yang dimasukinya. Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak jelas
bertentangan dengan undang-undang ketenagakerjaan. Sehingga berdasarkan undang-undang ini buruh dapat menuntut haknya kepada pihak pengusaha.
Dalam kasus pemutusan hubungan kerja, ada pihak- pihak yang harus berunding antara lain pemerintah sebagai mediator, buruh, pengusaha dan Serikat Buruh.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perundingan ini akan ditemukan solusi yaitu : 1.
Apabila pengusaha terbukti melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa ada pembayaran ganti rugi pesangon terhadap buruh maka
pengusaha harus menarik kembali buruh yang tersebut menjadi pekerjanya. 2.
Apabila buruh tersebut tidak menerima tawaran untuk untuk kembali bekerja maka pengusaha harus membayar pesangon buruh tersebut sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. 3.
Apabila dalam perundingan tidak ditemukan solusi maka pemerintah yang harus menyelesaikan masalah tersebut dengan pengusaha. Sebab tidak
jarang pengusaha berusaha menghindar dari kewajibannya untuk membayar pesangon terhadap buruh.
Kebijakan pemerintah untuk mengatur undang-undang tentang PHK merupakan konversi dari tuntutan buruh yang marak mengalami pemutusan
hubungan kerja sepihak oleh perusahaan. Dalam wawancara dengan Ketua Serikat Buruh Solidaritas Pematangsiantar
mengatakan: Masalah pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha
merupakan masalah yang sangat sering terjadi. Bahkan sampai saat ini banyak kasus buruh yang di-PHK yang sedang kami proses. Undang-undang
telah jelas mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Sehingga undang- undang itu yang menjadi dasar untuk melakukan tuntutan kepada pengusaha.
Jika kami langsung menanyakan kepada pihak pengusaha maka banyak yang mengatakan bahwa mereka sudah kelebihan pekerja sehingga harus
mengurangi jumlah pekerja dan banyak pengusaha yang menghindar saat diminta untuk membayar pesangon dengan alasan beberpa bulan terakhir
kami mengalami kerugian sehingga tidak mampu memberikan pesangon kepada pekerja yang kami PHK. Dalam hal ini, masalah PHK harus dibawa
Universitas Sumatera Utara
ke pemerintah yaitu Dinas Tenaga Kerja untuk menindaklanjuti penyelesaian PHK tersebut. Kami sebagai Serikat Buruh akan berusaha membela buruh
yang di PHK dengan berdasarkan undang-undang sehingga buruh tersebut dapat menerima apa yang menjadi haknya.
23
Kondisi ini menunjukkan bahwa sampai saat ini Pemutusan Kerja Sepihak masih marak terjadi. Dikeluarkannya undang-undang tentang pemutusan
Hubungan Kerja tidak menjamin pengusaha patuh terhadap undang-undang dan pemerintah juga sering berada dalam kondisi yang tidak berdaya. Seharusnya
pemerintah dapat menjadi pihak yang mampu menekan para pengusaha dan membela kaum buruh. Namun banyaknya tenaga kerja menyebabkan posisi tawar
buruh sangat rendah sehingga pemutusan hubungan kerja sepihak pun tidak dapat dihindari.
3. Kebebasan Buruh Berserikat Belum Terwujud