atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga di dalam pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi
adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan ini,
melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan. Para implementor tidak selalu siap untuk megimplementasikan kebijakan sebagaimana
mereka para pembuat kebijakan. Konsekuensinya, para pembuat kebijakan sering dihadapkan dengan tugas untuk mencoba memanipulasi atau mengerjakan
disposisi implementor atau untuk meng opsi-opsinya. Berbagai pengalaman pembangunan di negara-negara dunia ketiga
menunjukkan bahwa tingkat komitmen dan kejujuran aparat rendah. Berbagai kasus korupsi yang muncul di negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia adalah
contoh konkret dari rendahnya komitmen dan kejujuran aparat dalam mengimplementasikan program-program pembangunan.
3. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas untuk mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
Universitas Sumatera Utara
dari aspek struktur yang terpenting dari setiap organisasi adalah adalah prosedur operasi yang standar standard operating procedures atau SOP. SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan aktivitas organisasi yang
tidak fleksibel. Sumberdaya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan ini ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin
mengerjakannya, implementasi mungkin dicegah karena kekurangan dalam struktur birokrasi.
Fragmentasi organisasional mungkin merintangi koordinasi yang perlu untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan kompleks yang
mensyaratkan kerjasama banyak orang dan mungkin juga memboroskan sumberdaya langka, merintangi perubahan, menciptakan kekacauan mengarah
kepada kebijakan bekerja dalam lintas-tujuan dan menghasilkan fungsi-fungsi penting yang terabaikan.
Karena implementasi kebijakan begitu kompleks, seharusnya tidak diharapkan dapat diselesaikan dalam satu model rutin. Bahkan presiden tidak bisa
mengasumsikan secara pasti bahwa keputusannya dan komandonya akan dilakukan secara efektif. Sesungguhnya, berdasarkan perkembangan dan
Universitas Sumatera Utara
pengalaman pada kahir-akhir ini telah merubah para pengamat kebijakan publik yang paling optimis menjadi sinis dan pesimis.
Kurangnya perhatian terhadap implementasi merupakan salah satu masalah dalam pengimplementasian kebijakan publik. Implementasi kebijakan
telah memiliki prioritas rendah diantara kebanyakan dari pejabat kita yang terpilih. Para anggota Kongres dan legislator yang tugasnya untuk mengawasi
birokrasi sering kekurangan keahlian untuk mengimplementasikan kebijakan publik dengan efektif.
11
E.3. Teori Marxis : Teori Kesadaran Kelas dan Perjuangan Kelas
Teori kelas yang dicetuskan oleh Marx tidak membahas secara mendetail apa yang sebenarnya yang dimaksudkan dengan suatu kelas. Sekalipun begitu
tidak tertutup kemungkinan untuk merekonstruksi suatu definisi dari tulisan- tulisannya dengan cara mencermati kelompok-kelompok yang sering kali dia
rujuk sebagai kelas-kelas, kelompok- kelompok mana yang secara eksplisit tidak dia golongkan ke dalam kelas-kelas dan fungsi teori kelasnya dalam konteks
teorinya secara luas. Secara khusus, pandangannnya bahwa kelas-kelas merupakan unit-unit fundamental dalam konflik sosial menghendaki suatu definisi
yang mampu merumuskan kelas-kelas kecil yang pasti dan yang tidak arbitrer.
11
Edwars, George. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Lukman Offset
. Hal.3.
Universitas Sumatera Utara
Kelas-kelas tidak dapat didefinisikan dengan cara memberikan titik-titik potongan secara arbriter dalam suatu skala kontinum.Kelas-kelas itu memiliki
keberadaan yang riil sebagai kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan- kepentingan terorganisir bukan semata-mata untuk konstruk-konstruk dalam
perspektif pengamat. Sebaliknya kelas tidak dapat direduksi ke dalam oposisi dikotomis antara kelompok kaya dan kelompok miskin ataupun golongan
penindas dan golongan tertindas. Yang tidak boleh dilupakan dalam pendekatan Marx adalah bahwa jumlah kelas, sekalipun kecil, pasti lebih banyak dan
kompleks daripada pemilihan dua kelas di atas yang terkesan menyederhanakan realitas karena bila tidak, tidak ada ruang bagi aliansi kelas untuk memainkan
suatu peran penting dalam teorinya tentang perjuangan kelas. Menurut Marx akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-
kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Marx berbicara tentang kelas- kelas atas dan kelas-kelas bawah. Sebagai catatan pendahuluan perlu diperhatikan
bahwa menurut Marx masyarakat kapitalis terdiri dari tiga kelas, bukan pada dua kelas, sebagaimana anggapan pada umumnya. Tiga kelas itu adalah :
1. Kaum buruh mereka hidup dari upah
2. Kaum pemilik modal hidup dari laba
3. Para tuan tanah hidup dari rente tanah.
12
12
Suseno, Franz Magnis. 2010. Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi karena dalam analisis keterasingan tuan tanah tidak dibicarakan dan pada akhir kapitalisme para tuan tanah akan menjadi sama dengan para pemilik
modal sehingga kelas itu terbagi menjadi dua kelas sosial yang berlawanan yaitu kelas buruh dan kelas majikan. Kelas para majikan memiliki alat-alat kerja:
pabrik, mesin dan tanah. Kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka terpaksa menjual tenaga
kerja mereka kepada kelas pemilik itu. Buruh dan kelas pemilik majikan keduanya saling membutuhkan. Buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik
membuka temapt kerja baginya dan majikan hanya bergantung dari pabrik-pabrik dan mesin-mesin yang dimilikinya apabila ada buruh yang mengerjakannya.
Tetapi saling ketergantungan ini tidak seimbang. Buruh tidak dapat hidup kalau mereka tidak bekerja sedangkan pemilik majikan tidak mempunyai pendapatan
kalau pabriknya tidak berjalan, tetapi ia masih dapat bertahan lama. Ia dapat hidup dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja dan ia dapat menjual
pabriknya. Dengan demikian kelas pemilik majikan adalah kelas yang kuat dan para
pekerja adalah kelas yang lemah. Para pemilik dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau bekerja dan bukan sebaliknya kaum buruh yang mati-
matian mencari pekerjaan dan terpaksa menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh kapitalis. Hubungan antara kelas majikan kelas atas
dengan buruh kelas bawah merupakan hubungan kekuasaan yang satu berkuasa atas yang lain. Kekuasaan itu yang pada hakikatnya berdasarkan kemampuan
Universitas Sumatera Utara
majikan untuk meniadakan kesempatan buruh untuk bekerja dan memperoleh nafkah dipakai untuk menindas kaum buruh untuk menguasai pekerjaan mereka
sendiri, untuk tidak dihisap agar kaum buruh bekerja seluruhnya demi mereka. Karena itu kelas atas secara hakiki merupakan kelas penindas. Pekerjaan upahan,
jadi pekerjaan dimana seseorang menjual tenaga kerjanya demi memperoleh upah, merupakan pekerjaan kaum tertindas: harapan dan hak mereka dirampas.
Karl Marx mengatakan bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang
menguasai bidang ekonomi. Karena itu menurut Marx negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih melainkan merupakan
alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum melainkan untuk
kepentingan kelas atas. Negara bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan
kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa. Maka kebanyakan kebijakan negara akan menguntungkan kelas-kelas atas. Negara dapat
saja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, tetapi tindakan ini pun demi kepentingan kelas atas, karena kelas atas pun tidak dapat mempertahankan diri,
apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Karena itu negara dianggap merupakan kelas yang mendukung kepentingan kelas- kelas penindas
sehingga dalam perspektif Marx negara termasuk lawan bukan kawan orang kecil.
Universitas Sumatera Utara
Orang kecil hendaknya tidak mengharapkan keadilan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari negara, karena negara adalah justru wakil kelas-kelas yang
menghisap tenaga kerja orang kecil. Negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangkan kepentingan khusus mereka sebagai kepentingan umum. Oleh
sebab itu tidak jarang para buruh melakukan demonstrasi, pemogokan bahkan penutupan pabrik karena para buruh tidak memiliki jalan keluar untuk
memperjuangkan nasib mereka
13
.
F. Metodologi Penelitian F.1. Metode Penelitian