Analisis Tanaman Transgenik TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tebu

tanaman secara in vitro yang optimal seringkali memerlukan adanya cahaya, namun tidak demikian dengan proses pembelahan sel. Pada awal pembelahan sel dari eksplan yang dikulturkan dan pertumbuhan kalus kadang-kadang dihambat oleh adanya cahaya Wattimena et al, 1992. Kondisi lingkungan kultur yang ideal pada suhu 25 ±2 C dilengkapi dengan cahaya lampu fluorescens 5000-10000 lux. Kelembaban relatif ruang inkubasi diatur sekitar 70-80, bila kurang dari 50 maka media yang disimpan akan cepat mengering sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi meningkatkan kontaminan seperti jamur dan bakteri Sugiyarta, 1991. Menurut Naik, 2001, regenerasi tanaman tebu dari kultur meristem apikal dapat dilakukan pada suhu 20-26 C dengan waktu cahaya 16 jam 5000-8000 lux.

2.6. Analisis Tanaman Transgenik

Analisis tanaman transgenik dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain, visual, histokimia dan molekular. Pengamatan secara visual antara lain dilakukan jika T-DNA yang terintegrasi memiliki gen pelapor seperti gfp. Pengamatan dapat dilakukan mulai fase kalus hingga tanaman dewasa, dengan tidak merusak jaringan atau sel. Integrasi gen sisipan pada tanaman hasil transformasi dapat dianalisis secara molekular menggunakan teknik PCR. PCR merupakan singkatan dari Polymerase Chain Reaction atau reaksi rantai polimerase. Ditemukan pertama kali oleh Kary B. Mullis tahun 1985, PCR adalah konsep yang memungkinkan pelipatgandaan segmen DNA dalam tabung dengan bantuan enzim DNA Polimerase. Keuntungan analisis dengan PCR antara lain : cepat, DNA yang diperlukan sedikit, dapat dilakukan pada tahap dini dan teknik isolasi DNA sederhana. Amplifikasi DNA terjadi karena adanya enzim polimerase tahan panas yang dihasilkan oleh bakteri thermofilik, antara lain Thermus aquaticus. Hal-hal yang menentukan keberhasilan amplifikasi antara lain desain primer dan suhu yang digunakan. Sekuen primer yang tepat memungkinkan amplifikasi hanya terjadi pada fragmen spesifik dan tepat. Primer harus bersifat komplemen terhadap DNA target. Semakin pendek ukuran primer 8-mer maka semakin tidak spesifik fragmen yang dihasilkan. Sebaliknya semakin panjang primer 20- mer akan semakin spesifik fragmen dihasilkan. Ukuran primer yang lebih besar dari 30-mer sangat jarang digunakan. DNA target yang diamplifikasi hendaknya tidak lebih dari 3 kb karena ukuran ideal untuk PCR adalah bila DNA yang akan diamplifikasi kurang dari 1 kb Brown, 1996. Selama amplifikasi, dalam setiap siklus terjadi 3 tahap perubahan suhu. Tahap pertama DNA adalah denaturasi yang umumnya dilakukan pada suhu 94 °C. Saat denaturasi, DNA yang semula utas ganda terurai menjadi utas tunggal karena ikatan hidrogennya lepas. Tahap kedua suhu diturunkan sehingga memungkinkan primer menempel annealing pada DNA cetakan target. Tahap ketiga terjadi pemanjangan DNA sintesis, biasanya pada suhu 74 °C sehingga memungkinkan enzim DNA polimerase bekerja. Suhu annealing sangat penting dioptimasi agar primer menempel pada DNA cetakan. Suhu annealing dapat diduga berdasarkan suhu melting Tm antara primer dengan DNA cetakan. Suhu annealing biasanya lebih rendah 1-2 °C dari suhu melting. Dengan memperhatikan jumlah dan jenis basa dalam primer yang akan digunakan nilai Tm dapat ditentukan dengan rumus berikut : Tm = 4[G + C] + 2[A + T] °C Brown, 1996.

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian