Interpretasi Hasil Penelitian dan Diskusi
derajat dismenore yang dialami santriwati berkisar antara ringan hingga berat. Santriwati mengatakan ringan, karena nyeri yang ia rasakan masih dapat
ditolerir dan masih bisa digunakan untuk beraktivitas, sedangkan untuk nyeri sedang dan berat, santriwati mengatakan bahwa nyeri ini bisa menyebabkan
santriwati tersebut merasa kesakitan, menangis dan mengganggu aktivitas sehari-harinya, seperti sekolah dan mengikuti kegiatan pondok. Hasil
penelitian ini, sesuai dengan teori, dimana menurut Manuaba dalam Rakhma 2011 derajat dismenore itu terbagi menjadi tiga bagian yaitu dismenore
ringan, sedang dan berat. Dismenore ringan adalah dimana ketika seseorang mengalami nyeri yang masih dapat ditolerir dan dapat melanjutkan kegiatan
sehari-hari. Dismenore sedang adalah dimana seseorang mulai merespon nyerinya dengan merintih dan diperlukan obat penghilang rasa nyeri tanpa
perlu meninggalkan aktivitas sehari-harinya. Dismenore berat adalah seseorang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan biasa dan perlu istirahat
beberapa hari, dan biasanya muncul beberapa gejala penyerta dismenore. Kualitas atau deskripsi nyeri menstruasi yang dirasakan oleh remaja
sangatlah berbeda-beda. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa ada partisipan yang mengatakan bahwa nyeri yang dirasakan seperti ingin buang
air besar, panas dan melilit, nyeri atau pegal, bahkan juga ada yang merasa bingung terhadap dismenore yang ia rasakan. Penelitian yang dilakukan oleh
Mardhiyah, Rosidi, dan Purwanti tahun 2015, menunjukkan bahwa 15 dari 46 responden mengatakan bahwa nyeri menstruasi yang mereka alami seperti
ingin buang air besar. Nyeri perut ini terjadi karena usus juga berkontraksi akibat pengaruh prostaglandin yang disekresikan oleh endometrium.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nuryani 2011 menunjukkan bahwa
kualitas nyeri yang dirasakan itu seperti terikat, ditekan, dicubit, menyebar ke daerah panggul dan kram.
Karakteristik dismenore yang diungkapkan oleh santriwati pun berbeda-beda. Hal ini dikarenakan dismenore yang dirasakan adalah sebuah
perasaan atau penilaian subjektif, dimana hasil akhirnya nanti adalah bervariasinya pengalaman dismenore antara satu orang dengan yang lainnya.
Tema 2. Dampak dismenore dalam kehidupan sehari-hari santriwati
Dismenore adalah salah satu gangguan yang biasa terjadi umumnya pada remaja perempuan, dimana dismenore akan menimbulkan dampak
dalam kehidupan sehari-hari seorang remaja perempuan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa dampak dismenore yang dialami santriwati meliputi
intoleran aktivitas, perubahan pola tidur, pola makan, perubahan psikologis dan proses belajar. Studi kualitatif yang dilakukan oleh Nuryani 2011 di
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makasar, menunjukkan bahwa dismenore menimbulkan beberapa efek diantaranya yaitu gangguan aktivitas
aktivitas kuliah dan istirahat terganggu, gangguan gastrointetinal nafsu makan menurun, mual-mual, dan hampir pingsan, perubahan mood mudah
tersinggung dan mudah marah. Dismenore juga menyebabkan proses belajar dalam kegiatan belajar mengajar terganggu Dawood, 2006 dalam Iswari,
dkk, 2014. Dismenore ini mampu mengubah pola tidur dari santriwati. Perubahan
yang dirasakan pun bermacam-macam, ada yang meningkat kualitas dan waktu tidurnya dan bahkan ada pula yang menurun. Keadaan santriwati yang
cenderung susah untuk tidur ini sesuai dengan teori yang ada, dimana
penelitian yang dilakukan oleh Joshi, Davda dan Jadav, tahun 2013 di Ahmedabad menunjukkan bahwa 16,7 responden dengan dismenore tidak
mengikuti perkuliahan, 29,3 melaporkan cenderung susah tidur, dan 34,2 mengalami ketidakstabilan emosi yang pada akhirnya mempengaruhi
konsentrasi pada saat mengikuti pelajaran. Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan
oleh integrasi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf periferal, endokrin, kardiovaskular, pernapasan
dan muskular. Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermitten dan menekan
pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tertidur Potter dan Perry,
2012. Tidur dipengaruhi oleh hormon-hormon di dalam tubuh, antara lain serotonin, L-triptofan, noreprinefrine dan asetilkolin otak. Serotonin oleh sel
serotonergik dipengaruhi oleh ketersediaan prekusor asam amino dari neurotransmitter ini seperti L-triptofan Hacker, 2006 dalam Gracia, dkk,
2011 . Menurut Potter dan Perry 2012 dalam bukunya, sistem aktivasi
retikular SAR berlokasi pada batang otak teratas. SAR dipercayai terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. SAR
menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri, dan taktil. Aktivitas korteks serebral misalnya emosi juga menstimulasi SAR. Saat terbangun merupakan
hasil dari neuron dalam SAR yang mengeluarkan katekolamin seperti norepinefrin. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel
tertentu dalam sistem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga disebut daerah sinkronisasi bulbar Bulbar Synchronizing
Region, BSR. Salah satu dampak dismenore yaitu dapat menyebabkan penurunan
kualitas tidur, dimana penurunan ini disebabkan adanya pengaruh serotonin. Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang diketahui terlibat
dalam berbagai fungsi otak, misalnya keadaan tidur, suasana hati, emosi, atensi, serta pembelajaran dan memori. Serotonin juga memiliki peran
penting dalam berbagai fungsi otak tersebut karena jalur neuron serotonergik menginervasi berbagai daerah pada sistem saraf pusat, seperti serebelum,
neokorteks, talamus, sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis kandel, 2000; Carlson, 2004 dalam Furqaani, 2015. Turunnya kadar
esterogen pada fase menstruasi dapat mempengaruhi serotonin Gracia,dkk, 2011.
Sebagian besar santriwati juga cenderung mengalami penambahan waktu tidur atau istirahat saat mengalami dismenore. Tidur atau istirahat yang
dilakukan santriwati ini diasumsikan peneliti sebagai cara yang digunakan santriwati untuk mengurangi nyeri yang dirasakan. Hal ini sesuai dengan teori
yang ada, dimana istirahat dapat membantu merilekskan otot-otot dan sistem saraf. Semakin lama seseorang tersebut beristirahat, maka tubuh akan terasa
lebih rileks Asmadi, 2008 dalam Mustaqimah, Widayati dan Pranowowati, 2013.
Ketidakstabilan emosi juga terjadi pada remaja saat mengalami dismenore. Penyebab timbulnya ketidakstabilan emosi ini adalah menurunnya
hormon esterogen dan progesteron saat menstruasi. Penurunan hormon tersebut, memicu terjadinya penurunan sintesis hormon serotonin dan GABA
yang pada akhirnya menyebabkan mood dan emosi seseorang menjadi tidak stabil Putri, 2013. Penelitian yang dilakukan oleh Yasir, Kant dan Dar pada
tahun 2014 menunjukkan bahwa 116 dari 356 responden menyatakan bahwa sebagian besar dari mereka mengalami ketidakstabilan emosi dan sebagian
kecil lainnya menjadi lebih mudah marah saat dismenore. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Joshi, Davda dan Jadav 2013 juga menjelaskan bahwa
perubahan psikologis atau mood adalah sebuah masalah yang sering dikeluhkan oleh remaja perempuan saat mengalami dismenore. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa 34,2 dari total responden 143, mengalami perubahan psikologis saat menstruasi.
Kaitan antara prostaglandin dengan regulasi emosi ini pun dipaparkan secara jelas oleh Lauralee 2012 dalam bukunya, dimana prostaglandin yang
beredar dalam darah, berikatan dengan nosiseptor polimodal, dimana nosiseptor polimodal ini adalah reseptor yang mampu menerima berbagai
macam stimulus, salah satunya yaitu stimulus yang berasal dari zat kimia. Tahap selanjutnya adalah transmisi, dimana impuls nyeri kemudian
ditransmisikan serat aferen A-delta dan C ke medulla spinalis melalui dorsal horn, dimana disini impuls akan bersipnasis di substansia gelatinosa
lamina II dan III impuls kemudian menyebrang keatas melewati traktus spinothalamus anterior dan lateral diteruskan langsung ke thalamus tanpa
singgah di formatio retikularis membawa impuls fast pain. Pada bagian thalamus dan korteks somatosensorik inilah individu kemudian dapat
mempersepsikan, mengambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan dan mulai berespon terhadap nyeri.
Impuls slow pain serat C dibawa langsung masuk ke formatio reticularis. Interkoneksi dari talamus dan formation retikularis kehiptalamus
dan sistem limbik memicu respon perilaku dan emosi. Impuls ini akan membuat terjadi nya respon emosi dan perilaku, seperti marah-marah, cemas,
dan lain-lain Lauralee, 2012. Bukan hanya hal itu, dismenore ini juga akan menyebabkan terjadinya gangguan kognitif, berupa penurunan konsentrasi
saat belajar Saguni, Madianung dan Musi, 2013. Aktivitas sehari-hari remaja perempuan saat mengalami dismenore
cenderung menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Saguni, Madianung dan Musi 2013 di SMA Kristen I Tomohon, menunjukkan bahwa ada hubungan
antara dismenore dengan aktivitas belajar remaja di SMA Kristen I Tomohon yang ditunjukkan hasil uji statistik chi-square nilai p = 0,000alpha = 0,05.
Dismenore ini setidaknya mengganggu 50 wanita masa reproduksi dan 60- 85 pada usia remaja, yang mengakibatkan banyaknya absensi pada sekolah
maupun kantor Annathayakheisha, 2009 dalam Ningsih, 2011. Dismenore primer mempengaruhi kualitas hidup sebesar 40-90 wanita, dimana 1 dari
13 yang mengalami dismenore tidak hadir bekerja dan sekolah selama 1-3 per bulan Woo dan McEneaney, 2010 dalam Ningsih, 2011.
Ketidaksabilan pola dan nafsu makan juga terjadi saat dismenore. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar santriwati meningkat nafsu
makannya selama dismenore, dan sebagian kecil santriwati menurun nafsu makannya selama mengalami dismenore. Studi kualitatif yang dilakukan oleh
Nuryani 2011 menunjukkan bahwa dismenore menimbulkan dampak salah satunya yaitu gangguan gastrointetinal, dimana gejala yang dirasakan yaitu
nafsu makan menurun, mual-mual, dan hampir pingsan. Nafsu dan perilaku makan selain dikontrol oleh sinyal-sinyal
involunter yang berasal dari saluran pencernaan, saraf dan hipotalamus, nafsu makan ini juga dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya bau, rasa, tekstur,
jumlah makanan yang tersedia, kebiasaan, cemas, stress, depresi dan kebosanan. Namun, orang sering makan untuk memuaskan kebutuhan
psikologis bukan menghilangkan rasa lapar Lauralee, 2012. Nyeri yang dialami selama menstruasi termasuk salah satu penyebab
terjadinya stres fisiologik, dimana tubuh akan melakukan kompensasi untuk mempertahankan homeostasisnya. Hipotalamus mendeteksi terjadinya stres
dalam tubuh, setelah stres terdeteksi, hipotalamus akan mengeluarkan corticotropin releasing hormone CRH. CRH ini akan merangsang hipofisis
anterior untuk
menguraikan suatu
prekusor yang
bernama proopimelanokortin POMC. Prekusor ini diuraikan menjadi beberapa zat
yaitu ACTH dan α-melanocyte stimulating hormone MSH. α-MSH
merangsang reseptor melanokortin MR-3 dan MR-4 pada nuklei paraventrikular PVN yang kemudian mengaktifkan jaras neuron yang
menjulur ke nukleus traktus solitarius NTS yang meningkatkan aktivitas simpatik dan pemakaian energi, nukleus ini juga berfungsi sebagai pusat rasa
kenyang. NPV juga mengeluarkan sebuah hormon yaitu CRH dimana hormon ini berperan dalam menekan nafsu makan Guyton, 2012.
ACTH yang dikeluarkan oleh hipofisis anterior merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan hormon kortisol yang berfungsi untuk mengatasi
stres yang terjadi Lauralee, 2012. Efek metabolik kortisol adalah meningkatkan konsentrasi gula darah dengan mengorbankan simpanan lemak
dan protein untuk meningkatkan suplai energi selama stres. Ketika kadar stres sudah mulai berkurang, simpanan energi tubuh pun akan menurun,
sehingga merangsang neuron oreksigenik di nukleus arkuatus untuk mensekresikan neuropeptida Y NPY yang pada akhirnya NPY ini akan
meningkatkan nafsu makan Guyton, 2012. Dampak yang dialami oleh masing-masing santriwati berbeda, dimana
dampak ini muncul akibat kurang tepatnya penanganan serta pencegahan dismenore. Pendidikan kesehatan mengenai dismenore perlu diberikan
kepada santriwati, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, yang diharapkan nanti pada akhirnya dapat merubah sikap dan perilaku santriwati
dalam upaya meminimalisir dampak yang terjadi akibat timbulnya dismenore setiapkali menstruasi terjadi.
Tema 3. Upaya Penanganan Dismenore yang dilakukan Santriwati
Cara untuk menangani dismenore masing-masing orang berbeda-beda. Dismenore ini dapat diatasi dengan berbagai macam upaya, salah satu upaya
yang dapat dilakukan yaitu dengan terapi non-farmakologi. Terapi non- farmakologi yang dilakukan oleh santriwati yaitu istirahat, minum dan
kompres air hangat, minum jahe hangat, minum susu, tidur dengan posisi meringkuk, aktivitas dan meningkatkan asupan makanan. Studi kualitatif
yang dilakukan oleh Nuryani 2011 menunjukkan bahwa upaya mengatasi nyeri yang dapat dilakukan adalah dengan istirahat, penggunaan obat-
obatanpenggunaan minyak angin, penggunaan obat analgetik, dan obat
tradisional dan menggunakan tekhnik relaksasi massase atau menekan daerah perut, distraksi dan kompres air hangat.
Kompres air hangat adalah sebuah metode yang sudah lama diaplikasikan untuk mengurangi nyeri. Penggunaan kompres hangat
diharapkan dapat meningkatkan relaksasi otot-otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan serta memberikan rasa hangat lokal. Nyeri
akibat memar, spasme otot, dan arthritis berespon baik terhadap peningkatan suhu karena dapat melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran
darah lokal. Oleh karena itu, peningkatan suhu yang disalurkan melalui kompres hangat, dapat meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk
inflamasi seperti bradikinin, histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri lokal PriceWilson, 2005 dalam Oktasari,
Misrawati dan Utami, 2012. Hasil di atas didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Jeung-
Im 2013, dimana penelitian ini menunjukkan bahwa kompres air hangat dengan menggunakan red bean pillows efektif dalam menurunkan nyeri yang
dirasakan sebelum dan saat menstruasi. Penelitian yang lain juga dilakukan oleh Bonde, Lintong dan Moningka 2014 menunjukkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara kompres panas dengan penurunan derajat nyeri haidh p=0,00. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kompres panas berpengaruh terhadap penurunan derajat nyeri haidh pada siswi SMA dan SMK Yadika Kopandakan II.
Penelitian mengenai perbandingan efektivitas kompres hangat dan kompres dingin dilakukan oleh Oktasari, Misrawati dan Utami 2014
menunjukkan bahwa perbandingan sesudah antara kelompok kompres hangat dan kelompok kompres dingin p- value
0,000 α 0,05 sehingga dapat disimpulkan Ho ditolak. Hal ini berarti disimpulkan terdapat perbedaan yang
signifikan antara kompres hangat dan kompres dingin terhadap penurunan dismenorea. Perbandingan mean rank yang didapat antara perubahan
intensitas nyeri pada kelompok kompres dingin lebih besar yaitu 34,44 sedangkan kelompok kompres hangat yaitu 16,56. Oleh karena itu kompres
dingin lebih efektif dibanding kompres hangat. Istirahat adalah salah satu cara yang sering dilakukan untuk
menangani dismenore. Istirahat tersebut dilakukan dengan cara tidur, dimana menurut mereka tidur mampu membuat tubuh rileks dan mengurangi nyeri
yang mereka rasakan. Hal ini sesuai dengan teori, dimana istirahat dapat membantu merilekskan otot-otot dan sistem saraf. Semakin lama seseorang
tersebut beristirahat, maka tubuh akan terasa lebih rileks. Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi oleh semua orang.
Istirahat dan tidur yang cukup, akan membuat tubuh baru dapat berfungsi secara optimal. Istirahat berarti suatu keadaan tenang, relaks, tanpa tekanan
emosional, dan bebas dari perasaan gelisah Asmadi, 2008 dalam Mustaqimah, Widayati dan Pranowowati, 2013.
Penelitian yang dilakukan Mustaqimah, Widayati, dan Pranowowati pada tahun 2013 di Siswi
MTs Ma’arif Nyatnyono Kabupaten Semarang, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menangani dismenore dengan
hanya beristirahat tidur yaitu sejumlah 14 siswi 23,0 dari 61 siswi, dan sedangkan penanganan kombinasi yang dilakukan responden sebagian besar
ditunjukkan pada penanganan istirahat dan tidur yaitu sejumlah 9 siswi 14,8 . Penelitian serupa juga dilakukan oleh Emmanuel dkk 2013,
menunjukkan bahwa 77 dari 245 total responden dalam penelitian tersebut, mengatasi dismenore mereka yang rasakan dengan beristirahat.
Konsumsi air rebusan jahe, juga terbukti mampu menurunkan intensitas nyeri yang dirasakan oleh santriwati. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang ada, dimana intensitas nyeri haidh sebelum diberikan air rebusan jahe pada Mahasiswa Stikes Aisiyah Yogyakarta berkisar 5-8 dengan
rata-rata 7 dan sesudah diberikan air rebusan jahe hari kedua berkisar antara 1- 4 dengan rata-rata 2,55. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh
pemberian air rebusan jahe terhadap intensitas nyeri haidh yang dirasakan Wilis, 2011. Jenabi 2013 juga mengadakan penelitian yang serupa, dan
hasilnya menunjukkan bahwa satu kelompok yang diberikan terapi rebusan air jahe terjadi perubahan skala nyeri yang sangat signifikan dibandingkan dengan
kelompok yang diberikan placebo. Sekitar 82.85 perempuan di kelompok yang diberikan terapi rebusan jahe juga mengatakan bahwa, gejala-gejala
penyerta dismenore yang mereka alami berkurang pasca terapi. Jahe Zingiber officinale roscoe mempunyai kegunaan yang cukup
beragam antara lain, sebagai rempah, minuman penghangat tubuh, minyak astiri, pemberi aroma ataupun sebagai obat Bartley dan Jacobs, 2000 dalam
Amir, 2014. Senyawa antioksidan alami dalam jahe cukup tinggi dan sangat efisien dalam menghambat radikal bebas dan hidroksil yang dihasilkan oleh
sel-sel kanker dan bersifat antikarsinogenik, non toksisk, dan non mutagenik dalam konsentrasi tinggi Manju dan Nalini, 2005 dalam Amir, 2014.
Senyawa yang terkandung dalam jahe yaitu gingerol, shogaol, paradol, zingeron.
Gingerol, shogaol, paradol, zingeron, dan beberapa gingerdione dapat menghambat siklooksigenase dan lipoksigenase sehingga menghambat
biosintesis prostaglandin dan leukotrien. Komponen oleoresin jahe merah efektif dalam menghambat produksi PGE2, tumor n
ecrosis factor α TNFα, dan siklooksigenase yang dilepaskan pada sinoviosit dengan cara mengatur
aktivasi nuclear factor κB NFκB dan mendegradasi subunit penghambat IκBα. Penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase akan mengakibatkan
penurunan pembentukan prostaglandin, penghambatan sintesis leukotrien, penghambatan produksi interleukin dan TNFα dalam mengaktivasi makrofag.
Penurunan pembentukan prostaglandin dan leukotrien inilah yang akan mengurangi nyeri Haghihi, dkk, 2005; Ozgoli dkk, 2009; Black dkk, 2010;
Ratna, 2009; Combez, 2011; Viteta, 2008 dalam Astuti, 2011. Aktivitas juga salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi
nyeri yang dirasakan. Aktivitas yang dilakukan ini dipercayai dapat meningkatkan produksi hormon endorfin yang ada dalam tubuh manusia
Jerdy, Hosseini dan Elvazi, 2012 dalam Anisa, 2015. Fungsi otak selain sebagai rangkaian neuron yang menghubungkan nosiseptor perifer dengan
struktur sistem saraf pusat yang lebih tinggi untuk persepsi nyeri, otak juga mengandung sistem analgesik penekan nyeri inheren yang menekan
penyaluran impuls di jalur nyeri sewaktu impuls tersebut masuk ke medula spinalis. Dua regio diketahui menjadi bagian dari jalur analgesik desenden ini.
Rangsangan listrik pada subtansia grisea periakuaduktus menghasilkan analgesik yang kuat,demikian juga analgesik ini menekan nyeri dengan
meghambat pelepasan substansi P dari ujung serat nyeri aferen, sehingga transmisi lebih lanjut sinyal nyeri dihambat Lauralee, 2012.
Penelitian yang mendukung teori di atas, dilakukan oleh Nuryaningsih 2013, dimana hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat nyeri
sebelum melakukan senam dismenore terbanyak adalah siswa dengan skala nyeri sedang sejumlah 16 siswa 88.9 dan skala nyeri berat sejumlah 2
siswa 11.1. Tingkat nyeri setelah melakukan senam dismenore terbanyak adalah siswa dengan skala nyeri ringan sejumlah 12 siswa 66.7 dan skala
nyeri sedang sejumlah 6 siswa 33.3. Hasil ini menunjukkan bahwa senam dismenore mampu untuk menurunkan nyeri yang dirasakan selama
menstruasi. Terpenuhinya asupan gizi seperti kalsium, magnesium, vitamin A, E,
B6, dan C, juga menjadi salah satu cara yang dapat membantu meringankan dismenore yang dirasakan oleh remaja Devi, 2012 dalam Susilowati, 2014.
Susu merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung kalsium, dimana pada saat remaja dianjurkan untuk mengkonsumsi satu gelas susu
yang mengandung 500-800 ml kalsium setiap hari. Kalsium yang dikonsumsi ini dapat membantu mengurangi kram dan kejang perut saat menstruasi
Sunita, 2002 dalam Susilowati, 2014. Hudson mengatakan bahwa kalsium bersama dengan magnesium berperan dalam mengurangi tekanan pada otot-
otot, dimana salah satu otot tersebut adalah otot uterin yang membutuhkan kalsium agar tetap mampu menjalankan fungsinya secara normal. Kram pada
rahim ini pun akan lebih mudah muncul jika tubuh kekurangan kalsium Hudson, 2007 dalam Silvana, 2012.
Penelitian yang dilakukan oleh Susilowati tahun 2014 di SMAN 1 Unggaran menunjukkan bahwa sebelum pemberian susu, rentang nyeri antara
kelompok susu dan coklat hampir sama. Namun setelah dilakukan intervensi, terjadi penurunan nyeri sebesar 1,34 dari angka awal, maka dapat
disimpulkan terjadi perbedaan signifikan antara skala dismenore sebelum dan sesudah pemberian susu. Pada penelitian kali ini, pemberian susu
dibandingkan dengan pemberian coklat, dimana hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan susu, coklat lebih efektif dalam menurunkan
nyeri menstruasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil rata-rata skala nyeri setelah pemberian susu dan cokelat, yang mana rata-rata skala nyeri, sesudah
pemberian coklat sebesar 2,83 yang lebih rendah dibandingkan sesudah pemberian susu sebesar 4,08.
Penanganan nyeri menstruasi yang dialami, selain bisa dilakukan di rumah atau di pondok, bisa juga dilakukan di puskesmas, atau tempat praktik
tenaga medis terkait. Namun sayangnya, saat ini motivasi dan keinginan remaja untuk periksa atau datang ke pelayanan kesehatan terkait dismenore,
masihlah sangat rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian, dimana semua partisipan mengatakan tidak pernah melakukan kunjungan ke
pelayanan kesehatan terkait dismenore yang mereka alami. Mereka mengatakan dismenore yang mereka alami masih bisa mereka tangani sendiri,
sehingga tidak memerlukan bantuan dari tenaga kesehatan. Padahal, berkunjung ke pelayanan kesehatan tidak harus menunggu kita dalam
keadaan sakit, karena mencegah lebih baik daripada mengobati.
Rendahnya motivasi dan keinginan remaja untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor dimana salah
satu faktor yang paling penting yakni pengetahuan remaja tentang dismenore. Pengetahuan membuat para remaja memiliki kesadaran atau motivasi untuk
melakukan sesuatu sesuai kebutuhan Trisnawaty, 2012. Remaja yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai dismenore akan memiliki
motivasi tinggi untuk melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan saat ia mengalami dismenore, sedangkan remaja yang pengetahuannya kurang
mengenai dismenore, motivasi untuk melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan pun rendah.
Upaya penanganan yang dilakukan santriwati untuk meminimalisir dampak dari timbulnya dismenore ini sangatlah bervariasi. Hal ini mereka
lakukan atas dasar keinginan diri sendiri ataupun pengaruh dari lingkungan sekitar, seperti orang tua dan teman sebaya. Teman sebaya ternyata memiliki
pengaruh yang lebih signifikan dibandingkan dengan orang tua. Hal ini dikarenakan salah satu penyebabnya yaitu tingginya intensitas waktu untuk
bertemu antara santriwati dan teman sebaya, mengingat lebih banyak waktu mereka habiskan di pondok pesantren daripada di rumah bersama orang tua.
Selain itu pada fase remaja, posisi teman sebaya menggantikan kedua orang tua, dikarenakan pada fase ini sering terjadi adanya kesenjangan dan konflik
antara remaja dan orang tuanya Narendra, dkk., 2010.
Tema. 4 Antisipasi yang dilakukan oleh Santriwati
Dismenore selain dapat ditangani dengan terapi farmakologi dan non- farmakologik, dismenore pun bisa dicegah. Antisipasi menurut KBBI 2016
adalah sebuah upaya menahan agar sesuatu yang tidak kita inginkan itu tidak terjadi. Antisipasi juga termasuk dalam salah satu mekanisme koping dimana
antisipasi ini adalah suatu upaya untuk menghadapi suatu stresor yang diprediksikan terjadi dalam waktu dekat Schwarzer dan Taubert, 2002 dalam
Schwarzer, 2013. Dimana, jika stresor tersebut tidak diantisipasi, ada kemungkinan di kemudian hari, stresor tersebut dapat menimbulkan dampak
pada kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa mereka ada yang tidak melakukan pencegahan dan
ada yang melakukan pencegahan terhadap dismenore. Mereka mengatakan bahwa dismenore ini tidak dapat dicegah, karena munculnya tidak dapat
diprediksi, namun bukan hanya itu, selain waktu timbulnya dismenore yang tidak dapat diprediksi, kurangnya pengetahuan santriwati mengenai cara yang
dapat dilakukan utuk mencegah dismenore pun kurang. Pencegahan terhadap dismenore yang mereka lakukan adalah dengan
melakukan aktivitas. Hal ini sesuai dengan teori dimana salah satu cara yang sangat efektif untuk mencegah dismenore ini adalah dengan melakukan
aktivitas. Olahraga secara teratur seperti berjalan kaki, jogging, berlari, bersepeda, renang atau senam aerobik dapat memperbaiki kesehatan secara
umum dan memperbaiki kesehatan secara umum dan membantu menjaga siklus menstruasi agar teratur Ernawati, Hartiti, dan hadi, 2006 dalam Bahri,
Afirwardi, dan Yusrawati, 2016. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Daley yang menyatakan aktivitas efektif untuk menurunkan dismenore primer
Daley, 2008 dalam Bahri, Afirwardi, dan Yusrawati, 2016.
Penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Prastika 2015 menunjukkan bahwa 68 responden yang berpengetahuan baik didapatkan 48
40 responden berperilaku positif dan 20 16,7 responden berperilaku negatif dalam pencegahan dismenore, sedangkan dari 52 responden yang
berpengetahuan kurang terdapat 16 13,3 responden berperilaku positif dan 36 30 yang berperilaku negatif dalam pencegahan dismenore. Hasil uji
statistik diperoleh P Value = 0,000 dimana nilai tersebut lebih rendah dari nilai α = 0,05 p 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa Ha diterima atau ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang dismenore dengan perilaku pencegahan dismenore. Hasil analisis diperoleh nilai OR =
5,400 2,459- 11,859 artinya pengetahuan remaja putri yang baik tentang dismenore akan berpeluang 5 kali berperilaku positif dalam hal pencegahan
dismenore jika dibandingkan dengan remaja putri dengan pengetahuan yang kurang baik.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu objek tertentu, penginderaan melalui panca
indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, raba dan rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang Overt Behavior, karena tindakan atau perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
tindakan atau perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan Notoadmodjo, 2007 dalam Utami dan Prastika, 2015.
Semakin baik pengetahuan tentang dismenorea yang dimiliki siswi, maka perilaku yang ditunjukkan untuk menangani dismenore juga semakin
baik. Pengetahuan yang baik akan mempengaruhi sikap siswi untuk menangani dismenore dengan tepat. Hal tersebut karena pengetahuan
seseorang tentang sesuatu hal akan mempengaruhi sikapnya. Sikap positif maupun negatif tergantung dari pemahaman individu tentang suatu hal
tersebut, sehingga sikap ini selanjutnya akan mendorong individu melakukan perilaku tertentu pada saat dibutuhkan, tetapi kalau sikapnya negatif, justru
akan menghindari untuk melakukan perilaku tersebut Azwar, 2013 dalam Utami dan Prastika, 2015.
Minimnya pencegahan dismenore yang dilakukan oleh santriwati sangat erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan santriwati mengenai hal
tersebut. Hal ini disebabkan oleh minimnya rasa keingintahuan santriwati serta minimnya informasi yang mereka dapatkan. Peran perawat sangat
dibutuhkan untuk memberikan edukasi terkait apa itu dismenore dan bagaimana pencegahannya.
Tema 5. Dukungan yang diperoleh santriwati saat mengalami dismenore
Remaja dalam menghadapi dan menjalani kehidupannya selalu memerlukan bantuan dan dukungan dari orang-orang sekitarnya. Dukungan
tersebut bisa didapatkan dari orang tua, saudara, orang dewasa dan teman sebaya. Masa remaja merupakan masa krisis karena pada tahap ini mereka
banyak mengalami adanya perubahan pada dirinya, baik dari segi fisik maupun psikologis. Untuk dapat mengatasi masa krisis ini, remaja
membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang-orang sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa saat santriwati mengalami dismenore, mereka mendapatkan dukungan dari orang disekitarnya seperti ibu
dan teman sebayanya. Dukungan yang diterima berupa dukungan emosional, instrumental dan informasional. Bentuk dukungan emosional yang diterima
yaitu lebih ke arah memberikan nasihat serta support, bahwa dismenore itu adalah sebuah proses normal yang umum terjadi pada perempuan. Bentuk
dukungan instrumental yang diberikan yaitu lebih dalam membantu santriwati dalam melaksanakan kegiata sehari-hari seperti mengambilkan makan,
mengambilkan air hangat, membelikan susu dan lain-lain saat santriwati mengalami dismenore dan tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari.
Sedangkan bentuk dukungan informasional lebih kepada pemberian informasi terkait upaya penanganan dismenore seperti disarankan untuk minum air
hangat, minum susu dan istirahat agar nyeri yang dirasakan berkurang. Menurut Gotlieb 1983 dalam Sepfitri 2011 mengatakan bahwa
dukungan sosial terdiri dari informasi verbal atau non-verbal, bantuan yang nyata, atau tingkah laku yang diberikan orang-orang yang dekat dengan
subjek di dalam lingkungan sosialnya dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya.
Dukungan sosial ini diaplikasikan dalam berbagai bentuk, diantaranya berupa dukungan emosional, penghargaan, instrumental dan informasional.
Dukungan emosional ini mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan penghargaan terjadi
lewat ungkapan hormat untuk orang lain, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu. Memberikan bantuan secara nyata
atau langsung kepada subjek termasuk bentuk sebuah dukungan, yakni
dukungan instrumental, sedangkan jika bantuan yang diberikan ini hanya berupa informasi dan saran, maka bantuan tersebut termasuk dalam kategori
bantuan informasional Depkes, 2002 dalam Muttaqin dan Kurniawati, 2008. Penelitian terkait dukungan keluarga pada remaja yang mengalami
dismenore juga dilakukan oleh Hasanah tahun 2010. Penelitian ini berjudul pengaruh terapi akupresur dengan menurunkan intensitas nyeri, dimana
dukungan keluarga juga dikaji lebih lanjut. Namun, pada penelitian ini, dukungan keluarga bukanlah menjadi variabel yang di teliti secara langsung,
namun menjadi variabel perancu yang juga dikaji. Pada penelitian ini proporsi terbesar pada karakteristik dukungan keluarga adalah keluarga
memberikan perhatian pada remaja pada saat mereka mengalami dismenore. Perhatian ini biasanya diberikan oleh ibu, atau pun anggota keluarga yang
lainnya. Pada analisis bivariat, didapatkan bahwa dukungan keluarga pada kedua kelompok penelitian ini tidak berpengaruh terhadap intensitas nyeri
dan kualitas nyeri setelah dilakukan akupresur. Dukungan informasional terkait dismenore dalam penelitian ini
didapatkan dari seorang ibu, guru, dan teman sebaya satu pondok. Selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari, Metusala dan Suryanto
2010 menunjukkan bahwa sebagian remaja putri lebih menyukai mencari informasi tentang dismenore pada keluarga dan teman wanita 91,1
dibandingkan dengan informasi dari dokter 3,5. Mereka juga mencari informasi dari sumber-sumber lain seperti majalah, koran ataupun internet
5,4. Namun hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Purba, Rompas dan Krundeng 2014 mengatakan bahwa sumber
informasi yang diperoleh remaja putri tentang dismenore dari paparan media yaitu sebanyak 29 orang 43,9, orang tua sebanyak 22 orang 33,3,
tenaga kesehatan sebanyak 8 orang 12,1 dan teman sebanyak 7 orang 10,6.
Pencarian dukungan sosial ini termasuk salah satu mekanisme koping yang dapat dilakukan, dimana hal ini sesuai dengan teori mekanisme koping
yang diusung oleh Lazarus dan Folkman 1984 dalam Muthoharoh 2010 Koping menurut Lazarus dan Folkman adalah sebuah upaya perubahan
kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengelola tekanan internal dan eksternal yang dianggap melebihi batas kemampuan individu. Koping dapat
dibagi dalam dua jenis yaitu koping berfokus pada masalah dan koping berfokus pada emosi. Salah satu komponen koping berfokus pada masalah
adalah pencarian dukungan sosial. Hasil penelitian ini sejalan dengan studi kualitatif yang dilakukan oleh
Aziato, Dedey dan Lamptey pada tahun 2015 mengenai mekanisme koping saat dismenore, pada penelitian tersebut didapatkan bahwa salah satu bentuk
koping yang dilakukan yaitu dengan pencarian dukungan sosial. Dukungan sosial yang didapatkan partisipan dalam penelitian tersebut berasal dari teman
sebayanya. Bentuk dukungan tersebut berupa dukungan instrumental, dimana teman sebaya dari partisipan, membantu untuk mencuci pakaian yang kotor.
Bukan hanya dukungan instrumental saja, namun partisipan juga mendapatkan dukungan emosional dari teman sebayanya. Dukungan tersebut
berupa sentuhan hangat dan motivasi, agar partisipan tetap semangat dalam menghadapi nyeri yang ia alami. Dukungan dan perhatian dari ibu, anggota
keluarga, teman dan lainya sangatlah penting bagi remaja yang mengalami dismenore, karena kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan rasa
takut dan mengurangi nyeri yang dirasakan Potter Perry, 1997 dalam Hasanah, 2010.
Santriwati dalam penelitian ini mendapat dukungan dari ibu, teman sebaya serta guru di sekolah. Sosok yang sangat berperan penting dalam
pemberian dukungan dalam penelitian ini yaitu teman satu pondok, mengingat sebagian besar lebih banyak mereka habiskan di pondok pesantren
dari pada di rumah. Dukungan yang diperoleh ini sangat berperan penting terhadap santriwati dalam upaya meminimalisir dampak yang ditimbulkan
oleh dismenore.
Tema 6. Mitos-mitos Seputar Dismenore yang dipercayai oleh santriwati
Mitos berasal dari kata mytos bahasa Yunani yang bercerita cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang Dhavomony, 1995 dalam Mufiani, 2014.
Menurut KBBI 2016 mitos adalah cerita tentang suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul
semesta alam, manusia dan bangsa tersebut, yang diungkapkan secara ghaib. Sedangkan menurut Mircea Eliade bahwa mitos merupakan kebenaran
sejarah yaitu “ a myth is true history or what came to pass at the beginning of time, and one
which provides the pattern for human behaviour”. Sehingga baik kisah itu nyata, legenda maupun kisah yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya seperti dongeng serta semua cerita yang mengisahkan tentang masa lalu disebut mitos apabila kisah tersebut diyakini dan dapat
mempengaruhi perilaku manusia Elliade, 1995 dalam Mufiani, 2014.
Minimnya pengetahuan dan wawasan masyarakat menjadikan mereka berpola pikir yang mengada-ada, yang kemudian berkembang menjadi mitos.
Meskipun secara medis mitos yang berkembang itu tidak alamiah, namun kenyataannya banyak masyarakat yang masih percaya dengan berita yang
belum tentu kebenarannya Andira, 2010 dalam Mufiani, 2014. Hasil studi ini menunjukkan bahwa salah satu mitos terkait dismenore
adalah mengkonsumsi obat penurun nyeri dapat menimbun dalam tubuh. Hal ini kurang sesuai dengan teori yang ada dimana obat yang masuk ke dalam
tubuh akan diabsorpsi oleh usus halus dan akhirnya masuk ke dalam hati. Obat akan ikut sirkulasi ke dalam jaringan, kemudian berinteraksi dengan sel
dan melakukan sebuah perubahan zat kimia hingga menjadi aktif. Obat yang tidak bereaksi akan disekresikan. Setelah obat mengalami metabolisme atau
pemecahan, akan terdapat sisa zat yang tidak dapat dipakai Damayanti, Pitriani, dan Ardhiyanti, 2015.
Sisa zat ini tidak bereaksi kemudian keluar melalui ginjal dalam bentuk urine dari intestinal dalam bentuk feses, dan dari paru-paru dalam
bentuk udara. Hal ini dapat disimpulkan bahwa obat yang masuk dalam tubuh, sisa-sisa zat nya akan dikeluarkan melalui sistem pembuangan dan
tidak tertimbun di dalam tubuh. Namun disisi lain, mitos tersebut ada benarnya, dimana obat yang kita konsumsi juga memiliki efek samping yang
tidak diharapkan, dan bisa membahayakan seperti keracunan, pengobatan dan lain-lain Damayanti, Pitriani, dan Ardhiyanti, 2015.
Mitos mengenai penggunaan obat-obatan penurun nyeri berbahaya untuk remaja dan lebih baik didiamkan, kurang sesuai dengan teori yang ada
dimana jika penggunaan obat-obat-an sesuai dengan dosis yang dianjurkan, maka obat tersebut akan memberikan efek terapi sesuai dengan yang kita
inginkan. Namun, jika dosis yang dikonsumsi melebihi dosis maksimal, maka obat tersebut akan berbahaya dan menimbulkan efek toksik atau keracunan
Tjay dan Rahardja, 2007. Dismenore yang dialami oleh remaja juga sebaiknya mendapatkan penanganan yang secepatnya, dimana jika dismenore
ini diabaikan, dismenore ini akan menjadi suatu hal yang berbahaya, karena kondisi ini merupakan salah satu penyebab munculnya gejala endometriosis
Anwar, 2005 dalam Novia dan Puspitasari, 2008. Marcdante dan Kliegman 2015 dalam bukunya menjelaskan bahwa
terapi farmakologi yang digunakan untuk dismenore primer lebih berfokus pada penyebab dari dismenore itu sendiri, yaitu peningkatan aktivitas
prostaglandin. Terapi lini pertama adalah menggunakan NSAIDs. Penggunaan NSAIDs untuk menurunkan nyeri lebih optimal jika dikonsumsi
sebelum atau sesaat setelah menstruasi dimulai. Penggunaan NSAIDs ini biasanya kurang lebih 2-3 hari. Jika dalam waktu 2-3 hari., NSAIDs tidak
bisa mengurangi nyeri, maka NSAIDs akan digantikan dengan long-acting reversible contraceptives LARCs. Berikut terapi farmakologi untuk
dismenore primer yang diperbolehkan dikonsumsi tanpa resep dokter yaitu ibuprofen atau naproxen setiap 4 jam sekali, sedangkan obat-obatan yang
boleh dikonsumsi namun harus menggunakan resep dokter yaitu : ibuprofen 400 mg PO 4 x sehari, naproxen 250-500 mg PO 2 x sehari, asam mefenamat
250 mg PO 4 x sehari atau 500 mg PO 3 x sehari, diklofenak 50-100 mg PO 3 x sehari.
Menurut penelitian Khotimah, Kimantoro dan Cahyawati 2014 mitos dismenore selain dilarang mengkonsumsi obat-obatan penurun nyeri, yaitu
adanya kepercayaan bahwa dismenore akan sembuh, jika setiap menstruasi istirahat atau tidur. Hal ini sesuai dengan teori, dimana istirahat dapat
membantu merilekskan otot-otot dan sistem saraf. Semakin lama seseorang tersebut beristirahat, maka tubuh akan terasa lebih rileks. Istirahat dan tidur
merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi oleh semua orang. Istirahat dan tidur yang cukup, akan membuat tubuh baru dapat berfungsi
secara optimal. Istirahat berarti suatu keadaan tenang, relaks, tanpa tekanan emosional, dan bebas dari perasaan gelisah Asmadi, 2008 dalam
Mustaqimah, Widayati dan Pranowowati, 2013. Mitos lain terkait dismenore, mengatakan bahwa dismenore akan
benar-benar hilang setelah wanita tersebut menikah. Hal tersebut kurang sesuai dengan teori dimana, sensasi nyeri saat menstruasi akan berkurang atau
bahkan hilang saat seorang perempuan tersebut sudah pernah hamil dan melahirkan. Perempuan yang hamil biasanya terjadi alergi yang berhubungan
dengan saraf yang menyebabkan adrenalin mengalami penurunan, serta menyebabkan leher rahim melebar sehingga sensasi nyeri berkurang bahkan
hilang Lestari, 2013. Peran tenaga kesehatan khususnya perawat sangat dibutuhkan untuk memberikan edukasi terkait dismenore yang terjadi pada
remaja. Edukasi ini bertujuan agar remaja mampu memahami dismenore secara utuh dan mampu menelaah mitos-mitos yang beredar di lingkungan
sekitar mereka.