Mekanisme Koping LANDASAN TEORI

Roy mengidentifikasikan input sebagai stimulus yang dapat menimbulkan respon. Ada tiga kategori input yaitu fokal, kontekstual, dan residual. Stimulus fokal adalah stimulus yang langsung berhadapan dengan individu stimulus internal, sedangkan stimulus kontekstual adalah semua stimulus yang diterima oleh individu baik internal atau eksternal yang mempengaruhi keadaan stimulus fokal yang dapat diobservasi dan diukur. Stimulus residual adalah stimulus tambahan baik dari internal dan eksternal, yang mempengaruhi stimulus fokal, namun tidak dapat diobservasi dan diukur Alligod, 2010. Seseorang tidak akan mampu merespon stimulus yang ada tanpa adanya kemampuan adaptasi. Roy mengkatagorikan kemampuan adaptasi ini menjadi dua bagian yaitu mekanisme koping regulator dan kognator. Mekanisme koping regulator merupakan respon sistem saraf, kimiawi dan endokrin. Sedangkan mekanisme koping kognator berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi kognitif dan emosi Alligod, 2010. Aspek terakhir pada teori adaptasi Roy adalah output. Output dari suatu sistem adaptasi adalah perilaku yang dapat diamati, diukur, atau dapat dikemukakan secara subjektif. Output pada sistem ini dapat berupa respon adaptif atau maladaptif Asmadi, 2008. Schwarzer dan Taubert 2002 mengidentifikasi empat jenis koping yaitu reactive, anticipatory, preventive and proactive coping yang masing- masing dibedakan oleh waktu di mana stres sasaran terjadi. Reactive coping ini dapat didefinisikan sebagai upaya untuk menghadapi sesuatu yang terjadi pada saat ini atau masa lampau. Reactive coping ini bisa berupa koping yang berfokus pada masalah, berfokus pada emosi, dan berfokus pada hubungan sosial. Anticipatory coping adalah suatu upaya untuk menghadapi suatu stresor yang diprediksikan terjadi dalam waktu dekat. Dimana, jika stresor tersebut tidak diatasi, ada kemungkinan di kemudian hari, stresor tersebut dapat menimbulkan dampak pada kehidupan sehari-hari. Preventive coping adalah upaya untuk menghadapi suatu stresor yang dipediksikan terjadi dalam jangka waktu panjang. Individu dalam preventive coping ini akan mempertimbangkan suatu kondisi atau peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari. Proactive coping dapat dianggap sebagai usaha individu untuk membangun sumber- sumber yang memfasilitasi seseorang dalam mencapai tujuan challenging goals dan pertumbuhan personal personal growth. Individu dalam proactive coping ini memiliki sebuah visi. Mereka melihat resiko, tuntutan, dan peluang di masa depan yang jauh, tetapi mereka tidak menilai itu semua sebagai ancaman potensial, bahaya atau kerugian. Sebaliknya mereka memandang situasi tersebut sebagai tantangan pribadi. Koping ini menjadi manajemen pencapaian tujuan bukan manajemen resiko Schwarzer dan Taubert, 2002 dalam Schwarzer, 2013. Dismenore merupakan salah satu proses fisiologis yang tidak dapat dicegah dan dialami oleh perempuan saat menstruasi yang menyebabkan berbagai dampak pada kehidupan sehari-hari. Individu akan melakukan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan yang terjadi saat dismenore. Individu tersebut akan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi jika mekanisme koping yang dilakukan berhasil Carlson, 1994 dalam Nursalam dan Kurniawati, 2007. Penelitian yang dilakukan Hartati dkk 2012 tentang mekanisme koping dismenore menunjukkan bahwa partisipan memilih untuk istirahat, distraksi, kompres hangat, minum air hangat, mandi air hangat, memakai minyak kayu putih atau koyo, minum air putih, mengkonsumsi obat- obatan serta jamu untuk mengurangi nyeri saat menstruasi. Penelitian yang lain juga dilakukan oleh Aziato dkk 2015 mengenai managemen penanganan dismenore dan mekanisme koping yang digunakan saat dismenore menunjukkan hasil bahwa partisipan menggunakan pengobatan herbal, kompres panas, olahraga dan mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk mengurangi nyeri dismenore yang ia rasakan. Mekanisme koping yang mereka gunakan yaitu dengan merencanakan aktivitas-aktivitas sebelum nyeri itu terjadi, menanamkan mindset bahwa nyeri dapat ditangani dan mencari dukungan sosial serta spiritual.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja atau adolescent adalah periode perkembangan, di mana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa Potter Perry, 2005. Remaja juga diartikan sebagai suatu fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu, dimana terjadi transisi dari anak ke dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial. Rentang usia remaja menurut Potter Perry 2005 adalah 13-20 tahun, sedangkan menurut WHO 2015, rentang usia remaja yaitu mulai dari usia 10-19 tahun. 2. Tahapan Remaja Narendra dkk 2010 dalam bukunya Tumbuh Kembang Anak dan Remaja menyebutkan bahwa masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan yang masing-masing ditandai dengan perubahan bioologis, psikologis dan sosial, yaitu : a. Remaja Awal 10-14 tahun Remaja awal adalah periode dimana masa anak telah terlewati dan pubertas pun dimulai. Pada anak perempuan biasanya terjadi antara umur 10-13 tahun sedangkan anak laki- laki 10,5-15 tahun. Pada tahap ini mulai terjadi perubahan, baik dari segi fisik, kognitif dan psikososial. Perubahan fisik yang terjadi yaitu munculnya ciri-ciri seks primer dan sekunder Narendra, dkk, 2010. Remaja tahap awal hanya memiliki pemahaman yang samar tentang dirinya dan tidak mampu mengaitkan perilaku yang mereka lakukan dengan konsekuensinya. Pada tahap ini juga remaja sudah mulai berfikir konkret, tertarik dengan lawan jenis dan mengalami konflik dengan orang tua Bobak, 2005. b. Remaja Menengah 15-16 tahun Remaja menengah ini bergumul dengan perasaan tergantung berbanding dengan mandiri karena kawan-kawan sebaya menggantikan posisi kedua orang tua. Masalah self image jati diri juga cenderung muncul pada remaja yang menganggap pubertas adalah sebuah masalah, dimana mereka menganggap perubahan yang terjadi adalah suatu hal yang memalukan Narendra, dkk., 2010. c. Remaja Akhir 17-20 tahun Remaja tahap akhir mampu memahami dirinya dengan lebih baik dan dapat mengembangkan pemikiran abstrak Bobak, 2005. Hubungan dengan orang tua mulai stabil ke arah tingkat interaksi yang lebih harmonis dan demokratis. Pergaulan pada kelompok sebaya mulai mengarah kepada membina keintiman dengan lawan jenis. Hubungan dengan teman menjadi lebih santai, tidak terlalu takut dengan adanya perbedaan diantara teman Narendra, dkk., 2010. 3. Tugas Perkembangan Remaja Menurut Soetjiningsih 2007 setiap tahap perkembangan akan terdapat tantangan dan kesulitan-kesulitan yang membutuhkan suatu keterampilan untuk mengatasinya. Pada masa remaja, mereka dihadapkan kepada dua tugas utama, tugas yang pertama yaitu mencapai kebebasan atau kemandirian dari orang tua. Pada masa remaja sering terjadi adanya kesenjangan dan konflik antara remaja dengan orang tuanya. Pada saat ini ikatan emosional menjadi berkurang dan remaja sangat membutuhkan kebebasan emosional dari orang tua, misalnya dalam hal memilih teman ataupun melakukan aktifitas. Sifat remaja yang ingin memperoleh kebebasan emosional dan sementara orang tua yang masih ingin mengawasi anaknya dapat menimbulkan konflik diantara mereka. Pandangan umum masyarakat yang menilai bahwa remaja menggunakan konflik untuk mencapai otonomi dan kebebasan dari orang tua tidak sepenuhnya benar. Terdapat suatu pendekatan yang menarik tentang bagaimana remaja mencari kebebasan dan otonomi. Otonomi adalah pengaturan diri atau self regulation sedangkan kebebasan adalah suatu kemampuan untuk membuat keputusan dan mengatur perilakunya sendiri. Melalui kedua proses tersebut, remaja akan belajar untuk melakukan sesuatu dengan tepat. Mereka akan mengevaluasi kembali aturan, nilai dan batasan-batasan yang telah diperoleh dari keluarga maupun sekolah. Remaja dalam perkembangannya menuju kedewasaan, berangsur-angsur mengalami perubahan yang membutuhkan dua

Dokumen yang terkait

Gambaran Kebutuhan Perawatan Maloklusi Berdasarkan Malalignment Index Pada Santriwati Pondok Pesantren Modern Dengan Pondok Pesantren Tradisional;

0 7 17

Gambaran Kebutuhan Perawatan Maloklusi Berdasarkan Occlusion Feature Index (OFI) pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Qodiri dan Pondok Pesantren An-Nuriyah; Shovia Vela Sita, 06161010101

0 4 17

Pengaruh kompetensi dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan yayasan Az-Zahra di Pondok Petir, Sawangan, Depok.

2 9 162

Pondok Pesantren sebagai lembaga : studi kasus pondok pesantren Nurul Huda Assuriyah Bojong Sawangan Depok

0 16 84

Hubungan Tingkat Stres Dengan Gejala Gangguan Pencernaan Pada Santriwati Pondok Pesantren Sirojul Mukhlasin II Payaman Magelang Tahun 2015

1 8 160

Hubungan tingkat stres dengan gejala gangguan pencernaan pada santriwati Pondok Pesantren Sirojul Mukhlasin Ii Payaman Magelang Tahun 2015

2 46 160

SWAMEDIKASI DISMENORE PADA SANTRI PUTRI PONDOK PESANTREN Swamedikasi Dismenore pada Santri Putri Pondok Pesantren Tahfidz Wa Ta’limil Qur’an Masjid Agung Surakarta.

0 1 16

PELANGGARAN TATA TERTIB SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN MTI CANDUANG (Studi Tentang Faktor Penyebab Terjadinya Perilaku Menyimpang Di Kalangan Santriwati Pondok Pesantren).

2 16 36

Komparasi Sistem Pembelajaran Berbasis Paham Keagamaan pada Pondok Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah di Kota Makassar - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 299

PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS VII PONDOK PESANTREN AN-NAHDLAH LAYANG MAKASSAR

0 0 51