Pengaruh Pola Pernafasan Normal Dan Pernafasan Melalui Mulut Pada Maloklusi Klas II Divisi 1

(1)

PENGARUH POLA PERNAFASAN NORMAL DAN

PERNAFASAN MELALUI MULUT PADA MALOKLUSI KLAS II

DIVISI 1

TINJAUAN ANALISIS MODEL

T E S I S

OLEH

DINI RETTYFINA

Nim : 077028001

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS ORTODONSIA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH POLA PERNAFASAN NORMAL DAN

PERNAFASAN MELALUI MULUT PADA MALOKLUSI KLAS II

DIVISI 1

TINJAUAN ANALISIS MODEL

T E S I S

Untuk memperoleh gelar Spesialis Ortodonti (Sp Ort) dalam Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ortodonsia

pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

OLEH

DINI RETTYFINA 077028001

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS ORTODONSIA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(3)

PERSETUJUAN TESIS

Judul Tesis : PENGARUH POLA PERNAFASAN NORMAL DAN PERNAFASAN MELALUI MULUT PADA MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1

TINJAUAN ANALISIS MODEL

Nama Mahasiswa : DINI RETTYFINA

Nomor Induk Mahasiswa : 077028001

Program Spesialis : PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI

SPESIALIS ORTODONSIA

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Amalia Oeripto, drg., MS.,Sp.Ort(K) Prof.Nazruddin, drg.,C.Ort.,PhD.,Sp.Ort

Ketua Program PPDGS-1 Ortodonti

NIP : 19481230 197802 2 002 Nurhayati Harahap, drg., Sp.Ort(K)


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 24 November 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Penguji I : Amalia Oeripto, drg., MS., Sp. Ort(K) Penguji II : Prof. Nazruddin, drg., C. Ort., PhD., Sp. Ort Penguji III : Erna Sulistyawati,drg.,Sp.Ort(K)


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa yang telah melimpahkan rahmat dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis di Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ortodonsia sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Ortodonti di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Nazruddin,drg.,C.Ort.,PhD.,Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing anggota dan tim penguji yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Nurhayati Harahap, drg., Sp.Ort(K) selaku Kepala Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Amalia Oeripto , drg.,MS., Sp.Ort(K), selaku dosen pembimbing dan tim penguji yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Erna Sulistiyawati, drg., Sp. Ort (K), selaku tim penguji yang membantu penulis dalam mennyempurnakan tesis ini.


(6)

5. Muslim Yusuf , dg., Sp.Ort(K) selaku tim penguji yang turut menyempurnakan tesis ini.

6. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, atas bimbingannya dalam analisa statistik hasil penelitian.

7. Orangtua tercinta Th. Dickson Panggabean dan Retno Ds dan ananda tercinta E D Haryobimo serta adik-adik tercinta Donny Retson, SE dan Ir.Dino Ramson atas dukungan dan kasih sayangnya.

8. Teman-teman terbaik yang telah memberikan support Romy, Lusi, Yerzi, Mimi, Ulfa, Frans, Ira, Dewi S, Dewi N Tarigan.

9. Adik-adik yunior yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mohon maaf apabila ada kesalahan selama melakukan penelitian dan penyusunan tesis ini.

Medan, 24 November 2013 Penulis

NIM: 077028001 ( Dini Rettyfina )


(7)

Abstrak

Pendahuluan : adanya perbedaan pendapat tentang anatomi pada pasien yang bernafas melalui mulut dan bernafas normal atau melalui hidung maka penulis membandingkan panjang lengkung anterior maksila dan mandibula, tinggi palatum, lebar interkaninus,

interpremolar dan intermolar pada maksila dan mandibula. Metode : Disain penelitian

dengan perlakuan obsevasional dengan metode pengukuran cross sectional. Data diolah secara statistik dan dianalisa dengan uji t berpasangan. Hasil : Nilai rata-rata lebar interkaninus pada pasien yang bernafas normal 34,10 mm sedangkan pada pasien yang berrnafas melalui mulut 31,20mm. Nilai rata-rata lebar interpremolar pada pasien yang bernafas normal 41,45 mm dan yang bernafas melaui mulut 36,91mm. Nilai rata-rata lebar intermolar pada pasien yang bernafas melalui mulut 51,14 mm dan yang 46,32 mm nilai ini pada maksila. Pada mandibula nilai rata-rata lebar interkaninus pada pasien yang bernafas normal 29,26 mm sedangkan pada pasien yang bernafas melalui mulut 26,47 mm. Nilai rata-rata lebar interpremolar pada pasien yang bernafas normal 37,37 mm dan yang bernafas

melalui mulut 35,12 mm. Kesimpulan : Lebar interkaninus pada pasien yang bernafas

melalui hidung lebih besar 2,081 mm ( ρ<0,005) dari pasien yang bernafas melalui mulut.

Lebar interpremolar maksila pada pasien yang bernafas melalui hidung lebih besar 4,541 mm

(ρ<0,005) dari pasien yang berrnafas melalui mulut. Lebar intermolar maksila pada pasien yang bernafas normal lebih besar 4,819 mm (ρ<0,005) dari pasien yang bernafas melalui mulut. Lebar interkaninus mandibula pada pasien yang bernafas normal lebih besar 2,791 mm dari pasien yang bernafas melalui mulut.


(8)

PERNYATAAN

PENGARUH POLA PERNAFASAN NORMAL DAN PERNAFASAN MELALUI MULUT PADA MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1

TINJAUAN ANALISIS MODEL

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 24 November 2013

( drg. Dini Rettyfina )


(9)

DAFTAR ISI

Halaman PERSETUJUAN ---

DAFTAR ISI --- i

DAFTAR GAMBAR --- iii

DAFTAR TABEL --- iv

DAFTAR LAMPIRAN --- v

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang --- 1

1.2 Rumusan Masalah --- 2

1.3 Tujuan Penelitian --- 3

1.4 Hipotesis --- 4

1.5 Manfaat Penelitian --- 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan --- 5

2.2 Pola Pernafasan Normal --- 6

2.3 Pola Pernafasan Abnormal --- 8

2.4 Efek Bernafas Melalui Mulut Terhadap Dentokraniofasial --- 9

2.5 Maloklusi Klas II Divisi 1 --- 11

2.6 Kerangka Teori --- 14


(10)

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian --- 15

3.2 Tempat dan Waktu --- 15

3.3 Populasi dan Sampel --- 15

3.4 Kriteria Sampel --- 16

3.4.1 Kriteria inklusi --- 16

3.4.2 Kriteria eksklusi --- 17

3.5 Identifikasi Variabel Penelitian --- 17

3.5.1 Hubungan antar variabel --- 17

3.5.2 Variabel bebas --- 18

3.5.3 Variabel tergantung --- 18

3.5.4 Variabel terkendali --- 18

3.5.5 Variabel tidak terkendali --- 18

3.6 Defenisi Operasional Variabel Penelitian --- 18

3.7 Alat dan Bahan --- 20

3.8 Cara Penelitian --- 21

3.9 Manajemen dan Analisis Data --- 22

BAB 4. HASIL PENELITIAN --- 24

4.1 Hasil dan Analisa Data --- 24

BAB 5. PEMBAHASAN --- 28


(11)

BAB 6. KESIMPULAN --- 30

DAFTAR PUSTAKA --- 32 LAMPIRAN --- 35


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi hidung --- 6

Gambar 2. Pandangan sagital bernafas normal --- 7

Gambar 3. Pandangan koronal bernafas normal --- 7

Gambar 4. Pandangan sagital dan koronal bernafas melalui mulut -- 8

Gambar 5. Alat-alat yang dipakai pada penelitian --- 21

Gambar 6. Garis pharynx atas --- 22

Gambar 7. Titik-titik yang akan diukur pada model --- 23


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Nilai Rata-rata Variabel pada maksila--- 24 Tabel 2. Nilai Rata-rata Vaeiabel pada mandibula --- 25 Tabel 3. Data Hasil Pengukuran Pasien yang Bernafas


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Penelitian --- 34 Lampiran 2. Kerangka Teori --- 35 Lampiran 3. Kerangka Konsep --- 36 Lampiran 4. Data Statistik --- 37 - 39


(15)

Abstrak

Pendahuluan : adanya perbedaan pendapat tentang anatomi pada pasien yang bernafas melalui mulut dan bernafas normal atau melalui hidung maka penulis membandingkan panjang lengkung anterior maksila dan mandibula, tinggi palatum, lebar interkaninus,

interpremolar dan intermolar pada maksila dan mandibula. Metode : Disain penelitian

dengan perlakuan obsevasional dengan metode pengukuran cross sectional. Data diolah secara statistik dan dianalisa dengan uji t berpasangan. Hasil : Nilai rata-rata lebar interkaninus pada pasien yang bernafas normal 34,10 mm sedangkan pada pasien yang berrnafas melalui mulut 31,20mm. Nilai rata-rata lebar interpremolar pada pasien yang bernafas normal 41,45 mm dan yang bernafas melaui mulut 36,91mm. Nilai rata-rata lebar intermolar pada pasien yang bernafas melalui mulut 51,14 mm dan yang 46,32 mm nilai ini pada maksila. Pada mandibula nilai rata-rata lebar interkaninus pada pasien yang bernafas normal 29,26 mm sedangkan pada pasien yang bernafas melalui mulut 26,47 mm. Nilai rata-rata lebar interpremolar pada pasien yang bernafas normal 37,37 mm dan yang bernafas

melalui mulut 35,12 mm. Kesimpulan : Lebar interkaninus pada pasien yang bernafas

melalui hidung lebih besar 2,081 mm ( ρ<0,005) dari pasien yang bernafas melalui mulut.

Lebar interpremolar maksila pada pasien yang bernafas melalui hidung lebih besar 4,541 mm

(ρ<0,005) dari pasien yang berrnafas melalui mulut. Lebar intermolar maksila pada pasien yang bernafas normal lebih besar 4,819 mm (ρ<0,005) dari pasien yang bernafas melalui mulut. Lebar interkaninus mandibula pada pasien yang bernafas normal lebih besar 2,791 mm dari pasien yang bernafas melalui mulut.


(16)

PERNYATAAN

PENGARUH POLA PERNAFASAN NORMAL DAN PERNAFASAN MELALUI MULUT PADA MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1

TINJAUAN ANALISIS MODEL

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 24 November 2013

( drg. Dini Rettyfina )


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Maloklusi Klas II menarik bagi ortodontis karena merupakan kasus yang paling banyak pada perawatan ortodonti. Pada individu dengan maloklusi Klas II, terdapat diskrepansi anteroposterior antara gigi maksila dan mandibula, yang dapat disertai atau tidak disertai dengan diskrepansi skeletal.1,2

Kelainan pertumbuhan wajah dapat mengakibatkan kelainan dentofasial dalam arah anteroposterior yang mempengaruhi fungsi rongga mulut, sehingga membuat seseorang mengalami kesulitan dalam pernafasan, pengunyahan, penelanan mengigit dan berbicara. 3 Demikian juga sebaliknya perubahan atau adaptasi fungsi rongga mulut dapat menjadi faktor yang mempengaruhi pola pertumbuhan dan perkembangan seperti halnya fungsi pernafasan sehingga menyebabkan terjadinya maloklusi.3

Pernafasan normal adalah pernafasan melalui hidung dimana pada saat bernafas mulut dalam keadaaan tertutup, sedangkan pernafasan mulut dapat menyebabkan efek serius terhadap perkembangan tulang rangka wajah dan oklusi gigi akibat terjadinya penyimpangan gaya otot lateral, bukal dan lingual dari keadaan normal.4,5,6,7 Walau terdapat perhatian yang cukup besar pada masalah ini, belum ada pendapat yang seragam mengenai hubungan kebiasaan bernafas melalui mulut dan perkembangan maloklusi.


(18)

Pola pernafasan melalui mulut menurut Singaraju GS dan kawan-kawan dapat mengakibatkan terjadinya palatum yang dalam, lengkung maksila yang sempit dan mandibula rotasi ke belakang.8 Hal ini merupakan ciri-ciri maloklusi Klas II divisi I. Joshi menemukan Klas II divisi 1 lebih umum dalam kasus dengan pernafasan mulut. Akan tetapi Brash dan Hartsook berpendapat bahwa teori penekanan palatum ke atas secara mekanis melalui kompresi pipi saat pernafasan mulut tidak dapat diterima karena tidak didukung bukti yang cukup.4 Selain pola pernafasan melalui mulut menurut Qamar R Ch dan kawan-kawan maloklusi Klas II divisi 1 juga dapat disebabkan oleh kebiasaan menggigit jari dan menjulurkan lidah.9 Linder-Aronson dan Backstrom tidak menemukan perbedaan signifikan pada overjet, overbite, lebar lengkung gigi dan persentase distribusi oklusi pada orang yang bernafas melalui mulut dan melalui hidung. 4

Karena adanya perbedaan pendapat ini maka penulis ingin membandingkan tinggi palatum , panjang lengkung anterior maksila dan mandibula pada pola pernafasan yang berbeda yaitu bernafas melalui mulut dan bernafas normal atau melalui hidung pada maloklusi Klas II divisi 1.

1.2 Rumusan Masalah

- Apakah ada perbedaan tinggi palatum pada pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 pada pola pernafasan melalui hidung dengan mulut ?

- Apakah ada perbedaan panjang lengkung anterior maksila dan mandibula pada maloklusi Klas II divisi 1 pada pola pernafasan melaui hidung dan mulut ?


(19)

- Apakah ada perbedaan lebar interkaninus pada pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan melalui hidung dan mulut pada maksila dan mandibula ?

- Apakah ada perbedaan lebar interpremolar pada pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan melalui hidung dan mulut pada maksila dan mandibula ?

- Apakah ada perbedaan lebar intermolar pada pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan melalui hidung dan mulut pada maksila dan mandibula?

1.3 Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui perbedaan tinggi palatum pada pasien Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan yang berbeda (mulut / hidung).

- Untuk mengetahui perbedaan panjang lengkung anterior maksila dan mandibula

pada pasien Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan yang berbeda (mulut / hidung).

- Untuk mengetahui perbedaan lebar interkaninus pada pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan melalui hidung dan mulut pada maksila dan mandibula.

- Untuk mengetahui perbedaan lebar interpremolar pada pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan melalui hidung dan mulut pada maksila n mandibula.


(20)

- Untuk mengetahui perbedaan lebar intermolar pada pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan melalui hidung dan mulut pada maksila dan mandibula.

1.4 Hipotesis

- Ada perbedaan tinggi palatum pada pasien Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan yang berbeda (mulut / hidung).

- Ada perbedaan panjang lengkung anterior maksila dan mandibula pada pasien Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan yang berbeda (mulut / hidung).

- Ada perbedaan lebar interkaninus pada pasien Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan berbeda (mulut / hidung) pada maksila dan mandibula.

- Ada perbedaan lebar interpremolar pada pasien Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan berbeda (mulut / hidung) pada maksila dan mandibula.

- Ada perbedaan lebar intermolar pada pasien Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan berbeda (mulut / hidung) pada maksila dan mandibula.

1.5 Manfaat Penelitian

- Membantu dalam menegakkan diagnosa ortodonti - Membantu dalam menegakkan rencana perawatan - Sebagai informasi ilmiah dalam bidang ortodonti - Sebagai informasi ilmiah dalam bidang THT


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Pernafasan

Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat hidung.10,11 Hidung mempunyai komponen-komponen seperti tulang hidung, vomer, dan dasar perpendikular tulang etmoidalis dengan spina nasalis anterior. Tulang hidung berhubungan dengan prosesus frontal yang disebut sutura frontonasalis.11,12

Pada hidung terdapat rongga yang disebut rongga hidung. Rongga hidung memiliki dasar, dua dinding lateral dan pemisah garis tengah yang disebut septum nasi. Septum nasi membagi rongga hidung menjadi kiri dan kanan. Dasar rongga hidung berupa palatum durum yang merupakan pemisah antara rongga mulut dengan rongga hidung. Di belakang rongga hidung terdapat nasopharynx, dan

oropharynx. 11,12

Nasopharynx membentuk bagian teratas dari sistem perrnafasan, terdapat di belakang lubang nasal dan di atas palatum lunak.10,11. Di bagian anterior, nasopharynx berhubungan dengan rongga hidung dan di bagian inferior nasopharynx

berhubungan dengan oropharynx. Oropharynx disebut juga mesopharynx dengan batas atasnya palatum mole, batas bawah dengan tepi atas epigloti, ke depan dengan rongga mulut sedangkan ke belakang dengan vertebra servikalis.11,13 (Gambar 1)


(22)

Gambar 1. Anatomi hidung 14

2.2 Pola Pernafasan Normal

Pola pernafasan normal adalah bernafas melalui hidung. Pada saat menarik nafas udara masuk melalui nares anterior lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasopharynx sehingga aliran udara membentuk lengkungan atau arkus. Pada saat menghembuskan nafas udara masuk melalui konka dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti menghirup udara. Tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasopharynx.8,11 (Gambar 2 dan 3)


(23)

Gambar 2. Pandangan sagital bernafas normal melalui hidung. Pada kondisi normal udara dihirup melalui hidung dan sangat jarang yang melalui kavitas oral serta terdapat penutupan bibir yang rapat.8

Gambar 3. Pandangan koronal bernafas normal melalui hidung. Pada kondisi normal lidah berada di cekungan palatal. Ini menetralkan mekanisme buksinator dan gigi ditahan di daerah netral antara lidah dan pipi, sehingga gigi tetap stabil. 8


(24)

2.3 Pola Pernafasan Abnormal

Pola pernafasan abnormal adalah pola bernafas tidak melalui hidung melainkan bernafas melalui mulut. Pola bernafas melalui mulut bisa total atau hanya sebahagian, terus menerus atau intermiten. Bila jalan nafas tersumbat sebahagian maka bernafas melalui hidung akan diikuti dengan bernafas melalui mulut juga. Pernafasan total melalui mulut terjadi jika jalan nafas benar-benar tersumbat. 5,11,14

Bernafas melalui mulut dapat disebabkan karena kebiasaan atau adanya gangguan fungsi hidung. Gangguan fungsi hidung antara lain adanya polip, atau pembesaran adenoid dan tonsil. Untuk mencegah iritasi dari adenoid dan tonsil, lidah menempati posisi anterior dan inferior. Posisi ini mempermudah pertukaran udara melalui kavitas oral, sehingga pasien terpaksa bernafas melalui mulut. 16 (Gambar 4)

Gambar 4 Pandangan sagital dan koronal bernafas melalui mulut.

Gambar 4 :

A. Lidah yang ke anterior mendorong gigi-gigi atas dan bawah ke labial sehingga menimbulkan overjet dan diastema pada gigi-gigi anterior atas dan bawah. Mandibula berotasi ke belakang dan ke bawah untuk menyediakan tempat bagi posisi lidah yang baru. Sebagai akibatnya tinggi wajah bawah meningkat. 8

B. Lidah terletak di bawah dan tercakup dalam mandibula. Aksi buksinator tidak diimbangi oleh lidah sehingga palatal kontriksi dan mengakibatkan crossbite posterior 8


(25)

2.4 Efek Bernafas Melalui Mulut Terhadap Dentokraniofasial

Telah dipercaya bahwa penyimpangan pertumbuhan gigi dan rahang adalah hasil dari faktor keturunan dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mengakibatkan seseorang bernafas melalui mulut akan menghasilkan perubahan postural dan merubah pertumbuhan gigi dan rahang. 15

Pada pola pernafasan mulut udara masuk melalui mulut sehingga menyebabkan posisi lidah di anterior dan inferior. Posisi lidah yang anterior mendorong gigi-gigi atas dan bawah ke labial dan mandibula berotasi ke belakang dan ke bawah berakibat tinggi wajah meningkat.5,8,16

Menurut Kusnoto mekanisme terjadinya kelainan dentokraniofasial adalah karena hambatan saluran nafas yang mengakibatkan ketidakaktifan fungsi saluran pernafasan. Karena ketidakaktifan fungsi tersebut akan terjadi kurangnya perkembangan dari rongga hidung dan maksila, sehingga lengkung maksila menjadi sempit, palatum dalam. Dapat dijumpai adanya crossbite posterior dan gigi anterior yang protrusi. Dengan adanya hambatan maka untuk mencukupi udara, pasien harus menghirup udara melalui mulut, sehingga mulut menganga dan kepala mendongak. Keadaan ini akan mengakibatkan gigitan terbuka dan mandibula rotasi ke bawah dan berotasi searah jarum jam, dan lidah terletak di bawah merupakan penyebab maloklusi Klas II. 5

Kebiasaan bernafas melaui mulut juga menyebabkan hilangnya keseimbangan antara tekanan otot genioglossus, hyoid dan eksternal pterigoideus yang akan


(26)

mandibula menggantung ke bawah . Rotasi mandibula ke posterior akan menyebabkan posisi maksila lebih prognatik terhadap mandibula. Rotasi mandibula ini juga diikuti dengan turunnya posisi tulang hyoid yang mengakibatkan posisi lidah turun dan lebih ke anterior.6 Posisi lidah yang turun akan mempengaruhi pertumbuhan maksila karena lidah berperan penting dalam tumbuh kembang maksila. Pada keadaan normal tekanan lidah ke palatum berfungsi sebagai penyeimbang stimulasi dari muskulus buksinator, sehingga menstimulasi tumbuh kembang maksila secara normal. Apabila posisi lidah turun maka penyeimbang stimulasi muskulus buksinator tidak ada sehingga menyebabkan lengkung maksila menjadi kurang berkembang , sempit dan palatum menjadi tinggi yang menyebabkan maloklusi Klas II. 5

Maksila yang kurang berkembang berdampak buruk pada tumbuh kembang struktur dentokraniofasial. Lengkung maksila baik dari segi ukuran maupun bentuknya menjadi tidak harmonis dengan ukuran gigi- gigi permanen. 6

Menurut Mc. Coy pada keadaan bernafas melalui mulut, udara diterima secara langsung ke paru-paru tanpa dibersihkan, dihangatkan dan dilembabkan. Keadaan ini cenderung akan mendorong palatum ke atas. Mulut akan terbuka secara terus menerus dan akibatnya otot yang menekan mandibula menghasilkan tarikan otot ke belakang terhadap mandibula di setiap tarikan nafas. Lama kelamaan ini dapat mempengaruhi tulang untuk memodifikasi dan membawa gigi bawah ke distal dari normal. Setelah hubungan distal molar ini terbentuk, gigi permanen juga akan mengikuti malrelasi yang serupa, dan mekanika maloklusi tersebut bekerja secara konstan. Lidah tidak terletak di palatum akibat depresi mandibula sehingga gigi atas


(27)

kehilangan dukungan otot dan tekanan lateral darinya. Karena ketidakseimbangan hubungan antara gaya otot eksternal dan internal dalam mulut ini, otot buksinator menghasilkan tekanan lateral pada lengkung maksila dan mengakibatkan penyempitannya. 4

2.5 Maloklusi Klas II Divisi 1

Maloklusi Klas II atau disto oklusi adalah suatu keadaan mandibula dengan lengkung giginya terletak lebih ke distal terhadap maksila sebesar minimal setengah lebar premolar atau satu tonjol molar pertama permanen.1,15 Angle memperkenalkan dua tipe maloklusi Klas II berdasarkan inklinasi insisivus sentralis maksila.1,15

Maloklusi Klas II divisi 1 didefinisikan memiliki insisivus maksila yang berinklinasi ke labial, peningkatan overjet dengan atau tanpa lengkung maksila yang relatif sempit. Overlap vertikal insisivus dapat bervariasi dari deep overbite hingga

openbite.1,17,18

Maloklusi Klas II divisi 1 dapat ditandai dari skeletal pada saat oklusi mandibula terletak lebih ke posterior dalam hubungannya dengan maksila, dental dari hubungan molar pertama permanen, skeletodental dari hubungan skeletal dan dental. Maloklusi Klass II divisi 1 sering dihubungkan dengan kelainan skeletodental.1,17,18

Gambaran Klinis


(28)

anterior maksila yang protrusi disertai lengkung gigi yang sempit. Kelainan-kelainan yang sering timbul pada maloklusi ini adalah : 19,20

a. Mandibula berada pada posisi distal sehingga terdapat overjet yang mencolok b. Gigi-gigi insisivus maksila protrusi

c. Lengkung gigi maksila yang sempit

d. Diastema di antara gigi-gigi anterior yang protrusi

e. Gigi insisivus mandibula supraversi, jika dalam oklusi sentrik akan terlihat gigi insisivus mandibula mengenai gingiva di bagian palatinal dari gigi insisivus maksila.

f. Adanya gigitan dalam

g. Kedudukan bibir atas terangkat.

Etiologi Maloklusi Klas II Divisi 1

Etiologi maloklusi merupakan ilmu yang mempelajari tentang faktor-faktor penyebab terjadinya kelainan oklusi. Pengelompokan faktor-faktor etiologi maloklusi dimaksudkan untuk mempermudah identifikasi kelainan oklusi yang ada.7 Graber membagi faktor etiologi maloklusi menjadi 2 yaitu:

1. Faktor Ekstrinsik

Faktor Ekstrinsik meliputi : herediter, kelainan bawaan, malnutrisi, kebiasaan buruk, dan malfungsi, postur tubuh dan trauma.1,7,12,18,19

2. Faktor Instrinsik

Faktor Instrinsik meliputi : Kelainan jumlah, bentuk dan ukuran gigi,


(29)

2.6 Kerangka Teori

3

2.7 Kerangka Konsep

Maloklusi Klas II divisi 1 Bernafas normal / melalui hidung

Maloklusi Klas II divisi 1

Maloklusi Klas II divisi 1 bernafas melalui mulut

Pernafasan

Hidung Mulut

Posisi lidah normal / di palatum

Postur kepala normal

Tidak terjadi rotasi mandibula

Posisi lidah lebih ke bawah

Postur kepala mendongak

Rotasi mandibula searah jarum jam

Klas II

- Lengkung maksila sempit

- Palataum dalam

Uji statistik t berpasangan Perbedaan :

• Tinggi palatum

• Panjang lengkung anterior maksila dan mandibula

• Lebar interkaninus

• Lebar interpremolar


(30)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Disain Penelitian

Berdasarkan perlakuan observasional dengan metode pengukuran secara cross sectional, tidak diberi perlakuan, hanya merupakan pengamatan dan pengukuran dilakukan satu kali.

3.2 Tempat dan Waktu

Tempat : Klinik Spesialis Ortodonti Rumah Sakit Gigi Mulut Pendidikan FKG USU.

Waktu penelitian : 3 bulan

3.3 Populasi dan Sampel Populasi :

Model studi dari pasien yang datang ke Klinik Spesialis Ortodonti Rumah Sakit Gigi Mulut Pendidikan FKG USU tahun 2008 - 2012 dan praktek dokter gigi swasta di Medan dengan data-data lengkap.

Sampel :

Model studi pasien maloklusi Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan normal dan bernafas melalui mulut.


(31)

Besar sampel di hitung dengan menggunakan rumus20 n ≥ (Z(0,5-α ) + Z(0,5- β))Sd 2

2

d

n ≥ (1.96 + 1,282) 1,89 2 1,5

n ≥ 15.6 dua kelompok, masing-masing kelompok enam belas sehingga jumlah sampel tiga puluh dua orang.

Keterangan: n = besar sampel Z(0.5-α)

2

= nilai distribusi normal baku alpha.Untuk

α

=

0.05 1.96 Z (1-β) = nilai distribusi normal baku betha. Untuk

= 0.10 1.282

SD = Standar deviasi = 1.89

d = selisih rata-rata yang bermakna, ditetapkan sebesar 1,5

3.4 Kriteria Sampel 3.4.1 Kriteria inklusi

• Pasien berumur 15 - 25 tahun.

• Pasien maloklusi Klas II divisi 1 dengan pola pernafasan normal dan bernafas melalui mulut


(32)

• Pasien yang datang ke Klinik Spesialis Ortodonti Rumah Sakit Gigi Mulut Pendidikan FKG USU tahun 2008-2012 dan praktek dokter gigi swasta di Medan

• Kesehatan umum yang baik

• Laki-laki dan perempuan

• Tidak ada gigi yang hilang atau diekstraksi hingga molar kedua

• Data-data pasien lengkap.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

• Pasien yang sudah pernah dirawat ortodonti

• Kesehatan umum yang kurang baik

• Data-data pasien tidak lengkap

• Model gigi yang rusak, misalnya anatomis gigi tidak jelas


(33)

3.5 Identifikasi Variabel Penelitian 3.5.1 Hubungan antar variabel

3.5.2 Variabel bebas

- Pola pernafasan normal (melalui hidung)

- Pola pernafasan melalui mulut

3.5.3 Variabel tergantung

- Tinggi palatum

- Panjang lengkung gigi anterior maksila dan mandibula

- Lebar interkaninus maksila dan mandibula

- Lebar interpremolar maksila dan mandibula

Variabel Bebas

• Pola pernafasan normal maloklusi Klas II

• Pola pernafasan mulut maloklusi Klas II

Variabel Tergantung

• Tinggi palatum

• Panjang lengkung gigi anterior maksila dan mandibula

• Lebar interkaninus maksila dan mandibula

• Lebar interpremolar maksila dan mandibula

• Lebar intermolar maksila dan mandibula

Variabel Terkendali

• Umur sampel 15 – 25 thn

• Belum pernah dilakukan perawatan ortodonti

• Tidak ada pencabutan gigi tetap kecuali M3

• Kesehatan umum baik

• Alat dan teknik pengambilan data dan model studi sampel

Variabel Tak Terkendali

• Penyusutan model studi


(34)

- Lebar intermolar maksila dan mandibula

3.5.4 Variabel terkendali

- Umur sampel 15 - 25 tahun

- Maloklusi Klas II dengan pola pernafasan normal dan pernafasan melalui mulut.

- Belum pernah dilakukan perawatan ortodonti

- Kesehatan umum baik

- Alat dan teknik pengambilan data dan model studi sampel

3.5.5 Variabel tidak terkendali

- Penyusutan model studi

- Jenis kelamin

3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian

- Maloklusi Klas II divisi 1 adalah suatu keadaan mandibula dengan lengkung gigi terleak lebih ke distal terhadap maksila sebesar minimal setengah lebar premolar atau satu tonjolmolar pertama permanen yang memiliki insisivus maksila berinklinasi ke labial. 1,15

- Bernafas melalui hidung atau bernafas normal dapat dilihat hasil anamnese dan Roentgen foto sefalometri bahwa lebar saluran udara pharynx atas 14,98 ± 1,89 21


(35)

- Bernafas melalui mulut dapat dilihat dari hasil anamnesedan roentgen foto sepalometri bahwa lebar saluran udara pharynx atas 11,9 ± 1,79 21

- Tinggi cekungan palatal diukur pada pertengahan dari garis yang menghubungkan fosa centralis kedua molar pertama maksila dengan bantuan jangka Korkhaus. Jangka Korkhaus dibuka hingga batang tengah menyentuh palatum di garis median dan tinggi palatum dicatat dari pembacaan pada jangka Korkhaus.4

- Panjang lengkung anterior maksila pada model adalah garis yang ditarik dari intra dental superior palatal insisivus pertama kiri dan kanan sepanjang dataran midsagital yang dipotong oleh garis yang ditarik melintasi palatum menghubungkan titik kontak antara distal pit premolar pertama kiri dan kanan.4

- Panjang lengkung anterior mandibula pada model adalah garis yang ditarik dari intradental inferior lingual insisivus pertama kiri dan kanan sepanjang dataran midsagital yang dipotong oleh garis yang melintasi lingual menghubungkan titik kontak antara interproksimal premolar pertama dan kedua.4

- Lebar interkaninus maksila adalah garis yang menghubungkan titik tengah mesiodistal dari kaninus kanan dan kiri maksila.4


(36)

- Lebar interkaninus mandibula adalah garis yang menghubungkan interproksilmal kaninus dan premolar satu kiri dan kanan.4

- Lebar interpremolar maksila adalah garis yang menghubungkan titik distal pit dari premolar pertama kiri dan kanan.4

-Lebar interpremolar mandibula adalah garis yang menghubungkan interproksimal premolar satu dan premolar dua kiri dan kanan.4

- Lebar intermolar maksila adalah garis yang menghubungkan sentral fossa dari molar pertama kiri dan kanan. 4

- Lebar intermolar mandibula adalah garis yang menghubungkan tonjol mesio bukal molar pertama kiri dan kanan.4

3.7 Alat dan Bahan

- Model studi dari pasien yang bernafas melalui hidung dan melalui mulut

- Jangka Korkhaus

- Penggaris

- Pinsil

- Roentgen foto sefalometri


(37)

Gambar 5. Alat-alat yang dipakai pada penelitian

3.8 Cara Penelitian

• Model diambil dari pasien yang datang di Klinik Spesialis Ortodonti Rumah Sakit Gigi Mulut Pendidikan FKG USU tahun 2008-2012 serta praktek dokter gigi swasta.

• Sampel dikelompokkan berdasarkan pola pernafasan normal (bernafas melalui hidung) dan bernafas melalui mulut berdasarkan hasil diagnosa dan pengukuran lebar saluran udara pharynx atas dari Roentgen foto sefalometri. Lebar saluran udara pharynx atas adalah panjang garis dari titik paling posterior pada palatum lunak ke dinding terdekat posterior pharynx dimana garis tersebut sejajar garis gonion (Go) dengan supramental (B). Titik posterior palatum lunak didapat dari palatum lunak dibagi dua melintang ditarik sejajar ke pinggir luar palatum lunak.


(38)

Gambar 6. Garis pharynx atas21

• Setelah itu dilakukan pengukuran tinggi palatum, panjang lengkung anterior, lebar interkaninus, lebar interpremolar, lebar intermolar maksila dan mandibula pada model studi kedua kelompok.


(39)

Gambar 7. Titik-titik yang akan diukur pada model 4,22,23

3.9 Manajemen dan Analisis Data

Data diolah secara statistik dan dianalisa dengan uji t berpasangan dengan pengukuran hanya satu kali oleh peneliti.


(40)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Hasil dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 32 orang yang berusia antara 15 sampai dengan 25 atau disebut usia non growing yang mempunyai maloklusi Klas II div 1 dan mempunyai pola bernafas normal dan melalui mulut. Pada masing-masing model pasien diukur lebar interkaninus, lebar interpremolar, lebar intermolar maksilla dan mandibula, tinggi palatum, panjang maksila dan mandibula. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Rata-rata variabel pada maksila

Pengukuran N Mean Std Deviation

Lebar interkaninus maksila Melalui mulut Melalui hidung 16 16 31,20 34,10 3,601 3,859 Lebar interpremolar maksila Melalui mulut Melalui hidung 16 16 36,91 41,45 4,244 4,153 Lebar premolar maksila Melalui mulut Melalui hidung 16 16 46,32 51,14 4,959 4.498 Tinggi palatum Melalui mulut Melalui hidung 16 16 21,53 19,64 3,430 3,127 Panjang maksila melalui mulut melalui hidung 16 16 12,05 13,05 1,902 2,012


(41)

Pengukuran N Mean Std Deviation Lebar interkaninus mandibula melalui mulut melalui hidung 16 16 26,47 29,26 2,809 4024 Lebar interpremolar mandibula melalui mulut melalui hidung 16 16 35,12 37,37 2,198 2,247 Lebar intermolar mandibula melalui mulut melalui hidung 16 16 43,25 45,14 2,030 3,610 Panjang mandibula melalui mulut melalui hidung 16 16 10,12 10,71 1,495 2,369

Hasil penelitian ini diperoleh nilai rata-rata interkaninus maksila pada pasien yang bernafas normal sebesar 34,10 mm. Sedangkan pada pasien yang bernafas lewat mulut sebesar 31,29 mm. Lebar interpremolar maksila pada pasien yang bernafas normal 41,45 mm sedangkan pada pasien yang bernafas lewat mulut 36,91 mm. Lebar intermolar maksila pada pasien yang bernafas normal 51,14 mm sedangkan pada pasien yang bernafas lewat mulut 46,32 mm. Tinggi palatum pada pasien yang bernafas lewat mulut 21,53 mm sedangkan pada pasien yang bernafas normal 19,64 mm. Panjang maksila pada pasien yang normal 13,03 mm sedangkan pada pasien yang bernafas melalui mulut 12,65 mm. Lebar interkaninus mandibula pada pasien yang bernafas normal 29,26 mm sedangkan pada pasien yang bernafas lewat mulut 26,47 mm. Lebar interpremolar mandibula pada pasien yang bernafas normal 37,38 mm sedangkan pada pasien yang bernafas lewat mulut 35,12 mm.


(42)

yang bernafas lewat mulut 43,25 mm. Panjang mandibula pada pasien normal 10,71 mm sedangkan pada pasien yang bernafas lewat mulut 10,12 mm.

Dari hasil pengukuran pada penelitian ini di dapat hasil yang

signifikan jika ρ< 0,05. Pada penelitian ini terlihat bahwa lebar intekaninus maksila

pada pasien yang bernafas melaui mulut berbeda signifikan dengan pasien yang

bernafas melalui hidung (ρ = 0,028). Pada lebar interpremolar maksila juga terlihat

adanya perbedaan yang signifikan (ρ = 0,002) pasien yang bernafas melalui mulut dan bernafas normal. Demikian juga halnya pada lebar intermolar maksila juga terlihat berbeda secara signifikan (ρ=0,003). Sedangkan pada tinggi palatum perbedaannya terlihat tidak signifikan (ρ= 0,085) pada pasien yang bernafas melalui mulut dan melalui hidung. Hal yang sama juga dengan panjang maksila terdapat perbedaan yang tidak signifikan (ρ=0,536) pada pasien yang bernafas melalui mulut dan melalui hidung. ( Tabel. 3 )

Pada mandibula terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada lebar

interkaninus (ρ=0,021) dan interpremolar (ρ=0,004) pada pasien yang bernafas

melalui mulut dan pasien yang bernafas melalui hidung. Sedangkan pada lebar intermolar (ρ=0,062) dan panjang mandibula (ρ=0,373) perbedaan yang terlihat tidak signifikan. ( Tabel. 3)


(43)

Tabel 3. Data hasil pengukuran pasien yang bernafas melalui mulut dan melalui hidung

Pengukuran N ρ Mean ρ

Signifikan Lebar interkaninus

maksila

- melalui mulut

- melalui hidung 16 16 0,028 0,027 -2,081 -2,081 S S Lebar interpremolar maksila

- melalui mulut

- melalui hidung 16 16 0,002 0,002 -4,541 -4,451 S S Lebar intermolar maksila

- melalui mulut

- melalui hidung 16 21 0,003 0,004 -4,819 -4,819 S S Tinggi palatum

- melalui mulut

- melalui hidung 16 16 0,085 0,064 1,887 1,887 NS NS Panjang maksila

- melalui mulut

- melalui hidung 16 16 0,536 0,533 -0,401 -0,401 NS NS Lebar interkaninus mandibula

- melalui mulut

- melalui hidung 16 16 0,021 0,017 -2,791 -2,791 S S Lebar interpremolar mandibula

- melalui mulut

- melalui hidung 16 16 0,004 0,004 -2,263 -2,263 S S Lebar intermolar mandibula

- melalui mulut

- melalui hidung 16 16 0,062 0,049 -1,806 -1,806 NS NS Panjang mandibula

- melalui mulut

- melalui hidung 16 16 0,373 0,351 -0,507 -0,507 NS NS


(44)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran lebar interkaninus, lebar interpremolar, lebar intermolar pada maksila dan mandibula, tinggi palatum, panjang maksila dan panjang mandibula pada studi model.

Dari hasil penelitian ini lebar interkaninus, interpremolar dan intermolar maksila pada pasien bernafas melalui hidung lebih besar daripada pasien yang bernafas melalui mulut, dengan perbedaan yang signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan menyempitnya maksila karena posisi lidah yang turun sehingga tidak seimbang stimulasi muskulus buksinator.6, 12

Hal tersebut sesusai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh JL Paul dkk dimana peneliti melakukan penelitian terhadap 100 individu pria berusia 15-20 tahun dengan hasil nilai rata-rata pengukuran lebar lengkung gigi lebih rendah di kelompok pasien yang bernafas melalui mulut dengan hasil signifikan . Selain itu hal ini juga sesuai dengan hasil tulisan Kusnoto H dan Suminy D.2,4,5,6

Pada penelitian ini pengukuran tinggi palatum dan panjang maksila tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada pasien yang bernafas melalui mulut dan melalui hidung. Kemungkinan palatum tampak tinggi karena kontraksinya lengkung maksila.2,4

Pada penelitian ini juga terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada lebar interkaninus dan interpremolar pada mandibula. Sedangkan pada lebar intermolar dan panjang mandibula perbedaan yang terlihat tidak signifikan. Kedua hal tersebut sesuai


(45)

dengan pendapat Angle yang menyatakan posisi lidah yang terletak separuh bagian lateral dari lengkung bawah, menahan perubahan pada mandibula. 4


(46)

BAB 6 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian diperoleh simpulan :

Lebar rata-rata interkaninus maksila pada pasien yang bernafas melalui hidung (34,10 mm) lebih besar 2,081mm (ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (31,29 mm). Lebar rata-rata interpremolar maksila pada pasien yang bernafas melalui hidung (41,45 mm) lebih besar 4,541 mm (ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (36,91 mm). Lebar rata-rata intermolar maksila pada pasien yang bernafas melalui hidung (51,14 mm) lebih besar 4,819 mm (ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (46,32 mm). Tinggi palatum rata-rata maksila pada pasien yang bernafas melalui hidung (19,64 mm) lebih rendah 1,887 mm

(ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (21,53 mm). Panjang maksila rata

-rata pada pasien yang bernafas melalui hidung (13,05 mm) lebih besar 0,401 mm (ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (12,65 mm).

Lebar interkaninus rata-rata mandibula pada pasien yang berrnafas melalui hidung (29,26 mm) lebih besar 2,791 mm (ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (26,47 mm). Lebar interpremolar rata-rata mandibula pada pasien yang bernafas melaui hidung (37,38 mm) lebih besar 2,263 mm (ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (35,12 mm). Lebar intermolar rata-rata pada pasien yang bernafas melalui hidung (45,14 mm) lebih besar 1,806 mm (ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (43,25 mm). Panjang mandibula rata-rata pada pasien yang bernafas melalui mulut (10,71 mm) lebih besar 0,373 mm ( ρ<0,05) dari pasien yang bernafas melalui mulut (10,12 mm).


(47)

Daftar Pustaka

1. Bishara SE, Class II Malocclusions: Diagnostic and Clinical Considerations With and Without Treatment. Semin Orthod 2006;12:11-24.

2. Gungor AY, Turkkahraman H ; Effects of Airway Problems on Maxillary Growth: A review, European Journal of Dentistry vol 3, 2009 : 250-4.

3. Proffit WR, Fields HW, Contemporary Orthodontics 4 th ed,St Louis Missouri, Mosby Elsevier 2007: 39-41, 48-9, 98-104, 113-42, 175-8, 180 4. Pau J.L , Nanda RS, Effect of Mouth Breathing on Dental Occlusion. A

thesis for degree of Master of Dental Surgery at Lucknow University, Lucknow, India 1973

5. Kusnoto H, Problema Saluran Pernafasan dan Pengaruhnya Terhadap Kelainan Dentofasial. Naskah Ilmiah Kongres PDGI ke 15, Jakarta, 1982; 157-69

6. Suminy D, Zen Y, Hubungan Antara Maloklusi dengan Hambatan Saluran Pernafasan. M.I. Kedokteran Gigi. Jakarta 2007:22

7. Kusuma ARP, Bernafas Lewat Mulut Sebagai Faktor Ekstrinsik Etiologi Maloklusi, Studi Pustaka, FKG Universitas Islam Sultan Agung.

8. Singaraju GS, Kumar C, Tongue Thrust Habit- A Review. Department of Orthodontics, St. Joseph Dental College, Eluru. Annals and Essences of Dentistry ,1 2009; 14-8

9. Qamar R CH, Riaz M, Awan M S ; Dental Arch Widths in Class I Normal Occlusion and Class II Division 1 Malocclusion, Pakistan Oral & Dental


(48)

10. Ceylan I, Oktay H, A Study on The Pharynx Size in Different Skeletal Patterns. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 1995 ; 108; 1:69-75

11. Mangunkusumo HECh, Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, HN Iskandar dan HEA Soepardi (editor). Jakarta, FK UI, 1990; 85-86.

12. Foster TD, Dasar-dasar Anatomi Kedokteran Gigi. Editor Lilian Yuwono,Ed ke 3, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1977; 265-72

13. Preston CB, Lampasso JD, Tobias PV, Cephalometric Evaluation and Measurement of The Upper Airway. Seminar in Orthodontics 2004;10;3-15 14. Adam GL, Boeis LR, Hilger PA, BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta,

EGC, Ed.3, 1997; 265-267.

15. Hinton WA, Warren DW, Hairfield WM, Upper Airway Pressure During Breathing: A Comparison of Normal and Nasally Incompetent Subjects with Modeling Studies. AJODO 1986; 89 : 492-8.

16. O’Ryan FS, LaBlanc JP, Kageler WV, dkk., Nasorespiratory Function in Individuals with Vertical Maxillary Excess. Part 2 Differential Diagnosis. J Clin Orthod 1984; 18: 347-52.

17. Bishara SE. Treatment of Class II Malocclusions, Textbook of Orthodontics, Philadelpia, WB Saunders Co 2001 : 34-37

18. Graber TM, Treatment of Class II Malocclusions. Orthodontics: Current Principles & Technique, St. Louis, Mosby Co. 2005 : 346-52


(49)

19. Tjut R. Penuntun Kuliah Ortodonti I : Oklusi, Maloklusi dan Etiologi Maloklusi. Diktat Bagian Ortodonsia FKG USU, Medan 1997 : 38-80

20. Mc Namara JA, Brundon WL. Orthodontic and Orthopedic Treatment in the Mixed Dentition, Michigan, Necdham Press, 1994 ; 259-81

21.Lailani TL, Perbedaan Lebar Saluran Udara Pharynx Atas dan Bawah

Pada Maloklusi Klas I dan Klas II dengan Pola Pertumbuhan Normal dan Vertikal Ditinjau dari Radiografi Sefalometri Lateral, Tesis, PPDGS

Ortodonsia FKG USU Medan 2010

22. Johal A, Conaghan C, Maxillary Morphology in Obstructive Sleep Apnea : A Chephalometric and Dental Study. Angle Orthodontic 74;2004;648-56

23.Rakosi T, Jonas I, Graber TM, Orthodontic Diagnosis, New York, Thieme Medical Publishers, 1993 ; 218


(50)

1. JADWAL PENELITIAN.

No Kegiatan

Waktu Pelaksanaan

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 Penelusuran kepustakaan xx xx xx xx xx xx

2 Pembuatan Proposal xx xx xx

3 Seminar proposal xx

4 Pengambilan data di

lapangan xx xx xx xx

5 Penulisan laporan tesis xx xx xx xx xx xx

6 Seminar hasil xx

7 Perbaikan dan


(51)

2. Kerangka Teori

Pernafasan

Hidung Mulut

Posisi lidah normal / di palatum

Postur kepala normal

Tidak terjadi rotasi mandibula

Posisi lidah lebih ke bawah

Postur kepala mendongak

Rotasi mandibula searah jarum jam

Klas II

- Lengkung maksila sempit


(52)

3. Kerangka Konsep

Maloklusi Klas II divisi 1 Bernafas normal / melalui hidung

Maloklusi Klas II divisi 1

Maloklusi Klas II divisi 1 bernafas melalui mulut

Uji statistik t berpasangan Perbedaan :

• Tinggi palatum

• Panjang lengkung anterior maksila dan mandibula

• Lebar interkaninus

• Lebar interpremolar


(53)

NPar Tests (bernapas dgn mulut)


(54)

(55)

Independent Samples Test

.083 .775 -2.292 36 .028 -2.801 1.222 -5.280 -.322

-2.309 35.222 .027 -2.801 1.213 -5.264 -.339

.041 .842 -3.319 36 .002 -4.541 1.368 -7.315 -1.766

-3.311 34.053 .002 -4.541 1.371 -7.327 -1.754

.499 .484 -3.137 36 .003 -4.819 1.536 -7.935 -1.704

-3.104 32.776 .004 -4.819 1.552 -7.978 -1.660

1.298 .262 1.771 36 .085 1.887 1.065 -.274 4.047

1.753 32.870 .089 1.887 1.076 -.303 4.076

.074 .787 -.625 36 .536 -.401 .641 -1.700 .899

-.629 35.084 .533 -.401 .637 -1.693 .892

.408 .527 -2.420 36 .021 -2.791 1.154 -5.131 -.452

-2.512 35.325 .017 -2.791 1.111 -5.047 -.536

.048 .829 -3.118 36 .004 -2.263 .726 -3.736 -.791

-3.125 34.673 .004 -2.263 .724 -3.734 -.793

6.108 .018 -1.930 36 .062 -1.896 .982 -3.888 .097

-2.041 32.480 .049 -1.896 .929 -3.787 -.005

2.568 .118 -.902 36 .373 -.597 .662 -1.938 .745

-.945 34.177 .351 -.597 .632 -1.880 .687

Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Lebar interkaninus rahang atas Lebar interpremolar rahang atas Lebar intermolar rahang atas Tinggi palatum Panjang maksila Lebar interkaninus rahang bawah Lebar interpremolar rahang atas Lebar intermolar rahang bawah Panjang mandibula F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means


(1)

1.

JADWAL PENELITIAN.

No Kegiatan

Waktu Pelaksanaan

12 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

1

Penelusuran kepustakaan

xx

xx

xx

xx

xx

xx

2

Pembuatan Proposal

xx

xx

xx

3

Seminar proposal

xx

4

Pengambilan data di

lapangan

xx

xx

xx

xx

5

Penulisan laporan tesis

xx

xx

xx

xx

xx

xx

6

Seminar hasil

xx

7

Perbaikan dan


(2)

2.

Kerangka Teori

Pernafasan

Hidung

Mulut

Posisi lidah

normal / di palatum

Postur kepala

normal

Tidak terjadi rotasi

mandibula

Posisi lidah

lebih ke bawah

Postur kepala

mendongak

Rotasi mandibula

searah jarum jam

Klas II

-

Lengkung maksila

sempit


(3)

3. Kerangka Konsep

Maloklusi Klas II divisi 1

Bernafas normal / melalui

hidung

Maloklusi Klas II divisi 1

Maloklusi Klas II divisi 1

bernafas melalui mulut

Uji statistik

t berpasangan

Perbedaan :

Tinggi palatum

Panjang lengkung anterior

maksila dan mandibula

Lebar interkaninus

Lebar interpremolar


(4)

NPar Tests (bernapas dgn mulut)


(5)

(6)

Independent Samples Test

.083 .775 -2.292 36 .028 -2.801 1.222 -5.280 -.322

-2.309 35.222 .027 -2.801 1.213 -5.264 -.339

.041 .842 -3.319 36 .002 -4.541 1.368 -7.315 -1.766

-3.311 34.053 .002 -4.541 1.371 -7.327 -1.754

.499 .484 -3.137 36 .003 -4.819 1.536 -7.935 -1.704

-3.104 32.776 .004 -4.819 1.552 -7.978 -1.660

1.298 .262 1.771 36 .085 1.887 1.065 -.274 4.047

1.753 32.870 .089 1.887 1.076 -.303 4.076

.074 .787 -.625 36 .536 -.401 .641 -1.700 .899

-.629 35.084 .533 -.401 .637 -1.693 .892

.408 .527 -2.420 36 .021 -2.791 1.154 -5.131 -.452

-2.512 35.325 .017 -2.791 1.111 -5.047 -.536

.048 .829 -3.118 36 .004 -2.263 .726 -3.736 -.791

-3.125 34.673 .004 -2.263 .724 -3.734 -.793

6.108 .018 -1.930 36 .062 -1.896 .982 -3.888 .097

-2.041 32.480 .049 -1.896 .929 -3.787 -.005

2.568 .118 -.902 36 .373 -.597 .662 -1.938 .745

-.945 34.177 .351 -.597 .632 -1.880 .687

Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Lebar interkaninus rahang atas Lebar interpremolar rahang atas Lebar intermolar rahang atas Tinggi palatum Panjang maksila Lebar interkaninus rahang bawah Lebar interpremolar rahang atas Lebar intermolar rahang bawah Panjang mandibula F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means


Dokumen yang terkait

Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut

2 77 68

Perbedaan Nilai Skeletal Dalam Arah Vertikal Antara Pola Pernafasan Normal Dan Pernafasan Melalui Mulut Pada Pasien Di Klinik Ortodonti Rsgmp Fkg Usu Tahun 2009-2013

1 61 60

Pengaruh Perawatan Aktivator Pada Maloklusi klas II Divisi I Terhadap Pertumbuhan Dan Pengembangan Mandibula

0 56 43

Perawatan Maloklusi Klas II Divisi I Dengan Pesawat Herbst

1 68 54

Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pernafasan - Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut

0 0 12

Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan - Pengaruh Pola Pernafasan Normal Dan Pernafasan Melalui Mulut Pada Maloklusi Klas II Divisi 1

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernafasan Normal - Perbedaan Nilai Skeletal Dalam Arah Vertikal Antara Pola Pernafasan Normal Dan Pernafasan Melalui Mulut Pada Pasien Di Klinik Ortodonti Rsgmp Fkg Usu Tahun 2009-2013

0 0 13

PERBEDAAN NILAI SKELETAL DALAM ARAH VERTIKAL ANTARA POLA PERNAFASAN NORMAL DAN PERNAFASAN MELALUI MULUT PADA PASIEN DI KLINIK ORTODONTI RSGMP FKG USU TAHUN 2009-2013

0 0 12