Hasil-hasil penelitian tentang Bahasa Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil-hasil penelitian tentang Bahasa Daerah

Pentingnya bahasa daerah dan kebertahanannya sebagai warisan budaya, membuat banyaknya penelitian tentang bahasa daerah. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya membahas tentang peluang dan tantangan bahasa daerah, faktor-faktor penyebab kepunahan bahasa daerah, revitalisasi bahasa daerah, potensi kepunahan bahasa daerah, sampai penelitian tentang pengajaran bahasa daerah yang dimasukkan dalalm muatan lokal dan penelitian mengenai penggunan bahasa daerah pada murid SD. Melihat dari peluang dan tantangan bahasa daerah di era globalisasi sekarang ini sungguh sangat memprihatinkan. Walaupun pemerintah memberikan peluang kepada bahasa daerah untuk bertahan sebagai bahasa pertama dan bahasa pergaulan intrasuku. Dalam Undang-undang Dasar tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 1 dikatakan, “Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian pada Pasal 42, ayat 1 dinyatakan bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia Darwis, 2011. Universitas Sumatera Utara Seperti halnya di daerah Makasar, dari segi jumlah penutur baik Bahasa Bugis maupun Bahasa Makasar, dua-duanya masih tergolong bahasa yang safe, yaitu bahasa yang masih aman, artinya tidak berada dalam keadaan ancaman kepunahan karena memiliki penutur yang sangat banyak dan secara resmi didukung oleh pemerintah Krauss, 1992. Walaupun demikian, Tantangan yang dihadapi adalah kedua bahasa tersebut sudah tidak diperoleh dan dipelajari oleh semua anak dan usia dewasa dalam kelompok etnik masing masing sebagaimana disyaratkan oleh Grimes 2000:8. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa Bahasa Bugis dan Bahasa Makasar sudah mulai terdesak pertumbuhannya. Anak-anak dari kedua suku ini banyak yang bermukim di perkotaan sehingga pertumbuhannya semakin lambat. Di perkotaan dijumpai tiga alasan utama terjadinya pergeseran dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia dalam penentuan bahasa pertama bagi anak-anak di rumah tangga. 1 lingkungan pergaulan yang majemuk bahasa suku. 2 medan tugas yang relatif tidak tetap. 3 orang tua berlainan suku Darwis 1985. Dalam hal ini yang masih setia berbahasa daerah hanya usia lanjut sedangkan generasi muda dan anak-anak akan cenderung beralih ke penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing yang berstatus bahasa internasional dan hal ini bermula sejak penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam kehidupan rumah tangga yang menyebabkan sebuah keluarga harus menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa asing jika mau taraf hidup mereka meningkat. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kepunahan bahasa daerah. Grimes 2000 mengemukakan enam gejala yang menandai kepunahan bahasa pada masa depan, yaitu 1 penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, 2 semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, 3 pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu Universitas Sumatera Utara oleh penutur usia muda, 4 usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa ibu, 5 penutur generasi terakhir sudah tidak cakap lagi menggunakan bahasa ibu, artinya tersisa penguasaan pasif , dan 6 punahnya dialek-dialek suatu bahasa. Menurut Tondo 2009 dalam jurnalnya, terdapat 9 faktor penyebab punahnya bahasa daerah, yaitu 1 Pengaruh bahasa mayoritas dimana bahasa daerah itu digunakan, 2 Kondisi masyarakat yang penuturnya yang bilingual atau bahkan multilingual, 3 Faktor Globalisasi, 4 Faktor migrasi, 5 Perkawinan antar etnik, 6 Bencana alam dan musibah, 7 Kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik sendiri, 8 Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam keluarga, 9 Faktor ekonomi, 10 Faktor bahasa Indonesia. Melihat dari faktor-faktor diatas, maka perlu adanya revitalisasi untuk melestarikan dan menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahan. Salah satu bahasa daerah yang memerlukan revitalisasi dan juga mulai mangalami kepunahan adalah Bahasa daerah Bali. Alasan mengapa perlu pencermatan dan revitalisasi terhadap bahasa daerah muncul dari semakin meningkatnya wacana kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah yang telah ditandai secara awal oleh mulai merosotnya jumlah penutur, adanya persaingan bahasa desakan bahasa Indonesia dan bahasa asing, dan semakin berkurangnya loyalitas penutur terhadap pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan sekaligus sebagai simbol budaya. Dalam kondisi sebagai masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan sosial di alam reformasi, kita sekarang menyaksikan persaingan tiga bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Di dalam peta persaingan ini cukup banyak penelitian, pakar dan pengamat bahasa melihat Universitas Sumatera Utara kecenderungan menyusutnya fungsi bahasa daerah dan terbatas pada ajang keluarga, informal, dan hiburan sehingga daya tahan dan daya saingnya menjadi semakin rapuh dan tidak mungkin mengimbangi bahasa nasional atau asing apalagi mengalahkannya Yadana, 2009. Mengikuti pandangan Fishman 1985 hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni 1 sebagai bagian dari budaya, 2 sebagai indeks budaya, dan 3 sebagai simbol budaya. Sebagai bagian dari budaya, Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan bahasa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Dari pandangan ini munculah wacana atau rasionalisasi bahwa pergeseran budaya atau hilangnya bahasa yang sangat dekat dengan kebudayaan merupakan pertanda terjadinya perubahan yang luar biasa. Moerdiono 1988 sudah mensinyalir bahwa hampir di seluruh daerah di Indonesia terdapat keluhan mengenai gejala kemunduran pemakaian bahasa daerah. Bahasa Bali misalnya diprediksikan oleh Bagus 2001, bahwa bahasa daerah Bali akan punah sebelum akhir abad ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fishman 1985 yang mempostulatkan kontinum delapan taraf situasi, apakah suatu bahasa akan mengalami suatu kepunahan atau berkembang ke arah yang dinamis. Taraf 8 merupakan situasi bahasa daerah yang berada pada ambang kepunahan dan taraf 1 merupakan situasi bahasa menuju pada perkembangan yang dinamis. Taraf 8 ditandai dengan siatuasi kebahasanan di mana hanya sedikit sekali orang tua yang mampu berbahasa daerah sebagai bahasa ibu. Taraf 7 adalah situasi kebahasaan di mana suatu bahasa memiliki masih cukup banyak penutur tetapi dari generasi tua berusia lanjut yang tidak lagi memiliki anak kecil. Taraf 6 adalah situasi di mana masih terdapat penggunaan bahasa ibu antar generasi di rumah; taraf 5, bahasa masih hidup dan Universitas Sumatera Utara digunakan dalam lingkup minoritas dan bahkan di sekolah; taraf 4, situasi di mana bahasa minoritas diharuskan pada pendidikan sekolah dasar, taraf 3 bahasa daerah digunakan di tempat kerja oleh para pekerja dalam lingkungan kerja khusus; taraf 2 bahasa daerah digunakan dalam pemerintah setempat lokal dan media massa dari komunitas minoritas, dan taraf 1, bahasa daerah tersebut digunakan dalam tataran pemerintahan yang lebih tinggi dan pendidikan tinggi. Persaingan bahasa asing, nasional dan daerah memang sedang berlangsung dan berdampak pada sikapprilaku berbahasa masyarakat kita. Dalam era persaingan bebas, penguasaan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan prasarat bagi kelangsungan hidup bangsa. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia masih harus meningkatkan sumber daya manusia secara kuantitas dan kualitas sehingga ketergantungan akan sumber informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar sangat terasa. Untuk menjembatani interaksi dan komunikasi lintas bahasa dan budaya, penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris menjadi suatu kebutuhan utama Yadnya, 2009. Di samping menyusutnya popularitas bahasa Indonesia akibat nilai ekonomis dan prestise yang dijanjikan oleh bahasa internasional, bahasa Indonesia juga dihadapkan pada tuduhan sebagai penyebab keterasingan masyarakat terhadap bahasa daerahnya. Perencanaan status bagi bahasa Indonesia telah membatasi ruang gerak bahasa daerah untuk merambah atau keluar dari sekedar ranah budaya. Arus reformasi, otonomi daerah dan wacana demokratisasi juga menyadarkan masyarakat penutur bahasa daerah akan keberadaan, potensi dan posisi bahasanya. Kebijakan bahasa nasional mulai dikritisi dan wacana bhineka tunggal ika tidak lagi hanya Universitas Sumatera Utara wacana politik tetapi juga wacana linguistik. Sebagai ilustrasi kita bisa mengadakan introspeksi terhadap kebertahanan bahasa Bali Darwis 2009. Pada kenyataannya eksistensi bahasa Bali terutama di daerah perkotaan semakin mengkhawatirkan kalaupun belum bisa dikatakan telah terpinggirkan marginal. Gejala linguistik seperti ini juga dirasakan oleh Jendra 2002:48 yang mensinyalir pemakaian bahasa Bali di dalam sejumlah kehidupan rumah tangga telah menyusut dan telah tersaingi oleh pemakaian bahasa Indonesia. Di dalam situasi kontekstual yang masih berbau tradisional juga bahasa Bali telah banyak didesak oleh pemakaian bahasa Indonesia. Kecenderungan ke arah keterpinggiran bahasa Bali tersebut diakibatkan paling sedikit oleh 3 hal yakni 1 status bahasa Bali, 2 loyalitas masyarakat penutur, dan 3 strategi pembinaan dan pengembangan bahasa Bali. Penelitian berikutnya juga berada didaerah Bali oleh Maharani 2010, dalam jurnalnya menjelaskan bahwa bahasa daerah Bali pada kalangan remaja di lingkungan Puri di kabupaten Gianyar masih berlangsung baik. Penggunaan bahasa Bali masih berlangsung baik dalam ranah keluarga dan ranah ketetanggaan namun pada ranah kekariban tidak berlangsung dengan baik dikarenakan kebiasaan di sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bali juga mendapatkan dukungan dari institusi dimana bahasa Bali dimasukkan menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa SD, SMP, dan SMA. Jurnalistik juga membantu pemertahanan bahasa daerah Bali, terlihat adanya ruang khusus di salah satu koran yaitu Bali Post yang menampilkan rubrik khusus yang berbahasa Bali. Universitas Sumatera Utara Bahasa Melayu Langkat di Stabat Sumatera Utara juga mengalami hal yang serupa. Fakta dan data yang ditemukan oleh adisaputera 2009 mengarah kepada munculnya pergeseran bahasa dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia. Hal ini ditandai oleh beberapa hal berikut ini: 1. Tingginya penggunaan Bahasa Indonesia dalam interaksi komunikasi sehari-hari 20 walaupun pada wilayah yang dominan Melayu, 2. Hampir 50 responden 47,4 menyatakan bahwa Bahasa Indonesia mereka bukanlah Bahasa Melayu, 3. Persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunaan Bahasa Melayu 64,8 hampir dua kali persentase responden yang paham dan lancar menggunakan Bahasa Melayu 35,2, 4. Tingginya persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunakan Bahasa Melayu pada kawasan yang etnisnya dominan Melayu dengan Bahasa Melayu24,3, 5. Dari 52,6 yang menguasai Bahasa Melayu sejak pandai berbahasa, hanya 33,9 yang memahami dan lancar menggunakannya. Pergeseran bahasa yang terjadi pada komunitas remaja di Stabat mengarah kepada arah kepunahan bahasa. Pada kriteria bahasa yang terancam punah, maka Bahasa Melayu dalam kondisi yang potensial terancam punah. Ada 2 indikator sebagaimana fakta dan data pergeseran bahasa yang terungkap untuk ini, yakni tekanan berat dari bahasa yang lebih besar yaitu Bahasa Indonesia, dan awal hilangnya penutur anak anak dan remaja. Universitas Sumatera Utara Budhiono 2009 dalam jurnal Bahasa Daerah Bahasa Ibu di Palangkaraya: Pergeseran dan Pemertahanan bahasa daerah merupakan dua gejala kebahasaan yang saling terkait. Kedua gejala kebahasaan ini juga bisa dilihat dari gejala persaingan bahasa. Bahasa dikatakan mulai mengalami pergeseran ketika masyarakat mulai meninggalkan bahasa tradisionalnya. Akibat lanjut dari pergeseran bahasa adalah terpinggirkannya suatu bahasa dan termuliakannya bahasa yang lain. Palangkaraya sebagai ibukota Kalimantan Tengah dengan penduduk lebih dari 170.000 ribu orang, adalah salahsatu contoh kota multietnis, multibahsa dan multibudaya. Hal tersebut mengakibatkan semakin bergersernya eksistensi bahasa Ngaju yang merupakan bahasa daerah suku Dayak Palangkaraya. Bahasa Banjar juga sering dipakai karena sektor perekonomian lebih banyak dipegang oleh suku Banjar. Semakin sedikitnya penutur aktif bahasa Ngaju dikarenakan pemakaian bahasa daerah lain yang dianggap lebih tinggi derajatnya. Namun jika kita melihat bahasa Jawa yang merupakan salah satu bahasa yang mempunyai penutur aktif terbesar ke-13 di dunia pantas untuk merasa cemas. Pasalnya banyak orang tua yang memakai bahasa Indonesia di dalam lingkungan keluarga. Bahasa Indonesia juga merasa cemas dikarenakan banyak masyarakat yang mulai “menginggriskan” bahasa dan logat agar terlihat cendikia. Dalam hal ini orang tua juga sadar akan pentingnya pelestarian bahasa daerah, namun orang tua juga harus membekali anak mereka dengan bahasa asing untuk mempermudah persaingan di era globalisasi sekarang ini. Pengajaran-pengajaran tentang pentingnya bahasa asing membuat tidak adanya celah bagi bahasa daerah untuk dapat bersaing kejajaran yang lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara Dalam penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan tidak adanya pewaris dan regenerasi bahasa daerah. Faktor pertama, adalah faktor sosial, di Palangkaraya Bahasa Banjar cenderung diterima oleh semua kalangan sehingga prioritas pemakaian dan pewarisannya tinggi. Lain halnya dengan bahasa dayak yang lebih banyak digunakan dalam lingkungan tertentu dan terbatas sehingga orang tua enggan mewariskan bahasa daerah tersebut. Faktor kedua, adalah faktor ekonomi diamana bahasa banjar merupakan pelaku ekonomi terbesar di Palangkaraya khususnya, dan Kalimantan Tengah umumnya. Faktor ketiga, adalah faktor politik. Kebijakan bahasa nasional yang dulu dikenal dengan politik bahasa nasional sedikt banyak juga berpengaruh terhadap keterpinggiran bahasa daerah. Keputusan pemerintah memasukkan bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan adalah langkah awal yang perlu ditindaklanjuti oleh berbagai pihak agar terlestarikannya bahasa daerah. Penelitian berikutnya membahas bahasa daerah Gorontalo yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, Bahasa Gorontalo telah masuk dalam muatan lokal. Bahasa Gorontalo sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia sedang mengalami hal yang sama yaitu terancam dari kepunahan. Kenyataan menunjukan, Bahasa Gorontalo terdesak pemakaiannya karena hal-hal berikut ini: 1 Desakan pemakaian dialek Manado, 2 Desakan pemakaian bahasa Indonesia melalui jalur pendidikan, 3 Campur-baur kelompok etnik Gorontalo dengan kelompok etnik pendatang, misalnya Bali, Bolaang Mongondow, Bugis, Jawa, Makassar, Minahasa, Luwuk, Kendari, dan Sangir, 4 Kepedulian penurut Bahasa Gorontalo terhadap bahasannya sendiri, 5 Pernikahan, yakni jejaka atau gadis Gorontalo menikah atau dinikahi suku Universitas Sumatera Utara lain, 6 Terbukanya infrastruktur perhubungan, baik darat, laut maupun udara yang menyebabkan mobilitas penduduk yang berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain yang sudah barang tentu akan menggunakan bahasa yang bukan Bahasa Gorontalo, 7 Sikap orang Gorontalo sendiri yang lebih suka menggunakan yang bukan Bahasa Gorontalo, 8 Bahasa Gorontalo belum mantap diajarkan, 9 Pemerintah daerah yang tidak peduli terhadap Bahasa Gorontalo, 10 Generasi muda yang tidak mau lagi menggunakan Bahasa Gorontalo Pateda 1999:1. Berdasarkan penjelasan Pateda pada Seminar Proposal Tesis Program Studi Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Negri Gorontalo yang berlangsung tanggal 9 Februari 2005 di Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo bahwa persoalan yang tertinggal dalam upaya pembinaan dan pengembangan Bahasa Gorontalo, yakni pengajarannya. Pengajaran Bahasa Gorontalo sebagai mata pelajaran muatan lokal sesungguhnya telah dimulai tahun 1995, meskipun pedoma Pelaksanaan Mulok sendiri telah dikeluarkan oleh Depdikbud kini Diknas pada tahun 1987. Persoalannya, yakni sampai sekarang belum diketahui bagaimanakah wujud pengajaran bahasa Gorontalo sebagai muatan lokal. Bahasa pengantar pengajarannya adalah bahasa Indonesia dengan pertimbangan peserta didik memahaminya, kalau diberikan dalam bahasa Gorontalo, peserta didik sulit memahaminya, dan guru juga mengalami kesulitan jika menggunakan bahasa Gorontalo. Sejalan dengan penelitian diatas yang berada pada lokasi yang sama, hasil penelitian ini baik melalui fokus penelitian maupun subfokus penelitian diperoleh kenyataan bahwa peserta tidak menggunakan bahasa Gorontalo. Kenyataan ini pula Universitas Sumatera Utara memberikan gambaran bahwa suatu ketika bahasa Gorontalo tidak akan digunakan lagi sebagai bahasa pengantar bagi masyarakat Gorontalo. Seperti telah diketahui, jika hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peserta “tidak” menggunakan bahasa Gorontalo, maka dua hal yang dilaksanakan yaitu: mencari penyebab; dan menemukan upaya yang dapat dilaksanakan untuk membina dan mengembangkan bahasa Gorontalo. Setelah diadakan pembahasan, maka ditemukan 28 butir penyebab tidak digunakannya bahasa Gorontalo, serta ditemukan pula 29 butir yang berhubungan dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Gorontalo. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa peserta didik tidak menggunakan bahasa Gorontalo. Menurut peneliti penyebab peserta didik tidak menggunakan bahasa Gorontalo disebabkan oleh beberapa hal berikut: 1 Bahasa Gorontalo tidak dipakai dirumah, 2 Bahasa Gorontalo tidak digunakan karena lingkungan tidak mendukung, 3 Tidak digunakan sebab tetangga tidak menggunakan, 4 Tidak digunakan sebab orang lain suka mengunakan dialek Manado, 5 Tidak digunakan sebab Bahasa Gorontalo sulit, 6 Tidak digunakan, sebab orang tidak tahu menggunakan Bahasa Gorontalo, 7 Tidak digunakan , sebab ibu dan bapak menggunakan Bahasa Indonesia, 8 Tidak digunakan, sebab teman berbicara dalam bahasa lain, 9 Tidak digunakan, sebab di tempat umum digunakan bahasa lain, 10 Guru tidak menggunakan Bahasa Gorontalo sebagai bahasa pengantar, 11 Sesama guru tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, 12 Untuk memberi pemahaman guru tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, 13 Tidak ada sanksi bagi masyarakat yang tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, 14 Ketika terjadi interaksi di tempat umum tidak digunakan Bahasa Gorontalo. 15 Ketika interaksi jual beli di pasar tidak Universitas Sumatera Utara digunakan Bahasa Gorontalo, 16 Buku ilmu pengetahuan seperti fisika tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, 17 Peserta didik menganggap tidak ada gunanya Bahasa Gorontalo, 18 Peserta didik tidak menggunakan Bahasa Gorontalo ketika bergaul, 19 Bahasa Gorontalo tidak digunakan di tempat ibadah, 20 Bahasa Gorontalo tidak digunakan ketika orang berada di atas kendaraan umum, 21 Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh peserta didik ketika berkonsultasi dengan dokter, 22 Peserta didik tidak menggunakan Bahasa Gorontalo ketika bermain, 23Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh aparat pemerintah, 24 Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh mas media, 25 Bahasa Gorontalo tidak digunakan ketika antaretnik berkomunikasi, 26 Bahasa Gorontalo tidak digunakan di lembaga pendidikan, 27 Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh petinggi di daerah, 28 Bahasa Gorontalo sulit dipelajari. Hal tersebut membuktikan semakin terpuruknya penggunaan bahasa daerah, tidak adanya perhatian dan kesadaran untuk menggunakan ataupun mempelajari bahasa daerah. Dihubungkan dengan pendapat Rachman 2007: 12 “bahwa bahasa daerah mengalami proses penurunan yang signifikan pemakaiannya”. Hal ini pun jika dikaitkan dengan pendapat Chambers 1996: 54 yang menyatakan bahwa menurunnya pemakaian bahasa itu antaranya disebabkan oleh variasi pemakaian bahasa. Dari hasil penelitian diatas, maka tersirat pengertian bahwa dalam pemakaian bahasa tidak dapat dipisahkan dengan variasi berbahasa. Variasi pemakaian bahasa didasarkan pada kontekssituasi sewaktu terjadinya proses berkomunikasi. Kurangnya pengetahuan dan penggunaan bahasa Gorontalo pada peserta didik pada saat Universitas Sumatera Utara berkomunikasi dengan masyarakat sekitar baik satu etnis atau beda etnis dan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia Palubuhu, 2007. Hasil penelitian siregar dalam silalahi 2008, penggunaan bahasa daerah di kota-kota besar mengalami pergeseran dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Penelitian dilakukan pada masyarakat bilingual di medan dan dikhususkan pada interaksi komunikasi intra kelompok dari 13 etnis dan penelitian tersebut dikhususkan pada keluarga. Dari penelitian tersebut disimpulkan pergeseran cenderung terjadi pada kelompok masyarakat yang belum berkeluarga dan pada anak-anak. Kajian terhadap pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa biasanya mengarah kepada hubungan antara perubahan atau kemantapan yang terjadi pada kebiasaan berbahasa dengan proses sosial, budaya, dan psikologi pada saat masyarakat bahasa yang berbeda berhubungan satu sama lain. Untuk mengklasifikasikan tempat penggunaan bahasa daerah maka dapat dilihat dari ranah. Ranah disebut juga dengan domain. Romaine 1994:49 menyebutkan bahwa ranah adalah suatu abstraksi yang merujuk kepada suatu suasana aktivitas yang menghadirkan suatu kombinasi khas dari waktu, tempat, dan hubungan peran. Schmidt dan Rohr dalam Pride dan Holmes 1972:18 mengemukakan Sembilan ranah utama antara lain: 1 rumah 2 arena bermain dan jalan 3 sekolah 4gereja 5 sastra 6 media masa 7kemiliteran 8pengadilan 9 administrasi pemerintahan. Dalam buku yang sama Frey mengurangi menjadi 3 yaitu rumah, sekolah dan gereja. Fishman dan Greenfield 1970 memilih 5 ranah yaitu: Rumah, teman, pendidikan, pekerjaan, dan agama. Universitas Sumatera Utara Sedangkan dalam penelitiannya Siahaan 2002 memilih 2 ranah yaitu keluarga dan persahabatan dengan alsan bahwa ranah tersebut member peluang terhadap kegiatan intrakelompok etnis batak toba. Dalam hal ini hubungan peran yang digunakan juga mengikuti ranah-ranah yang telah ditentukan. Ranah keluarga mencakup komunikasi antara suami-istri, orang tua-anak, anak-saudara, orang tua – saudara. Sedangkan persahabatan meliputi orang tua-teman, anak-teman. Dari hasil penelitian tersebut jelas terlihat bahwa bahasa yang paling sering digunakan anak pada setiap ranah adalah bahasa Indonesia 32,98, sedangkan orang tua adalah campuran bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba 25. Namun jika dilihat dari masing-masing ranah, pada ranah keluarga rumah, anak lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia 47, sedangkan orang tua menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba 28,80, dan bahasa Batak Toba persentase penggunaan tertinggi ada pada arisan keluarga dan didominasi oleh orang tua. Pada ranah berikutnya yaitu ranah persahabatan upacara adat penggunaan bahasa Indonesia tertinggi adalah pada anak 47, sedangkan orang tua menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba 25,60 dan bahasa Batak Toba 21,40. Dari data diatas kesimpulan daripenelitian tersebut adalah bahwa penggunaan bahasa daerah hanya didominasi oleh orang tua, sedangkan anak lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Damanik 2009 melihat hubungan antara 2 variabel, yakni variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas antara lain: Usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, perkawinan, agama, loyalitas bahasa, tempat lahir. Sedangkan variabel terikat antara lain: kekeluargaan, pergaulan, Universitas Sumatera Utara pekerjaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi, tetangga. Pada hasil penelitiannya dijelaskan bahwa pemertahanan bahasa simalungun di semua ranah cenderung baik dikarenakan karena tingginya penggunaan bahasa daerah pada tiga kelompok remaja, dewasa, orang tua. Hal tersebut membuktikan pentingnya remaja sebagai generasi penerus bahasa daerah, dan orang tua sebagai berperan sebagai pengajar dan mengenalkan bahasa daerah kepada generasi penerus. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN