Teori-Teori Feminis

2. Teori-Teori Feminis

Nasaruddin Umar mengatakan bahwa:"Dalam dua dekade terakhir kelompok feminis memunculkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti

kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Kelompok feminis berupaya menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotip jender

lainnya yang berkembang luas di dalam masyarakat.” 41 Adapun teori-teori yang lahir dari kelompok-kelompok feminis

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Feminisme Liberal

Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi

penindasan antara satu dengan lainnya. 42 Meskipun dikatakan feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak

persamaan secara menyeluruh laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal— terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi—aliran ini masih tetap memandang perlu adanya pembedaan (distinction) laki-laki dan perempuan.

39 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 47

41 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 50 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64 42 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64

Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa

konsekwensi logis di dalam kehidupan bermasyarakat. 43

b. Feminisme Marxis Sosialis

Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa

ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional

dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. 44

c. Feminisme Radikal

Menurut kelompok ini, perempuan tidak harus tergantung kepada laki- laki, bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan. Kepuasan seksual dari laki-laki adalah masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan

pembiasaan kepuasan itu dapat terpenuhi dari sesama perempuan. 45 Aliran ini mendapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog

tetapi juga di kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak berpikir realistis tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya akan merepotkan dan merugikan perempuan itu

43 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64 44 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 65 45 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 67 43 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64 44 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 65 45 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 67

diimbangi oleh perempuan. 46 Mastuhu mengutip surat kabar Easter Mail yang terbit di Kopenhagen

Denmark, Mei 1975 yang memuat protes keras mahasiswi Universitas Kopenhagen terhadap pernyataan pemerintah Denmark yang menghina dan menjatuhkan derajat perempuan. Mereka (para mahasiswi) mengatakan, "Kami tak mau dijadikan barang-barang. Kami ingin tetap berdiam di rumah. Kembalikan sifat-sifat kewanitaan kami. Kami menolak hidup bebas tanpa

kendali." 47 Mastuhu selanjutnya mengutip Abdurahman al-Baghdadi (1990)

menyatakan bahwa Ana Rode seorang penulis perempuan Denmark berkomentar,

Masyarakat saat ini selalu menuntut mode dan hidup dengan mode tersebut. Aku tak sudi menuntut mode, aku ingin menjadi perempuan, bukan sebagai benda…. Sesungguhnya, aktivitas-aktivitas yang menjengkelkanku saat ini adalah apa yang menamakan diri sebagai gerakan kebebasan perempuan. Padahal gerakan-gerakan semacam itu tak akan berhasil mengubah suatu kenyataan. Laki-laki selamanya

tetap laki-laki dan perempuan selamanya tetap perempuan. 48 Sedangkan konsep Islam tentu sangat berbeda dengan konsep-konsep

yang lainnya karena Islam menempatkan posisi perempuan pada tempat yang terhormat, seperti aurat perempuan berbeda dengan laki-laki, sehingga pakaiannyapun tentu harus berbeda. Namun dari segi lain banyak kesamaannya, seperti melaksanakan shalat, puasa, zakat, menuntut ilmu, berdakwah, berdagang, menjadi pejabat pemerintahan seperti menjadi hakim, dan lainnya.

46 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 67 47 Mastuhu, Peran Serta IIQ dalam Membentuk Ulama Wanita Menyongsong Abad XXI,

(selanjutnya tertulis Peran Serta IIQ Dalam Membentuk Wanita) Majalah al-Furqan, h. 6 48 Mastuhu, Peran Serta IIQ dalam Membentuk Wanita…, h. 7