Tardi Koherensi Terjemahan al Quran

KOHERENSI TERJEMAHAN AL-QURAN:

Analisis Struktural Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi Tahun 2002

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister

Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab

Oleh:

TARDI NIM: 06.2.00.1.13.08.0052

Pembimbing:

Prof. Dr. H. Chatibul Umam, MA. SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia dicabut gelar

kesarjanaannya.

Ciputat, ..... Agustus 2008

Tardi

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “KOHERENSI TERJEMAHAN AL-QURAN” : Analisis Struktural Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi 2002 yang ditulis oleh Nama

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diperbaiki sesuai dengan permintaan, saran dan masukan pembimbing dan disetujui untuk dibawa ke sidang ujian tesis.

Jakarta, ...... Agustus 2008

Pembimbing,

Prof. Dr. H. Chatibul Umam, MA.

iii

PENGESAHAN

Tesis saudara Tardi (NIM. 06.2.00.1.13.08.0052) yang berjudul

KOHERENSI TERJEMAHAN AL-QURAN: Analisis Struktural Terjemahan

al-Quran Depag RI Edisi Tahun 2002 telah diujikan pada hari Kamis, 28 Agustus 2008 dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 04 September 2008

TIM PENGUJI:

1. Dr. Udjang Tholib, MA. (..................................) Ketua/ Merangkap Penguji

Tgl.

2. Prof. Dr. Chotibul Umam, MA. (...................................) Pembimbing/ Merangkap Penguji

Tgl.

3. Dr. Faizah Ali Sybromalisi (...................................) Penguji

Tgl.

4. Dr. Yusuf Rahman, MA. (...................................) Penguji

Tgl.

iv

ABSTRAK

Penelitian ini membuktikan bahwa terjemahan al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia edisi 2002 menggunakan teori-teori terjemahan secara umum yang ditawarkan oleh Newmark. Teori tersebut dikembangkan melalui prosedur penerjemahan yang tidak hanya mengikuti satu langkah, tetapi tiga langkah, yakni analisis, transfer dan restrukturisasi. Ketiga langkah ini tidak dapat memecahkan kesulitan penerjemahan dalam tataran kata, frasa atau kalimat. Oleh karena itu, teknik atau strategi penerjemahan al-Quran tetap diperlukan. Penelitian ini menggambarkan strategi terjemahan al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, yang kemudian dibagi ke dalam dua bagian, yakni strategi struktural dan

strategi semantis. Strategi struktural digunakan untuk mencari padanan struktural antara bahasa

al-Quran (Bsu) dan bahasa Indonesia (Bsa). Jika tidak ditemukan padanannya, maka pengalihan fungsi (transposisi) harus dilakukan. Sedangkan strategi semantis dilakukan atas dasar pertimbangan makna. Karena semua makna Bsu tidak dapat diterjemahkan sepenuhnya ke dalam Bsa. Kedua strategi ini dimaksudkan untuk memperkuat pernyataan Ahsin Sakho Muhammad, salah seorang anggota tim penerjemah al-Quran, bahwa kesulitan yang dapat dirasakan langsung oleh para anggota tim penerjemah al-Quran adalah mencari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam tesis ini padanan kedua bahasa itu dianalisis menurut tingkat kebahasaaannya.

Selain itu, penelitian ini memperkuat pernyataan Suryawinata bahwa terjemahan al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia bersifat semantis. Kecenderungan terjemahan semantis dapat diketahui dari objektifitasnya, yakni tidak terikat dengan Bsu maupun Bsa secara penuh. Struktur Bsu, makna dan gaya bahasanya tetap dipertahankan dalam terjemahan Bsa, sehingga terjemahan al-Quran masih tetap terasa sedikit kaku tetapi tidak sekaku terjemahan harfiah.

Objek penelitian ini adalah terjemahan al-Quran yang berusaha menjelaskan materi melalui media yang berbeda, yakni bahasa al-Quran dengan bahasa Indonesia. Secara ideal, struktur bahasa al-Quran dan bahasa Indonesia merupakan struktur yang harus dipersamakan secara fungsional. Sehubungan kedua bahasa itu berbeda, maka analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kontrastif. Analisis ini mengandung dua langkah, yakni mendeskripsikan Bsu dan Bsa, dan membandingkan antara keduanya. Perbedaan antara keduanya merupakan variabel yang diperhatikan dalam penerjemahan.

ABSTRACT

This research proves that Qur'an translation of Depag RI, Edition 2002 uses common translation theory which was introduced by Newmark. That theory is developed through translation procedure that does not follow only one stage, but three stages, those are analyzing, transferring, and restructurisation. The three stages can not completely solve the translation difficulties in words, phrases, or sentences level. Therefore, techniques or strategies of Qur’an translation are still required. This research describes Qur’an translation strategy that is conducted by Depag RI, which is divided into two, namely structural strategy and semantical strategy.

Structural strategy is used to look for structural equivalent between the language of Qur' an (the source language) and Indonesian language (the target language). If its equivalent is undiscovered, the function shifting (transposition) will

be performed. Whereas semantical strategy is performed based on meanings consideration. Since all meaning of the source language can not be translated utterly into the target language. Both strategies are meant to strengthen Ahsin Sakho Muhammad's statement, one of Qur'an translators of Depag RI, that the main difficulty felt by members of Qur’an translator team is how to get the equivalence of Qur’an language in Indonesian. So, the equivalence of the two languages is analyzed in this thesis in accordance of their terminological level.

This research also strengthens Suryawinata's statement that Qur’an translation of Depag RI gets semantical character. The preference of using semantical translation can be known from the objectivity, which is not tied up extremely either on source language or target language. The structure of source language, its meaning and style are maintained in target language translation. So that the Qur’an translation still looks textual but not as textual as literal translation.

The object of this research is Qur’an translation which tries to explain the material through different medium, those are the language of Qur' an and Indonesian language. Ideally, the structure of language of Qur’an should be functionally likened to Indonesian language. As both languages are different, the analysis technique used is contrastive analysis. This technique contains two steps, namely describing source language and target language, and comparing between both languages. The differences of two languages in translation are observed carefully.

vi

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN syarif Hidayatullah Jakarta yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Konsonan

Huruf Arab

Huruf Latin

Keterangan

ﺍ Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ﺏ

h h dengan garis di bawah

es dengan garis di bawah

d de dengan garis di bawah

te dengan garis di bawah

zet dengan garis di bawah

viii

Huruf Arab

Huruf Latin

Keterangan

koma terbalik di atas hadap kanan

a. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

a fathah

kasrah

dammah

b. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

au

a dan u

ix ix

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ﺎـَـــ

a dengan topi di atas

ﻲِــــ

i dengan topi di atas

ﻮُــــ

u dengan topi di atas

3. Ta Marbûtah

Jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na´t). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi /t/.

Contoh: No

Kata Arab

Alih Aksara

tarîqah

al-jâmi’ah al-islâmiyyah

wahdat al-wujud

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah. Contoh:

ﺎﻨّـﺑر : rabbanâ

لّﺰﻧ : nazzala

: al-darûrah

5. Kata Sandang

Kata sandang “Ư ǚ ” dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti dengan huruf syamsiyyah maupun diikuti dengan huruf qamariyyah.

Contoh:

ﺲﻤﺸﻟا : al-syams

ﻢﻠﻘﻟا : al-qalam

xi

DAFTAR SINGKATAN

Bsa

= Bahasa Sasaran

Bsu

= Bahasa Sumber

F = Frasa Fa = Fâ’il

FAdj

= Frasa Adjektival

Fi

= Fi’l

FN

= Frasa Nominal FV = Frasa Verbal

= Kata Sarana

V = Verba

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan Fungsi Sintaksis Bsu dan Bsa hal. 60 Tabel 2 Perbandingan Kategori Bsu dan Bsa

hal. 62 Tabel 3 Pronomina Persona Bsu dan Bsa

hal. 102 Tabel 4 Pronomina Penunjuk Bsu

hal. 105 Tabel 5 Pronomina Penghubung

hal. 108 Tabel 6 Numeralia Bsu dan Bsa

hal. 111 Tabel 7 Kata Sarana Bsu dan Bsa

hal. 122

xiii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul KOHERENSI TERJEMAHAN AL-QURAN: Analisis Struktural Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi Tahun 2002. Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, dengan penuh ketulusan hati penulis ingin menyampaikan

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. H. Chatibul Umam, MA, selaku pembimbing tesis yang senantiasa memberikan waktu kepada penulis dengan tulus untuk berkonsultasi, memberikan bimbingan serta arahan hingga karya ilmiah ini selesai.

4. Departemen Agama, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan program magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda Sarip (alm.) dan Ibunda Kadisem serta Ayahanda mertua, H. Muhyiddin (alm.) dan ibunda Hj. Muhdiyah yang telah mengorbankan segalanya dan mendoakan untuk kebaikan hidup penulis di dunia dan akhirat nanti.

6. Istri tercinta ’Aini Sa’adah yang senantiasa memberikan motivasi kepada penulis dan sabar dalam kesendirian mengasuh dan mendidik ananda tersayang Anisah Novie Musyarrofah, Abdullah Umar dan Wardah Shobahiyyah.

xiv

7. Sahabat-sahabat penulis di SPs UIN Jakarta yang tinggal bersama penulis selama dua tahun di Asrama Putra dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari, dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis, tesis ini jauh dari kesempurnaan. Karena itu, kritik dan saran dari pihak manapun sangat diharapkan.

Akhirnya, dengan senantiasa berharap rida dan rahmat Allah SWT, penulis mempersembahkan karya ini kepada mereka yang berkeinginan kuat untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran di madrasah. Semoga karya ini mempunyai nilai manfaat. Amin.

Ciputat, 12 Agustus 2008

Penulis,

Tardi

xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terjemahan, baik lisan maupun tulisan, sebagai bagian dari ilmu linguistik relatif belum lama. Bahkan sampai sekarang mengenai masalah terjemahan belum ada nama acuan yang diterima secara umum. Setiap pemerhati linguistik terjemahan mempunyai istilah sendiri, seperti: “Ilmu Terjemahan”, “Teori Terjemahan”, “Pengantar Teori Terjemahan” dan lain-

lain. 1 Menurut Wolfram Wills dalam bukunya The Science of Translation , penerjemahan adalah suatu proses transfer yang bertujuan untuk menyampaikan teks tertulis BSu (bahasa sumber) ke dalam BSa (bahasa

sasaran) 2 yang optimal padan, dan memerlukan pemahaman sintaksis, semantik, dan pragmatik, serta proses analisis terhadap BSu. 3 Islam memandang bahwa terjemahan menempati posisi strategis untuk

menjalankan misi-misi Islam dan keilmuan, 4 di mana sasaran utamanya adalah orang-orang non Arab yang tidak memahami teks-teks Arab sebagai bahasa

sumber ajaran-ajaran Islam, seperti al-Quran dan Hadits. Teks-teks tersebut harus dipahami mereka sebagai bahasa yang komunikatif.

Sebagai sebuah teks, al-Quran tidak pernah kering, apalagi habis. Teks al-Quran bisa diterjemahkan dan ditafsirkan secara kaya, tergantung

2 Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h. vii. Istilah “bahasa sumber” merupakan terjemahan dari source language (SL), yakni bahasa

yang diterjemahkan. Sedangkan “bahasa sasaran” merupakan terjemahan dari target language (TL), yakni bahasa terjemahan. Istilah dalam terjemahan teks, bahasa sumber identik dengan “teks sumber” (Tsu), sedangkan bahasa sasaran identik dengan “teks sasaran” (Tsa). Kedua istilah tersebut juga merupakan terjemahan dari source text (ST) dan target text (TT). 3

Wolfram Wills, The Science of Translation (Stuttgart: Gunter Narr Verlag Tubingen, 1982), h. 3. Sebagaimana dikutip oleh Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 15-16. 4

Pada masa Bani Umayyah hanya dua orang khalifah yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu, yaitu Khâlid bin Yazîd dan Khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Azîz. Sedangkan Bani ‘Abbasiyah hampir sebagian besar memiliki kepedulian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sebut saja khalifah al-Mansûr, Hârûn al-Rasyîd, al-Ma’mûn, al-Mutawakkil. Lihat, Rasyîd al-Jamîli, Harakah al-Tarjamah fi al-Masyriq fi al-Qarnaini al-Tsâlits wa al-Râbi’ al-Hijri (Baghdad: Dâr al-Syu’ûn al-Tsaqâfiyah al-‘Âmmah, 1986), h. 76.

5 konteksnya, baik konteks linguistik 6 maupun non-linguistiknya. Dengan demikian, persinggungan dan persentuhan antara penerjemah atau penafsir

dengan al-Quran merupakan pergulatan yang dinamis. Bagi orang-orang asing, terjemahan al-Quran ke dalam bahasanya mempunyai peran besar sebagai pengantar untuk mendekatkan pemahaman pesan-pesan al-Quran. Dalam kaitannya dengan penerjemahan al-Quran, menurut al-Zarqâni, penerjemahan al-Quran selama ini hendaknya mempunyai enam peran penting di antaranya adalah memberi informasi yang jelas terhadap orang-orang non Arab tentang substansi ajaran-ajaran Islam, dan

menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim untuk menyampaikan lafal dan makna al-Quran. 7

Manshûr Muhammad Hasb al-Nabi mengemukakan bahwa penerjemahan dan penafsiran al-Quran yang akurat dan jelas adalah satu dakwah kepada non muslim atau non Arab dengan cara yang obyektif dan ilmiah untuk memastikan kebenaran wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan untuk menentang tuduhan-tuduhan dan pengingkaran mereka. Dengan terjemahan itu, kiranya mampu membangkitkan kesadaran

mereka dari keingkarannya. 8 Al-Quran sebagai teks, satu-satunya pintu untuk memasukinya adalah

dengan menggunakan perangkat kebahasaan, mulai dari bahasa sebagai ilmu yang sudah mapan dengan segala cabangnya (Fonologi, Morfologi, Sintaksis

Mengingat objek kajian linguistik adalah bahasa, merupakan fenomena yang menyatu dengan kehidupan manusia, maka objek kajiannya meliputi linguistik umum dan khusus (dilihat dari sisi berlakunya bahasa di suatu tempat), linguistik sinkronik dan diakronik (ditinjau dari sisi masa berlakunya), linguistik mikro dan makro (ditinjau dari segi faktor internal dan eksternal), linguistik teoritis dan terapan (berdasarkan tujuannya), linguistik tradisional, struktural, transformasional, generatif semantik, relasional dan linguistik sistemik (berdasarkan aliran atau teori yang digunakan dalam penelitian bahasa). Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta Karya, cet. II, 2003), h. 14 - 17 6

Persoalan non linguistik adalah segala sesuatu yang menyertai teks di luar aspek kebahasaan teks, seperti hal-hal yang mencakup ideologi, budaya, sosial, politik, sejarah. 7 Disimpulkan dari Muhammad ‘Abd al-‘Adhîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al- Qurân (Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halbi, t.t.) jilid II, h. 137-139.

8 Manshur Muhammad memberikan satu contoh ayat 33 surah Ibrahîm, pada kata ﻦﯿﺒﺋاد yang diartikannya dengan bekerja terus tanpa henti (menggambarkan aktivitas matahari dan

bulan). Lihat, Manshûr Muh ammad Hasb al-Nabiy, al-Qurân wa ‘Ilm al-Hadîts (Mesir: al-Hayyah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kuttâb, 1991), h. 235-236.

dan Semantik), hingga temuan-temuan mutakhir dalam bidang ini, seperti pragmatika bahasa, wacana, dan semua ilmu yang berbicara tentang hubungan bahasa dengan konteks sosial-budaya. Semua ilmu ini harus didayagunakan untuk menguak teks. Meski demikian, tidak hanya perangkat kebahasaan yang mampu untuk mengeksplorasi makna al-Quran tersebut, namun masih banyak pendekatan yang masih mungkin dilakukan untuk hal itu. Perangkat bahasa dipergunakan di sini dalam kaitannya dengan fakta bahwa al-Quran adalah teks verbal.

Terjemahan al-Quran bagi orang yang asing, khususnya masyarakat muslim Indonesia - sebagaimana yang dipahami selama ini - merupakan wacana yang harus dibaca, dipahami dan diaplikasikan, sebagaimana orang yang paham dengan bahasa al-Quran. Terjemahan al-Quran yang tidak tepat, sepadan dan adekuat akan menimbulkan kontradiksi dan persepsi yang salah. Misalnya terjemahan al-Quran yang dihasilkan oleh H.B. Jassin, seorang

kritikus sastra pada akhir 1970-an. 9 Terjemahannya ini kemudian mendapatkan kecaman dan kritik serta tanggapan dari berbagai komunitas masyarakat muslim di Indonesia, termasuk dari Departemen Agama. 10 Sebenarnya dalam hal penerjemahan, “betul-salah” nya terjemahan hanya bersangkutan dengan aspek kebahasaan murni. Ini sifatnya mutlak. Dan faktor bahasa itulah yang selalu membayangi proses penerjemahan, karena antara Bsu dan Bsa berbeda. Jadi, istilah kesalahan dalam terjemahan harus dibedakan antara “betul-salah” (correctness) dengan “baik-buruk” (good or

bad translation). 11

Diakui bahwa terjemahan satu kalimat, tidaklah sepenuhnya sama dengan bahasa sasaran yang dimaksud, karena adanya beberapa perbedaan antara kedua bahasa tersebut. Lebih-lebih bahasa Arab mempunyai kosa kata

9 Dia mendapatkan inspirasinya dari Dr. Yûsuf ‘Ali, seorang penerjemah al-Quran ke dalam bahasa Inggris berasal dari India pada tahun 1930-an. Terjemahan H.B. Jassin ini bergaya puitis

dengan kalimat-kalimat yang indah. Lihat, Phil M. Nur Kholis Setiawan, al-Quran Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), h. 264. 10

Lihat, H. Oemar Bakry, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Quran al- Karim Bacaan Mulia (Jakarta: Mutiara, 1979). 11 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Bandung: Pustaka Jaya, 2006), h. 27.

yang sangat kaya. Di sisi lain diakui pula, bahwa menerjemahkan al-Quran tidak akan pernah berhasil, 12 karena itu banyak ulama yang enggan menggunakan istilah terjemahan al-Quran, tetapi “terjemahan makna-makna al-Quran” 13 Namun demikian, istilah terjemahan al-Quran di Indonesia lebih banyak digunakan dalam pengertian “terjemahan makna-makna al-Quran”. Dan inilah yang membedakan terjemahan kitab suci al-Quran dengan kitab Injil.

Menurut Suryawinata, praktek terjemahan al-Quran agaknya menggunakan prinsip terjemahan semantis. 14 Oleh karena itu, pada umumnya

terjemahan semantis terasa lebih kaku dengan struktur yang lebih kompleks karena ia menggambarkan dan mempertahankan proses berpikir dan idiolek penulis aslinya.

Makna-makna al-Quran sering kali menguji ketelitian penerjemah, sehingga penerjemah menerjemahkan makna baru di tingkat kata, frase dan kalimat yang boleh jadi tidak dikehendaki al-Quran. Oleh karena itu, teks al- Quran – sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Islam – adalah wacana otoritatif (authoritative), sehingga penerjemahannya harus sedekat dan setepat mungkin dengan teks aslinya baik gramatika, kosakata, konsep, makna, amanat maupun stilistiknya.

Kehadiran Al-quran dan terjemahnya terbitan Departemen Agama RI Edisi Tahun 2002 yang diakui telah mengalami beberapa penyempurnaan, 15

sangatlah penting bagi masyarakat Indonesia, karena al-Quran dengan menggunakan bahasa aslinya tidak mudah dimengerti oleh kebanyakan umat Islam Indonesia. Meskipun banyak bermunculan al-Quran berikut

Sambutan Menteri Agama, al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), h. iii. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi,( Jakarta: Lentera Hati, 2006) h. 323. 13

14 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 323. Terjemahan semantis berusaha mempertahankan struktur semantis dan sintaktik serta

makna kontekstual dari teks BSu. Sehingga elemen budaya BSu harus tetap menjadi elemen budaya BSu meskipun ia hadir dalam teks terjemahan BSa. Lihat, Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 50. 15

Aspek-aspek penyempurnaan itu meliputi aspek bahasa, konsistensi, substansi dan transliterasi. Lihat, Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), h. vi.

terjemahannya yang diterbitkan oleh beberapa penerbit, 16 namun tetap dalam pengawasan dan penelitian serta pengesahan dari Lajnah Pentashih al-Quran.

Sebagai karya terjemahan teks suci al-Quran, al-Quran dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama perlu diuji dari segi kualitas hasil terjemahannya.

Menurut Suryawinata, 17 di antara cara-cara yang dilakukan untuk menguji hasil terjemahannya itu adalah (1) membandingkan teks Bsu dengan Teks Bsa,

(2) terjemahan balik, (3) prosedur Cloze, (4) pengujian pemahaman dan kesan oleh pembaca teks Bsa, dan (5) membandingkan pemahaman dan kesan yang diperoleh oleh pembaca teks Bsu dan pembaca teks Bsa.

Dalam banyak hal, penelitian dengan objek hasil terjemahan identik dengan kritik terjemahan. Menurut Newmark, 18 sebuah kritik terjemahan yang

komprehensif harus mencakup lima hal, yaitu (1) analisis singkat teks Bsu, (2) interpretasi penerjemah, (3) perbandingan yang selektif bagian teks Bsu dan teks Bsa, (4) evaluasi terjemahan, dan (5) peran karya tersebut dalam budaya atau disiplin ilmu di dalam konteks Bsa.

Terjemahan al-Quran memiliki tingkat keterpahaman yang tinggi, memenuhi seluruh makna dan maksud nas sumber dan bersifat otonom. Otonom yang dimaksud adalah terjemahan itu dapat menggantikan nas

sumbernya. 19 Singkatnya, kualifikasi itu ditetapkan supaya terjemahan yang dihasilkan berkualitas. Menilai kualitas terjemahan berarti menilai tingkat keterpahamannya. Menurut Nida dan Taber, tingkat keterpahaman itu berkaitan sekali dengan ada atau tidaknya dua hal, yaitu (a) ungkapan yang dapat menimbulkan salah

16 Di antara penerbit yang menerbitkan al-Quran dan Terjemahnya serta telah mendapatkan Tanda Tashih adalah C.V. Asy-Syifa, Semarang; C.V. Karya Utama, Surabaya; C.V. Mekar,

Surabaya; C.V. Karindo, Jakarta; C.V. Ramsa Putra, Surabaya; C.V. Diponegoro, Bandung; C.V. Pustaka Amani, Jakarta; P.T. Al-Huda Pelita Insan Ind, Jakarta; P.T. Syamil Cipta Media, Bandung. Sedangkan untuk al-Quran dan Terjemahnya serta Transliterasinya adalah penerbit C.V. Sinar Baru Bandung. Lihat, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia, Kegiatan Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran, artikel diakses pada tanggal 17 April 2008 dari http/www.Depag. 17

18 Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation, h. 176. 19 Peter Newmark, Approaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 186. Muhammad ‘Abd al-‘Adhîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qurân, jilid II, h.

paham dan (b) ungkapan yang membuat pembaca sangat sulit memahami amanat yang dikandungnya karena faktor kosa kata dan gramatika. 20 Faktor kosa kata dan gramatika seringkali menjadi objek kritik terjemahan. Moh. Mansyur, dalam studi kritisnya terhadap terjemahan al- Quran Departemen Agama (1998) – sebagaimana penulis kemukakan pada bab penelitian terdahulu yang relevan - menyatakan bahwa penyimpangan terjemahan dapat terjadi karena pemilihan kata (diksi) yang kurang tepat dalam terjemahan gramatika BSu. Ismail Lubis (2001) juga menyatakan bahwa penyimpangan terjemahan dapat diakibatkan oleh ketidaksesuaiannya

dengan gramatika Bsa. Ketidaksesuaiannya itu antara lain: frasa preposisional daripada banyak digunakan di luar kalimat perbandingan; dua kata syarat sekaligus digunakan untuk menyatakan satu kalimat pengandaian, seperti kalau sekiranya, jika seandainya, jika sekiranya ; kata saling digunakan untuk menyatakan kooperatif (musyârakah) dengan pengulangan kata verbal yang

serupa, seperti saling dahulu mendahului dan sebagainya. 21 Namun dalam beberapa hal yang berkaitan dengan terjemahan al-Quran Depag RI sendiri, misalnya ragam dan prinsip-prinsip terjemahan, strategi terjemahan, padanan leksikal dan gramatikal serta kata-kata dan makna terjemahan al-Quran, penelitiannya belum pernah dilakukan. Padahal menurut

Hoed, 22 ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan dalam terjemahan, yaitu (a) perbedaan antara Bsu dan Bsa, (b) faktor konteks, dan (c) prosedur

terjemahan. Faktor pertama, perbedaan antara Bsu dan Bsa jelas ada, sebab tidak ada dua bahasa yang sama, karena masing-masing bahasa memiliki karakteristik masing-masing, lebih-lebih kedua bahasa tersebut berbeda rumpun bahasanya. Kedua, faktor konteks atau sebagai proses penerjemahan yang dapat membantu memecahkan masalah, misalnya dalam konteks cerita suatu

Nida, E.A. dan Taber C. The Theory and Practise of Translation (Leiden: The United Bible Societies, 1982), h. 2. 21 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 215. 22 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 40.

kegiatan dapat dianggap “lampau”, meskipun tidak diungkapkan pemakaian kala lampau pada bahasa terjemahannya. Ketiga, menentukan prosedur terjemahan atau teknik yang cocok untuk memecahkan masalah perbedaan sistem dan struktur kedua bahasa itu.

Berdasarkan beberapa alasan di atas, maka penelitian yang akan dilakukan memang laik. Adapun penelitian yang dimaksudkan penulis adalah analisis struktur wacana terjemahan al-Quran Departemen Agama Edisi Baru

2002. Analisis struktural, 23 dalam kajian penulis terfokus pada dua hal pokok, yaitu analisis bentuk dan analisis makna. Dua model analisis itu meliputi satuan kata, rangkaian kata (frasa), klausa dan kalimat. Sedangkan terjemahan al-Quran dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan. Menurut Mulyana, organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Beberapa aspek pengutuh wacana dapat dikelompokkan ke dalam dua unsur, yaitu (a) unsur kohesi, seperti aspek leksikal dan gramatikal, dan (b) unsur koherensi, seperti aspek makna

(semantis). 24

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Adapun masalah yang mungkin muncul dari latar belakang di atas adalah:

a. Ragam terjemahan al-Quran b. Prinsip-prinsip terjemahan al-Quran

c. Strategi terjemahan al-Quran

d. Padanan Gramatikal dan Leksikal dalam terjemahan al-Quran e. Kata-kata al-Quran dan terjemahannya

f. Makna dan terjemahan al-Quran 23

Istilah struktural pertama kali muncul dari pandangan seorang linguis struktural berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure. Ia melahirkan aliran struktural dalam linguistik yang berpendapat bahwa setiap bahasa adalah sebuah sistem, sebuah hubungan struktur yang unik yang terdiri dari satuan-satuan yang disebut struktur. Lihat Jhon Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), h. 231. 24

Mulyana, Kajian Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 25.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah penulis identifikasi, maka penulis membatasinya sebagai berikut:

a. Strategi Terjemahan al-Quran.

b. Padanan Gramatikal dan Leksikal dalam terjemahan al-Quran. c. Makna dalam terjemahan al-Quran

Adapun alasan penulis membatasi tiga masalah di atas, karena dalam terjemahan al-Quran dituntut adanya tuntunan teknis untuk menerjemahkan kata, frasa, klausa atau kalimat. Dan tuntunan ini disebut

dengan teknik terjemahan atau strategi terjemahan. Dalam literatur terjemahan, strategi ini dikenal dengan prosedur terjemahan (translation procedures).

Sedangkan pembatasan masalah kedua, padanan gramatikal dan leksikal, karena bahasa al-Quran sebagai Bsu dan bahasa Indonesia sebagai Bsa memiliki karakteristik masing-masing, tentunya akan memiliki persamaan dan perbedaan. Meminjam asumsi analisis kontrastif

dalam bidang pengajaran bahasa asing, 25 bila struktur Bsu dan Bsa sama, maka terjemahan akan cenderung lebih mudah. Akan tetapi bila Bsu dan Bsa berbeda, maka penerjemah akan mengalami kesulitan dalam menemukan terjemahan yang sesuai.

Kemudian pembatasan masalah ketiga, makna dan terjemahan, karena keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Menurut Newmark, menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian

atau satu unit linguistik dari satu bahasa ke bahasa lain. 26 Yang perlu dicermati bahwa dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna.

Analisis kontrastif adalah komparasi sistem-sistem linguistik dua bahasa, misalnya sistem bunyi atau sistem gramatikal. Analisis ini dikembangkan dan dipraktekan pada tahun 1950-an dan 1960-an, sebagai suatu aplikasi linguistik struktural pada pengajaran bahasa. Lihat, Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Analsis Kontrastif Bahasa (Bandung: Angkasa, 1992), h. 4. 26

Newmark, About Translation (Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 1991) h. 27.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang penulis rumuskan di sini adalah sebagai berikut: a. Strategi apa yang dilakukan dalam terjemahan al-Quran Departemen Agama RI.

b. Bagaimana padanan gramatikal dan leksikal terjemahan al-Quran dalam perbandingan antara Bsu dan Bsa. c. Jenis makna apa saja yang terkandung dalam terjemahan al-Quran.

C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang berkaitan dengan terjemahan al-Quran Departemen Agama yang merupakan objek dari penelitian ini, penulis temukan tiga buah penelitian, yaitu:

Moh. Mansyur (1998) dalam studi kritisnya terhadap terjemahan al- Quran Depag RI, disimpulkan bahwa terjemahan al-Quran tersebut dianggap menyimpang dari teori penerjemahan al-Quran yang semestinya. Di antara penyimpangan itu antara lain karena penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pengalaman pribadi bukan dilandasi oleh teori linguistik dan tidak ditunjang oleh pengetahuan lain yang membawa kepada kebenaran

terjemahan. 27 Sisi lainnya mengenai diksi, diksi yang dimaksudkan adalah bukan saja dipergunakan untuk mengatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan konteks, gaya bahasa dan ungkapan. Mansyur sempat mengkritisi pemilihan kata (diksi) kata depan yang digunakan dalam menerjemahkan beberapa huruf al-Jarr. Namun yang ia kritisi hanya pada beberapa kasus dan beberapa huruf

al-Jarr, misalnya ﻦﻣ dalam beberapa pola.

Kemudian Ismail Lubis (2001) dalam studi penelitiannya juga mengkritisi terjemahan al-Quran Depag RI Edisi tahun 1990 . Hasil penelitiannya tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan Moh.

27 Moh. Mansyur, Studi Kritis Terhadap al-Quran dan Terjemahnya Depag RI (Disertasi S2 Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 91.

Mansyur. Hanya penekanannya pada sebab-sebab terjadinya kesalahan terjemahan dari aspek ketidaksesuaiannya dengan gramatika Bahasa Indonesia, terutama dalam pemilihan kata (diksi) sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

M. Quraish Shihab dalam karyanya Menabur Pesan Ilahi (2006), menemukan dalam al-Quran dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama beberapa makna yang dihilangkan dan muncul makna baru yang boleh jadi tidak dikehendaki al-Quran. Dan menurutnya, hal-hal itu diakibatkan oleh ketidaktelitian penerjemahan al-Quran. Di antaranya adalah bentuk muanntas

“baqarah” diterjemahkan dengan “sapi betina”, bentuk kata jamak (plural) mawâzînuhu pada fa ammâ man tsaqulat mawâzînuhu diterjemahkan dengan “timbangannya” dalam bentuk tunggal, juga wujûhakum pada fawallû wujûhakum diterjemahkan dengan “wajahmu” dalam bentuk tunggal. Dalam setiap doa yang ada dalam al-Quran, misalnya rabbanâ diterjemahkan

seluruhnya dengan menggunakan kata “ya” atau “wahai”. 28 Ketiga penelitian di atas berkaitan sekali dengan terjemahan al-Quran Depag RI. Perbedaan itu terletak pada edisi terjemahannya, yakni Moh. Mansyur mengkritisi terjemahan al-Quran Depag RI edisi tahun 1970, sedangkan Ismail Lubis terhadap edisi tahun 1990, demikian pula M. Quraish Shihab. Namun, peneliti pertama menjadikan terjemahan al-Quran itu sebagai objek penelitiannya dari sisi gramatika bahasa yang kemudian menyimpulkan bahwa terjemahan al-Quran Depag RI edisi 1970 itu belum mengikuti teori terjemahan. Peneliti kedua tidak jauh berbeda dengan peneliti pertama, hanya aspek yang ditekankan dalam kritikannya adalah gramatika Bsa. Sedangkan peneliti terakhir menjadikan objek penelitiannya dari sisi padanan makna Bsu ke dalam Bsa.

Sehubungan dengan hal itu, penulis hendak mengkritisi pendapat peneliti pertama yang menyatakan terjemahan al-Quran Depag RI itu belum mengikuti teori terjemahan. Teori yang dimaksudkan adalah semacam alat yang dipakai untuk memudahkan proses penerjemahan dan harus diakui

M. Quraish Shihab, Manabur Pesan Ilahi, h. 324-326.

bahwa teori penerjemahan memang diperlukan keberadaannya dalam penerjemahan teks apapun.

Terjemahan al-Quran seperti terjemahan pada umumnya memiliki tujuan dan jenis terjemahan yang diinginkan. Para pakar terjemahan sependapat bahwa “betul-salah” (correctness) tergantung untuk siapa

terjemahan itu dibuat. 29 Misalnya terjemahan teks hukum dibuat untuk orang awam seharusnya dengan menggunakan ungkapan atau istilah yang mudah dipahami mereka. Akan tetapi, jika terjemahan itu dibuat untuk institusi pengadilan dan hukum, maka istilah atau ungkapan yang digunakan adalah

istilah-istilah yang baku. Dengan demikian, pelaksanaan terjemahan harus mempelajari siapa pengguna terjemahan tersebut (audience design). Atas dasar itu, kemudian hal yang dilakukan oleh penerjemah adalah menentukan metode atau cara terjemahannya.

Prinsip dasar terjemahan - sebagaimana dijelaskan oleh Nida dan Taber – hendaknya tidak mengikuti satu langkah saja, namun harus ditempuh dengan “tiga langkah penerjemahan”, yaitu analisis Bsu, transfer atau

mengalihbasakan dalam pikiran dan restrukturisasi (menerjemahkan) . 30 Namun, dengan mengikuti tiga langkah tersebut belum dapat memecahkan masalah terjemahan, terutama dalam menanggulangi kesulitan terjemahan dalam tataran kata, , frase dan kalimat. Cara penanggulangan ini dikenal dengan teknik atau strategi terjemahan.

Ada banyak teknik atau strategi terjemahan yang ditawarkan, misalnya transposisi, modulasi, terjemahan deskriptif, penjelasan tambahan, catatan kaki, terjemahan fonologis, terjemahan resmi/ baku, tidak diberikan padanan dan padanan budaya.

Dalam bahasa tulisan, teks merupakan objek dari terjemahan. Karena itu, terjemahannya dituntut bersifat terbuka. Keterbukaan ini yang menjadikan para pengguna (audience) atau pembaca mudah memahami terjemahan sebagaimana memahami teks sumbernya. Betul-salahnya terjemahan

30 Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan , h. 66. Nida dan Taber, The Theory and Practice of Translation (Leiden: The United Bible

Societies, 1982), h. 82 Societies, 1982), h. 82

dalam hal makna dan kedua pada gaya bahasanya. 31 Padanan yang dimaksud di sini bisa berupa padanan gramatikal, leksikal dan makna. Dengan demikian,

padanan dan makna atau pesan yang terkandung merupakan referensi dasar bagi terjemahan Tsu ke dalam Tsa. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis hendak memperkuat pernyataan Suryawinata bahwa terjemahan al-Quran Depag RI bersifat semantis. Bsu hendaknya dicarikan padanan makna atau pesannya di dalam Bsa. Apabila tidak ditemukan padanannya, maka strategi semantis perlu dilakukan untuk mendapatkan makna atau pesan yang diperoleh sebagaimana Bsu-nya.

Beberapa hal yang berkaitan dengan terjemahan al-Quran terbitan Departemen Agama RI, terutama baik yang menyangkut strategi terjemahan, padanan dan makna terjemahannya, menurut penulis belum dianalisis secara mendalam oleh beberapa peneliti sebelumnya.

D. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk sejauh mana keutuhan wacana terjemahan al-Quran Depag RI. Sedangkan secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk:

1. Memetakan strategi terjemahan al-Quran Depag RI edisi 2002. 2. Mencari unsur-unsur linguistik bahasa al-Quran yang dapat dipadankan

dengan bahasa Indonesia.

Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menejemahkan, Flores: Nusa Indah, 1986, h. 25. Batasan ini sama seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Burdah bahwa terjemah adalah usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran). Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 9.

3. Membandingkan padanan formal dan makna terjemahan al-Quran Depag RI dengan terjemahan edisi sebelumnya dan terjemahan lainnya.

E. Manfaat/ Signifikansi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat berguna bagi pemikiran ilmiah dalam memberikan gambaran dan memperluas pemahaman terhadap bahasa al-Quran yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Dan yang lebih penting adalah untuk:

1. Mendorong terhadap penelitian ayat-ayat al-Quran dan atau terjemahannya yang lebih mendalam ditinjau dari aspek kebahasaannya. 2. Memberikan nilai tambah bagi pengajaran bahasa Arab dan aktivitas

penerjemahan dalam rangka mengatasi problem linguistik yang timbul sebagai akibat perbedaan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia.

3. Memudahkan bagi para pelajar untuk memahami teks-teks berbahasa Arab dan memilih padanan maknanya ke dalam bahasa Indonesia terutama yang berkaitan dengan teks-teks keagamaan.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif sesuai dengan fakta nyata yang ditemukan, kemudian memaparkannya secara deskriptif. Sementara model penelitiannya adalah: (a) observasi terhadap data, (b) penyediaan data, (c) reduksi dan pemaknaan secara deskriptif.

2. Data dan Sumber Data Data ini berupa terjemahan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan unsur-unsur teks terjemahan yang diawali dari tingkat kata, klausa, frase dan kalimat. Sedangkan Sumber datanya adalah terjemahan al-Quran Depag RI edisi tahun 2002 pada surah al-Baqarah.

3. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui metode baca, yaitu membaca secara cermat terjemahan ayat-ayat al-Quran. Hasil baca dipindahkan ke dalam kartu data. Selanjutnya data yang sudah ditranskripsi tersebut 3. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui metode baca, yaitu membaca secara cermat terjemahan ayat-ayat al-Quran. Hasil baca dipindahkan ke dalam kartu data. Selanjutnya data yang sudah ditranskripsi tersebut

4. Uji Keabsahan Data Data diuji keabsahannya dengan validitas semantik-kontekstual, yaitu mengklasifikasikan, memaknai dan mengkaji data dengan mempertimbangkan konteks kalimat secara struktural. Reliabilitas data dilakukan dengan cara pembacaan dan pengkajian berulang-ulang oleh peneliti agar memperoleh keajegan yang memadai.

5. Analisis Data Sehubungan dengan data yang hendak dianalisis adalah teks terjemahan al-Quran, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis wacana untuk mengungkap pertalian bentuk (kohesi) dan maknanya (koherensi). Menurut Muhadjir, terjemah atau translation merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama melalui media yang berbeda; media tersebut mungkin bisa berupa bahasa yang satu ke

bahasa yang lain, dari verbal ke gambar dan sebagainya. 32 Setiap wacana dalam tingkat kebahasaan memiliki struktur, dan struktur yang dimaksud di sini adalah struktur mikro. 33 Data seperti kata, kalimat dan teks terjemahan semuanya dianalisis berdasarkan metode

kualitatif. 34 Beberapa prinsip analisis yang digunakan antara lain penghayatan dan penafsiran oleh peneliti sendiri sebagai key instrument.

33 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake, 1988), h. 138. Menurut Teun A. Van Dijk, sebagaimana yang dikutip oleh Eriyanto, wacana memiliki tiga

struktur, yaitu: (1) struktur makro, yaitu makna global yang dapat diamati lewat topik dari suatu tema; (2) superstruktur, yaitu kerangka struktur teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh; dan (3) struktur mikro, yaitu makna yang diperoleh melalui analisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, frasa yang dipakai dan sebagainya. Lihat Eriyanto, Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 54.

34 Metode ini dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif. Lihat, Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi

Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2006 ), h. 81

G. Sistematika Penulisan

Untuk menggambarkan isi tesis ini secara garis besar, penulis bagi ke dalam lima bab, yaitu: Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari subbab, yaitu latar belakang masalah, permasalahan, perumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, manfaat/ signifikansi penelitian dan metodologi penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II merupakan kajian dasar untuk menganalisis permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya dengan tema paradigma terjemahan yang terdiri dari subbab hakikat terjemahan, ragam dan prinsip terjemahan, prosedur terjemahan, kualitas terjemahan dan kelembagaannya. Bab III merupakan bab analisis tentang strategi terjemahan al-Quran Depag RI yang terdiri dari tiga subbab yaitu fungsi sintaksi Bsu dan Bsa, strategi struktural, strategi semantis.

Bab IV juga masih dalam bab analisis yang berisi tentang padanan gramatikal dan maknanya, padanan leksikal dan maknanya dan jenis makna dalam terjemahan al-Quran.

Bab V sebagai penutup tesis ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II PARADIGMA TERJEMAHAN AL-QURAN

Kehidupan manusia tidak akan ada artinya bila tidak ada bahasa. Baik itu bahasa yang dipergunakan oleh manusia yang mampu berbicara dan menulis atau bahasa isyarat bagi yang tidak mampu berbahasa lisan. Melalui bahasa pula segala informasi atau pesan dapat dipahami dan dilakukan. Bahasa yang besar hanya dimiliki oleh bangsa yang mampu menyentuh segala aspek kehidupan dan berhubungan dengan perasaan serta segala aktivitasnya.

Bahasa yang satu dengan lainnya tentunya tidak memiliki persamaan secara keseluruhan. Misalnya bahasa Indonesia dengan bahasa Arab tidak ada persamaan dari segi strukturnya, apalagi budayanya. Bahasa Arab yang dikenal sebagai bahasa agama Islam yang dimaksudkan untuk mengenal dan memahami teks-teks keagamaan telah lama diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Keterpahaman terhadap Islam pada awalnya dimulai dari keterpahaman terhadap bahasa kitab sucinya, yakni al-Quran. Namun, bagi komunitas masyarakat yang belum memahami bahasa itu secara optimal harus melewati satu cara yaitu membaca terjemahan bahasanya. Dan dari bahasa itulah mereka akan memahami bahasa al- Quran itu sendiri dan mengamalkan isi kandungannya.

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa bahasa merupakan media terjemahan untuk mengungkapkan materi atau substansi yang sama. Dalam bab ini, penulis perlu menjelaskan terjemahan Al-Quran yang berkembang menurut masa dan ragam serta prosedur yang digunakan. Karena itu hal- hal yang perlu dikemukakan dalam bab ini adalah hakikat terjemahan, ragam dan prinsip terjemahan, prosedur terjemahan, kualitas terjemahan dan kelembagaannya.

A. Hakikat Terjemahan

Terjemahan dapat didefinisikan secara beragam oleh beberapa pakar atau pemberi definisi. Pemberian definisi yang berbeda itu mungkin didasarkan pada pengalihan bentuk-bentuk dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, seperti yang Terjemahan dapat didefinisikan secara beragam oleh beberapa pakar atau pemberi definisi. Pemberian definisi yang berbeda itu mungkin didasarkan pada pengalihan bentuk-bentuk dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, seperti yang

“Translation is basically a change of form. When we speak of the form of a language, we are referring to the actual words, phrases, clauses, sentences, paragraphs, etc., which are spoken or written. ... In translation the form of the source language is replaced by the form of the receptor (target)

language.” 1

Menurut definisi di atas, bentuk bahasa baik tertulis maupun lisan dalam terjemahan dapat mengacu pada kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf. Mungkin juga didasarkan pada penekanan terjemahan sebagai pengalihan arti dan pesan dari suatu bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa), seperti yang dinyatakan oleh Newmark sebagai berikut:

“Translation is a craft consisting in the attempt to replace a written message and/ or statement in one language by the same message and/ or statement in

another language.” 2

Berdasarkan definisi yang dinyatakan Newmark, maka ada dua hal yang diperbincangkan, yaitu: Pertama, Newmark memandang yang berkaitan dengan terjemahan adalah teks tertulis. Kemungkinan yang muncul dari hal pertama ini adalah dimaksudkan untuk membedakan terjemahan (translation) dengan

terjemahan lisan (interpretation). 3 Kedua, Newmark tidak menggunakan istilah equivalen atau padanan, tetapi ia lebih senang menggunakan istilah yang sama

dalam bahasa lain.

1 Mildred L. Larson (selanjutnya disebut Larson), Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence (London: University Press of America, 1984), h. 3.

2 Peter Newmark (selanjutnya disebut Newmark), Aproaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 7

3 Dua istilah translation dan interpretation mengandung perbedaan dalam bahasa Inggris. Perbedaan itu terletak pada media yang digunakan, yaitu terjemahan menggunakan teks tulis