Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal dalam bidang keagamaan yang telah ada sejak abad ke -15. Pondok pesantren mengajarkan berbagai aspek yang berkaitan dengan menjadi muslim yang sesuai dengan tuntunan agama I slam. Selain itu, juga mempersiapkan para santrinya untuk menjadi kader yang mampu menyampaikan ilmu agama yang telah dipelajari selama di pondok pesantren kepada masyarakat luas. Pondok pesantren menyelengarakan pendidikan dibawah kepemimpinan seorang Kiai. Segala peraturan dan kebijakan pondok pesantren bersumber pada kiai. Tidak adanya aturan baku terkait penyelenggaraan pondok pesantren menjadikan masing – masing pondok pesantren memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini disebabkan diantaranya oleh kepribadian, pengalaman, dan cara pandang kiai yang berbeda – beda. Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat menjadi memiliki tuntutan yang berkembang pula. Pendidikan formal dianggap sebagai salah satu hal yang dapat menjadikan seseorang memiliki derajat dan dapat menjadi bekal yang akan digunakan untuk membangun masa depan. Akan tetapi pada era ini juga, anak yang menjadi peserta didik dihadapkan pada situasi dimana semua informasi bebas diperoleh darimana saja dan kapan saja berkat kecanggihan informasi. Hal tersebut mempengaruhi budaya anak masa kini menjadi memprihatinkan. Berbagai peristiwa kenakalan remaja seperti tawuran antar pelajar berujung pembunuhan, penyalahgunaan narkotika, dan sex di luar nikah 2 menjadi sedikit dari sekian banyak contoh fenomena remaja yang tidak dapat dipungkiri. Menurut Badan Narkotika Nasional BNN pada tahun 2012 dari 2,4 juta wanita yang melakukan aborsi, 700-800 ribu adalah remaja. Karena kecemasan akan hal tersebut, pihak pondok pesantren tidak mengijinkan santri untuk mengikuti pendidikan formal diluar pondok pesantren supaya dapat tetap menjaga para santri dari berbagai resiko yang telah dipertimbangkan. Maka dari itu, pendidikan berbasis pondok pesantren dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi kekhawatiran tersebut. I ntegrasi antara pembelajaran formal dengan pembelajaran pondok pesantren dapat menimbulkan suatu dampak yang positif karena siswa akan tetap belajar ilmu pengetahuan dunia dengan tetap didasari dan dibekali ilmu agama yang kuat serta pengawasan yang ketat. Oleh karena itu, beberapa pondok pesantren yang salah satunya adalah Pondok Pesantren Nurul Haromain, mengintegrasikan antara pendidikan formal dan pendidikan pondok pesantren dengan membuka jenjang pendidikan formal yang berbasis pondok pesantren. Tujuannya selain untuk meminimalisir perilaku menyimpang dari para santri, juga untuk mewadahi santri agar setelah lulus dari pondok pesantren bisa memiliki ketrampilan yang dapat digunakan dalam dunia kerja. Selain itu, juga tidak menutup kemungkinan bagi santri untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Salah satu pendidikan formal yang dibentuk oleh Pondok Pesantren Nurul Haromain adalah Sekolah Menengah Kejuruan SMK dengan nama SMK Ma’arif Nurul Haromain Sentolo. Sekolah ini memliki ciri khas yang khusus yakni adanya mata pelajaran muatan pondok pesantren yang dilaksanakan sebelum 3 pembelajaran umum. Pelaksanaannya mulai pukul 07: 00-09: 00 WI B. Sekolah ini memiliki dua program keahlian yaitu busana butik dan perkayuan. Program keahlian tata busana dikhususkan untuk ditempuh oleh santri perempuan yang telah lulus SMP MTS. Program keahlian ini dirasa dapat memberikan ilmu yang aplikatif mengingat busana merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Perkembangan busana yang pesat baik di dalam maupun di luar negeri semakin menempatkan program keahlian tata busana sebagai program keahlian yang memiliki peluang besar kedepannya. Pembelajaran busana pria di SMK Ma’arif Nurul Haromain diajarkan pada kelas XI Program Keahlian Tata Busana. Pembelajaran ini sarat akan nuansa pembelajaran praktik karena lebih dari 50 kegiatan pembelajarannya merupakan praktik dengan tuntutan hasil akhir berupa produk busana pria. Nuansa pembelajaran praktik dalam busana pria tersebut, dapat dilihat pada kompetensi yang hendaknya dapat dicapai siswa yakni: mengelompokkan macam-macam busana pria, memotong bahan, menjahit busana pria, menyelesaikan busana pria dengan jahitan tangan, mengerjakan pengepresan serta menghitung harga jual. Kompetensi tersebut dinilai ketercapaiannya oleh guru berdasarkan tiga aspek yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Prayitno, 2009: 245 kognitif berkaitan dengan daya cipta, afektif merupakan daya rasa, dan psikomotorik berhubungan dengan daya karya. Hal tersebut senada dengan pendapat Radno Harsanto 2007: yang menjelaskan bahwa kognitif merupakan aspek pengetahuan, afektif merupakan aspek sikap, dan psikomotorik merupakan aspek ketrampilan. Aspek kognitif dinilai guru dengan tanya jawab, tes ulangan, maupun ujian akhir. Afektif dinilai berdasarkan 4 pengamatan guru terhadap sikap siswa ketika berada di kelas. Aspek psikomotorik dinilai guru berdasarkan persiapan, proses, dan hasil siswa dalam pembuatan busana pria. Aspek psikomotor pada pembelajaran praktik busana pria, pastinya membutuhkan tenaga yang lebih banyak dibandingkan jika hanya aspek kognitif saja. Tenaga yang lebih dibutuhkan siswa karena membuat busana pria memerlukan gerakan-gerakan aktif ketika memotong bahan, menjahit, maupun penyelesaian. Siswa juga harus cekatan dalam mengerjakan pembuatan busana pria karena siswa tidak bisa mengerjakanya di pondok pesantren. Hal ini disebabkan jadwal di pondok pesantren sangat padat. Padahal siswa pada malam harinya melakukan aktivitas mengaji sampai larut malam Oleh sebab itu, pada observasi pra penelitian terlihat beberapa siswa seperti kelelahan dan tidak sedikit yang menguap. Selain itu, pada aspek kognitif siswa memerlukan fokus lebih pada pengelompokan macam-macam busana ,penggunaan rumus pada pembuatan pola dan pengetahuan tertib kerja menjahit meskipun siswa juga memiliki tuntutan pada semua mata pelajaran umum maupun muatan pondok. Aspek afektif di kelas XI tata busana sangat penting mengingat siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok diskusi. Sehingga, sikap kepada guru maupun siswa sangat penting dikembangkan karena siswa tidak dapat mengerjakan tanpa arahan ataupun bantuan dari siswa lain ataupun guru.

B. I dentifikasi Masalah