Penghayatan Kaul dan Tantangannya

Paus dalam Anjuran Apostolik Hidup Bakti 1996 menyebutkan bahwa biarawati merupakan anggota hidup bakti. Biarawati yang hidup dalam panggilan khusus merupakan anggota hidup bakti. Sebagai anggota hidup bakti, seorang biarawati harus hidup di sebuah lembaga, hidup di komunitas artinya tidak hidup sendiri, dan tentunya hidup berkaul. Lembaga hidup bakti yang ditempati biarawati adalah lembaga dalam arti kongregasi atau tarekat. Biarawati yang menjadi anggota kongregasi atau tarekat harus mampu hidup bersama saudarinya dalam komunitas. Biarawati menjalani panggilan khusus dalam kongregasi dan hidup bersama saudari dalam komunitas menghidupi kaul-kaul, sehingga hidup rohani biarawati lebih bermutu. Dengan demikian, biarawati merupakan seorang wanita religius yang hidup bersama orang lain dalam komunitas, dalam kongregasi yang sama, dan berkaul. Tuhan memanggil biarawati secara khusus untuk meneruskan karya-Nya di dunia ini.

C. Penghayatan Kaul dan Tantangannya

Mutu hidup rohani sebagai biarawati ditentukan oleh mutu penghayatan hidup kaul menurut nasehat Injil. Kaul-kaul yang umum ada dalam kongregasi adalah kaul kemurnian, kaul kemiskinan, dan kaul ketaatan. Kaul merupakan sarana untuk membentuk hidup batin biarawati. Biarawati merupakan manusia biasa yang memiliki kerinduan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seperti kerinduan akan harta benda, cinta manusiawi, dan kebebasan. Biarawati yang mengikrarkan kaul tertantang karena tarikan kebutuhan psikologis dan cita-cita mewujudkan nilai kaul. Tarikan kebutuhan psikologis dan cita-cita untuk mewujudkan kaul akan mempengaruhi kedewasaan atau ketidakdewasaan emosi. Kemampuan seorang biarawati mengintegrasikan kebutuhan psikologis dengan nilai kaul menentukan kedewasaan emosi. Prasetya 1992, menyebutkan kebutuhan-kebutuhan psikologis yang menjadi tantangan dalam penghayatan kaul dan berhubungan langsung dengan ketiga kaul: 1. Kebutuhan psikologis yang dapat menghambat penghayatan kemurnian. Kaul kemurnian mengungkapkan cinta Allah dari segi universal, cinta yang dihayati dalam hubungan yang tidak berkepentingan bagi diri sendiri. Kebutuhan psikologis yang muncul dari cinta manusiawi adalah kebutuhan akan kehangatan, diterima, keakraban, merawat dan diperhatikan, kenikmatan seksual, pamer atau menonjolkan diri. 2. Kebutuhan psikologis yang dapat menghambat penghayatan kemiskinan. Kaul kemiskinan berarti seorang biarawati mengutamakan Kerajaan Surga sebagai satu-satunya yang pantas dimiliki bagi pengembangan dan realisasi diri. Kebutuhan psikologis yang muncul dan dapat menghambat penghayatan kemiskinan adalah kebutuhan memiliki, kebutuhan akan kenikmatan dunia, hedonisme, kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya tidak diperlukan. 3. Kebutuhan psikologis yang dapat menghambat penghayatan ketaatan. Kaul ketaatan berarti biarawati setia dan taat kepada Allah. Biarawati merealisasikan diri sebagai manusia yang merdeka, pribadi, dan mampu menentukan hidupnya sendiri dengan mengikuti hati nurani dan melaksanakan kehendak Allah. Tetapi, biarawati juga berhadapan dengan kebutuhan psokologis seperti kebutuhan akan kebebasan mutlak, kebutuhan sesuai kemauan diri sendiri, kebutuhan akan prestasi, harga diri, kuasa, pangkat, dan kedudukan. Belajar di Perguruan Tinggi merupakan salah satu karya dan tugas perutusan yang dijalani dalam kesetiaan. Panggilan menjadi biarawati menuntut kesetiaan meskipun kebutuhan psikologis juga menjadi tantangan dalam kesetiaan menjalani panggilan. Kesetiaan pada panggilan berarti bersedia menjalankan tugas perutusan, meskipun sulit dan melewati berbagai tantangan. Biarawati memerlukan perjuangan dalam menghadapi kesulitan dan tantangan, mengusahakan agar kehidupan senantiasa berarti bagi diri sendiri, masyarakat, dan agama. Biarawati dapat menemukan cara dalam menghadapi kesulitan dan tantangan dalam menjalankan perutusan melalui peraturan hidup bersama dan penghayatan kaul. Cara-cara yang tersebut seperti membina persatuan dengan Tuhan supaya semakin lepas bebas dan hati semakin dibersihkan, membangun kedamaian hati dan pikiran supaya mampu menghindakan diri dari sikap terburu-buru, membina kerja sama dengan orang lain supaya pekerjaan yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI banyak dan berat dapat diselesaikan dan terasa ringan, dan belajar menerima diri supaya tdiak putusa asa dan mudah marah, Suparno 2007.

D. Makna Belajar bagi Biarawati sebagai Orang Dewasa