3. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga dengan alasan
penegakan disiplin. 4.
Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga yang dikarenakan perbedaan status sosial dan ekonomi.
5. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga dengan alasan
pembelaan dan usaha menyelamatkan diri. 6.
Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga berdasarkan karakter agresifitas yang dimiliki dan pengalaman masa lalu.
7. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga yang sengaja
melakukan kekerasan dengan alasan balas dendam dan kepuasan. 8.
Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga yang dikarenakan pengaruh oleh media massa. httpwikipedia.orgkekerasan. Di akses 29
Oktober 2009 : 01.00 am
2.1.7 Konsep Kekerasan dalam Media Massa
Kebangkitan Televisi pada tahun 1950 berdampak pada studi efek media yang kini memusatkan risetnya pada terpaan televisi 90 rumah tangga di AS
menonton televisi. Tiga konsep penting yang dimodifikasi dalam berbagai varian digunakan dalam penelitian-penelitian media efek Sunarto, 2009 antara
lain : 1.
Media Violence, atau kekerasan di media. Yang dimaksud adalah isi
media yang mengandung unsur kekerasan. Bisa berupa unsur kekerasan
yang terdapat dalam film, televisi, berita. dll. Pada level individu, yang diteliti adalah terpaan isi media yang mengandungkekerasan pada individu.
2. Violence didefinisikan Gerbner 1972 sebagai ‘the overt expression of
physical force against others or self, or the commpelling action against one’s will on pain of being hurt or killed.
3. Aggressive Behavior, didefinisikan Berelson 1973 sebagai inflicting
bodily harm to other and damage to property.
2.1.8 Teori – Teori Kekerasan
Terdapat beberapa teori kekerasan Munandar, 2005, antara lain : 1. Teori Katharsis
Katharsis dalam bahasa Yunani berarti ”pencucian” atau ”pembersihan” . Para pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan
meskipun hanya tipuan kamera fiksi atau tindakan brutal dalam acara TV atau iklan memberikan efek positif bagi penonton. Ketika penonton melihat tayangan
tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan yang dialami para tokoh di dalam acara TV, penonton ikut terlibat berjuang. Dengan akhir yang
bahagia happy ending, penonton puas, rasa takut yangada di bawah sadar penonton hilang berubah menjadi berani. Dengan demikian kekerasan yang
ditayangkan dalam iklan acara TV tidak membawa efek negatif merusak. Sebaliknya justru membawa efek positif bagi penonton.
1. Teori Imitasi
Teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam acara TV mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniru. Pemukulan menggunakan benda properti
lunaktipuan seperti dalam beberapa acara TV misal: program lawak OVJ, tindakan yang dilakukan oleh para pelawak ini membuat penonton merasa
bercanda dengan cara tersebut adalah sebuah gurauan. Padahal kejadian tersebut dapat dilakukan juga oleh anak kecil dengan teman sebayanya, menggunakan
benda yang keras. Masalah ini menjadi permasalahan orang tua dalam mendidik anaknya melihat tayangan di TV.
2. Teori Kekerasan Struktural
Teori ”Kekerasan Struktural” dari Johal Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan
yang paling menarik. Teori kekerasan struktural pada hakekatnyaadalah teori kekerasan ”sobural”. Dengan ”sobural” berarti suatu akronim dari nilai-nilai
sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat. Teori ”kekerasan struktural” jika diimplementasikan secara empirik
realistik, telah diterapkan di zaman Soeharto Orde Baru melalui ABRI dan Organisasi politik yang berkuasa berbaju kultur jawa. Kekerasan struktural
sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abad ke 21 dan bukan pula solusi baru melalui kekerasan struktural terhadap kekerasan. Orang awam berfikir
tentang kekerasan identik dengan perbuatan fisik, sesungguhnya tidak selalu harus berarti demikian. Kekerasan struktural dapat berupa sesuatu yang non-fisik, yang
psikologis berupa stigmatisasi, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis dengan diskriminasi ethnis, yang struktural, bahkan dari yang berwajib berkuasa secara
psikis, sampai pada yang bersifat naratif seperti berita-berita pers mengenai Sadam dan Kadafi. Turpin dan Kurtz,1997 : 91. Terdapat empat pendekatan
yang biasanya digunakan, antara lain :
a. Pertama, esensialisme, yaitu anggapan bahwa konflik disebabkan oleh
adanya permusuhan antara dua kelompok etnik yang berbeda. Teori ini menegaskan adanya perbedaan esensial diantara tiap-tiap kelompok
etnik. Biasanya, penelitian yang menggunakan pendekatan ini cenderung mencari kekuatan interistik dari dan kelompok-kelompok
yang berbeda. b.
Kedua, konstruktivisme, yaitu anggapan bahwa modernisitas telah merubah makna identitas dengan membawa massa ke dalam kerangka
kesadaran yang lebih luas dan ekstra lokal. Hal ini membuat identitas dan komunitas menjadi lebih luas dan terinstustisional. Sebagian
peneliti menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di beberapa negara berkembang merupakan akibat dari kolonialisme. Penelitian seperti ini
biasanya berusaha menjawab pertanyaan mengapa beberapa sistem politik justru menimbulkan konflik sedangkan sistem yang lain tidak.
c. Ketiga, instrumentalisme, yaitu pendekatan yang lebih melihat pada
peranan elit dalam menggunakan identitas etnik untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Pendekatan ini berusaha
mencari aktor-aktor elit yang ada dibalik terjadinya suatu konflik kekerasan. Konflik, dengan demikian, dipandang sebagai produk dari
kekerasan. Konflik, dengan demikian, dipandang sebagai produk dari konflik antar elit yang menggunakan identitas etnik untuk
memobilisasi dukungan bagi kepentingannya. d.
Keempat, institusionalisme, yaitu anggapan bahwa konflik terjadi karena tidak adanya lembaga-lembagainstitusi-institusi yang bekerja
secara baik untuk mengakomodasi segala bentuk kepentingan antar elit atau kelompok.
Akiko 1997 menggunakan berbagai pendekatan dalam melihat kekerasan struktural, yaitu : Pertama, psychological theory of violence teori psikologi
tentang kekerasan yang mendiskusikan teori frustasi dan agresi, teori relative deprivation, dan social idenity theory. Sebagian peneliti menganggap bahwa
konflik kekerasan merupakan respon dari kekecewaan rasa kecewa atau deprivasi baik yang absolut alasan psikologis. Karena itu beberapa individu
berjuang untuk membentuk identitas dirinya dan identitas kelompok. Kedua, human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan penelitian
untukmelihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil bekerja, termasuk apakah ada perlindungan terhadap individu, kelompok atau komunitas
dari ancaman dari luar. Pendekatan ini lebih menfokuskan pada kehidupan masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal dan informal
civic engagement, dan hubungan antar kelompok masyarakat sipil. Ketiga, social movement theory, yang berupaya untuk menjelaskan
gerakan massa dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan yaitu collective behaviour dari Durkheim, grievance and frustration model yang
dikemangkan dari teori deprivasi-nya Ted Gurr, rational chice dari Olson, dan resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori-teori tersebut digunakan
melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi. www.google.co.id
kekerasan diakses 9 februari 2010: 10.00pm.
3. Teori Superioritas
Teori Superioritas adalah teori pokok humor, yang penganutnya berpendapat bahwa Orang akan tertawa dengan cara memiliki kedudukan posisi yang superior
dalam menjatuhkan mengkerdilkan posisi orang lain. Misalkan, orang-orang menertawakan orang lain yang mereka anggap superior. Orang yang tertawa
selalu meremehkan apa yang dia tertawakan, dan kemudian menilainya sebagai sesuatu yang inferior menurut standar tertentu. Menurut pandangan ini, semua
humor bersifat mengejek. Dalam hal ini orang yang dikerdilkandikucilkan diremehkan merasa mendapat kekerasan, namun kekerasan yang diterimanya
bukan kekerasan fisik, tetapi kekerasan psikis kekerasan simbolik. Munandar, 1996.
2.1.9 Kekerasan Psikis