REPRESENTASI KEKERASAN PSIKOLOGIS DALAM IKLAN HEXOS VERSI ”MAKAN SAMA CAMER” (Study Semiotika pada Iklan HEXOS versi makan sama camer format televisi).

(1)

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM IKLAN HEXOS VERSI MAKAN SAMA CALON MERTUA

(Study Semiotika Representasi Kekerasan Psikis Pada Iklan HEXOS Versi Makan Sama Calon Mertua Format Televisi)

SKRIPSI

OLEH :

FIRMAN BUDI SANTOSO 0443010520

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM IKLAN HEXOS VERSI MAKAN SAMA CALON MERTUA

(Study Semiotika Representasi Kekerasan Psikis Pada Iklan Hexos Versi Makan Sama Calon Mertua Format Televisi)

Di susun oleh :

FIRMAN BUDI SANTOSO 0443010520

Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Tim Penguji Skripsi Program Study Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Social Dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim Pada Tanggal 8 Juni 2010

Menyetujui,

Pembimbing utama Penguji

1. Ketua

Drs. Saifuddin Zuhri,M.Si Ir. Didiek Tranggono,M.Si

NPT. 370069400351 NIP. 19581225199001001

2. Sekretaris

Drs. Saifuddin Zuhri,M.Si NPT. 370069400351

3. Anggota

Zainal Abidin Achmad, M.Si, M.Ed NPT. 373059901701

Mengetahui, DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati,M.Si NIP. 030175349


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji Syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal dengan judul “Representasi Kekerasan dalam Iklan Hexos Versi Makan Sama Calon Mertua (Study Semiotika Representasi Kekerasan Psikis Pada Iklan Hexos Versi Makan Sama Calon Mertua Format Televisi)” .

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar - besarnya kepada Drs. Saifuddin. Zuhri, Msi , dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam proposal ini disamping itu ucapan terima kasih penulis kepada :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati,MSi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, MSi, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak dan Ibu saya yang menyayangi, mencintai dan mendukung kegiatan saya. 4. Keluarga besar saya, mbak vivin, mas rahman, ponakanku anis dan abel, terima

kasih atas doanya.

5. Cewek saya Nita yang selalu memberi semangat dan selalu sabar menghadapi saya.

6. Sahabat-sahabatku di kampus Darmo, Dwi, Mega, Dian Kus-Kus, Dian Mone, Melly dan banyak lagi tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih dorongan semangatnya serta menjadi inspirasi bagi saya.


(4)

7. Semua teman kos Angga lemu, Gun ariel, Wira jonet, Santo bokep, Jun lola, Telers imut, Bank Syam, terima kasih atas dukungan dan dorongan semangatnya.

Penulis menyadari bahwa proposal ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari para pembaca merupakan masukan yang berharga bagi penulis. Dan harapan penulis semoga proposal ini bermanfaat bagi para pembaca.

Surabaya, Maret 2010

(Penulis)


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……… iii

DAFTAR LAMPIRAN……… v

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Tujuan dan Manfaat Praktek Magang……… 4

1.2.1 Tujuan Praktek Magang……….. 4

1.2.2 Manfaat Praktek Magang……… 4

BAB II LANDASAN TEORI………. 5

2.1 Humas (Public Relation)……… 5

2.1.1 Pengertian Humas………... 5

2.2 Humas Pemerintahan………... 6

2.2.1 Lingkup Humas Pemerintahan……… 6

2.3 Keberadaan Humas Pemerintahan………. 6

2.3.1 Kegiatan Rutin……… 6

2.3.2 Hambatan yang dihadapi……… 9

2.3.3 Hambatan Penerapan Humas Ideal di Pemerintahan…….. 9

2.4 Bentuk – Bentuk Kegiatan ……… 9

2.4.1 Pengertian Press Realese……… 11


(6)

2.4.2 Ukuran atau Kriteria Pedoman Teknis dalam membuat

Press Realese……… 12

2.4.3 Jenis – Jenis Press Realese……….. 12

2.4.4 Syarat – Syarat Press Realese………. 13

2.5 Berita ………. 15

2.6 Teknik Pencarian Berita………. 16

BAB III GAMBARAN UMUM ORGANISASI………. 17

7.1Struktur Pemerintahan Kota Batu……….. 17

7.2Stuktur Dinas Infokom dan Perpustakaan………. 17

7.3Lokasi Dinas Infokom dan Perpustakaan……….. 19

7.4Visi dan Misi Dinas Infokom dan Perpustakaan……… 20

7.5Strategi Kebijakan Pembangunan……….. 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………. 23

4.1 Hasil Praktek Magang……… 23

4.1.1 Kegiatan Pengklipingan Berita……… 24

4.1.2 Press Realese………... 30

4.2 Pembahasan Praktek Magang………. 31

4.2.1 Kegiatan Pengklipingan Berita……… 31

4.2.2 Press Realese………... 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………... 40

5.1 Kesimpulan………. 40

5.2 Saran……… 41

DAFTAR PUSTAKA………... vi


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Struktur Pemerintahan Kota Batu

Lampiran 2 : Struktur Organisasi Dinas Infokom dan Perpustakaan Kota Batu Lampiran 3 : Press Realese “ 124 Warga Terima Bantuan 500 Juta”

Lampiran 4 : Press Realese “ Asosiasi Pemerintah Desa dan Kelurahan Lakukan Halal BiHahal “

Lampiran 5 : Press Realese “ Sarasehan Refleksi HUT ke 7 Kota Batu “ Lampiran 6 : Press Realese “ Batu Gelar Zikir Akbar Al Khidmah”

Lampiran 7 : Foto Mengikuti acara penyerahan bantuan secara simbolis stimulan perumahan rakyat

Lampiran 8 : Foto Mengikuti acara Halal BiHalal Asosiasi Petinggi dan Lurah Kota Batu Lampiran 9 : Foto Mengikuti acara Sarasehan 7 tahun Kota Batu

Lampiran 10 : Foto Mengikuti acara Dzikir Akbar memperingati HUT ke 7 Kota Batu


(8)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

2.1 LANDASAN TEORI ... 8

2.1.1.Periklanan... 8

2.1.2.Representasi ... 15

2.1.3.Respon Psikologi Warna ... 19

2.1.4.Kekerasan... 20

2.1.5.Jenis-jenis Kekerasan ... 22

2.1.6.Faktor Pendorong Tindakan Kekerasan ... 23

2.1.7.Konsep Kekerasan dalam Media Massa ... 24

2.1.8.Teori-teori kekerasan ... 25


(9)

2.1.9. Kekerasan Psikis ... 30

2.1.10.Fenomena Kontradiktif antara Humor dan Kekerasan... 31

2.1.11. Beberapa Penelitian Efek Media Violence ... 32

2.1.12. Semiotika ... 34

2.1.13 Model Semiotika Roland Barthes ... 39

2.2. Kerangka Berpikir ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1. Metode Penelitian ... 43

3.2.Kerangka Konseptual ... 44

3.2.1. Corpus ... 44

3.2.2 Unit Analisis ... 44

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 45

3.4. Teknik Analisis Data ... 46

3.5 Lima Jenis Kode Barthes sebagai Acuan Tiap Tanda... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian dan penyajian Data ... 48

4.1.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 48

4.1.2. Penyajian Data ... 51

4.1.3. Hasil Analisis Data... 53

4.2 Analisis Data ... 55

4.2.1. Pada Level Realitas ... 55

4.2.1.1 Setting ... 55


(10)

4.2.1.2 Studi Semiotika Roland Barthes ... 56

4.2.2 Pada Level Representasi ... 72

4.2.2.1 Teknik Kamera... 72

4.2.2.2 Pencahayaan... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

5.1. Kesimpulan ... 79

5.2.Saran... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN... 85


(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 4.1 : Keadaan Ruang Makan ... 55

Gambar 4.2 : Scane 2 ... 56

Gambar 4.3 : Scane 3 ... 57

Gambar 4.4 : Scane 4 ... 58

Gambar 4.5 : Scane 5 ... 59

Gambar 4.6 : Scane 6 ... 60

Gambar 4.7 : Scane 7 ... 61

Gambar 4.8 : Scane 8 ... 62

Gambar 4.9 : Scane 9 ... 62

Gambar 4.10 : Scane 10 ... 63

Gambar 4.11 : Scane 11 ... 64

Gambar 4.12 : Scane 12 ... 65

Gambar 4.13 : Scane 13 ... 66

Gambar 4.14 : Scane 14 ... 66

Gambar 4.15 : Scane 1 teknik long shot ... 70

Gambar 4.16 : Scane 10 teknik medium shot ... 71

Gambar 4.17 : Scane 13 ... 72


(12)

1

Lampiran 1 : Potongan Slide Iklan Hexos versi ”makan sama camer”

Dalam adegan ini ibu si-wanita , menanyakan tentang perihal masakan malam yang disiapkan. Dengan nada yang sinis ”Bagaimana masakannya ?”. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai tindakan sindiran kata/ intimidasi secara halus. Karena ortu si-wanita menganggap si-pria akan menjawab hal yang baik perihal masakannya (walaupun masakan sebenarnya, misal tidak tertalu enak).

Lalu si-pria menjawab lagi dengan kata “ Hueeeeeeeeekk, Hueeeeeeeeeekkk…..”. Tetapi dengan kedua jari jempol diacungkan kehadapan ibu si-wanita. Lalu si-wanita mendapat gangguan yang semakin banyak dengan perkataan yang keluar mulut si-pria dan tingkah laku si-pria.


(13)

2

Lalu ibu si-wanita merasa terkejut (dalam artian merasa dihina/ dilecehkan) dengan tindakan yang dilakukan oleh si-pria.

Lalu bapak si-wanita merasa terkejut (dalam artian merasa dihina/ dilecehkan) dengan tindakan yang dilakukan oleh si-pria.


(14)

3

Lalu si-pria menjulurkan lidah seperti seekor “anjing” gila yang sangat kelapan. Si-wanita merasa sangat terganggu dengan reaksi yang berlebihan dari si-pria. Lalu si-wanita mengambil sendok sayur yang ada di depannya dengan maksud tertentu.

Lalu dengan sendok sayur yang diambil wanita dipukulkan ke kepala si-pria dengan keras. Si-si-pria disini mendapat kekerasan fisik yang secara tidak

langsung mempengaruhi psikisnya. Reaksinya si-pria terkejut dengan memajukan


(15)

ABSTRAKSI

FIRMAN BUDI SANTOSO

0443010520

REPRESENTASI KEKERASAN PSIKOLOGIS DALAM IKLAN HEXOS VERSI ”MAKAN SAMA CAMER”

(Study Semiotika pada Iklan HEXOS versi makan sama camer format televisi)

Iklan merupakan salah satu bagian dari marketing mix, yaitu termasuk dalam promotion. Iklan banyak ditampilkan di berbagai media massa termasuk media televisi. Permen Hexos membuat berbagai versi dalam penayangan iklannya di media televisi. Salah satu iklannya adalah Iklan Hexos versi “makan sama camer”. Iklan Hexos versi “makan sama camer” mendapatkan banyak pengaduan oleh pemirsa televisi, hal ini karena iklan Hexos versi “makan sama camer” mengandung unsur yang tidak lazim di mata pemirsa. Contohnya salah satu pengaduan oleh Dimas yang berasal dari Jakarta yang mengkomplain iklan dengan kata “Sebaiknya, iklan Hexos yang menceritakan tentang keadaan makan malam bersama camer, karena iklan ini menganggap manusia yang berperilaku sebagai seokor hewan. Begitu juga yang terjadi pada iklan Hexos yang menceritakan tentang pengantar pizza”. Hal ini yang melarbelakangi iklan Hexos versi “makan sama camer” direpresentasikan, apah terdapat unsur kekerasan psikologis dan fisiknya. Studi yang dilakukan menggunakan studi semiotika. Iklan Hexos versi “makan sama camer” mempunyai unsur daya tarik yang harus dipenuhi oleh sebuah iklan, yaitu meaningful (berarti), believable (dapat dipercaya) dan distinctive (khas). Selain itu iklan Hexos versi ”makan sama camer” memiliki ilustrasi, judul dan teks yang jelas dalam penayangan iklannya.

Iklan Hexsos versi “makan sama camer” dianalisis menggunakan semiotika roland barthes dan direperesentasikan pada level realitas dan level representasi. Iklan Hexos versi “makan sama camer” diduga terdapat unsur kekerasan psikologis yang dilakukan oleh pemain dalam iklan tersebut. Hasil semiotika rolan barthes mengidentifikasikan adanya dua kode pembacaan yang ditemukan,

yang pertama kode cultural yang terdapat scane ke-2, dimana mengandung unsur

kekerasan psikologis berupa intimidasi. Yang kedua adalah kode proaterik yang terdapat pada scane ke-3 sd scane 13, dimana mengandung unsur kekerasan psikologis berupa penghinaan, pelecehen dan gangguan. Selain itu terdapat juga unsur kekerasan fisik pada scane 13 sd 14.

Representasi pada level realitas dianalisis pada dialog, reaksi dan adegan dalam iklan Hexos versi “makan sama camer” dari ketiga analisis tersebut direpresentasikan terdapat unsur kekerasan psikologis dan fisik, namun kekerasan fisik yang terjadi digambarkan sebagai suatu bentuk genre humor. Hal ini terlihat dari reaksi yang ditimbulkan oleh korban kekerasan yang bereaksi tidak dengan wajarnya. Pada level representasi, kekerasan psikologis direpresetasikan pada


(16)

teknik kamera medium shot, serta kekerasan fisik yang terjadi juga direpresentasikan dari teknik kamera medium shot. Untuk itulah perlu ditinjau kembali oleh pembuat iklan (Velocity Production) dalam mengilustrasikan iklan yang ditampilkan di media televisi.

Kata Kunci : Semiotika Roland Barthes, Kekerasan Psikologis dan Representasi


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Saat ini Televisi bagaikan kebutuhan primer bagi rakyat. Betapa Televisi mampu menyedot perhatian masyarakat kita dalam kondisi perekonomian yang bagaimanapun. Dan ini sangat ditangkap oleh para produsen segala produk untuk memanfaatkan Televisi sebagai media pemasaran yang paling efektif, yaitu melalui iklan. Semua produsen berlomba-lomba membuat iklan yang semenarik mungkin, bahkan kadang-kadang etika banyak dikesampingkan. Yang penting iklan tersebut mampu menarik perhatian khalayak.

Mungkin dahulu sebagian besar penonton jengkel kalau siaran kesayangannya di “ganggu” oleh iklan. Tapi sekarang ternyata iklan-iklan yang mempunyai alur cerita atau artis idola mereka, yang mampu mempengaruhi untuk berpikir dan menghilangkan kejengkelan tersebut. Jelas ini sangat menguntungkan bagi Televisi sebagai produsen sebuah produk, dimana pada saat ini yang menjadi perhatian masyarakat adalah adanya iklan-iklan yang bersambung dan lucu/ unik ternyata respon masyarakat sangat baik.

Hal ini membuktikan bahwa investasi untuk iklan sendiri sangat bermanfaat sekali. Produk yang masyarakat selama ini belum mereka kenal, ternyata melalui iklan mereka bisa mengenalnya, sehingga penjualan suatu produk akan meningkat. Meskipun investasi yang dikeluarkan tidak sedikit, yakinlah pendapatan dalam mengiklankan suatu produk akan menghasilkan nilai penjualan


(18)

yang tinggi. Namun dibalik semua itu, para produsen kelas menengah kebawah tidak perlu berkecil hati, sebab metode iklan sangat banyak sekali macamnya. salah satu contoh adalah dari mulut ke mulut, dimana tingkat efektifitas iklan lewat mulut juga sangat efektif meski dalam skala kecil.

Akan tetapi dari nilai investasi yang boleh dikatakan tanpa modal, tentu metode ini sangat efisien. Dibandingkan dengan membuat selebaran dari kertas atau spanduk yang akhirnya hanya mengotori pemandangan, menyampaikan produk lewat “mouth to mouth” selain gratis juga terbukti kemampuannya dalam menarik konsumen. Membuat iklan pada media (baik cetak maupun elektronik) adalah aktivitas perusahaan yang percaya dan mampu dalam berpromosi, sementara bagi perusahaan yang biasa, iklan “mouth to mouth” juga sangat efektif. Hanya saja bagi pengusaha kelas atas (dapat menganalisa dampaknya) sudah seharusnya mengedepankan etika dalam beriklan, sehingga kita tidak hanya menjual tapi juga ikut mendidik konsumen/masyarakat.

Iklan sebagai bagian penting dalam penciptaan citra produk atau perusahaan yaitu memberikan persepsi universal pada suatu populasi. Iklan memberikan akses tercepat dalam proses pemaknaan suatu produk. Iklan merupakan sebuah proses komunikasi yaitu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan media tertentu,dengan tujuan memperoleh feedback tertentu yang dikemukakan lasswell dalam buku ilmu komunikasi deddy mulyana (2005:136). Sehingga iklan bertujuan untuk membujuk orang untuk mengambil tindakan yang menguntungkan bagi pihak pembuat iklan. Iklan ditujukan untuk mempengaruhi perasaan, pengetahuan,


(19)

makna, kepercayaan, sikap, pendapat, pemikiran dan citra konsumen yang berkaitan dengan suatu produk atau merek, tujuan periklanan ini bermuara pada upaya untuk dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli sebuah produk yang ditawarkan.

Pemasang iklan hadir dengan keperluan agar produk, jasa, atau imbauan-imbauannya dapat sampai ke sasaran iklan secara efektif, yaitu tidak saja agar

merekamembaca, mendengar, memahami, tetapi juga agar mereka mengkonsumsi

atau melakukan aksi tertentu yang dikehendaki. Banyak pembuat iklan yang tidak peduli terhadap apa yang diiklankan sebab mereka hadir dengan tujuannya sendiri, yaitu memproduksi iklan yang memuaskan pemesan iklan. Hal ini tidak berarti bahwa biro iklan tidak mempunyai pengetahuan tentang konsumen bahkan ada biro iklan yang amat bertanggung jawab pada masyarakat sehingga berani menolak membuat iklan-iklan tertentu, akan tetapi pengetahuannya tentang selera konsumen hanya merupakan faktor pendukung saja dalam memproduksi iklan. Iklan yang komersial, nonkomersial, maupun iklan korporasi pada dasarnya adalah satu bentuk wacana direktif atau imperatif yang tertuang dalam bahasa audio, visual, dan verbal.

Sebagaimana komunikasi yang efektif, iklan yang efektif harus mampu membangun persepsi masyarakat konsumen menjadi seperti yang dikehendaki pemasang dan pembuat iklan, yaitu bahwa menggunakan barang dan jasa yang diiklankan atau melakukan aksi seperti yang dihimbau dalam iklan akan mendatangkan sangat banyak manfaat kepada konsumen dan juga masyarakat secara umum.


(20)

Iklan seperti itu umumnya ditujukan kepada konsumen yang telah mempunyai kematangan analisis sehingga makna imperatif dari iklan itu dapat dibangun sendiri dengan mengembangkan hubungan kausalitas dari fakta yang diuraikan dalam iklan. Dalam setiap iklan, memunculkan unsur pengingat (catcher) baik yang berupa suara (audio), gambar (visual), maupun bahasa (verbal) menjadi amat penting sehingga suatu saat, dengan hanya mendengar, melihat, atau membaca pengingat itu, konsumen langsung terhubung dengan produk yang diiklankan.

Penelitian yang akan dilakukan dilatarbelakangi oleh banyaknya laporan masyarakat Indonesia ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait dengan maraknya kekerasan fisik yang ditampilkan dalam acara televisi, seperti yang mendapat banyak kritikan adalah acara Opera Van Java, SKS (Saatnya Kita Sahur) dan beberapa iklan yang dianggap mengandung unsur kekerasan. Salah satu iklan yang menonjolkan kekerasan adalah Hexos versi makan sama camer. Adegan iklan permen Hexos versi makan sama camer sebagai berikut :

“ Diruang makan sang pacar (wanita), seorang pria (pacar wanita tersebut) diajak makan bersama dengan kedua orang tua wanita yang di persepsikan sebagai calon mertua (camer). Selagi makan camer (ibu) menanyakan perihal masakannya dengan berkata : Enak masakan tante ?. Lalu si Pria menjawab dengan teriakan Huueeeekkk, Huuuueeeekkkkkk, Huuueeeeeeekkkkkk, Huuuueeeeeeekkkkkkkk, Huuuuuuuueeeeeeeekkkkkkk, Huuuuuuuuuueeeeeeeekkkkkkk, sambil mengacungkan kedua jempol tangannya. Maka camer (ibu dan) kaget mendengar ekspresi dari pria tersebut. Setelah itu sang pacar (wanita) memukul kepala pria


(21)

tersebut dengan sendok sayur diikuti dengan tulisan : Mau enak didengar?. Setelah itu ada satu bungkus permen Hexos raksasa yang menimpa seluruh tubuh pria tersebut, yang diikuti dengan suara yang berkata Mau enak didengar ? Makan Permen Hexos. Lalu adegan terakhir sang pria muncul disebelah permen Hexos raksasa dan berkata : Uueenakk Tante, sambil mengacungkan kedua jempolnya.”

Iklan ini mendapat banyak pengaduan dari masyarakat melalui Situs KPI dari kolom pengaduan. Berikut salah satu pengaduan untuk iklan Hexos versi makan sama camer “Mohon bantuannya untuk KPI agar iklan HEXOS (versi

orang sedang makan) untuk segera diberi peringatan, karena sangat menyajikan

unsur kekerasan, apalagi jam tayangannya sering di jam yang anak-anak

dibawah umur masih menonton anak dibawah umur masih menonton,

anak-anak bisa meniru iklan tersebut (memukul kepala orang). Mohon untuk iklan yang

ada tindak kekerasannya diperingati atau bahkan di STOP saja”. Pengaduan

tersebut dari seorang laki-laki di Jakarta bernama Dimas, dia juga mengkritik iklan HEXOS yang lainnya seperti iklan HEXOS versi pengantar pizza yang dianggap melecehkan derajat manusia, hal ini karena tingkah laku manusia yang disamakan dengan perilaku Anjing karena lama menunggu pesanan pizzanya. Kekerasan yang terdapat dalam iklan dianggap suatu bentuk humor/ sesuatu hal yang lucu bagi masyarakat. Gaya humor/ lawakan seperti ini sudah membudaya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu penelitian tentang bagaimana kekerasan direpresentasikan dalam iklan HEXOS versi makan sama camer. Hal ini sesuai dengan penelitian yang mengatakan bahwa mayoritas


(22)

mahasiswa universitas ahmad dahlan(217 laki-laki dan 247 perempuan dengan umur 18-24 tahun) apresiatif tentang humor yang bermuatan kekerasan (Unggul, 2007). Berdasarkan latar belakang diatas, saya mengajukan penelitian dengan judul “Representasi Kekerasan dalam Iklan HEXOS versi makan sama camer.” (Study Semiotika Representasi Kekerasan pada Iklan HEXOS versi makan sama camer format televisi). Penelitian yang dilakukan menggunakan alat semiotika Roland Barthes.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah representasi kekerasan dalam iklan Hexos versi makan sama camer format televisi ?

1. 3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang sudah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui representasi kekerasan dalam iklan Hexos versi makan sama camer format televisi format televisi.


(23)

1. 4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai media pembelajaran dikalangan mahasiswa jurusan ilmu komunikasi UPN Veteran Surabaya, dimana merupakan implementasi materi dilapangan dalam memahami proses komunikasi sebuah iklan

2. Menyadarkan dan memberi pemahaman kepada mahasiswa terhadap peran serta iklan suatu produk.

3. Sebagai koleksi pustaka perpustakaan UPN Veteran Surabaya dalam menambah kasanah ilmu pengetahuan.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Periklanan

Periklanan merupakan salah satu bagian dari marketing mix, yaitu

promosi. Promosi merupakan semua kegiatan yang bertujuan meningkatkan

penjualan. Usaha yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan sales atau penjualan yang mengakibatkan kenaikan laba (Kotler, 2008).

Salah satu usaha dari promosi yang dilakukan adalah periklanan Periklanan adalah fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang ingin

maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu bonafiditas perusahaan terletak pada berapa besar dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan merupakan jendela kamar dari sebuah perusahaan. Keberadaannya menghubungkan perusahaan dengan masyarakat khususnya para konsumen.

Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran, yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran (Kotler, 2005 : 416).

Menurut Carl I. Hovland kegiatan komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya


(25)

lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain. Sedangkan menurut Harold HLasswell cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut (who says what in wich

channel to whom with what effect ? Atau siapa mengatakan apa dengan saluran

apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana?) Mulyana (2005:62). Dan komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi) Mulyana (2005:107). Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya disampaikan Mulyana (2005:63). Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun kualitatif.

Pemahaman secara kuantitatif akan menjamin bahwa jumlah pembeli, dan frekuensi pembelian yang diperoleh akan sejalan dengan target penjualan yang telah ditetapkan. Pemahaman secara kualitatif akan menjamin bahwa pesan iklan yang disampaikan akan sejalan dengan tujuan pemasaran yang telah ditetapkan.

Maka diperlukan suatu iklan yang efektif sampai kepada pemirsanya. Efektivitas penyampaian pesan ditentukan beberapa hal, yakni strategi pesan ,pelaksanaan pesan, tone dan format pesan. Strategi Pesan, meliputi langkah-langkah sebagai berikut (Nani Nuraeni, 2008):


(26)

 

a) Memutuskan pesan umum apa yang akan dikomunikasikan.

b) Mengidentifikasi manfat-manfaat bagi pelanggan yang dapat digunakan sebagai tarik pemasangan iklan.

c) Menciptakan konsep kreatif yang kuat. Ini mencakup tampilan iklan.

d) Menciptakan daya tarik khusus yang akan digunakan dalam kampanye pemasangan iklan. Daya tarik iklan harus memiliki tiga sifat yakni meaningful (berarti), believable (dapat dipercaya) dan distinctive (khas). Pelaksanaan Pesan, bisa dalam berbagai gaya di antaranya : a Potongan kehidupan ( slice of life ). Gaya ini menunjukkan satu atau

lebih orang khas yang menggunakan produk dalam situasi normal.

b Gaya hidup ( life style ). Gaya ini menunjukkan kecocokan sebuah produk dengan gaya hidup tertentu.

c Fantasi (Fantasy). Gaya ini menciptakan fantasi di sekitar produk atau kegunaannya.

d Suasana hati atau citra ( mood or image ). Gaya ini emnciptakan suasana hati atau citra di sekitar produk.

e Musikal ( musical ). Gaya ini menunjukkan satu lebih orang atau tokoh orang atau kartun yang menyanyikan lagu tentang produk tersebut.


(27)

f Simbol kepribadian (personality symbol). Gaya ini menciptakan tokoh yang mewakili produk.

g Keahlian tehnis (technical espertise). Gaya ini menunjukkan keahlian perusahaan dalam menghasilkan produk.

h Bukti ilmiah (scientific evidence). Gaya ini menampilkan hasil survei atau buku ilmiah tentang keunggulan produk.

i Bukti atau dukungan (testimonial). Gaya ini menampilkan sumber yang sangat dapat dipercaya dan disukai yang mendukung produk tersebut.

Tone dalam iklan jelas diperlukan. Iklan yang dibuat harus menggunakan

kata-kata yang mudah dan terutama menarik perhatian. Riset menunjukkan, konsumen cenderung mudah mengingat sebuah produk hanya karena tone iklannya yang menarik.

Format, unsure yang juga berdampak besar pada kualitas penayangan iklan. Perubahan kecil pada format design iklan misalnya, bisa melahirkan dampak sangat besar. Beberapa hal yang harus dilihat alam penentuan format iklan (Nani Nuraeni, 2008), antara lain :

a) Ilustrasi ( illustration ), harus cukup kuat agar bisa menarik perhatian audience.

b) Judul ( headline) harus secara eefektif menarik orang yang tepat bersedia membaca teksnya.


(28)

c) Teks (copy), bagian utama tulisan iklan, harus sederhana tetapi kuat dan meyakinkan.

Dalam memilih media pemasangan iklan, harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain biaya, segmentasi, targeting dan positioningnya agar iklan yang dipasang dapat menyampaikan pesan yang dengan harapan pemasar. Cara memilih media pemasangan iklan yang tepat meliputi empat langkah utama yakni (Ipo Santosa, 2008) :

a) Memutuskan jangkauan, frekuensi dan dampak.

b) Memilih jenis media utama; Perencana pesan iklan harus memahami jangkauan, frekuensi dan dampak masing-masing media utama sebelum memutuskan memilih media mana yang akan digunakan. Ada sejumlah factor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih media, yakni kebiasaan media pelanggan sasaran, sifat produk yang

relevan dengan media yang dipilih, jenis pesan ( pesan dengan jenis

berbeda sering memerlukan media berbeda pula), dan biaya.

c) Memilih sarana media khusus

d) Memutuskan penentuan waktu media

Strategi pemasangan iklan meliputi dua unsure utama yakni menciptakan

pesan iklan, dan memilih media tempat memasang iklan. Strategi pemasangan

iklan perlu difahami dan diterapkan dengan baik, karena biaya iklan nyatanya memang sangat tinggi. Sehingga jangan sampai biaya besar tidak mencapai hasil yang diharapkan.


(29)

Pesan iklan yang efektif menentukan efektif tidaknya iklan tersebut diluncurkan dan menapat tanggapan memuaskan dari audience. Kenyataan menunjukkan, sebagian besar penonton televise misalnya, memutuskan mengganti sluran saat iklan ditayangkan.

Sehingga pemasar perlu jeli memilih dan menentukan epsan iklan yang disampaikan. Iklan yang disajikan harus merupakan “suguhan imaginative, interaktif, menghibur dan bermanfaat”.Iklan yang dibutuhkan saat ini adalah iklan yang tidak melulu menjual, tapi juga menghibur ”Interactive Advertising

is the use of interactive media to promote and/or influence the buying decisions

of the consumer in an online and offline environment”.

Iklan interaktif bisa menggunakan berbagai pilihan media. Bisa internet, sms (mobile access), sampai televise interaktiv. Iklan interaktif jika dikemas dengan baik akan dengan sangat mudah meningkatkan kontal personal dan langsung dengan konsumen, sehingga proses pengambilan keputusan oleh konsumen pun bisa lebih mudah dipersuasi.

Manfaat iklan interaktif buat pengiklan di antaranya (Nani Nuraeni, 2008):

1. Bisa memaksimalkan iklan 30 detik untuk “mengikat konsumen” 2. Meningkatkan brand

3. Menjual langsung produk

4. Menciptakan promosi dalam waktu bersamaan.

A television advertisement is a span of television programming


(30)

televisi, seperti yang dijelaskan sebelumnya memiliki kelebihan lewat efek sudio visualnya. Dan ini berdampak pula pada proses penangkapan pesan dan pengambilan keputusan konsumen ( penonton televise ). Iklan melalui televisi bisa benar-benar komersil, sekadar informasi atau bahkan digunakan untuk kepentingan politik.

Iklan televisi, pertama kali ada 1 Juli 1941 di Amerika Serikat saat Bulova Watch Company membayar 9$ kepada New York City NBC, untuk memutarkan spot produk mereka selama 20 detik, sebelum penayangan pertandingan baseball antara Brooklyn Dodgers dan Philadelphia Phillies.Kemunculan iklan pertama tersebut terus disusul iklan-iklan lainnya, dan akhirnya melebar ke semua belahan penjuru dunia. Iklan televise juga lebih variatif. Saat ini, iklan televisi bisa murni iklan comercial, politik, sponsorsip, atau bahlan promo acara/program televisi. Baik dari tujuan, jenis maupun penampilannya sesuai dengan kemajuan teknologi animasi, grafis dan sound effect. Tarifnya pun terus melejit. Jika tahun 1941 untuk 20 detik hanya 9$, saat ini untuk durasi yang sama bisa mencapai pululan juta rupiah. (Nani Nuraeni, 2008)

2.1.2 Representasi

Representasi (Eriyanto, 2001) adalah cara media menampilkan seseorang, kelompok atau gagasan atau pendapat tertentu. Eriyanto (2001) menyebutkan bahwa ada dua hal berkait dengan representasi yakni, pertama, apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya, apa adanya


(31)

ataukah diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Hanya citra buruk saja yang ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari penampilan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam program. Eriyanto (2001) lebih lanjut menambahkan bahwa persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau obyek ditampilkan. Dalam penjelasan yang lebih detail tentang bagaimanakah suatu tayangan, gambar, dsb ditampilkan melalui media yang ada, seperti media televisi dan media massa (koran).

Dengan mengutip pernyataan John Fiske (dalam Mulyana, 200) bahwa saat obyek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi media, level pertama, peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa tersebut dikonstruksi sebagai realitas oleh media, dalam bahasa gambar terutama televisi umumnya berhubungan dengan aspek pakaian, lingkungan, ucapan, dan ekspresi. Realitas disini selalu siap ditandakan, ketika kita menganggap, mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai sebuah realitas, yang kemudian memunculkan pertanyaan bagimana realitas tersebut digambarkan. Disini, digunakan perangkat secara teknis, dalam bahasa tulis alat teknis tersebut adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik, dan sebagainya. Dalam bahasa gambar (televisi) alat itu berupa kamera, pencahayaan, editing, atau musik. Pemakaian kata-kata, kalimat, atau proposisi tertentu misalnya membawa makna


(32)

tertentu ketika diterima khalayak. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi -konvensi yang diterima secara ideologis.

Menurut Struart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Sedangkan dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada di suatu tempat membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada dalam kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa” yang berperan penting dalam proses konstruksi makanan. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Kode -kode representasi dihubungkan dan diorganisir ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat (patriarkhi, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya).

Reprensentasi terkadang menjadi mis-representasi, yakni ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Mis-representasi (Eriyanto, 2001) merupakan penggambaran seseorang, kelompok atau pendapat, gagasan secara buruk, tidak sebagaimana mestinya. Penggambaran seperti ini sering dilakukan


(33)

media pada kelompok yang dianggap tidak memiliki peran atau tidak penting misalnya kelompok perempuan. Dalam mis-reperesentasi terjadi juga proses marjinalisasi pada kelompok tertentu, misalnya perempuan digambarkan sebagai pihak yang tidak berani, kurang inisiatif, tidak rasional, dan emosional (Eriyanto, 2001). Misalnya seorang perempuan tidak digambarkan sebagaimana mestinya. Dalam marjinalisasi ada beberapa praktik bahasa sebagai strategi wacana (Sunardi, 2002) yakni, pertama, penghalusan (eufisme) penggunaan kata atau kalimat untuk memperhalus suatu makna pada obyek misalnya penyebutan alat kelamin dengan istilah yang dianggap lebih santun, namun eufisme digunakan juga untuk memarjinalkan misalnya perempuan disebut sebagai mahluk yang indah, menawan, wajahnya bagai bulan purnama padahal penyebutan ini sebagai bentuk penempatan perempuan sebagai obyek. Kedua, pemakaian bahasa kasar (disfemisme), merupakan kebalikan dari eufemisme, yakni realitas menjadi kasar. Jika eufisme digunakan untuk masyarakat atas maka disfemisme digunakan untuk masyarakat bawah.

Dalam marjinalisasi pada kelompok perempuan maka penggunaan istilah perempuan nakal, penggoda, perusak rumah tangga, perempuan murahan, sebagai bentuk memarjinalkan perempuan sebagai sumber petaka. Ketiga, labelisasi, dalam bentuk ini maka perangkat bahasa digunakan oleh keolompok kelas atas untuk menyudutkan lawan -lawannya. Labeling adalah penggunaan kata-kata yang ofensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan. Istilah perusak rumah tangga, penggoda, perempuan nakal digunakan untuk memberikan stigma pada perempuan yang dianggap tidak bermoral, pelabelan ini bukan hanya membuat


(34)

kelompok ini menjadi buruk tetapi juga memberi kesempatan kepada mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan tertentu. Keempat, stereotip, adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau posistif (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan.

Stereotip merupakan praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi negatif dan bersifat subyektif (dalam Sutan, 200). Perempuan misalnya distereotipkan sebagai lemah, tidak mandiri, bodoh, emosional, dan sebaliknya laki -laki distereotipkan sebagai kuat, mandiri, rasional, dan stereotip ini menempatkan suatu kelompok lebih baik dan kelompok lain lebih buruk. Representasi yang bias ini terjadi karena faktor -faktor dominan yang masih melekat pada para pengelola media yakni latar belakang pendidikan, budaya dan agama yang mempengaruhi pola pikir mereka dalam memproduksi pesan. Latar belakang ini menghasilkan pola pikir yang bias gender dan dengan sendirinya menghasilkan produk pesan yang bias gender.

2.1.3 Respon Psikologi Warna

Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalan suatu hal. Warna juga boleh dianggap sebagai suatu fenomena psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna:

1. Merah : power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresif, bahaya. 2. Biru : kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi,

kebersihan, dan keteraturan.


(35)

4. Kuning : optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran, pengecut,

penghianatan.

5. Ungu : spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekerasan, keangkuhan.

6. Orange : energi, keseimbangan, kehangatan.

7. Coklat : tanah/bumi, reability, comfort, daya tahan. 8. Abu-abu : intelek, masa depan, kesederhanaan, kesedihan. 9. Putih : kesucian, kebersihan, ketepatan, steril, kematian. 10. Hitam : power, seksualitas, kecanggihan, misteri, ketakutan,

kesedihan, keanggunan.

(http://www.toekangweb.or.id?07-tips-bentuk warna.html)

2.1.4 Kekerasan

Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak (Wikipedia, 2009). Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk 1.) kekerasan

sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak

terencanakan, dan 2.) kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi


(36)

dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.(Wikipedia, 2009).

Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi apabila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Kata-kata kunci yang peril diterangkan yaitu actual(nyata) dan potensial (mungkin), dibiarkan serta dibatasi tanpa disingkirkan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kekerasan siartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Sedangkan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi kekerasan berarti mambawa kekuatan, paksaan dan tekanan (Poerwadarminta, 1999:102). Sedangkan dalam Bahasa Inggris, kekerasan (violence) berarti sebagai suatau serangan/invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang (Englander dalam Saraswati, 2006:13).

Ada dua jenis kekerasan menurut Kompas (1993) dalam penelitian Paul Joseph I.R (1996:37) yaitu kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang berbentuk kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi, umpatan, hinaan dan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan kekerasan non verbal adalah kekerasan melalui bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan kecepatan suara.

Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman


(37)

langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.

Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya. Transkulturasi, karena teknologi modern, telah berperan dalam mengurangi relativisme moral yang biasanya berkaitan dengan nasionalisme, dan dalam konteks yang umum ini, gerakan "antikekerasan" internasional telah semakin dikenal dan diakui peranannya.

2.1.5 Jenis-Jenis Kekerasan

Menurut pasal 5 Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dibagi menjadi beberapa jenis (Fokusmedia, 2004:5-6) dalam penelitian Ariani, skripsi Semiotika pada novel ”Genting”:

a. Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

b. Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan hilangnya respon, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, malu, tersinggung dan penderitaan psikis berat pada seseorang.

c. Kekerasan Seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual.


(38)

d. Kekerasan Ekonomi adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penghinaan secara ekonomi, terlantarnya anggota kelompok dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak didalam dan di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Kekerasan sering kita jumpai, yang kita liat secara langsung ternyata hanyalah satu bagian dari kekerasan itu sendiri. Galtung memisahkan menjadi tiga bentuk kekerasan, yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan

kekerasan kultural. Pembedaan akan tiga hal ini digambarkan seperti gempa,

retakan bumi dan pergeseran lempeng. Gempa adalah peristiwa sesuatu yang terjadi langsung, retakan bumi adalah proses dan pergerakan adalah sesuatu yang permanen (kultural). (http/wikipedia.org/kekerasan). (Di akses 29 Oktober 2009 : 01.00 am.)

2.1.6 Faktor pendorong tindakan kekerasan

Tindakan kekerasan tidak terjadi begitu saja akan tetapi terdapat beberapa faktor individu /kelompok melakukan tindakan kekerasan, baik itu kekerasan verbal maupun non verbal. Beberapa faktor dalam melakukan tindakan kekerasan, (Sunarto, 2009) antara lain:

1. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga yang dianggap lebih kuat atau dominan dan memiliki otoritas tertentu.

2. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga yang memiliki kekuasaan dan kedudukan.


(39)

3. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga dengan alasan penegakan disiplin.

4. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga yang dikarenakan perbedaan status sosial dan ekonomi.

5. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga dengan alasan pembelaan dan usaha menyelamatkan diri.

6. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga berdasarkan karakter agresifitas yang dimiliki dan pengalaman masa lalu.

7. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga yang sengaja melakukan kekerasan dengan alasan balas dendam dan kepuasan.

8. Kekerasan yang dilakukan orang-orang atau lembaga yang dikarenakan pengaruh oleh media massa. (http/wikipedia.org/kekerasan). (Di akses 29

Oktober 2009 : 01.00 am)

2.1.7 Konsep Kekerasan dalam Media Massa

Kebangkitan Televisi pada tahun 1950 berdampak pada studi efek media yang kini memusatkan risetnya pada terpaan televisi (90 % rumah tangga di AS menonton televisi). Tiga konsep penting (yang dimodifikasi dalam berbagai varian) digunakan dalam penelitian-penelitian media efek (Sunarto, 2009) antara lain :

1. Media Violence, atau kekerasan di media. Yang dimaksud adalah isi media yang mengandung unsur kekerasan. Bisa berupa unsur kekerasan


(40)

yang terdapat dalam film, televisi, berita. dll. Pada level individu, yang diteliti adalah terpaan isi media yang mengandungkekerasan pada individu. 2. Violence didefinisikan Gerbner (1972) sebagai ‘the overt expression of

physical force against others or self, or the commpelling action against one’s will on pain of being hurt or killed."

3. Aggressive Behavior, didefinisikan Berelson (1973) sebagai "inflicting bodily harm to other and damage to property."

2.1.8 Teori – Teori Kekerasan

Terdapat beberapa teori kekerasan ( Munandar, 2005), antara lain : 1. Teori Katharsis

Katharsis dalam bahasa Yunani berarti ”pencucian” atau ”pembersihan” . Para pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan (meskipun hanya tipuan kamera/ fiksi) atau tindakan brutal dalam acara TV atau iklan memberikan efek positif bagi penonton. Ketika penonton melihat tayangan tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan yang dialami para tokoh di dalam acara TV, penonton ikut terlibat berjuang. Dengan akhir yang bahagia (happy ending), penonton puas, rasa takut yangada di bawah sadar penonton hilang berubah menjadi berani. Dengan demikian kekerasan yang ditayangkan dalam iklan/ acara TV tidak membawa efek negatif (merusak). Sebaliknya justru membawa efek positif bagi penonton.


(41)

Teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam acara TV mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniru. Pemukulan menggunakan benda properti lunak/tipuan seperti dalam beberapa acara TV (misal: program lawak OVJ), tindakan yang dilakukan oleh para pelawak ini membuat penonton merasa bercanda dengan cara tersebut adalah sebuah gurauan. Padahal kejadian tersebut dapat dilakukan juga oleh anak kecil dengan teman sebayanya, menggunakan benda yang keras. Masalah ini menjadi permasalahan orang tua dalam mendidik anaknya melihat tayangan di TV.

2. Teori Kekerasan Struktural

Teori ”Kekerasan Struktural” dari Johal Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Teori kekerasan struktural pada hakekatnyaadalah teori kekerasan ”sobural”. Dengan ”sobural” berarti suatu akronim dari (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat).

Teori ”kekerasan struktural” jika diimplementasikan secara empirik realistik, telah diterapkan di zaman Soeharto (Orde Baru) melalui ABRI dan Organisasi politik yang berkuasa berbaju kultur jawa. Kekerasan struktural sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abad ke 21 dan bukan pula solusi baru melalui kekerasan struktural terhadap kekerasan. Orang awam berfikir tentang kekerasan identik dengan perbuatan fisik, sesungguhnya tidak selalu harus berarti demikian. Kekerasan struktural dapat berupa sesuatu yang non-fisik, yang psikologis berupa stigmatisasi, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis dengan diskriminasi ethnis, yang struktural, bahkan dari yang berwajib/ berkuasa secara


(42)

psikis, sampai pada yang bersifat naratif seperti berita-berita pers mengenai Sadam dan Kadafi. (Turpin dan Kurtz,1997 : 91). Terdapat empat pendekatan yang biasanya digunakan, antara lain :

a. Pertama, esensialisme, yaitu anggapan bahwa konflik disebabkan oleh adanya permusuhan antara dua kelompok (etnik) yang berbeda. Teori ini menegaskan adanya perbedaan esensial diantara tiap-tiap kelompok etnik. Biasanya, penelitian yang menggunakan pendekatan ini cenderung mencari kekuatan interistik dari dan kelompok-kelompok yang berbeda.

b. Kedua, konstruktivisme, yaitu anggapan bahwa modernisitas telah merubah makna identitas dengan membawa massa ke dalam kerangka kesadaran yang lebih luas dan ekstra lokal. Hal ini membuat identitas dan komunitas menjadi lebih luas dan terinstustisional. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di beberapa negara berkembang merupakan akibat dari kolonialisme. Penelitian seperti ini biasanya berusaha menjawab pertanyaan mengapa beberapa sistem politik justru menimbulkan konflik sedangkan sistem yang lain tidak. c. Ketiga, instrumentalisme, yaitu pendekatan yang lebih melihat pada

peranan elit dalam menggunakan identitas etnik untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Pendekatan ini berusaha mencari aktor-aktor (elit) yang ada dibalik terjadinya suatu konflik kekerasan. Konflik, dengan demikian, dipandang sebagai produk dari


(43)

kekerasan. Konflik, dengan demikian, dipandang sebagai produk dari konflik antar elit yang menggunakan identitas etnik untuk memobilisasi dukungan bagi kepentingannya.

d. Keempat, institusionalisme, yaitu anggapan bahwa konflik terjadi karena tidak adanya lembaga-lembaga/institusi-institusi yang bekerja secara baik untuk mengakomodasi segala bentuk kepentingan antar elit atau kelompok.

Akiko (1997) menggunakan berbagai pendekatan dalam melihat kekerasan struktural, yaitu : Pertama, psychological theory of violence (teori psikologi tentang kekerasan) yang mendiskusikan teori frustasi dan agresi, teori relative deprivation, dan social idenity theory. Sebagian peneliti menganggap bahwa konflik kekerasan merupakan respon dari kekecewaan (rasa kecewa atau deprivasi) baik yang absolut (alasan psikologis). Karena itu beberapa individu berjuang untuk membentuk identitas dirinya dan identitas kelompok. Kedua,

human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan penelitian

untukmelihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil bekerja, termasuk apakah ada perlindungan terhadap individu, kelompok atau komunitas dari ancaman dari luar. Pendekatan ini lebih menfokuskan pada kehidupan masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal dan informal (civic engagement), dan hubungan antar kelompok masyarakat sipil.

Ketiga, social movement theory, yang berupaya untuk menjelaskan gerakan massa dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan yaitu collective behaviour dari Durkheim, grievance and frustration model yang


(44)

dikemangkan dari teori deprivasi-nya Ted Gurr, rational chice dari Olson, dan resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori-teori tersebut digunakan melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi. (www.google.co.id/ kekerasan diakses 9 februari 2010: 10.00pm).

3. Teori Superioritas

Teori Superioritas adalah teori pokok humor, yang penganutnya berpendapat bahwa Orang akan tertawa dengan cara memiliki kedudukan/ posisi yang superior dalam menjatuhkan/ mengkerdilkan posisi orang lain. Misalkan, orang-orang menertawakan orang lain yang mereka anggap superior. Orang yang tertawa selalu meremehkan apa yang dia tertawakan, dan kemudian menilainya sebagai sesuatu yang inferior menurut standar tertentu. Menurut pandangan ini, semua humor bersifat mengejek. Dalam hal ini orang yang dikerdilkan/dikucilkan/ diremehkan merasa mendapat kekerasan, namun kekerasan yang diterimanya bukan kekerasan fisik, tetapi kekerasan psikis (kekerasan simbolik). (Munandar, 1996).

2.1.9 Kekerasan Psikis

Kekerasan psikologis adalah suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang secara langsung merusak integritas psikologis korban. Di bawah ini akan ditemukan informasi tentang beberapa pelanggaran yang termasuk dalam kategori ini : Intinmidasi, Gangguan, dan Ancaman.


(45)

Intimidasi pengertiannya Ada yang menakutkan seseorang jika mereka

menggunakan kekerasan atau ancaman memaksa Seseorang melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan secara hukum untuk melakukannya, atau untuk mencegah seseorang melakukan sesuatu dan memiliki hak untuk melakukannya. Sebagai contoh: terus-menerus mengikuti, Merampas benda menggunakan kata negatif/ sindiran.

Gangguan pengertiannya Pelecehan yang sering dikaitkan dengan

intimidasi. Mungkin diperlukan berbagai macam bentuk: Membuat atau memiliki orang lain membuat panggilan telepon berulang-ulang untuk mengganggu Anda

(pelecehan telepon) Setelah Anda berulang kali. Berulang kali menghubungi

Anda baik secara langsung maupun tidak langsung. Menonton tempat Anda sering pergi. Berperilaku terhadap Anda dengan cara mengancam.

Pelecehan (Telepon pelecehan) adalah bentuk pelecehan yang sangat

umum. Seseorang yang melakukan pelecehan telepon jika mereka membuat atau memiliki panggilan telepon membuat orang lain diulang untuk tujuan melecehkan. Sebuah lelucon atau engkol pemanggil mungkin berada di balik panggilan tersebut, dalam hal ini harus dihentikan mereka sendiri dengan cepat.

Ancaman adalah kata-kata atau tindakan dengan mana seseorang

mengekspresikan, atau memiliki orang lain mengekspresikan bagi mereka, keinginan untuk menyakiti. Mungkin ancaman: a.) Untuk membunuh orang atau binatang, b.) Untuk melukai orang atau binatang, c.) Untuk properti kerusakan dan lain-lain. Jika korban ketakutan ancaman akan dilakukan, penyelidikan polisi


(46)

akan diluncurkan, tanpa niat nyata pengancam itu. Pengancam tidak selalu benar-benar berniat untuk melaksanakan ancaman tersebut. Apakah atau tidak ancaman itu dilakukan, korban merasa tertekan, stres dan takut.

2.1.10 Fenomena Kontradiktif antara Humor dan Kekerasan

Dominasi kategori humor yang bermuatan kekerasan berupa agresi langsung dan vulgar di dalam konstruksi Skala Kepekaan Humor mengindikasikan fenomena tertentu yang dapat dijelaskan berdasarkan pendapat Munandar (1996) tentang teori humor yaitu teori superioritas dan degradasi, teori ketidaksesuaian dan bisosiasi dan teori pelepasan dari ketegangan atau hambatan.

Teori kelompok pertama menganggap humor sebagai suatu refleksi rasa kelebihan pihak yang tertawa terhadap pihak yang ditertawakan. Teori kelompok ke dua menyatakan bahwa humor adalah suatu situasi yang menggambarkan ketidaksesuaian antara yang diharapkan dengan yang dilihat atau didengar. Teori kelompok ke tiga yang paling terkenal adalah pendapat Freud yang menyatakan bahwa asal mula lelucon adalah kecenderungan agresif yang tidak dapat diterima oleh kesadaran kemudian ditekan ke alam tak sadar dan bercampur dengan kesukaan bermain yang tidak terpuaskan pada masa kanak-kanak. Energi psikis yang semula dibutuhkan untuk menekan agresi dibebaskan menjadi lelucon atau humor.

Teori humor tentang superioritas dan degadrasi (Munandar, 1996) cukup menjelaskan kecenderungan umum penerapan humor dalam komunikasi sehari-hari, yakni adanya bentukbentuk pelecehan atau kekerasan lain yang terbungkus dalam kemasan kelucuan dan diartikan sebagai humor. Komunikasi antar pribadi


(47)

jika masih dilandasi oleh “rasa kita” (in group) dan “rasa mereka” (out group) apalagi ada pihak yang memiliki perasaan superioritas terhadap pihak lain, maka akan potensial memunculkan kekerasan dalam bentuk apapun.

2.1.11 Beberapa Penelitian Efek Media Violence

Schramm, Lyle dan Parker (1961) mendiskusikan sejumlah contoh. kekerasan imitatif dan sumber berita yang disiarkan pada 1950. Mereka berargumen bahwa hubungan yang kentara antara terpaan adegan kekerasan di TV dengan imitasi kejahatan dan kekerasan bukanlah faktor kebetulan belaka.

Lieber, Sprafkin, dan Davidson (1981) melacak peran Pokja Senat yang dipimpin oleh Senator Estes Kefauver untuk Juvenile Delinquency (mempertanyakan perlu tidaknya adegan kekerasan di televisi). Kendati gagal menetapkan konsensus seputar efek-efek kekerasan di televisi, riset ini menyiratkan prioritas untuk mengadakan studi tentang efek terpaan media terhadap perilaku agresif.

George Gerbner (1972) melakukan studi analisis isi dan menemukan bahwa acara TV yang diputar pada jam-jam utama (prime time) berisi 8 contoh kekerasan setiap jamnya. Diantara penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efek terpaan media televisi pada khalayak, adalah efek media violence. Salah satunya yang dilakukan oleh Huesmann & Eron (1986). Mereka meneliti anak-anak yang diterpa siaran televisi sejak usia 8 tahun sampai 30 tahun. Metode yang digunakan yaitu panel suvei, dan ternyata diperoleh hasil bahwa mereka yang menonton acara kekerasan di TV pada level tertinggi saat anak-anak lebih cenderung terlibat kejahatan serius ketika dewasa.


(48)

Zillman (1991) (dalam Eriyanto, 2001) mengemukakan teori exitation

transfer yang memperkenalkan properti arousal inducing pada media violence

untuk memahami intensitas reaksi emosional setelah menonton. Hasilnya, seorang penonton bangkit rasa marahnya setelah diterpa media violence. Arousal atau bangkitnya rasa marah ini dapat ditransfer pada kemarahan yang sesungguhnya, bahkan mengintensifkan hingga menambah kecenderungan berperilaku agresif.

2.1.12 Semiotika

Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau sklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1).

Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang


(49)

relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de de Saussure (1857-1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce (dalam Eriyanto, 2001) menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda.

Istilah semiotik yang diartikan sebagai tanda, yakni sesuatu atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dan dapat mewakili sesuatu yang lain. Tanda dapat diartikan sebagai perangkat yang dipakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah manusia dan bersama manusia. Secara terminologis semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco dalam Sobur, 2001). Menurut Fiske analisis semiotik pada sinema atau film (dapat diterapkan juga pada iklan, tetapi tidak untuk semua level) dapat dibagi menjadi beberapa level :

1. Level Realitas, pada level ini realitas dapat dilihat dari kostum pemain, tata rias, linkungan, gesture, ekspresi, suara, perilaku, ucapan, dan sebagainya sebagai kode budaya yang ditangkap melalui kode-kode


(50)

teknis.kode-kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa:

a. Penampilan kostum dan make up yang digunakan pemain dalam iklan hexos.

b. Lingkungan dan Setting, yang ditampilkan dalam iklan tersebut, bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan maknanya.

c. Dialog, berupa apa makna dari kalimat-kalimat yang di ucapkan dalam dialog.

2. Level representasi, meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, suara, dan casting.

level representasi meliputi : a. Teknik Kamera

ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi :

1. Long Shot (LS) yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari Long Shot dapat dikembangkan menjadi Extreme Long Shot, yaitu dari sedikit ruang dibawah kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton mengenai penampilan tokoh ( ekspresi tubuh, gerak cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai ujung kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam adegan tersebut.


(51)

2. Medium Shot (MS), yaitu shot gambar yang jika objeknya manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan menjadi Wide Medium Shot (WMS) yaitu gambar medium shot tetapi agak melebar kanan kiri. Pengambilan gambar medium shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton mengenai ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan long shot.

3. Close Up (CU) yaitu shot gambar yang jika objeknya manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar medium shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton mengenai penguatan karakter dan dialog penting untuk diperhatikan penonton. Dari Close up dapat dikembangkan menjadi Extreme Close Up yaitu gambar secara detail ekspresi pemain dari suatu peristiwa.

b. Pencahayaan

cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena dalam cahayalah informasi dapat dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihatnamun dalam perkembangan bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan (Biran, 2006:43).


(52)

dalam penelitian ini, peneliti hanya membahas penggunaan voice over yaitu suara-suara diluar kamera, dapat berupa narasi atau penuturan suorang tokoh. (Effendy, 2002:155) voice Over sering digunakan sebagai penjelasan suatu cerita yang berasal dari sudut pandang orang pertama.

d. teknik editing e. penataan musik

3. Level ideologi, meliputi suatu kesatuan dan penerimaan sosial seperti kelas, patriarkhi, gender. Pada level ini menurut Hamad (2004) ideologi yang menguasai budaya sebuah kelompok pemakai tanda mempengaruhi tanda yang diproduksi, dan ideologi menentukan visi atau pandangan kelompok budaya terhadap realitas.

Berbicara tanda (simbol) berbicara ideologi. Untuk mengetahui ideologi dalam suatu tanda perlu diketahui konteks dimana tanda itu berada dan bagaimana budaya si pemakai. Untuk kepentingan analisis, teori semiotika dapat difungsikan sebagai metode analisis yakni metode analisis terhadap teks. Dalam penerapannya, metode semiotika memperhatikan seluruh aspek sebuah teks yang pantas disebut tanda entah itu berupa kata, frase, gambar, ataupun suatu cara penulisan bahkan penyembunyian fakta tertentu. Kajian terhadap teks merupakan kajian kualitatif. Dalam kajian ini fokus meliputi konteks atau situasi sosial di seputar dokumen atau teks yang diteliti, kealamiahan (the nature), makna kultural

(the meaning) dari teks gambar, tulisan, ucapan, atau tanda verbal lainnya. Selain


(53)

bersama serta emergence yakni pembentukan secara gradual atau bertahap dari sebuah pesan melalui interpretasi (Mansour,1999).

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan mengamati tanda -tanda yang ditonjolkan dalam iklan tersebut. Unit analisis dalam analisis semiotika ini adalah tanda berupa ikon, indeks, dan simbol. Seperti telah disebutkan bahwa analisis dibagi dalam tiga level yakni level realitas, ideologi, dan representasi. Contoh analisis data dapat dilakukan dengan menganalisis makna tanda yang dimunculkan pada tokoh Sinetron Bajuri-Oneng. Kedua tokoh ini dianggap dapat merepresentasikan kekerasan gender yang ditampilkan dalam sinetron komedi Bajaj Bajuri. Setelah menganalisis makna tanda selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan model segitiga Pierce dan level realitas dari Fiske (Listianingsi, 2006).

2.1.13 Model Semiotik Roland Barthes

Roland Barthes adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliransemiotika strukturalisme Ferdinand de Saussure. Semiotika Saussurelebih menekankan pada linguistik.

Menurut Shldosvsky ”karya seni adalah karya-karya yang diciptakan melalui teknik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang seartistik mungkin” (Budiman, 2003: 11).

Sedangkan pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra atau


(54)

seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003 : 11).

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seseorang semiotikus dalam mempelajari semua sistemtanda sosial lainya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya (Kurniawan, 2001 : 156). Di dalam semiologi seseorang diberikan ”kebebasan” di dalam memaknai sebuah tanda.

Lima jenis kode barthes sebagai acuan tiap tanda (Sobur, 2004)

a) Hermeneutik Dibawah kode hermeneutik, orang akan mendaftar beragam istilah (formal) yang berupa sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disingkapi. Kode ini disebut pula sebagai suara kebenaran (The Voice of Truth).

b) Proairetik ; Merupakan tindakan naratif dasar (basic narrative action) yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut pula sebagai suara empirik.

c) Budaya ; Sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan kepada tipe pengetahuan (fisika, fisiologi, psikologi, sejarah termasuk arsitektur). Dan mencoba untuk meng-konstruksikan sebuah budaya yang berlangsung pada satu kurun waktu tertentu yang berusaha untuk diekspresikan. Kode ini disebut pula sebagai suara ilmu.


(55)

d) Semik ; yang Merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic code) merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek yang petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat).

e) Simbolik ; Tema merupakan sesuatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang (prespektif) pendekatan yang dipergunakan.

2.2. Kerangka Berfikir

Iklan dibuat dengan tujuan memperkenalkan suatu produk baru/ lama (diperkenalkan dengan kemasan baru) dan meningkatkan penjualan produk tersebut. Maka dari itu, iklan dibuat dengan berbagai unsur agar menarik perhatian pemirsa televisi. Iklan terdapat diberbagai media (media cetak dan media televisi). Tentunya dengan perbedaan media yang ditampilkan, perusahaan yang membuat iklan menerapkan strategi yang berbeda-beda dalam pembuatan iklan. Misalnya iklan permen HEXOS pada media televisi banyak mendapat pengaduan dari Komisi Penyiaran Indonesia karena menggunakan unsur kekerasan, yaitu iklan permen HEXOS versi makan bareng camer. Dimana, si-pria dipukul kepalanya oleh wanita karena hanya mengalami gangguan tenggorokan.

Dalam iklan Permen HEXOS versi makan sama camer, terdapat unsur kekerasan didalamnya yang dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi pemirsa yang melihatnya. Apalagi bila ditiru oleh anak-anak, hal ini karena suatu kekerasan yang dianggap sebagai suatu humor/ yang dianggap lucu bila dilakukan. Untuk itulah perlu dilakukan analisis semiotika Roland Barthes.


(56)

Penelitian ini menggunakan analisis semiotik dan yang dikemukakan oleh Roland Barthes yang terdiri dari komposisi visual (setting, wardrobe, property,

slogan/ tagline, camera angel, sound / suara, dll) yang terdapat dalam iklan

HEXOS versi ”makan sama camer” yang kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes serta dengan menggunakan kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut meliputi, kode Kode Hermenutik atau kode teka-teki, kode Semik, kode kultural, kode paretik, kode simbolik dalam shot-shot gambar dalam iklan HEXOS versi ”makan sama camer” di Televisi. Kekerasan yang diduga lebih banyak mengarah kepada kekerasan psikis dengan tindakan ancaman, intimidasi dan gangguan. Analisis ini menggunakan unit analisis semua tanda-tanda dalam komposisi visual (setting,

wardrobe, property, slogan/ tagline, camera angel, sound / suara, dll) yang


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini mempresentasikan penggambaran iklan televisi komersial. Metode penelitian diskriptif dengan menggunakan pendekatan semiotik Roland Barthes untuk mengetahui pemaknaan secara menyeluruh iklan Hexos versi ”makan sama camer” dimana proses pembentukan makna oleh semiotika bersifat intensional dan memiliki unsur kekerasan. Bogdan dan Taylor ( dalam Moelong, 2002 : 3) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif mempunyai prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata lisan, tulisan serta gambar dan bukan angka-angka dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan metode yang digunakan peneliti dalam menganalisis data adalah metode analisis semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15).

Dengan menggunakan metode analisis semiotik, peneliti berusaha menggali realitas real yang didapatkan melalui interpretasi symbol-symbol dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang iklan, selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini. Dan kemudian secara khusus peneliti menggunakan metode penelitian analisis semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes, untuk menginterpretasikan ”kekerasan” dalam iklan Hexos versi makan sama camer format televisi.


(58)

3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1 Corpus

Dalam suatu penelitian kualitatif diperlukan adanya pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembanganya oleh analisis kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripanan perbedaan yang lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin, baik homogen pada taraf waktu (singkroni). (Kurniawan, 2000:70).

Pada penelitian kualitatif ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus dalam penelitian ini adalah tiap potongan adegan yang disebut juga scene, yang secara langsung ataupun tidak merepresentasikan kekerasan dalam iklan permen HEXOS versi ”makan sama camer” di televisi.

3.2.2. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah semua tanda-tanda dalam komposisi visual (setting, wardrobe, property, slogan/ tagline, camera angel,

sound / suara, dll) yang terdapat dalam iklan HEXOS versi ”makan sama camer”

yang kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes serta dengan menggunakan kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut meliputi, kode Kode Hermenutik atau kode teka-teki, kode Semik, kode kultural, kode paretik, kode simbolik.dalam shot-shot gambar dalam iklan HEXOS versi ”makan sama camer” di Televisi.


(59)

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara mengamati iklan HEXOS versi ”makan sama camer” di televisi secara langsung merekam dalam bentuk digital (mendownload melalui situs www.youtube.com dengan fasilitas www.keepvid.com), kemudian mengcapture berdasarkan shot perpindahan pengambilan gambar dalam iklan tersebut. Shot adalah suatu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang yang hanya direkam dengan satu take saja. Data yang terkumpul disebut data primer dan selanjutnya dianalisis berdasarkan semiotik Roland Barthes. Data dari penelitian ini kemudian digunakan untuk mengetahui bagaimana representasi iklan HEXOS versi ”makan sama camer”.

Peneliti juga melakukan studi kepustakaan untuk melengkapi data-data dan bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi. Selanjutnya dari hasil pengamatan simbol-simbol yang terdapat pada potongan visualisasi iklan dan data-data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis berdasarkan studi semiotik Roland Barthes dalam memaknai gambar dan John Fiske untuk memaknai berdasarkan scene.

3.4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis semiotik Roland Barthes. Dalam hal ini iklan HEXOS versi ”makan sama camer” di televisi merupakan sebuah sistem tanda yang terorganisir menurut kode-kode yang merefleksikan nilai, sikap dan keyakinan tertentu kreator iklan sebagai komunikator. Sedangkan masyarakat


(60)

sebagai penerima pesan iklan (komunikan), bisa memiliki berbagai interpretasi masing-masing. Ada yang menginterpretasi sesuai dengan yang disampaikan kreator iklan, tetapi ada pula yang diinterpretasikan berbeda.

Setiap pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna yang dinyatakan secara exsplisit pada permukaan dan makna yang dikemukakan secara implisit dibalik permukaan tampilan iklan. Dengan demikian, semiotik menjadi pendekatan yang sesuai untuk mengetahui konstruksi makna yang terjadi dalam iklan televisi ini. Karena dengan semiotik akan menekankan pada sistem tanda dan konstruksi realitas, maka melalui semiotik, ideologi-ideoligi yang terdapat dibalik iklan dapat dibongkar (Noviani, 2000 : 79)

3.5 Lima jenis kode barthes sebagai acuan tiap tanda (Sobur, 2004)

a) Hermeneutik Dibawah kode hermeneutik, orang akan mendaftar beragam istilah (formal) yang berupa sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disingkapi. Kode ini disebut pula sebagai suara kebenaran (The Voice of Truth).

b) Proairetik ; Merupakan tindakan naratif dasar (basic narrative action) yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut pula sebagai suara empirik.

c) Budaya ; Sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan kepada tipe pengetahuan (fisika, fisiologi, psikologi, sejarah termasuk arsitektur). Dan mencoba untuk meng-konstruksikan sebuah budaya yang berlangsung pada satu


(61)

kurun waktu tertentu yang berusaha untuk diekspresikan. Kode ini disebut pula sebagai suara ilmu.

d) Semik ; yang Merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic code) merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek yang petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat).

e) Simbolik ; Tema merupakan sesuatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang (prespektif) pendekatan yang dipergunakan.


(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data 4.1.1. Gambaran Umum

Iklan Hexos versi ”makan sama camer” adalah iklan dari PT.Konimex Indonesia, yang dibuat oleh Velocity Production. Iklan ini dirilis di media televisi pada tanggal 11 Maret 2008 dengan jangka penayangan sampai tahun 2010. Iklan ini bergenre Humor yang bertujuan untuk mengiklankan/ memperkenalkan permen pelega tenggorokan Hexos, iklan ini dimainkan oleh 4 peran bintang iklan. Dalam iklan ini menceritakan suatu kondisi makan malam bersama calon mertua (camer), pemerannya terdapat si-pria, si-wanita, si ibu wanita dan si-bapak wanita.

Dalam iklan ini disetting kondisi suasana makan malam antara pria dan wanita bersama dengan orang tua si-wanita/ calon mertua (camer) si-pria. Dalam budaya ketimuran atau bahkan dunia barat, hal ini menjadi suatu peristiwa penting bagi seorang pasangan yang ingin melanjutkan perjalanan cintanya/ pacarannya ke jenjang yang lebih serius seperti, melanjutkan kepada jenjang pertunangan dan jenjang pernikahan. Acara makan malam bersama orang tua si-wanita menunjukkan sikap serius si-pria untuk mendapatkan restu dari kedua orang tua si-wanita agar hubungan kedua pasangan berlanjut ke jenjang


(63)

yang berikutnya. Namun, sutradara dalam iklan ini (Pihak Velocity Production) melihat peristiwa ini dibuat sebagai dasar pembuatan iklan Hexos versi ”makan sama camer”.

Velocity Production menjadikan perkataan yang diucapkan oleh si-pria kepada camer sebagai dasar humor dalam iklan. Hal ini karena budaya yang ada dimasyarakat adalah si-pria harus menjawab dengan jelas kepada kedua orangtua si-wanita untuk mendapatkan kesan positif orang tua wanita. Dalam iklan Hexos versi makan sama camer, si-pria menjawab pertanyaan dari orangtua (ibu) si-wanita dengan jawaban yang tidak sopan atau dengan sikap dan perilaku yang aneh yang membuat kedua orangtua si-wanita terkejut. Dalam iklan ini sikap/perilaku aneh si-pria dianggap sebagai humor oleh Velocity Production, hal ini karena iklan tersebut disetting sebagai humor dengan penyebab tenggorokan yang mengalami gangguan, sehingga menimbulkan perilaku yang aneh. Selain iklan ini banyak versi iklan Hexos yang lainnya seperti iklan Hexos versi ”pengantar pizza”, dimana Velocity Production memanfaatkan rasa marah salah satu pemeran iklan yang menunggu pengantar pizza yang lama datangnnya. Iklan ini juga mendapatkan banyak pengaduan dalam situs KPI.

Daya tarik iklan harus memiliki tiga sifat yakni meaningful (berarti), believable (dapat dipercaya) dan distinctive (khas). Pelaksanaan pesan yang disampaikan yang menciptakan daya tarik untuk iklan ini berupa Gaya hidup (life style) yaitu, Gaya ini


(64)

menunjukkan kecocokan sebuah produk dengan gaya hidup tertentu.Gaya hidup yang ditampilkan berupa budaya perkenalan pacar seorang wanita yang diperkenalkan kepada kedua orang tuanya, dalam sebuah acara makan malam bersama. Sifat meaningful yang terdapat dalam iklan peristiwa tersebut berarti karena menggambarkan suatu acara yang penting dan berarti, Sifat believablenya adalah permen Hexos yang dapat dipercaya membuat tenggorokan lega dan membuat berbicara jadi lebih gampang dan enak, Sifat khas yang muncul adalah iklan permen Hexos ini membuat iklan dengan alur scane yang sama namun ditampilkan dengan kondisi yang berbeda-beda.

Iklan yang ditampilkankan pun terdapat unsur ilustrasi, judul dan teks yang jelas, yang ketiganya merupakan unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah iklan yang dapat menarik perhatian konsumen. Judul iklannya adalah Iklan Hexos versi “makan sama camer”, judul disini sudah menggunakan bahasa perkembangan anak muda sekaran dengan singkatan camer, yaitu calon mertua. Teks yang muncul sedikit tapi jelas memberikan gambaran dari maksud seluruh scane yang ditampilkan dalam iklan, teksnya berupa “Hexos, permen pelega tenggorokan”. Ilustrasi yang ditampilkan dalam iklan adalah ilustrasi keadaan suasana seorang wanita yang memperkenalkan pacarnya kepada kedua orang tuannya dalam acara makan malam bersama.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Iklan Hexos versi “makan sama camer” sudah memiliki daya tarik yang harus dimiliki oleh sebuah iklan berupa sifat yakni meaningful (berarti), believable (dapat dipercaya) dan distinctive (khas). Pelaksanaan pesan yang disampaikan yang menciptakan daya tarik untuk iklan ini berupa Gaya hidup yang ditampilkan berupa budaya perkenalan pacar seorang wanita yang diperkenalkan kepada kedua orang tuanya, dalam sebuah acara makan malam bersama. Sifat meaningful yang terdapat dalam iklan peristiwa tersebut berarti karena menggambarkan suatu acara yang penting dan berarti, Sifat believablenya adalah permen Hexos yang dapat dipercaya membuat tenggorokan lega dan membuat berbicara jadi lebih gampang dan enak, Sifat khas yang muncul adalah iklan permen Hexos ini membuat iklan dengan alur scane yang sama namun ditampilkan dengan kondisi yang berbeda-beda tapi tetap mengedepankan humor dalam iklannya.

Iklan Hexos versi “makan sama camer” memiliki unsur ilustrasi, judul dan teks yang jelas, yang ketiganya merupakan unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah iklan yang dapat menarik perhatian konsumen. Judul iklannya adalah Iklan Hexos versi “makan sama camer”, judul disini sudah menggunakan bahasa perkembangan anak muda sekaran dengan singkatan camer, yaitu calon mertua. Teks yang muncul sedikit tapi jelas memberikan


(2)

gambaran dari maksud seluruh scane yang ditampilkan dalam iklan, teksnya berupa “Hexos, permen pelega tenggorokan”. Ilustrasi yang ditampilkan dalam iklan adalah ilustrasi keadaan suasana seorang wanita yang memperkenalkan pacarnya kepada kedua orang tuannya dalam acara makan malam bersama.

Berdasarkan hasil analisis dan interprestasi terhadap representasi kekerasan psikologis dalam Iklan Hexos versi “makan sama camer”, melalui pemain dalam iklan tersebut. Kekerasan yang terjadi pada sebagian scane iklan Hexos yang dibangun melalui level realitas maupun reperesentasi.

Representasi ini hadir melalui suatu kesatuan adegan-adegan dalam sebuah iklan yang akhirnya membentuk sebuah makana dan setiap adegan, peneliti melihat adanya tanda-tanda yang tampak menyampaikan pesan akan adanya tampilan kekerasan serta ketidakwajaran yang dipertentangkan adalah cara memecahkan masalah dengan menggunakan kekerasan. Dari setiap scane terlihat terdapat unsur-unsur kekerasan psikis dan fisik. Dalam analisis semiotika Roland Barthes terdapat tanda/ code cultural yang terdapat pada scane 2 yang mengidentisifikasi kekerasan psikologis berupa intimidasi, kode selanjutnya adalah kode proaretik yang terdapat pada scane 3, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 12, 13 dan 14 yang mengidentifikasi adanya kekerasan psikis berupa pelecehan, gangguan. Selain kekerasan psikis terdapat juga kekerasan fisiknya. Representasi kekerasan psikologis direpresentasikan melalui teknik kamera berupa medium shot.


(3)

Kekerasan yang terjadi pada iklan Hexos versi “makan sama camer” adalah kekerasan psikologis dan kekerasan fisik. Kekerasan psikologis yang terjadi berupa ancaman, penghinaan, pelecehan dan gangguan yang dialami orang yang berinteraksi dengan peran utama dalam iklan tersebut. Kekerasan fisik terjadi pada peran utama yang menerima pukulan dengan sendok sayur yang dilakukan oleh pemeran wanita (pacar si-pria).

5.2. SARAN

Representasi kekerasan dalam iklan Hexos versi “makan sama camer” disetting sebagai iklan bergenre Humor, namun dalam kenyataannya banyak yang mengirimkan pengaduan terhadap iklan tersebut. Hal ini karena iklan Hexos selalu menggunakan tanda yang menyerupai perilaku yang tidak baik dilakukan oleh seseorang. Maka diharapkan iklan yang ditampilkan menggunakan tanda/ simbol yang tidak menyebabkan kekerasan psikis dan benar-benar bergenre humor, seperti humor dalam bentuk ucapan, permainan kata, dan logika yang membangun pikiran yang positif.

Secara bahasa dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah iklan yang menarik dalam iklan Hexos versi “makan sama camer” sudah dimiliki, seperti daya tariknya (meaningful, believable dan distinctive) dan tiga unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah iklan (ilustrasi, judul dan teks). Namun, dari berbagai versi yang ditampilkan dalam iklan tersebut banyak yang menampilkan kekerasan, terutama kekerasan psikologis, hal ini terlihat dari banyaknnya pengaduan terhadap iklan Hexos versi “Makan Sama Camer”


(4)

dan Iklan Hexos versi “Pengantar Pizza” dalam situs KPI. Maka, kedepan Velocity Productions memproduksi Iklan dengan versi yang tidak menyinggung sifat manusia dan keadaan manusia sebenarnya dengan menggambarkan sikap dan perilaku yang tidak baik dilakukan oleh seorang manusia.


(5)

Daftar Pustaka

Effendy, Onong Uchjana. 1990. Hubungan Masyarakat, Suatu Studi KOmunikasi. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Faisal Sanapiah. 2005. Format-format Penelitian Sosial. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta

Haryatmoko, 2007. Etika Komunikasi : Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Kanisius : Yogyakarta

Lee, Monley dan Carla Johnson. 2004. Prinsip-Primsip Pokok Periklanan dalam Perspektif Golbal. Prenada: Jakarta.

Marx, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Editor Adam Padgorecki, Christoper J. Whelan, Bina Aksara, Jakarta.

Mulyana, Deddy M.A., Ph. D. 2005. Ilmu Komunikasi (suatu pengantar). PT Remaja Rosdakarya : Bandung

Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

Munandar, S.C.U. 1996. Humor: Makna pendidikan dan penyembuhan. Suatu Tinjauan Psikologis. Makalah (dalam Seminar Humor Nasional). Semarang.

Nuraeni, Nani. 2008. Pengantar Periklanan. Dalam google.co.id diakses tanggal 25 Desember 2009.

Piliang, Yasfar Amir. (1999). Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta LkiS. Ruslan, Rosady, SH, MM. 2007. Manajemen Publik Relations dan Media Komunikasi.PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Rainy,Hutabarat. 2008. Kekerasan Simbolik. www.google.co.id/ kekerasan simbolik, diakses tanggal 9 Februari 2010.

Salmi, Jamil. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Pustaka Pelajar : Yogyakarta Sugioyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta

Sunarjo, Djoenaesih. S. 1997. Opini Publik. Liberty: Yogyakarta


(6)

Suyanto, M. 2005. Strategi Perancangan Iklan Televisi Perusahaan Top Dunia. Andi: Yogyakarta

Sunardi, Sutan. (2002). Semiotik Negativa. Yogyakarta. Kanal

Trifonas, Pieter Pericles. (2003). Barthes dan Imperium Yanda. Yogyakarta. ... , U U No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).


Dokumen yang terkait

Representasi Budaya Dalam Iklan (Analisis Semiotika Pada Iklan Mie Sedaap Versi “Ayamku" di Televisi)

25 311 89

Kajian semiotika visual iklan televisi gulaku versi lemon

6 14 80

RE Representasi Nilai Patriarki Dalam Iklan. (Kajian Semiotika Nilai Patriarki Iklan Televisi Extra Joss Versi Laki).

0 1 16

PENDAHULUAN Representasi Nilai Patriarki Dalam Iklan. (Kajian Semiotika Nilai Patriarki Iklan Televisi Extra Joss Versi Laki).

0 3 44

REPRESENTASI NILAI PATRIARKI DALAM IKLAN (Kajian Semiotika Nilai Patriarki Iklan Televisi Representasi Nilai Patriarki Dalam Iklan. (Kajian Semiotika Nilai Patriarki Iklan Televisi Extra Joss Versi Laki).

0 5 17

REPRESENTASI FEMINISME DALAM IKLAN "FIESTA ULTRASAFE KONDOM VERSI YESMAN" (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme dalam iklan” fiesta ultrasafe kondom versi yesman” di televisi).

4 5 92

REPRESENTASI STRATEGI PELAYANAN DALAM IKLAN MCDONALD’S VERSI “KELAPARAN TENGAH MALAM” DI TELEVISI. (Studi Semiotika Representasi Strategi Pelayanan dalam Iklan McDonald’s versi “Kelaparan Tengah Malam” di Televisi).

2 9 101

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM IKLAN HEXOS VERSI MAKAN SAMA CALON MERTUA (Study Semiotika Representasi Kekerasan Psikis Pada Iklan HEXOS Versi Makan Sama Calon Mertua Format Televisi) SKRIPSI

0 0 23

REPRESENTASI FEMINISME DALAM IKLAN "FIESTA ULTRASAFE KONDOM VERSI YESMAN" (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme dalam iklan” fiesta ultrasafe kondom versi yesman” di televisi)

0 0 15

REPRESENTASI KONSEP CANTIK DALAM IKLAN TELEVISI (Analisis Semiotika dalam “Iklan Pelelembab Wajah Fair Lovely Versi Gita Virga”)

0 2 83