makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah makna inheren dalam
sesuatu di dunia ini, ia selalu dikontruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat
sesuatu hal bermakna sesuatu.
2.1.9. Model Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes adalah salah satu tokoh semiologi komunikasi yang menganut aliran semiologi komunikasi strukturalisme Ferdinand de Saussure.
Semiologi strukturalis Saussure lebih menekankan pada linguistik. Menurut Shldosvsky “karya seni adalah karya-karya yang diciptakan
melalui teknik-teknik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang seartistik mungkin” Budiman, 2003:11.
Sedangkan pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan
suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda
Budiman, 2003:11. Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang
menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem tanda sosial lainnya. Semiologi
adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah
dari kandungannya Kurniawan, 2001:156. Di dalam semiologi seseorang diberikan “kebebasan” di dalam memaknai sebuah tanda.
Roland Barthes mendasari kajian-kajian Barthes terhadap objek-objek kenyataanunsur kebudayaan yang sering ditelitinya. Cakupan kajian
kebudayaan Barthes sangat luas. Kajian ini meliputi kesusastraan, perfilman, busana dan berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Sebuah garmen, sebuah
mobil, sepinggan masakan, sebuah bahasa isyarat, sebuah film, sekeping musik, sebuah gambar iklan, sepotong perabot, sebuah kepala judul surat kabar, ini
semua memang nampaknya objek-objek heterogen. Menurut Barthes Kurniawan, 2001:89, analisis naratif struktural secara
metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana pada perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi
teks atau semiotika. Jadi, secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah.
Intinya sama, yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu.
Signifier penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna aspek material, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Signified petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa Kurniawan, 2001:30.
Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas “Mytology of the month” mitologi bulan ini, sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek
denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos-mitos” yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih
luas yang membentuk masyarakat. Salah satu area terpenting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang
lebar mengulas apa yang sering disebut sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.
1. Signifier penanda
2. Signified petanda
3. Denotative sign tanda denotative 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
PENANDA KONOTATIF 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
PETANDA KONOTATIF 6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
Sumber : Paul Cobley Litza Jansz. 1999. Intruducting Semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51
Gambar 2.1 Peta tanda Roland Barthes
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Jadi dalam konteks Barthes, tanda
konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya Sobur, 2003:68-
69. Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian
secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna
yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional, disebut sebagai denotasi
ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan
para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih
diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan
denotasi yang bersifat opresif ini. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
Yang menjadi alasan atau pertimbangan Barthes menempatkan ideologi dengan mitos, karena baik di dalam mitos maupun ideologi hubungan antara
penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi
sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan, mewujudkan dirinya di dalam teks- teks dan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode
yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain Sobur, 2003:70-71.
Semiologi Roland Barthes, jelas sangat terkait dengan strukturalisme adalah usaha untuk menunjukkan bagaimana makna literatur bergantung pada kode-
kode yang diproduksi oleh wacana-wacana yang mendahului dari sebuah budaya. Secara luas kode-kode budaya ini telah menggiringkan suatu makna
tertentu bagi manusia. Kode-kode budaya ini terlihat jelas bila kita mengkaji mitos-mitos yang tersebar dalam kehidupan keseharian.
Mitos menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi
sebuah obyek, sebuah konsep, atau sebuah ide karena mitos adalah sebuah mode penindasan yakni sebuah bentuk.
Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi dengan cara apa, mitos menuturkan pesan itu. Dengan demikian ada batas-batas formal dari
mitos, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan itu. Dengan demikian ada batas-batas formal dari mitos, tetapi tak ada batasan yang “substansial”. Sejarah
manusia mengkonversikan realitas ke dalam tuturan speech dan manusia sendirilah yang menentukan hidup dan matinya bahasa mistis. Kuno atau tidak,
mitologi hanya dapat memiliki sebuah landasan sejarah, yakni tipe tuturan yang terpilih dari sejarah dan dia tidak mungkin dapat berkembang dari “hakikat”
benda-benda Kurniawan, 2001:83-84. Di mata Barthes, suatu karya atau teks merupakan sebentuk kontruksi
belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekontruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu
sendiri. Sebagai sebuah proyek rekontruksi, maka pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa “leksia” atau satuan
bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa kata, beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau beberapa paragraph.
Dengan memenggal teks itu maka pengarang tak lagi jadi perhatian. Teks bukan lagi menjadi milik pengarang, tetapi menjadi milik pembaca dan
bagaimana pembaca memproduksi makna itu. Produksi makna dari pembaca itu sendiri akan menghasilkan kejamakan.
Tugas para semiolog atau pembaca kemudian adalah menunjukkan sebanyak mungkin makna yang mungkin dihasilkan. Barthes menyebut proses ini sebagai
semiolog yang memasuki “dapur makna” Kurniawan, 2001:93-94.
Cara kerja Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine
ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima kode yang ditinjau Barthes
adalah : 1.
Kode Hermeneutik atau kode teka-teki Berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan
yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan
antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesainnya di dalam cerita.
2. Kode Semik atau kode konotatif
Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembaca, pembaca menyusun tema suatu teks dengan melihat konotasi
kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika melihat suatu kumpulan satuan konotasi,
kita akan menemukan tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, akan dapat mengenali suatu tokoh
dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling akhir.
3. Kode simbolik
Merupakan suatu pengkodean fiksi yang paling struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada
gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara,
maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan
melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.
4. Kode Proaretik atau kode tindakanlakuan
Kode Proaretik atau kode tindakanlakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang artinya, antara lain, semua
teks yang bersifat naratif. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu
mengharaplakuan di-“isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks.
5. Kode gnomikkode kultural
Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh
budaya. Realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil
yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.
2.2. Kerangka Berpikir
Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar belakang
pengalaman field of reference dan pengetahuan frame of experience yang berbeda-beda pada setiap individu. Dalam menciptakan sebuah pesan
komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lagu maka pencipta lagu juga tidak terlepas dari dua hal tersebut.
Begitu juga peneliti dalam merepresentasi tanda dan lambang yang ada dalam obyek, juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan peneliti. Dalam
penelitian ini peneliti melakukan representasi terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada lirik lagu “Tomat Tobat Maksiat” dengan
menggunakan metode semiologi Roland Barthes yang menitik beratkan pada hubungan penanda dan petanda yang ada pada lirik lagu tersebut. Dimana
sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotatif tanda-tanda menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos-mitos” yang
dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai lirik lagu tersebut.
Dari data-data berupa lirik lagu “Tomat Tobat Maksiat” karya Wali band, kata-kata dan rangkaian kata dalam kalimat lirik lagu tersebut kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode signifikasi dua tahap two order of signification dari Roland Barthes dimana pada tataran pertama tanda denotatif