Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap anak tentunya akan melalui masa tumbuh kembang dalam rentang waktu kehidupannya. Seorang anak dikatakan tumbuh dapat dilihat dari perubahan fisik yang dapat diukur secara kuantitas dari masa kemasa dan dari satu peringkat keperingkat berikutnya dan perkembangan dapat dilihat dari perubahan secara kualitas dengan membandingkan sifat terdahulu dengan sifat yang sudah terbentuk Papalia, 2001. Proses pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui setiap anak tentunya tidak sama dan memiliki keunikan masing-masing. Permasalahan yang dihadapi juga berbeda-beda dari satu anak ke anak yang lain. Permasalahan yang muncul dapat berupa gangguan pada tahap perkembangan fisik, gangguan bahasa, gangguan emosi maupun gangguan sensori motorik. Melihat anak-anak balita tumbuh dan berkembang merupakan suatu hal yang menarik bagi orangtua. Namun jika dalam masa perkembangannya anak mengalami suatu gangguan, maka orangtua akan menjadi sangat sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak-kanak yang menjadi ketakutan orangtua saat ini adalah autisme. Autisme bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Sebagian dari anak autis gejalanya sudah ada sejak lahir namun seringkali luput dari perhatian orangtua Sutadi, 1997. Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 Menurut Kanner dalam Wenar, 2004 autisme yaitu, suatu gangguan yang dicirikan dengan tiga ciri utama. Pertama, pengasingan yang ekstrim extreme isolation dan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan. Sering kali aktivitas anak terlihat sederhana misalnya duduk di lantai dan berguling-guling maju mundur dalam waktu yang lama, memutar-mutar tali sepatunya atau berlari-lari di dalam ruangan. Kadang- kadang perilaku anak autis terlihat seperti suatu ritual. Anak autis juga memiliki suatu kebutuhan akan kesamaan lingkungan misalnya, anak harus memakan makanan yang sama dengan piring yang sama. Ketiga, mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi, misalnya ketika seorang anak autis sedang menyiram toilet, ia tiba- tiba berkata, ”humburgernya di kulkas”. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan membalikkan kata gantinya sendiri, biasanya anak memanggil dirinya sendiri dengan kata ganti ”kamu”. Safaria 2005 mengatakan bahwa autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, ekolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotip, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsessif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya. Salah satu kondisi yang sering dijumpai sebagai penyebab munculnya autisme ini antara lain karena adanya keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan, seperti timbal, merkuri, kadmium, spasma infantil, rubella kongenital, Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 sklerosis tuberosa, lipidosis serebral, dan anomali kromosom X rapuh. Selain itu anak penderita autisme memiliki masalah neorologis dengan cerebral cortex, cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak, pons, hipotalamus, hipofisis, medula dan saraf-saraf panca indera seperti saraf penglihatan atau saraf pendengaran dan gejala umum yang bisa diamati pada anak autis adalah gangguan pola tidur, gangguan pencernaan, gangguan fungsi kognisi, tidak adanya kontak mata, komunikasi satu arah, afasia, menstimulasi diri, mengamuk temper tantrum, tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik stereotipik Safaria, 2005. Saat ini kasus autisme pada anak autisme infantile semakin banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran dikalangan masyarakat terutama orangtua Danuatmaja, 2003. Dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir ini jumlah penyandang autisme semakin meningkat di seluruh dunia. Perkiraan jumlah kelahiran di Indonesia tahun 1997 yaitu 4,6 juta per tahun. Jumlah penyandang autisme akan bertambah per tahunnya sebanyak 2,15 dari 4,6 juta atau 9600 anak. Perbandingan anak laki-laki dan wanita penyandang autisme adalah empat banding satu Sutadi, 1997. Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 400.000 anak mengalami autisme. Tahun 1987 di dunia, prevalensi anak autis diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 anak mengalami autisme per 500 kelahiran dan tahun 2000, naik jadi 1:150 dan pada tahun 2001 perbandingan menjadi 1 berbanding 100 kelahiran ”Kasus Autisme”, 2008. Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 Menurut Budhiman, seorang psikiater anak dan ketua Yayasan Autisme Indonesia dalam Sihombing, 1999, bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme di Indonesia diperkirakan satu per 5000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak. Bukti lain yang menunjukkan peningkatan jumlah anak penyandang autisme di Indonesia berasal dari salah satu tempat terapi untuk anak autisme yang dikelola Yayasan Balita Mandiri. Sejak yayasan ini dibuka dengan lima anak autis, dalam waktu empat bulan jumlahnya meningkat menjadi 35 anak. Dilihat dari kenyataan di atas, maka diperkirakan penyandang autisme di Indonesia akan terus meningkat sehingga mengilhami berdirinya berbagai yayasan yang memusatkan pelayanannya pada masalah autisme ini. Di samping itu, media cetak juga sudah mulai banyak membahas tentang autisme, baik di koran mauoun majalah-majalah Sihombang, 1999. Banyaknya pemberitaan tentang kelainan dan gangguan yang dialami anak pada masa pertumbuhan dan perkembangannya sangat menarik perhatian masyarakat khususnya orangtua. Bagi orangtua, anak adalah karunia. Kehadirannya disambut dengan sukacita dan penuh harapan. Ketika Tuhan menitipkan anak dengan kondisi autisme sebagai karunia-Nya, perasaan orangtua menjadi galau, antara penerimaan dan penolakan dan antara rasa syukur dan amarah. Bahkan segala bentuk perasaan sedih, bingung, putus asa, pasrah berganti-ganti dengan rasa kaget, senang dan suka cita Puspita dalam Marijani, 2003. Safaria 2005 mengatakan bahwa berbagai reaksi orangtua muncul ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan autisme dan setiap orangtua Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 pasti berbeda-beda reaksi emosinya. Beberapa reaksi emosi yang muncul ketika orangtua mengetahui bahwa anaknya mengalami autisme seperti, merasa terkejut, penyangkalan, merasa tidak percaya, sedih, perasaan terlalu melindungi, kecemasan, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasaan marah, bahkan ada perasaan bersalah dan berdosa. Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kubler-Ross dalam Sarasvati, 2004 bahwa ada beberapa reaksi emosional individu ketika menghadapi cobaan dalam hidup yaitu menolak menerima kenyataan, marah, melakukan tawar-menawar, depresi dan penerimaan. Berbagai reaksi ini muncul disebabkan karena sewaktu anak masih berusia kurang lebih 1 sampai 1,5 tahun, anak terlihat lucu dan menyenangkan namun seiring dengan bertambahnya usia anak, mulai terlihat berbagai macam keanehan misalnya jika diajak berkomunikasi anak seperti tidak menanggapi, acuh, bahkan matanya menghindar jika ditatap dan derai tawanya hampir tidak terdengar seperti anak-anak lainnya Safaria, 2005. Kebanyakan orangtua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika mengetahui diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan autisme. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami autisme kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya. Setelah mengetahui fakta yang objektif dari berbagai sumber, kebanyakan orangtua dengan perasaan amat terpukul dan terpaksa menerima kenyataan bahwa anaknya adalah penyandang autisme. Pada mulanya orangtua berpikir bahwa anaknya hanya mengalami keterlambatan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan. Orangtua baru sadar ketika mulai terlihat Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 berbagai macam keanehan dan kejanggalan dalam perilaku anaknya. Misalnya, anak membentur-benturkan kepalanya ke tembok, menggigit tangannya sampai berdarah, memutar-mutar kepala atau tangannya dan perilaku aneh lainnya. bagi orangtua, perilaku agresif dan menyakiti diri sendiri merupakan perilaku yang paling berat untuk dihadapi. Anak sering berteriak dengan tidak jelas sehingga membuat orangtua semakin sedih dan tertekan. Safaria, 2005. Orangtua yang memiliki anak penyandang autisme segala sesuatunya pasti tampak berbeda dari orangtua lainnya. Bagi orangtua yang memiliki anak autis, inilah periode awal kehidupan anaknya yang merupakan masa-masa tersulit dan paling membebani. Pada periode ini sering kali orangtua berhadapan dengan begitu banyak permasalahan. Tidak saja berasal dari anaknya tetapi bercampur dengan masalah-masalah lainnya yang dapat membebani orangtua, termasuk permasalahan yang muncul dari reaksi masyarakat Safaria, 2005. Banyak masyarakat luas yang belum mengetahui tentang autisme. Banyak orang beranggapan bahwa anak autis adalah anak-anak yang aneh dan ada juga yang beranggapan bahwa autisme adalah penyakit menular dan sebahagian masyarakat bahkan tidak menerima dan mengakui keberadaan anak-anak autis ini. Penolakan terhadap anak-anak autis ini terlihat ketika mereka sulit diterima untuk belajar di sekolah-sekolah umum sebagaimana anak-anak lainnya. Hal ini dapat menjadi beban bagi sebahagian orangtua anak autis. Ada perasaan malu dan juga perasaan untuk menjauh dari kehidupan sosialnya Marijani, 2003. Menurut Hopes dan Harris dalam Berkell, 1992, orangtua dengan anak autis akan mengalami stress yang lebih besar dari pada orangtua dengan anak Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 yang mengalami keterbelakangan mental karena hilangnya respon interpersonal pada anak-anak autisme tersebut. Selain itu tingkat keparahan dari gejala-gejala autisme merupakan salah satu hal yang mempengaruhi stress orangtua. Puspita dalam Marijani, 2003 mengatakan bahwa penerimaan orangtua pada anak autis secara ikhlas dan apa adanya sangat membantu proses penanganan menuju kehidupan yang lebih baik. Adanya penerimaan dari orangtua dapat membuat orangtua mampu mengendalikan reaksi-reaksi emosinya. Mash Wolfe 2005 mengatakan bahwa orangtua harus mencoba memahami dan menerima kenyataan hasil diagnosa anak dan perilaku anak yang selalu berbeda dengan anak lainnya agar orangtua mampu bereaksi untuk menyesuaikan diri dengan berbagai permasalahan yang muncul baik dari anak itu sendiri, dari diri sendiri maupun permasalahan yang timbul dari lingkungan sekitarnya. Stress, kecemasan dan rasa tidak bahagia sering mengganggu kehidupan seseorang. Agar stress tersebut dapat ditangani secara efektif, perlu dilakukan penyesuaian diri. Calhoun Acocella dalam Sobur, 2003 mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah memenuhi tuntutan dari dalam diri individu itu sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada individu itu sendiri, seperti perilaku individu, tubuh individu, pemikiran dan perasaan individu. Penyesuaian diri juga dipengaruhi oleh tuntutan dari orang lain. Pengaruh orang lain juga cukup besar pada individu sebagaimana individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Begitu juga dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada sangat berpengaruh terhadap penyesuaian dirinya. Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 Menurut Schneiders 1964 penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik- konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada. Schneiders 1964 juga mengatakan bahwa penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga. Salah satunya yaitu hubungan orangtua dengan anak. Hubungan orangtua dan anak dapat mempengaruhi penyesuaian anak maupun orangtua. Penerimaan orangtua akan anak dapat mempengaruhi penyesuaian diri orangtua itu sendiri. Begitu juga dengan anak. Penerimaan orangtua akan membuat anak merasa diinginkan dan membentuk perasaan yang aman. Penerimaan orangtua dapat membuat anak mampu mengembangkan rasa percaya diri, reaksi emosional yang positif dan kepatuhan. Kehidupan Orangtua yang memiliki salah satu anak yang mengalami autisme merupakan suatu cobaan yang menjadi pekerjaan berat sehari-harinya. Tidak mudah bagi orangtua untuk dapat hidup secara tenang dan damai ketika mengetahui anaknya mengalami salah satu gangguan perkembangan yang cukup berat seperti autisme. Berbagai macam reaksi emosi orangtua muncul dan kebanyakan reaksi yang muncul tersebut adalah reaksi emosi yang negatif. Gejolak emosi yang negatif ini dapat membawa dampak yang negatif pula, baik dari segi fisik mapupun psikis sehingga diharapkan orangtua mampu untuk menyesuaiakan dirinya dengan kondisi anaknya yang mengalami autisme Safaria, 2004. Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 Umumnya orangtua yang memiliki anak autis akan mengalami stress. Hal ini terjadi baik pada ayah maupun ibu. Ayah dan ibu juga menunjukkan penampakan yang berbeda dari stress yang mereka alami yang berhubungan dengan masalah-masalah anak autisnya. Ibu merupakan tokoh yang lebih rentan terhadap masalah penyesuaian. Hal ini dikarenakan ibu berperan langsung dalam kelahiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan depresi yangg berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan ibu lebih mudah terganggu secara emosional. Ibu juga merasa stress karena perilaku yang ditampilkan oleh anaknya seperti, tantrum, hiperaktif, kesulitan bicara, perilaku yang tidak lazim, ketidakmampuan bersosialisasi dan berteman. Berbeda dengan ayah yang sebenarnya juga mengalami stress yang sama tetapi dampak stressnya tidak seberat yang dialami oleh ibu. Ayah cenderung lebih stress karena stress yang dialami oleh ibu. Hal ini dikarenakan oleh peran ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari Cohen Volkmar, 1997 Orangtua harus mampu menyesuaikan dirinya agar mampu mengupayakan usaha yang tidak mengenal menyerah untuk penyembuhan anak autisnya. Orangtua juga harus mampu mengontrol reaksi emosinya terhadap perilaku anak terutama perilaku yang dapat membahayakan dirinya, misalnya menyakiti dirinya sendiri. Disamping itu, orangtua juga sering mengalami pengasingan dari pergaulan sosial karena terkadang orang lain tidak mengetahui konteks perilaku anak yang mengganggu Mash Wolfe, 2005. Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009 Dari berbagai macam reaksi orangtua yang muncul ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami autisme dan diikuti dengan permasalahan- permasalahan yang dialami orangtua yang memiliki anak autis yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis, baik itu penyesuaian dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan luarnya

B. Rumusan Masalah