Tata Cara Pengangkatan Arbiter dan Hukum Acara Arbitrase

M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya. Hilangnya precedence tersebut dapat menimbulkan putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa berupa di masa yang akan datang. d. Masalah putusan arbitrase asing Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi, dimana perlu dipastikan hukum yang akan diberlakukan dalam proses eksekusi tersebut.

D. Tata Cara Pengangkatan Arbiter dan Hukum Acara Arbitrase

Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan arbitrase yang sedang terjadi. Seorang arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli bidang tertentu. 23 23 Munir Fuady, Op.Cit. hal. 67. Dahulu seorang wanita berdasarkan isi pasal 617 ayat 2 Rv dilarang untuk menjadi seorang arbiter atau wasit, tetapi kini wanita tidak dilarang untuk menjadi seorang arbiter, asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 12 UU No. 30 tahun 1999 yang mengatur persyaratan arbiter. Orang yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat: M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 tahun c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 lima belas tahun. Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa bebeapa orang yang merupakan majelis arbiter yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Sistem arbiter ini dpat kita lihat dari rumusan pengertian arbiter yang disebutkan dalam pasal 1 angka 7 UU No. 30 tahun 1999. Dalam pasal itu dikatakan dengan jelas bahwa, arbiter adalah “seorang atau lebih” yang dipilih para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaian melalui arbitrase. Dari rumusan ini dapat diketahui pula bahwa pengangkatan arbiter dilakukan oleh para pihak atau meminta bantua pengadilan negeri atau lembaga arbitrase untuk menunjuk arbiternya jika para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai pemilihan arbiternya. Sweet dan Maxwell dalam bukunya international arbitration law review mengemukakan dalam menentukan berapa orangkah yang sebaiknya menjadi arbiter M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 dalam suatu kasus, apakah tiga ataukah cukup satu orang, beberapa faktor di bawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut: 24 a. jumlah yang disengketakan b. kompleksitas klaim c. nasionalitas dari para pihak d. kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam sengketa e. ketersediaan arbiter yang layak f. tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan Selanjutnya beberapa cara pengangkatan arbiter yang diatur dalam UU No. 30 tahun 1999 adalah:

1. Penunjukan oleh para pihak

Cara pertama, pengangkatan arbiter dilakukan berdasarkan penunjukan para pihak, baik itu melalui akta de compromittendo maupun melalui akta compromise. Dalam perjanjian arbitrasenya, selain memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter, para pihak juga dapat menyepakati penunjukan arbiter beserta dengan sistem yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengketa para pihak. Jumlah arbiternya bisa seorang atau beberapa orang asalkan dalam jumlah ganjil. Tata cara penunjukan arbiter yang ditentukan para pihak dalam perjanjian, merupakan cara yang paling baik dan efektif. Cara ini akan menghindari para pihak dari perbedaan pendapat mengenai penunjukan arbiter maupun mengenai jumlah 24 Ibid. hal 68. M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 arbiter. Dengan cara ini, proses pengangkatan arbiter dan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih cepat diselesaikan. 25 Kelemahan cara ini bahwa para pihak sudah tidak koperatif lagi, karena sengketa sudah terjadi, sehingga kesepakatan kehendak dalam memilih arbiter sudah sulit dicapai. Seandainya para pihak belum menentukan penunjukan arbiter, sebelum maupun sesudah sengketa terjadi, para pihak masih diberikan kesempatan untuk memilih arbiter secara langsung. Cara seperti ini, disimpulkan dari bunyi pasal 13 ayat 1 UU No. 30 tahun 1999 yang menyatakan: “dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter, ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”. Dari bunyi pasal ini jelaslah bahwa undang- undang masih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menentukan sendiri arbiternya, walaupun setelah terjadi sengketa. Kalaupun tidak tercapai kesepakatan mengenai siapa yang menjadi arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiternya. 26

2. Penunjukan oleh hakim

Cara lain pengangkatan arbiter adalah dengan meminta bantuan hakim atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis arbitrase, jika para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam penunjukan arbiter. Cara pengangkatan 25 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta. 1991. hal. 160. 26 Munir fuady, Op.Cit. hal. 73. M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 arbiter dengan penunjukan oleh hakim atau ketua Pengadilan Negeri ini diatur dalam pasal 13 dan 14 ayat 3, dan pasal 15 ayat 4 UU No. 30 Tahun 1999. Dengan adanya cara ini, maka praktik akan terjadi jalan buntu deadlock dapat dihindari apabila para pihak di dalam syarat arbitrase mengatur secara baik dan seksama tentang cara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter. Kewenangan hakim atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter atau membentuk majelis arbiter tersebut berdasarkan permohonan para pihak atau salah satu pihak dengan menjelaskan kegagalan para pihak dalam mencapai kesepakatan mengenai pemilihanpenunjukan arbiter. Penjelasan ini dibutuhkan oleh hakim sebagai dasar untuk mengintervensi soal penunjukan arbiter yang merupakan kewenangan para pihak. Pengadilan Negeri hanya akan berwenang mengintervensi penunjukan arbiter apabila para pihak terbukti gagal memilih menunjuk arbiternya.

3. Penunjukan oleh lembaga arbitrase

Sering juga ketentuan arbitrase di lembaga arbitrase tertentu menentukan jika para pihak tidak berhasil memilih arbiternya atau jika arbiter ketiga tidak berhasil dipilih, maka ketua atau pejabat lain dari lembaga arbitrase tertentu yang akan memilihnya. Kemungkinan lain jika para pihak dari semua dalam kontrak ataupun jika setelah terjadinya sengketa meminta kepada lembaga arbitrase untuk menyusun suatu arbitrase majelis atau untuk menunjuk arbitrase tunggal. 27 27 Ibid. hal. 74. M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Sweet dan Maxwell dalam bukunya international arbitration law review mengemukakan, maka dalam memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi pertimbangan, yaitu: 1. Sifat dan hakikat dari sengketa 2. Ketersediaan dari arbiter 3. Identitas dari para pihak 4. Independensi dari arbiter 5. Syarat pengangkatan dalam kontrak arbitrase 6. Saran-saran yang diberikan oleh para pihak Selanjutnya mengenai hukum acara arbitrase, pada prinsipnya undang-undang memberikan kebebasan par apihak untuk menentukan sendiri acara dan proses arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Hal ini ditegaskan dalam pasal 31 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Pilihan acara dalam proses pemeriksaan tersbut harus dinyatakan secara “tegas” dan “tertulis” dalam suatu perjanjian arbitrase, dengan syarat sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Dalam hal arbitrasenya berbentuk arbitrase Ad-hoc, jika para pihak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan arbiter atau majelis arbiter Ad-hoc telah terbentuk, maka semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis a Ad-hoc tersebut, akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan yang diatur dalam UU No. 30 M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Tahun 1999. Ini berarti sepanjang para pihak tidak menentukan lain, maka acara dan proses penyelesaian sengketa yang digunakan oleh arbitrase Ad-hoc adalah acara dan proses arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Penyelesaian sengketa dapat pula diselesaikan melalui arbitrase internasional, di samping melalui arbitrase Ad-hoc. Sehubungan dengan hal itu, pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini yang dipilih, maka proses penyelesaian sengketanya akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih oleh para pihak, kecuali oleh para pihak ditetapkan lain. Ini berarti undang-undang memberi kebebasan kepada para pihak untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa mereka, tanpa harus menggunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih. Dalam hal tertentu, pemeriksaan sengketa melalui arbitrase juga masih menggunakan ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku, kecuali diatur secara khusus dalam UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Sebagai contoh pasal 37 ayat 3 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan, pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara berperkara di muka pengadilan perdata. Sumbernya ada dalam berbagai peraturan peraturan perundang-undangan colonial maupun nasional. M. Ali Tamba : Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Pasar Modal Di Indonesia, 2007. USU Repository © 2009

E. Badan Arbitrase Nasional Indonesia