Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo,
2009. USU Repository © 2009
Arabica dan beberapa barang khas lainnya seperti buah-buahan Tamarella atau terong Belanda dan ikan mas; mengunjungi batu Tomonga artinya adalah batu
yang mengarah ke awan. Dari tempat ini kita bisa melihat banyaknya batuan vulkanik yang bermunculan dari hamparan sawah. Dan beberapa batu raksasa
yang menjadi Goa. Benar-benar pemandangan yang indah dan menjadikan Tana Toraja terlihat subur dan hijau ; mengunjungi Palawa. Palawa adalah tempat
yang bagus untuk dikunjungi. Di sana ada sebuah Tongkonan atau kawasan penguburan tempat untuk melakukan upacara dan festival; melakukan perjalanan
dari Rantepao ke Kete, desa tradisional dengan kerajinan tangan yang bagus. Di belakang desa di bagian bukit ada goa yang ukuranya sudah lebih tua dari ukuran
orang hidup. Bila ingin menyantap kuliner wilayah ini, kebanyakan kita dapat
menemukan warung makan dilokasi ini, di sepanjang jalan. Kita juga dapat membawa makanan sendiri. Bila ingin belanja untuk oleh- oleh, disana ada toko
cinderamata dimana kita dapat membeli segala sesuatu yang khas dari Tana Toraja, ada pakaian, tas, dompet, dan kerajinan tangan lainnya.
Pengunjung diperbolehkan mengunakan pakaian adat setempat dan akan diberikan hadiah seperti rokok atau kopi kapan pun memasuki Tongkonan. Bila
ingin berjalan- jalan hati- hatilah karena jalanan tidak selalu aspal. Sering dilewati Jeep dan lainnya, walaupun cuaca bagus. Bila ingin memasuki kawasan
tongkonan, berhati- hatilah.
3.5 Objek Wisata di Tana Toraja
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo,
2009. USU Repository © 2009
1. Kete’kesu
Kete Kesu adalah obyek wisata yang sudah populer diantara turis domestik dan asing sejak tahun 1979 terletak di kampung Bonoran yang berjarak
empat km dari Kota Rantepao, telah ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya dengan nomor registrasi 290 yang perlu dilestarikan dilindungi. Obyek wisata
ini sangat menarik, oleh karena memiliki suatu kompleks perumahan adat Toraja yang masih asli, yang terdiri dari beberapa Tongkonan, lengkap dengan alang
sura lumbung padinya. Tongkonan tersebut dari leluhur Puang ri Kesu di fungsikan sebagai tempat bermusyawarah, mengelolah, menetapkan dan
melaksanakan aturan-aturan adat, baik aluk maupun pemali yang digunakan sebagai aturan hidup dan bermasyarakat di daerah Kesu, dan juga di seluruh
Tana Toraja, yang disebut aluk Sanda Pitunna 7777. Obyek wisata ini dilengkapi pula dengan areal; upacara pemakaman rante, kuburan liang purba
dan makam-makam modern, namun tetap berbentuk motif khas Toraja, pemukiman, perkebunan dan persawahan yang cantik dan menyejukkan hati.
Sekaligus para pengunjung dapat menyaksikan seni ukir Toraja di lokasi ini.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo,
2009. USU Repository © 2009
Gambar 3.9: Kete’kesu
2. Bori
Obyek wisata utama adalah rante dalam bahasa Toraja disebut simbuang batu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan buah
menhir megalit, 102 batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran
menhir ini mempunyai nilai adat yang sama. Penyebab perbedaan adalah situasi dan kondisi pada saat pembuatan pengambilan batu, misalnya; masalah waktu,
kemampuan biaya dan situasi pada masa kemasyarakatan. Megalit simbuang batu hanya diadakan bila seorang pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan
upacaranya dilaksanakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor. Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang
mulai digunakan pada upacara Pemakaman NeRamba 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua simbuang batu.
Selanjutnya pada tahun 1807 pada acara pemakaman Tonapa NePadda didirikan 5 buah simbuang batu, sedang kerbau yang dikorbankan sebanyak 200
ekor. NeLunde yang pada upacaranya dikorbankan lebih dari 100 ekor kerbau didirikan 3 buah simbuang batu. Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907,
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo,
2009. USU Repository © 2009
banyak simbuang batu didirikan dalam ukuran besar, sedang, kecil dan secara khusus pada pemakaman almarhumah Lai Datu Ne Kase pada tahun 1935
didirikan satu buah simbuang batu yang terbesar dan tertinggi. Simbuang batu yang terakhir adalah pada upacara pemakaman Almarhum Sapang NeLai pada
tahun 1962. Dalam kompleks Rante Kalimbuang tersebut terdapat juga hal-hal yang
berkaitan dengan upacara pemakaman antara lain lakkian yaitu persemayaman jenazah selama upacara dilaksanakan di Rante; balakkayan yaitu panggung
tempat membagi daging secara adat; Sarigan yaitu usungan jenazah; langi yaitu bangunan induk menaungi sarigan; liang pa kuburan batu yang dipahat.
Gambar 3.10 : Bori
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo,
2009. USU Repository © 2009
3. Batutumonga
Berlokasi di daerah Sesean yang beriklim dingin, sekitar 1300 meter di atas permukaan laut. Di daerah ini terdapat 56 menhir batu dalam sebuah
lingkaran dengan lima pohon kayu di tengahnya. Kebanyakan dari batu menhir itu berukuran dua sampai tiga meter tingginya. Pemandangan yang sangat
mempesona di atas Rantepao dan lembah di sekitarnya, dapat dilihat dari tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo,
2009. USU Repository © 2009
Gambar 3.11: Batutumonga
BAB IV UPACARA ADAT RAMBU SOLO
4.1 Mitos
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana Sumber: http:ilovetoraja.blogspot.com2008_04_01_archive.html,
mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja
yang pertama menggunakan tangga dari langit untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua Tuhan
Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja. Lain lagi versi dari Dr. C. Cyrut seorang antropolog Sumber:
http:torajakoeblogspot.com200612sejarah-tana-toraja.html, dalam
penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan
dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin daratan Tiongkok. Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari
berlabuhnya imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu