Deskripsi Gendang Kibod Dalam Upacara Kematian Cawir Metua

(1)

Deskripsi Gendang Kibod Dalam Upacara Kematian Cawir

Metua

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : FRAN SEDA SITEPU

NIM : 040707018

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA

USU MEDAN 2010


(2)

Deskripsi Gendang Kibod Dalam Upacara Kematian Cawir

Metua

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : FRAN SEDA SITEPU NIM : 040707018

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. KUMALO TARIGAN, M.A Dra. FRIDA DELIANA, M.Si. NIP 195812131986011002 NIP 1960111181988032001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujuan Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA

USU MEDAN 2010


(3)

DISETUJUI OLEH: FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

NIP : 196011181988032001


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Fakultas Sastra USU Medan

Pada Tanggal : Hari :

FAKULTAS SASTRA USU

Nama NIP

Panitia Ujian :

No Nama Tanda Tangan

1 2 3 4 5


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan kasih-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyajikan satu karya ilmiah berupa Skripsi Sarjana. Skiripsi yang berjudul “Deskripsi Gendang Kibod Dalam Upacara Kematian Cawir Metua “ ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S,Sn) pada Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua tercinta : ayahanda I Sitepu dan ibunda N Ginting yang banyak sekali memberikan dorongan moril dan materil serta selalu mendoakan penulis setiap hari terutama dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu Frida Deliana, M.si selaku pembimbing I sekaligus ketua Jurusan Etnomusikologi, dan kepada bapak Kumalo Tarigan selaku pembimbing II yang telah membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini saya sadari begitu banyak bantuan yang ibu bapak berikan. Dan kepada bapak dan ibu dosen serta staf pegawai di Jurusan Etnomusikologi yang telah membantu penulis selama perkuliahan.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada Jasa Tarigan, bang Fian, bang Roi yang banyak memberikan informasi yang sangat penulis perlukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan kepada informan lainnya yang telah memberikan informasi dan penjelasan, penulis mengucapkan banyak terimakasih.


(6)

Penulis juga ucapka terima kasih kepada teman-teman stambuk 04 ( Tri syahputra, Markus, Fery, Sidul irfan, Briando, Welli, Brata andreas, Jeremia, Fera, Masrina, Rofina, Diateitupa) banyak pelajaran hidup yang cukup berharga sudah kita jalani bersama. Kekeluargaan sudah kita bangun bersama janganlah kita lupakan sampai kapanpun. Tak lupa kepada adik-adik (Eva Gusmala Yanti, Tety, Bery, Frans barus, Bung Ahmad Arief yang beberapa kali sudah membantu baik dari dukungan moral maupun sudah meminjamkan laptop dan modemnya) banyak terima kasih atas bantuan yang sudah diberikan selama penulisan skripsi. Kawan David yang sudah meminjamkan laptopnya selama beberapa bulan terima kasih banyak tak terkecuali kawan-kawan yang lain yang tidak penulis sebutkan terima kasih Tuhan yang membalas semua bantuan yang sudah diberikan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan yang mungkin karena keterbatasan penulis dalam penyajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 15 Juni 2007 Penulis

040707018 Frans seda sitepu


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR LAMPIRAN BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 POKOK PERMASALAHAN ... 5

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT ... 5

1.3.1 Tujuan ... 5

1.3.2 Manfaat ... 5

1.4 KONSEP DAN TEORI ... 5

1.4.1 Konsep ... 6

1.4.2 Teori ... 7

1.5 METODE PENELITIAN ... 8

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 9

1.5.2 Kerja Lapangan ... 9

1.5.3 Observasi Langsung ... 9

1.5.4 Wawancara... 10

1.5.5 Perekaman ... 10

1.5.6 Pemotretan ... 10

1.5.7 Kerja Laboratorium ... 11


(8)

BAB II Adat Nggeluh (Hidup) Masyarakat Karo ... 12

2.1 Adat Untuk Anak-Anak ... 12

2.1.1 Mesur-mesuri ... 12

2.1.2 Adat anak tubuh ... 13

2.1.3 Maba Anak Kulau ... 13

2.1.4 Juma Tiga ... 14

2.1.5 Erbahan Gelar ... 14

2.1.6 Mereken Amak Tayangen ... 14

... 2.1.7 Ngelegi Bayang – Bayang ... 15

2.1.8 Ergunting ... 15

2.2 Adat Anak Remaja ... 15

2.2.1 Erkiker ... 15

2.2.2 Kacip-kacipi ... 16

2.3 Adat untuk orang dewasa ... 17

2.3.1 Adat Perjabun ... 17

2.4 Adat Terhadap Orang Tua Yang Telah Lanjut Usia ... 23

2.4.1 Mereken Tudung, Buang Ras Ose ... 23

2.4.2 Mereken Ciken ras Tuktuk ... 23

2.4.3 Mesur-mesuri ... 24

2.5 Adat Man Kalak Mate(Adat Untuk Orang Yang Meninggal dunia ... 25


(9)

2.5.1 Berdasarkan status saat seseorang meninggal dunia……..25

2.6 Berdasarkan sebab kematian ... 26

2.7 Musik Pengiring ... 26

2.8 Utang Adat ... 27

2.9 Upacara Adat Tambahan ... 27

2.9.1 Erpangir Kulau ... 28

2.9.2 Guro-Guro Aron ... 28

2.9.3 Nengget ... 28

2.9.4 Perumah Begu ... 29

2.9.5 Releng Tendi ... 29

2.9.6 Ngampeken Tulan-Tulan ... 29

BAB III Upacara Adat Cawir Metua Pada Masyarakat Karo. 30 3.1 Komponen Upacara ... 30

3.1.1 Tempat Upacara ... 31

3.1.2 Waktu Upacara ... 32

3.1.3 Benda-benda dan Alat-alat Upacara... 33

3.1.3.1 Ose (pakaian Adat) ... 33

3.1.3.2 Peralatan Utang Adat ... 38

3.1.3.3 Keyboard ... 39


(10)

3.1.4 Pendukung atau Pemimpin Upacara ... 42

3.1.4.1 Anak Beru ... 42

3.1.4.2 Sembuyak/Senina... 46

3.1.4.3 Kalimbubu ... 49

3.1.4.4 Teman Meriah ... 53

3.1.5 Pemimpin Upacara ... 53

3.2 Deskripsi Acara ... 54

3.2.1 Pengertian Dan Tujuan Upacara Adat Cawir Metua ... 54

3.2.1.1 Pengertian Upacara Adat Cawir Metua ... 54

3.2.1.2 Tujuan Upacara Adat Cawir Metua ... 55

3.2.1.3 Pelaksanaan Upacara Didesa perbesi ... 55

3.2.1.4 Persiapan Upacara ... 56

3.2.1.5 Jalannya Upacara ... 56

3.2.1.6 Nggalari Utang Adat ... 67

3.3 Struktur Acara ... 71

BAB IV Peranan Gendang Kibod ... 72

4.1 Fungsi Gendang ... 72

4.1.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 72

4.1.2 Fungsi Penghayatan Estetis ... 73

4.1.3 Fungsi Hiburan... 74

4.1.4 Fungsi Komunikasi ... 75

4.1.5Fungsi Perlambangan ... 76


(11)

4.1.7 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial ... 77

4.1.8 Fungsi Yang Berkaitan Dengan Norma-Norma Sosial ... 78

4.1.9 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ... 80

4.1.10 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ... 80

BAB V PENUTUP ... 81

5.1 Ringkasan ... 81

5.2 Kesimpulan ... 82

5.3 Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84 DAFTAR INFORMAN


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Menurut Koentjaraningrat (1982: 1) kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Semua hasil karya tersebut meliput i hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya.

Kebudayaan tersebut merupakan suatu kebutuhan yang sebagai identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan keragaman yang dimiliki masing-masing etnik tersebut. Sehingga unsur kebudayaan masing – masing etnik (suku) yang ada tetap harus di pertahankan keberadaannya.

Kebudayaan itu sendiri menurut Koentjaraningrat mempunyai 7 unsur sebagai pembentuknya yang salah satunya adalah Kesenian (seni patung, relief, lukis dan gambar, rias, vocal, instrumental, kesusastraan dan drama)

Kebudayaan musikal merupakan unsur kebudayaan yang mengalami dampak paling besar terhadap perkembangan tekhnologi. Unsur musikal ini juga banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan diluar kebudayaan tersebut. Dalam hal ini penulis akan membahas tentang kebudayaan musical Karo. Suku yang terdapat di Sumatera Utara ini mendapat cukup banyak pengaruh dari kebudayaan diluar kebudayaannya.

Teknologi merupakan produk dari kebudayaan sebagai suatu karya manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini tekhnologi memberi pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan kebudayaan musikal yang terdapat di kebudayaan Karo.


(13)

Dampak nyata dari pengaruh teknlogi terhadap budaya terutama pada masyarakat karo adalah dengan masuknya alat musik Keyboard sekitar tahun 1991 yang disebut dengan gendang kibod1. Pada awalnya masyarakat menamai instrumen keyboard ini sebagai gendang Jepang2

Musik kolaborasi itu awalnya hanya dipergunakan dalam konteks seni pertunjukan tradisional gendang guro-guro aron

dan berubah menjadi gendang Kibod meskipun tidak ada data resmi yang menyebutkan kapan proses penamaan ini terjadi. Salah seorang pemusik tradisi Karo yaitu Jasa Tarigan untuk pertama kali mengkolaborasikan keyboard dengan musik tradisi Karo sehingga telah menjadi suatu fenomena baru kedalam seni pertunjukan tradisional Karo.

Awal dipakainya instrumen keyboard dalam seni pertunjukan Karo merupakan perpaduan atau kolaborasi dengan gendang lima sendalanen. Keyboard dalam hal ini adalah instrumen musik elektrik yang memiliki tuts bunyi yang dihasilkannya berasal dari speaker. Sedang gendang lima sendalanen adalah ensambel yang terdiri sarune sebagai pembawa melodi, sedang alat pembawa ritem adalah gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung.

3

. Saat ini musik kolaborasi ini hanya didapati dibeberapa tempat saja meskipun untuk dapat melihat langsung acara ini hanya berlangsung setahun sekali dibeberapa desa4

Pada awal kemunculannya, kehadiran musik Keyboard mendapat sikap pro-kontra di antara masyarakat dan para pemerhati kebudayaan Karo sendiri. Hal ini

.

1

Gendang kibod dalam hal ini berarti instrument musik keyboard

2

Gendang jepang: keyboard merek Yamaha yang diproduksi dinegara Jepang keyboard jenis pertama yang digunakan dalam adat masyarakat Karo.

3 Seni pertunjukan musik, tari dan vocal yang dibawakan oleh muda-mudi di desa pasca panen 4


(14)

diakibatkan karena dengan masuknya musik keyboard dapat berdampak buruk terhadap keberadaan gendang lima sendalanen.

Secara kwantitas/jumlah regenerasi pemusik tradisi kalah jauh apa bila dibandingkan dengan regenerasi pemain keyboard. Kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari musik tradisi dapat dilihat dari keberadaan pemusik tradisi, sebahagian besar para pemusik tradisi adalah orang tua sedang untuk pemain keyboard sendiri sebahagian besar adalah para generasi muda.

Semakin banyaknya orang Karo lebih memilih menggunakan jasa pemain keyboard menurut Jasa Tarigan sendiri kebanyakan adalah diakibatkan karena faktor ekonomi. Untuk mengunakan jasa para pemusik tradisi pelaksana pesta setidak-tidaknya harus membayar balas jasa kepada empat orang pemain musik. Sedang untuk membayar biaya sewa pemakaian jasa pemain keyboard, yang pelaksana pesta hanya perlu mengeluarkan biaya kepada seorang pemusik saja yaitu pemain keyboard. Meskipun tak jarang ada juga orang Karo yang memang mengkolaborasikan gendang lima sendalanen dengan alat musik keyboard.

Secara popularitas seorang pemusik tradisi kalah jauh dengan pemain keyboard. Ini dapat dibuktikan terutama pada saat ada acara gendang guro-guro aron. Masyarakat terutama panitia pelaksana gendang guro-guro aron biasanya lebih memilih menggunakan jasa seorang pemain keyboard untuk mengisi acara pada gendang guro-guro aron yang sedang popular. Popularitas menjadi faktor utama pemilihan pemusik untuk mengisi acara. Karena diyakini apa bila seorang pemain keyboard yang cukup popular didatangkan diacara gendang tersebut maka akan banyak orang yang hadir dan memeriahkan acara tersebut.


(15)

Memudarnya etika dalam menari juga merupakan salah satu dampak dari masuknya gendang kibod ini. Munculnya tarian-tarian bebas (gendang are-are) yang mengakibatkan semakin terpuruknya kesenian tradisi Karo. Bahkan untuk dapat menyaksikan tarian tradisi hanya dapat dijumpai pada saat-saat tertentu seperti festival tari ataupun pertunjukan kesenian tradisi.

Alasan – alasan kenyamanan juga menimbulkan sikap kontra di masyarakat dan pemerhati kesenian tradisi Karo tidak terjadi lagi. Menari bersenggolan anggota badan masih merupakan hal yang tabu bagi banyak orang Karo. Meskipun demikian belakangan keberadaan gendang kibod ini telah memiliki peran yang cukup penting bukan hanya dalam pertunjukan gendang guro-guro aron, tapi juga dalam beberapa kegiatan adat seperti, mengket rumah mbaru, adat kerja perjabun, upacara yang bersifat ritual, bahkan telah menggantikan fungsi gendang lima sendalanen dalam upacara adat Cawir metua.

Cawir metua adalah meninggal dunia di usia uzur (beranak-cucu, cicit) biasanya dan semua anaknya sudah berumah tangga. Jenis kematian cawir metua ini merupakan jenis kematian yang memiliki nilai kebanggaan dibandingkan jenis kematian lain dalam kebudayaan masyarakat Karo. Dari proses pelaksanaan adat kematian Cawir metua dapat dilihat jelas kalau ada kebanggaan oleh keturunan yang meninggal dunia karena seluruh kewajiban yang telah meningal dunia dianggap selama hidupnya sudah terlaksana. Kebanggaan ini secara jelas dapat dilihat dimana sebahagian besar dari konsep upacara yang dilaksanakan lebih banyak berisikan kegiatan yang bersifat hiburan.5

Dimana keturunan dari yang meninggal dunia menari dan menyanyi membawakan lagu-lagu popular Karo yang mana Lagu-lagu yang dibawakan lebih berfungsi sebagai hiburan.


(16)

Disinilah Gendang kibod memiliki peran penting selama berlangsungnya upacara kematian cawir metua. Banyaknya permintaan lagu-lagu popular menjadikan peran Keyboard sangat penting sepanjang upacara cawir metua.

Melihat semakin pentingnya peran gendang kibod didalam seni pertunjukan masyarakat Karo khususnya dalam upacara adat cawir metua seperti yang telah dijelaskan tadi maka penulis merasa tertarik untuk melihat dan mempelajari bagai mana proses penyajian gendang kibod ini dalam upacara kematian cawir metua sehingga dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah dalam bentuk tulisan yang diberi judul “Deskripsi Gendang Kibod Dalam Upacara Kematian Cawir Metua “

1.1Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah

1. Bagaimana deskripsi pelaksanaan upacara adat cawir metua? 2. Bagaimana peranan keyboard dalam upacara adat cawir metua?

1.2Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. untuk mengetahui dengan jelas bagaimana proses pelaksanaan upacara adat cawir metua.

2. untuk mengetahui peran keyboard dalam upacara adat cawir metua 1.2.2 Manfat


(17)

2) Sebagai bahan pengetahuan tentang proses adat cawir metua pada masyarakat Karo

3) Untuk mengetahui peranan keyboard dalam upacara adat cawir metua.

1.3Konsep dan Teori 1.3.1 Konsep

Konsep adalah pengertian abstrak dari sejumlah konsepsi-konsepsi atau pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar 1997:10). Konsep juga merupakan defenisis dari apa yang perlu diamati, dan merupakan penentuan antara variabel-variabel jika ingin menentukan adanya hubungan empiris.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, deskriptif adalah menggambarkan apa adanya.

Sedangkan penyajian adalah proses, cara, pembuatan menyajikan, pengaturan penampilan dalam pertunjukan.

Kata gendang dapat berarti sebagai berikut:

Judul satu komposisi (misalnya gendang simalungen rayat, gendang simalungen timur, gendang patam-patam), Ensambel (misalnya gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen), Upacara yang disertai dengan musik tradisional misalnya (gendang cawir metua, gendang guro-guro aron), Nama alat musik (instrumen) tradisional Karo secara khusus yaitu gendang singanaki dan gendang singindungi.

Jadi dalam hal ini gendang kibod yang dimaksud adalah komposisi musik karo yang menggunakan instrumen musik keyboard elektrik yang menghasilkan bunyi dari speaker dan diadopsi oleh orang Karo yang disebut dengan gendang kibod berfungsi


(18)

mengiringi lagu dan tarian Karo yang mana didalam bank-bank6

1. Tempat upacara

suara dari instrumen keyboard dapat diprogram sesuai atau ”menyerupai” bunyi alat musik tradisi Karo.

Cawir berarti utuh sedangkan metua dapat berari usia yang sudah tua dan dapat juga berarti meninggal dunia. Dalam konteks kematian cawir metua bermakna meninggal pada usia yang sudah uzur dan semua anak nya sudah berumahtanga

1.4.2 Teori

Teori digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini. (Bachtiar 1997:10) mendefenisikan teori sebagai ketentuan-ketentuan dasar saintifik yang akan diaplikasikan, dimana kebenarannya telah diuji dengan mengikuti disiplin tertentu oleh para pakarnya.

Dalam mendeskripsikan komponen-komponen upacara penulis mengacu kepada Koentjaraningrat (1976:240) skipun teori ini dijelaskan sebagai teori untuk mendeskripsika upacara yang bersifat ritual namun penulis merasa teori ini masih relefan untuk mendeskripsikan uacara adat kematian karo, yang mana dalam mendeskripsikan upacara ritual dikelompokkan empat komponen penting yaitu:

2. Waktu upacara

3. Benda-benda dan alat-alat upacara 4. Pendukung atau pemimpin upacara

Untuk melihat seperti apa peranan musik dalam adat cawir metua maka penulis melihat penting kiranya diketahui fungsi musik itu sendiri dalam upacara adat tersebut


(19)

sehingga semakin jelas dapat dilihat peranan musik tersebut. Untuk mendeskripsikan fungsi musik maka penulis menggunakan teori Merriam. Menurut Merriam sedikitnya ada 10 fungsi musik, yaitu :

1)sebagai pengungkapan emosional 2) sebagai hiburan

3) sebagai penghayatan estetis 4) sebagai komunikasi

5) sebagai reaksi jasmani 6) sebagai perlambangan

7) sebagai suatu yang berkaitan dengan norma-norma sosial

8) sebagai perlambangan pengesahan lembaga sosial dan upacara kagamaan 9) sebagai kesinambungan budaya

10) sebagai pengintegrasian masyarakat. 1.4Metode Penelitian

Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan 1975:4-5).

Menurut Netll (1964:62-64) ada 2 hal yang esensial untuk melakukan aktifitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu : kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pemilihan informan, pendekatan dan


(20)

pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data, menganalisis dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data-data yang diperoleh. Namun demikian, sebelum melakukan hal ini terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan yakni mendapatkan literatur atau sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan yang akan menjadi dasar dalam melakukan penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, surat kabar, majalah, ensiklopedi, jurnal, bulletin, skripsi, file internet dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Dalam hal ini penulis menjadikan buku adat Karo yang disusun oleh Darwan Prinst sebagai referensi awal.

1.5.2 Kerja Lapangan

Kerja lapangan merupakan salah satu metode pengumpulan data yang paling akurat karena peneliti langsung dapat mengamati langsung objek yang akan diteliti sehingga data yang diperoleh lebih objektif. Dalam hal ini data yang dibutuhkan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang paling utama menjadi kebutuhan peneliti yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung dilapangan, sementara data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Selain itu dalam pelaksanan pengambilan data primer ada beberapa tahapan penting yang perlu dilakukan yaitu:


(21)

1.5.2.2 Wawancara 1.5.2.3 Perekaman 1.5.2.4 Pemotretan 1.5.3 Observasi Langsung

Adapun observasi langsung ini dilakukan uantuk mendapatkan secara langsung data-data yang dibutuhkan selama berlangsungnya kegiatan yang diamati tersebut. Selain mengamati kegiatan dari observasi langsung ini penulis dapat langsung menentukan orang-orang yang dianggap mampu menjadi nara sumber dalam pengumpulan data-data yang dibutuhkan penulis. Jasa Tarigan adalah narasumber awal yang penulis pilih untuk mendapatkan data seputar sejarah awal proses masuknya keyboard kedalam ensambel gendang lima sendalanen.

1.5.4 Wawancara

Wawancara ini merupakan salah satu proses untuk mendapatkan data dari para informan yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan penulisan ini. Tekhnik wawancara yang dilakukan oleh penulis adalah seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:138-140) mengatakan bahwa wawancara dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:

1. Wawancara berfokus : pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu dan selalu berpusat kepada satu pokok permasalahan

2. Wawancara bebas : pertanyaan yang diajukan tidak hanya berpusat pada pokok permasalahan tetapi beraneka ragam selama masih berkaitan dengan objek peneitian.


(22)

3. Wawancara sambil lalu : pertanyaan dalam hal ini diajukan kepada nara sumber dalam situasi yang tidak terkonsep ataupun tanpa persiapan. Dengan kata lain informan dijumpai secara kebetulan.

1.5.5 Perekaman

Ada dua jenis perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dan perekaman video audio. Hal perekaman audio digunakan tape perekam Merek Sony microcassette-corder M-455. Sedangkan untuk merekam video digunakan digunakankamera video sony mini DVD. Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera yang sama dari kamera video tersebut.

1.5.7 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

1.5.8 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis adalah di jambur7

7

Balai desa tempat berlangsungnya pesta adat pernikahan, adat kematian, gendang guro-guro aron dan yang terdapat dikabupaten Karo dan Medan dengan alasan pemilihan lokasi ini adalah karena di kedua lokasi ini upacara adat cawir metua masih tetap dilaksanakan. dikota Kabupaten Karo ataupun Kota Medan yang banyak didiami masyarakat suku Karo.


(23)

BAB II

ADAT NGGELUH (HIDUP) MASYARAKAT KARO

Upacara peralihan (rites of passage) adalah upacara keagamaan yang berhubungan dengan tahap-tahap penting dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan (Emmy Indriyawati 2009:66).

Masyarakat Karo dalam hal ini juga memiliki barbagai jenis upacara ritual -ritual yang harus dijalani selama hidupnya. Beberapa dari upacara itu tetap dipertahankan hingga saat ini namun ada beberapa juga yang sudah jarang dilakukan bahkan tidak dilaksanakan lagi.

Berikut akan jelaskan beberapa upacara ritus peralihan yang pernah dilaksanakan oleh orang Karo.

Adat disini dibagi menjadi beberapa bahagian berdasarkan tingkatan usia antara lain: adat untuk anak-anak, adat untuk remaja, adat untuk orang dewasa, adat untuk orang tua dan beberapa adat tambahan yang mendukung dalam lingkaran kehidupan

2.1 Adat untuk anak-anak 2.1.1 Mesur-mesuri

Mesur mesuri sering juga disebut dengan maba manuk mbur. Upacara ini merupakan upacara yang dikhususkan bagi seorang wanita yang sedang hamil sekitar tujuh bulanan.

Ada dua jenis upacara yang termasuk kedalam upacara mesur mesuri. Untuk anak pertama disebut dengan mesur mesuri, sedang unuk anak kedua dan yang seterusnya disebut dengan maba manuk mbur atau mecah tinaruh.


(24)

Ada pun dilakukannya upacara ini adalah bertujuan untuk mempersiapkan psikologis seorang ibu yang akan melahirkan.

2.1.2 Adat Anak Tubuh

Saat seorang ibu dianggap akan melahirkan maka beberapa anggota keluarga akan berkumpul. Adapun keluarga yang datang adalah Kade – kade telu sendalanen8

• Peralatan yang perlu dipersiapkan untuk menantikan kelahiran seorang anak antara lain : Sembilu (kulit bambu yang diiris sehingga tajam), Kain panjang (cerawisen), Kundulen, Jerango, Belo penurungi, Bahan okup.

• Teknik pelaksanaan

Yang akan melahirkan dikelilingi kemudian dipersiapkan rawisen dan kundulen (tempat duduk) yang akan membantu proses melahirkan setelah seorang anak lahir maka tali pusar yang masih menempel dipotong dengan menggunakan sembilu sehingga bambu ini digunakan untuk memotong tali pusar yang masih menempel. Setelah tali pusarnya dipotong maka dikepala sang anak diberikan obat-obatan (sembur). Siibu yang sudah melahirkan dioukup (diberikan mandi uap).

Masuknya dunia medis membuat sistem atau cara proses melahirkan ini ditinggalkan karena tak jarang proses ini menyebabkan timbulnya penyakit bagi si ibu maupun si anak diakibatkan kurang tingkat kebersihan peralatan yang digunakan untuk mendukung proses melahirkan.


(25)

2.1.3 Maba Anak Kulau

Maba anak kulau diartikan sebagai upacara membawa seorang anak ke tempat pemandian (pancuran atau kesungai). Upacara ini dilaksanakan pada saat sang anak usia sudah berusia 4 sampai 7 hari tergantung petunjuk dari guru (dukun). Saat ini upacara ini sudah sangat sulit untuk ditemukan.

2.1.4 Juma Tiga

Seminggu setelah maba anak kulau, maka diadakanlah upacara juma tiga. Adapun cara ini dilakukan untuk pejabat-jabatken (untuk mengetahui pekerjaan si anak dikemudian hari). Untuk itu, si anak dibawa kesuatu tempat juma (ladang) atau tiga (pasar). Sianak lalu diletakkan diatas kain dan kepadanya didekatkan buluh (bambu), ser-ser (sejenis tumbuhan yang batangnya berbulu), tanah, dan lain-lain. Dari yang dipegang anak itulah sang dukun akan menafsirkan bakat atau pekerjaan anak itu dikemudian hari. 2.1.5 Erbahan Gelar

Erbahan gelar dapat diartikan sebagai proses pemberian nama seorang anak. Pemberian nama ini apabila ditujukan kepada anak laki-laki dilakukan adalah kalimbubu sedang untuk anak perempuan yang memberi namanya adalah dari pihak anak beru. Namun upacara ini sudah sulit ditemukan diantara masyarakat Karo saat ini.

2.1.6 Mereken Amak Tayangen

Mareken amak tayangen adalah suatu upacara yang ditujukan kepada kalimbubu singalo ulu emas, berupa pemberian tikar putuh/tikar yang terbuat dari daun pandan sebagai alas tidur (amak tayangen). Upacara ini dilakukan oleh sebuah keluarga yang biasanya selama satu atau dua tahun telah dikaruniai keturunan. Upacara ini merupakan suatu bentuk ungkapan kasih antara seorang bebere kepada mamanya.


(26)

Selain memberikan amak tayangen ada beberapa benda lagi yang turut diserahkan pada acara adat tersebut yaitu kampuh (sarung), dan nakan (nasi) beserta lauknya. Kalimbubu singalo ulu emas juga memberikan perembah (kain gendongan) kepada beberenya untuk kain gendongan cucunya. Diakhir kegiatan acarapun ditutup dengan makan bersama.

2.1.7 Ngelegi Bayang – Bayang

Anak pertama pada masyarakat Karo mempunyai kedudukan yang istimewa, karena hanya kepadanyalah adat ini dilakukan. Untuk anak pertama Kalimbubu mempunyai kewajiban untuk memberikan : sepasang gelang tangan, sepasang gelang kaki, kalung dan gendit (sebuah ikat pinggang) dan perembah (kain gendongan). Selanjutnya untuk anak kedua atau seterusnya adat ini tidak dilakukan lagi. Proses inilah yang disebut dengan Adat ngelegi bayang-bayang dan sampai saat ini masih sering dilakukan oleh orang Karo.

2.1.8 Ergunting

Untuk memotong rambut seorang bayi, pertama sekali harus dilakukan oleh Kalimbubu (Mama) sesuai adat Karo. Sebelum digunting si anak terlebih dahulu di jujungi beras oleh Kalimbubu (Mami) dengan beras yang direndam dalam air Lau bulong – bulong si melias gelar. Selanjutnya rambut si anak digunting oleh Mama (paman) nya. Upacara ini memiliki tujuan agar anak ini selalu sehat dan terhindar dari hal yang buru. 2.2 Adat untuk remaja

2.2.1 Erkiker

Erkiker adalah tradisi yang ditujukan kepada anak gadis (biasanya saat seorang anak perempuan saat berumur 10 sampai 15 tahun) dalam rangka mempercantik diri.


(27)

Tradisi ini adalah tradisi ngkiker (menggergaji) gigi atau dapat juga diartikan sebagai tradisi merapikan gigi seorang gadis dengan menggunakan alat kiker (gergaji) sehingga bentuk gigi menjadi rapi.

Penentuan hari yang baik untuk melakukan kegiatan erkiker ini ditentukan oleh seorang guru (dukun)

Pelaksanaan erkiker ini dilakukan pada pagi hari setelah makan pagi. Selesai makan pagi dibawalah sang anak perempuan ke kesungai untuk dipangiri (keramas) dengan menggunakan air jeruk, minyak kelapa, abu dapur dan sebagainya.

Selesai erpangir maka dilakukanlah acara erkiker. Kegiatan Erkiker ini menyebabkan rasa sakit, semua gigi harus digergaji dengan menggunakan gergaji khusus yang dilakukan oleh ahlinya. Sang gadis dilentangkan dan giginya akan digergaji selama berjam-jam. Air mata bercucuran, darah mengalir, rasa ngilu bercampur sakit merupakan pengalaman sang gadis selama proses erkiker berlangsung. Selesai erkiker ini maka dilakukan lah pengobatan pada luka yang muncul dari proses erkiker ini.

Kegiatan ini saat ini tidak dilakukan lagi oleh masyarakat karena bukan merupakan hal yang wajib saat ini.

2.2.2 Kacip-kacipi

Kacip-kacipi berasal dari kata kacip yang berarti jepit. Ini merupakan jenis sunat yang terdapat pada remaja Karo yag dilakukan secara tradisional dan bersifat rahasia. Prosesnya pun hanya dilakukan sendiri secara sederhana dan peralatan yang dipergunakanpun hanya dengan sembilu atau pisau yang bersih dan kemudian diobati secara tradisional proses pelaksanaannyapun hanya dibimbing oleh orang-orang dewasa berdasarkan pengalaman yang sudah pernah mereka jalani.


(28)

Proses pelaksanaannya dilakukan dijambur dan ada kalanya juga dilakukan ditapin (tempat pemandian umum) dengan tujuan saat berendam maka seluruh tubuh akan basah dan kedinginan sehingga pada saat proses pelaksanaanya tidak mengeluarkan banyak darah. Dewasa ini kacip-kacipi tidak dilaksanakan lagi.

2.3 Adat untuk orang dewasa 2.3.1 Adat Perjabun (Perkawinan)

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Masyarakat Karo adalah masyarakat yang berdasarkan patrilineal, maka bila seorang wanita menikah, dia masuk ke dalam garis suaminya,. Perpindahan status seorang wanita, masuk ke dalam subklen suaminya, adalah ketika pesta perkawinan berlangsung, kepada keluarga pihak wanita diberikan tukor (mahar). Tukor atau mahar ini dikenal pula dengan istilah gantang tumba, perunjuk (Mas Kawin).

Pada awalnya mas kawin ini berupa benda-benda pusaka yang dimiliki keluarga pria yang diberikan kepada keluarga wanita, namun sesuai perkembangan selanjutnya, karena benda-benda pusaka menjadi sulit ditemukan, dirubahlah wujudnya berupa uang. Hal ini maka istilah tukor diartikan dengan harga. Emas kawin hanyalah simbol dari perubahan status si wanita. Setelah diberikan emas kawin si wanita sudah dianggap kelompok lain di dalam klen orang tuanya, dan menjadi tanggung jawab klen suaminya. Jadi pemberian mas kawin adalah simbol dari penyerahan tanggung-jawab.

Kemudian, hukum perkawinan yang lain adalah laki-laki dalam masyarakat Karo, boleh mempunyai istri yang sah lebih dari satu, namun terhadap seorang wanita adalah sebaliknya, hanya boleh memiliki suami yang sah satu, kalau dia mau menikah kembali


(29)

dia harus terlebih dahulu berstatus janda (bercerai dari suaminya yang sah), maka perkawinan dalam masyarakat Karo dapat dilihat berdasarkan beberapa hal:

a. Berdasarkan Jumlah Istri.

Berdasarkan jumlah istri, perkawinan dalam masyarakat Karo dibedakan atas dua yaitu perkawinan monogami (istri hanya satu) dan perkawinan poligami, istri lebih dari satu.

b. Berdasarkan Prosesnya

Berdasarkan prosesnya, perkawinan dapat dibagi atas tiga yaitu perkawinan atas suka sama suka, dijodohkan dan perkawinan paksa. Perkawinan suka atas sama suka adalah perkawinan berdasarkan kesepakatan kedua calon pengantin dan direstui oleh orang tua kedua belah pihak. Perkawinan dijodohkan adalah para calon penganten mungkin sama sekali tidak saling mengenal sebelumnya namun para orang tua talah menjodohkan mereka. Begitu mereka saling mengenal, mereka kemudian saling tertarik dan sepakat untuk membentuk rumah tangga.

c. Berdasarkan Statusnya.

Berdasarkan status yang kawin maka perkawinan dalam masyarakat Karo dibagi atas: 1. Lakoman Tiaken adalah pernikahan seorang janda dengan salah seorang pria yang

berasal dari saudara suaminya yang telah meninggal.

2. Lakoman Ngalihken Senina (pernikahan menggantikan saudara sedarah) adalah pernikahan seorang pria dengan seorang wanita yang dilakukan karena saudara sedarah pria tersebut tidak mau menikahi sang wanita.

3. Lakoman Ku Nande . Pernikahan ini terjadi adalah apabila kasus lakoman tiaken dan lakoman ngalihken senina tidak terjadi, maka dicari sampai kepada anak yaitu


(30)

anak kandung sembuyak suaminya, ataupun anak saudara lain ibu suaminya. Kalau pernikahan ini terjadi disebut perkawinan Lakoman Ku Nande.

4. Lakoman Mindo Lacina Ku Nini . Pernikahan ini terjadi apabila kasus lakoman tiaken, lakoman ngalihken senina dan lakoman ku nande tidak terjadi, maka dicari atau ditelusuri asal calon pengantin sampai kepada kalimbubu kakek. Kalau ketemu dan mereka saling menikah, maka perkawinan ini disebut perkawinan Lakoman Mindo Lacina Ku Nini.

5. Gancih Abu (Ganti Tikar). Gancih Abu artinya kedudukan seorang istri yang telah meninggal dunia, digantikan oleh kakak atau adik perempuannya. Tujuan perkawinan ini adalah untuk mendidik anak kakak atau adiknya tersebut agar tidak terlantar. Karena apabila sang ayah menikah dengan wanita lain dikhawayirkan seorang ibu tiri tidak akan mendidik dan merawat anak –anak seperti darah dagingnya sendiri.

6. Mindo Ciken (minta tongkat) atau disebut juga Mindo Lacina (minta cabai) adalah pernikahan seorang lelaki dengan janda kakeknya. Perkawinan seperti ini dapat dilakukan karena kedua belah pihak masih dibenarkan menurut adat. Perkawinan ini terjadi karena si kakek meninggal dunia.

7. Ndehara Pejabu Dilakina, istri menikahkan suaminya biasanya disebabkan silaki-laki tidak mampu memberikan keturunan.

8. Merkat Sukat Sinuan, disebut juga Merkat Sinuan adalah seorang pria yang menikahi putri puang kalimbubunya. Menurut adat, ini sebenarnya suatu penyimpangan, namun karena pertimbangan lain misalnya untuk mempererat


(31)

hubungan persaudaraan, menyambung keturunan, perkawinan seperti dapat direstui.

9. Mindo Nakan. Seorang pria yang telah dewasa mengawini ibu tirinya, disebabkan ayahnya telah meninggal dunia.

10.Caburken Bulung. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang keduanya masih di bawah umur. Sifat perkawinan ini hanyalah simbolis saja. Adanya perkawinan seperti ini, disebabkan berbagai hal, misalnya salah seorang dari mereka sering sakit-sakitan, karena ada kepercayaan dalam masyarakat, seorang anak yang sering sakit-sakitan, bila telah sembuh harus dijodohkan kepada anak kalimbubu (kalau anak pria), diantar ke rumah anakberu, kalau anak wanita, dengan harapan si anak tidak akan sakit lagi. Perkawinan seperti ini tidak mutlak dilanjutkan setelah mereka dewasa. Istilah lain untuk perkawinan ini disebut mukul-mukul.

11.Singumban. Perkawinan antara pria dengan seorang wanita, yang keduanya berstatus saudara sepupu sifatnya rimpal9

12.Beru Puhun adalah perkawinan antara pria dengan seorang wanita, yang keduanya berstatus saudara sepupu yang sifatnya rimpal, mereka dibenarkan adat untuk saling menikah. Si wanita adalah anak paman si pria, yang berasal dari kalimbubu pihak bapak kandung atau kakek kandung (ayah kandung bapak) si pria. Status si wanita disebut beru puhun, karena sebagai pengganti nenek kandung (ibu kandung bapak atau kakek) si pria.

, dan dibenarkan adat untuk saling menikah. Si wanita adalah anak paman kandung di pria. Status si wanita disebut singumban.


(32)

d. Berdasarkan Kesungguhan

Berdasarkan kesungguhan, perkawinan dikenal perkawinan sungguhan dan perkawinan gantung/simbolis. Perkawinan sungguhan ini dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang umum, yaitu disahkan oleh pihak daliken si telu10

e. Berdasarkan Kedudukan Calon Penganten

kedua belah pihak. Sedangkan perkawinan gantung atau simbolis adalah perkawinan anak-anak di bawah umur. Tujuan perkawinan ini adalah untuk menghindarkan bencana, atau malapetaka yang diketahui dari dukun, atau agar salah seorang dari anak-anak yang di bawah umur ini tidak sakit-sakitan. Perkawinan simbolis ini disebut juga mukul-mukul atau caburken bulung.

Berdasarkan kedudukan calon penganten, maka perkawinan dibagi atas dua yaitu perkawinan biasa dan perkawinan melangkah (nuranjang). Perkawinan biasa adalah perkawinan yang tidak melangkahi kakak atau abangnya, sedangkan perkawinan melangkah adalah bila salah seorang atau kedua calon penganten melangkahi kakak atau abangnya.

f. Berdasarkan Jauh Dekatnya Hubungan Kekerabatan.

Berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekerabatan, maka jenis perkawinan dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah:

a. Petuturken (perkenalan) atau disebut juga emas perdemuken yaitu apabila seorang pria atau wanita Karo menikah bukan dengan impalnya (orang yang telah mempunyai hubungan kekerabatan dengannya). Hubungan kekerabatan terjadi, justru karena terjadi perkawinan tersebut.


(33)

b. Erdemu Bayu. Perkawinan Erdemu Bayu adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita yang disebut rimpal yaitu perkawinan yang dianggap paling ideal dimasyarakat Karo dan dibenarkan oleh adat istiadat. Artinya si wanita (calon istri pihak pria) adalah anak dari pihak kalimbubu, dan si pria calon suami pihak wanita adalah berasal dari pihak Anakberu orang tuanya.

c. Berkat Sukat Senuan, yaitu apabila calon pengantin yang akan menikah, walaupun mempunyai hubungan kekerabatan, tetapi tidak dibenarkan adat untuk saling mengawini. Misalnya seorang pria menikahi seorang wanita - kalau menurut adat wanita sang calon tersebut cocok untuk anak paman sang pria. Atau istilah lain pihak anakberu menikahi anak puang kalimbubu.

d. Berdasarkan Tempat Tinggal Pengantin. Berdasarkan tempat tinggal pengantin, dikenal perkawinan njayo, adalah perkawinan yang tidak numpang di rumah salah seorang dari orang tua mereka, perkawinan kesilang ras orang tua adalah perkawinan yang numpang di rumah orang tua dari pihak laki-laki, dan perkawinan kekela perkawinan yang numpang di rumah orang tua pihak wanita. g. Berdasarkan besar kecilnya pesta

Berdasarkan besar kecilnya pesta perkawinan dalam masyarakat Karo, dibagi menjadi tiga.

a. Pesta Besar (Kerja Sintua). Pesta besar dalam hal ini ialah dengan mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Pesta diadakan di gedung pertemuan (jambur/losd) yang mampu menampung banyak undangan, dan diadakan gendang (musik).


(34)

b. Pesta Menengah (Kerja Sintengah). Pesta menengah ini ialah dengan mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Pesta diadakan di gedung pertemuan (jambur/losd) yang mampu menampung banyak undangan, tetapi tidak diadakan gendang (musik).

c. Pesta Kecil (Kerja Singuda). Pesta kecil dalam hal ini tidak dengan mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Yang diundang hanyalah kerabat penting terdekat saja dari kedua belah pihak. Pesta diadakan di rumah penganten wanita, tidak diadakan pagelaran gendang (musik). 2.4 Adat terhadap Orang Tua Yang Telah Lanjut Usia

2.4.1 Mereken Tudung, Bulang Ras Ose

Mereken tudung, bulang ras ose ini dapat diartikan memberikan topi adat dan pakaian adat. Biasanya orang tua yang mendapat penghargaan seperti ini adalah orang tua yang berusia di atas 60 tahun sampai 65 tahun yang semua anak-anaknya sudah menikah dan bekerja dengan baik. Acara ini berasal dari keinginan si anak untuk menghormati orang tuanya dengan memberikan memberikan topi adat dan pakaian adat. Ini adalah simbol kasih sayang kepada orang tua.

Untuk melaksanakan ini dipanggil para anakberu, membicarakan teknis pelaksanaan dan hari pelaksanaan. Nilai topi adat dan pakaian adat yang akan diberikan bergantung kepada kemampuan si anak. Kalau si anak mampu, selain nilai topi adat dan pakaian adat yang mahal, juga pelaksanaan acara dapat mengundang banyak orang. Ketika tiba hari pelaksanaan, tudung disematkan para menantunya diatas kepala mertuanya yang wanita, sedangkan bulang, disematkan oleh anak lakilakinya di atas kepada ayahnya. Dalam kasus bila salah seorang dari orang


(35)

tuanya telah meninggal dunia, pemberian ini tidak diberikan. Acara ini ditutup dengan makan bersama oleh para kerabat yang hadir.

2.4.2 Mereken Ciken ras Tuktuk

Adat mereken ciken ras tuktuk (memberikan tongkat) ini tidak jauh beda dengan adat mereken tudung, bulang ras ose. Ide pemberian ini juga berasal dari keinginan anak untuk menghormati orang tuanya. Dan orang tua yang mendapat penghargaan seperti ini adalah yang berusia di atas 67 tahun. Kepada si ayah diberikan ciken (tongkat) oleh anaknya yang laki-laki, sedangkan kepada ibunya diberikan tuktuk (alat menumbuk daun sirih) oleh istrinya. Dalam kasus bila salah seorang dari orang tuanya telah meninggal dunia, pemberian ini tidak diberikan. Acara ini juga ditutup dengan makan bersama oleh para kerabat yang hadir.

2.4.3 Mesur-mesuri

Penghargaan lain yang diberikan kepada seorang orang tua yang berusia diatas 80 tahun adalah mesur-mesuri. Mesur-mesuri adalah tradisi memberi nasi kepada seorang tua yang sudah berusia di atas 80 tahun. Biasanya pada usia ini, sudah banyak yang meninggal dunia, tetapi karena berusia panjang, ini dianggap sebagai prestasi tersendiri. Karena prestasi ini maka diberikanlah kepadanya penghormatan dan penghargaan yang disebut mesur-mesuri.

Mesur-mesuri biasanya diberikan pertama oleh pihak anak-anaknya, kemudian disusul oleh pihak anakberunya, dan terakhir oleh pihak kalimbubunya. Acara ini juga ditutup dengan makan bersama oleh para kerabat yang hadir. Selesai makan bersama kemudian dilanjutkan dengan berbincang-bincang mengenai isi hati masing-masing dari para kerabat yang hadir. Bila waktu mengijinkan kepada kerabat yang hadir diwajibkan


(36)

berbicara sepatah atau dua patah kata saja mengenai isi hatinya. Terakhir sebelum para kerabat pulang ke rumah masing-masing, mereka memberikan uang si orang tua yang dihargai tersebut. Pemberian uang ini sebagai tanda kasih sayang dan dapat dipergunakan untuk membeli keperluan hidup yang diperlukan oleh si orang tua. 2.5. Adat Kalak Mate (Adat Untuk Orang Yang Meninggal Dunia)

Secara umum masyarakat Karo membagi jenis kematian sebagai berikut: 2.5.1 Berdasarkan status saat seseorang meninggal dunia

1. Cawir metua

Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah, juga dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban.

Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya (pihak mertua dari istri anak-anaknya yang laki-laki) harus menyediakan ose yaitu menyediakan perhiasan emas, kain serta pakaian yang indah-indah (kain adat), untuk dikenakan oleh saudara laki-laki serta anak laki-laki beserta istri serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

Perbedaan dengan jenis kematian yang lain, kematian cawir metua ini biasanya tidak ditangisi, para kaum kerabat tidak menunjukkan kesedihan, bahkan malah sebaliknya bersuka ria. Kematian seperti ini, dianggap mulia dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah nurun disertai dengan gendang (tari dan nyanyi),


(37)

dan para kaum kerabat larut menari bersama. Disinilah musik meberikan peranan selama berlangsungnya upacara adat.

Untuk lebih jelas akan dibahas pada bab 3 2. Tabah-tabah galuh

Tabah – tabah galuh jenis kematian ini adalah jenis kematian yang terjadi saat seorang sudah berkeluarga namun usia belum lanjut. Jenis

3. Mate Nguda

Mate nguda adalah kematian dalam usia muda dan belum berumah tangga ataupu usia orang tersebut masih muda.

2.6 berdasarkan sebab kematian

Selain tiga jenis kematian yang disebutkan diatas orang Karo juga membagi jenis kematian berdasarkan sebab-sebab kematian yaitu:

a. Batara guru (meninggal saat masih berada dalam kandungan) b. Bicara guru (meninggal sesudah lahir)

c. Lenga ripen (seorang anak yang meninggal saat gigi belum tumbuh) d. Enggo ripen (seorang anak yang meninggal saat gigi sudah tumbuh) e. Meninggal perjaka/gadis

f. Meninggal pada saat melahirkan

g. Kayat-kayaten (Meninggal karena penyakit) h. Mate sada wari (meninggal secara tiba-tiba)


(38)

2.7 Musik Pengiring

Terdapat 3 jenis gendang dalam upacara kematian. Pemakaian salah satu jenis ini biasanya dilakukan berdasarkan jenis kematian. Adapaun jenis gendang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Gendang mentas.

Gendang dilaksanakan hanya pada siang hari, yaitu pada hari saat dilangsungkannya upacara adat penguburan. Gendang ini biasanya mulai dimainkan bersamaan dengan dimulainya upacara adat sekitar jam 09.00 pagi dan selesai pada sore hari.

2. Nangkih gendang.

Gendang ini dimainkan mulai dari malam hari disebut dengan gendang erjaga-jaga agar yang menjaga jenasah tidak tertidur dimulai 1 hari sebelum dilangsungkannya upacara adat penguburan sampai dengan diakhirinya upacara adat tersebut.

3. Erkata gendang.

Gendang ini hanya dilaksanakan pada saat upacara adat penguburan sampai dengan diakhirinya upacara adat tersebut.

2.8 Utang Adat

Utang adat merupakan suatu kewajiban yang wajib di laksanakan oleh sukut terhadap kalimbubu.

Ada beberapa jenis utang adat. Perbedaan jenis utang adat ini diakibatkan jenis kematian yang berlangsung. Adapun jenis utang adat ini adalah


(39)

Morah - morah: utang adat bagi seorang yang sudah tua namun masih ada beberapa tanggung jawabnya yang belum diselesaikan. Masih adanya anak yang belum berumah tangga biasanya menjadi alasan seseorang itu belum cawir metua atau sehingga utang adat yang harus dibayarkan oleh keluarga hanya berupa morah-morah

Sapu Iloh: utang adat jenis ini ditujukan kepada seseorang yang belum berumah tangga dan yang masih berusia muda.

2.9 Upacara Adat Tambahan

Upacara adat tambahan yang dimaksud disini adalah upacara yang dilaksanakan diakibatkan ada sesuatu hal yang terjadi seperti penyakit ataupun permasalahan yang lain. 2.9.1 Erpangir Kulau

Erpangir kulau adalah upacara mandi atau keramas disungai yang bertujuan untuk mengusir roh jahat atau menyucikan diri dari pengaruh roh jahat, memberi sesajian kepada yang kuasa supaya diberikan rejeki. Upacara ini masih dapat ditemukan dibeberapa tempat terutama disekitar pemandian air panas didesa Rajaberneh.

2.9.2 Guro-guro aron

Guro-guro aron berasal dari kata guro-guro dan aron. Guro-guro berarti, main-main, pesta, hiburan. Aron artinya anak perana / singuda-nguda yang bekerja keladang. Gendang Guro-guro Aron dapat juga diartikan sebagai acara syukuran seusai tradisional ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada kecukupan rezeki atau hasil panen yang berlimpah atau pun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan. Pada Gendang Guro-guro Aron tersebut masyarakat karo bernyanyi dan menari bersukaria, yang biasanya dilakukan sepanjang malam, dibawah cahay


(40)

2.9.3 Nengget

Nengget merupakan upacara yang dilakukan dengan mengejutkan seorang wanita yang tidak memiliki keturunan. Tak jarang yang sudah memiliki keturunan juga mendapat kejutan ini biasanya karena belum memiliki keturunan laki-laki sebagai penerus garis keturunan (marga). Dari upacara nengget ini diharapkan sang wanita akan terkejut dan memiliki keturunan. Adapun proses nengget ini adalah melakukan beberapa hal yang seharusnya tabu bagi masyarakat karo seperti menggendong, memaki dan menyiram turangkunya yang dalam kehidupan sehari-hari seharusnya turangkunya tersebut pantang melakukan komunikasi terhadap turangkunya termasuk juga bertatapan dan bersentuhan anggota badan .

2.9.4 Perumah begu

Perumah begu adalah ritual yang bertujuan untuk memanggil kembali roh orang yang telah meninggal (begu). Perumah begu bagi orang yang baru saja meninggal dunia dilakukan pada malam pertama setelah mayat dikebumikan. Pada awal upacara, guru Si baso11

2.9.5 Releng tendi

akan melakukan tahap awal upacara yang bersifat menegaskan perbedaan dunia antara manusia dan roh orang meninggal. Selama prosesi ritual, guru si baso memainkan dua peran penting, yaitu pemimpin utama ritual dan juga berperan sebagai sebagai penceritera kembali kisah hidup dari orang yang baru meninggal.

Releng tendi adalah ritual yang dilakukan oleh dukun dengan memanggil kembali roh orang yang masih hidup (tendi) yang ke luar dari tubuh disebabkan suatu peristiwa khusus dan menyebabkan si pasien sangat terkejut atau karena peristiwa yang tidak

11


(41)

diduga-duga. Pasien akan bertingkah laku tidak seperti biasanya, dapat menjadi sangat pendiam dan tidak menghiraukan apa pun terjadi di sekitarnya atau orang tersebut tertawa sendiri, menangis secara tiba-tiba, atau marah tanpa sebab. Jiwanya dianggap ke luar dari tubuh dan tinggal pada tempat tertentu dikuasai atau dipenjarakan roh gaib tertentu. 2.9.6 Ngampeken Tulan-tulan

Ngampeken tulan-tulan adalah upacara untuk mengambil tulang tengkorak dan kerangka para leluhur untuk ditempatkan di geriten12 atau kuburan yang lebih baik. Ini adalah cara untuk menaikkan status para leluhur (yang diangkat tulang bangkainya). Acara ini dapat berlangsung seperti acara kematian, boleh pakai gendang. Pada acara ini juga diberikan utang adat kepada kalimbubu, puang kalimbubu dan anak beru.

12


(42)

orang-BAB III

UPACARA ADAT CAWIR METUA PADA MASYARAKAT KARO

Menurut Sarjani Tarigan dahulunya “Apa bila ada orang meninggal dunia, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah memandikannya, membuat putar di kening dan pipinya (kuning), kaki (ibu jari) dan ikat (kalaki). Sejalan dengan itu, maka semua sangkep enggeluh terutama sembuyak, Kalimbubu, Anak Beru dipanggil untuk runggu (musyawarah) tentang hari penguburan, undangan untuk sangkep enggeluh, patong kerja (baban simate), dan lain-lain”. Seperti inilah proses yang dilakukan apa bila ada orang yang meninggal dunia sebelum masuknya pengaruh agama Kristen.

Tetapi kenyataan seperti itu telah berubah sejak akhir tahun 1890an. Karena pada masa itu merupakan awal masuknya para penyiar agama Kristen ke Tanah Karo. Masuknya agama Kristen memberikan pengaruh awal yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat pada saat itu terutama dalam hal menjalankan kebudayaan masyarakat yang ada saat itutermasuk dalam menlaksanakan upacara adat cawir metua. Banyak dari kebudayaan itu yang mendapat pengaruh dari masuknya agama terutama kebudayaan yang bersifat pemujaan terhadap roh nenek moyang karena bertolak belakang dengan ajaran agama yang dibawakan oleh para penyiar agama Kristen tersebut.

Upacara kematian yang saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu berangsur-angsur ditinggalkan oleh masyarakat. Munculnya aturan-aturan yang dibuat gereja tersebut berdampak banyak hal terhadap upacara kematian yang dilaksanakan masyarakat pada saat itu. Masyarakat yang telah menganut agama Kristen meninggalkan kebiasaannya yang dari upacara pembakaran mayat hingga penguburan


(43)

kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama hindu terakhir kali dilakukan didesa Buah Raya pembakaran mayat itu terakhir pada tahun 1939. Sedang ide pembuatan kuburan sendiri adalah pada awal kemunculan Belanda di Indonesia sekitar tahun 1908 (Darwan prinst,2008:61, 145).

Bukan hanya secara teknis saja perubahan yang terjadi dalam hal upacara adat kematian, sesuai perkembangan waktu maka komponen yang menjadi pendukung upacara pun semakin berkembang. Berikut akan dijelaskan komponen-komponen yang mengalami perkembangan.

3.1 Komponen upacara 3.1.1 Tempat upacara.

Sebelum tahun 1950-an upacara adat hanya dilakukan di lapangan yang berada ditengah-tengah desa. Dengan menggunakan daun pohon enau yang ditopang oleh bambu bangunan tersebut disebut lape-lape.

Lape-lape merupakan bangunan yang bersifat bongkar pasang yang hanya dipasang pada saat ada upacara adat dan dibongkar kembali setelah upacara selesai. Dibangun dari tiang-tiang kayu atau bambu, lalu pada bagian atasnya diletakkan berbagai dahan-dahan/daun pohon aren sehingga hanya mampu melindungi peserta upacara dari sinar matahari. Sebaliknya, jika terjadi hujan, lape-lape tersebut biasanya tidak mampu menahan air karena fungsi utamanya memang hanya sebagai penahan sinar matahari. Upacara adat pun dilakukan ditengah kesain Kuta (lapangan ditengah desa).

Namun seiring waktu maka masyarakat membangun losd atau jambur sebagai pengganti tempat berlangsungnya upacara adat sehingga peserta yang hadir terhindar dari cuaca panas maupun hujan. Struktur bangunan jambur adalah berbentuk segi empat yang


(44)

memiliki atap namun tidak memiliki dinding. Didalam bangunan jambur biasanya juga terdapat sebuah ruangan masak yang digunakan oleh anak beru untuk masak untuk kebutuhan selama pesta berlangsung. Setiap jambur memiliki ukuran luas yang berbeda-beda, dimana luasnya disesuaikan dengan jumlah penduduk di suatu desa. Semakin besar jumlah penduduk suatu desa, maka biasanya semakin besar atau semakin banyak bangunan jambur dikampung tersebut.

Namun tak tertutup kemungkinan apa bila didesa tersebut tidak memiliki jambur/los maka dibuatlah traktak atau tenda besar yang didirikan ditanah lapang didesa tersebut.

Gambar 1 : Jambur

3.1.2 Waktu upacara

Secara umum malam pertama saat ada yang meninggal dunia biasanya dimanfaatkan anggota keluarga untuk mengadakan rapat atau runggu bersama dengan keluarga terdekat.

Adapun yang biasanya dijadikan topik dari runggu ini adalah, kapan waktu penguburan, siapa yang diundang dalam upacara adat tersebut, tempat pengebumian, seperti apa teknis dari upacara yang akan dilangsungkan, peralatan yang digunakan, sampai dengan konsumsi.


(45)

Perbedaan latar belakang agama yang meninggal dunia biasanya mempengaruhi waktu penguburan dari waktu seseorang meninggal dunia perbedaan waktu dan teknis pelaksanaan adat cawir metua. Namun tetap saja semua keputusan yang berkaitan dengan waktu upacara diputuskan di saat berlangsungnya runggun atau musyawarah.

3.1.3 Benda-benda dan alat-alat upacara

Ada banyak peralatan pendukung yang dibutuhkan pada saat berlangsungnya upacara adat cawir metua mulai dari pakaian (ose), utang adat, peralatan musik dan lain sebagainya.

3.1.3.1 Ose (Pakaian adat)

Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir metua, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya (pihak mertua dari istri anak-anaknya yang laki-laki) harus menyediakan ose yaitu menyediakan perhiasan emas, kain serta pakaian yang indah-indah (kain adat), untuk dikenakan oleh saudara laki-laki serta anak laki-laki beserta istri serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

Beberapa diantara uis adat karo tersebut sudah langka karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, atau hanya digunakan dalam kegiatan ritual budaya yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan saat ini tidak dilakukan lagi.

Berikut akan di jelaskan beberapa jenis kain tradisional Karo yang masih sering dipakai pada upacara adat terutama adat cawir metua beserta fungsi lainnya.


(46)

1. Uis Beka Buluh

Uis Beka Buluh berfungsi sebagai sebagai penutup kepala. Kain ini berukuran 166 x 86 Cm. Pada saat Pesta Adat, Kain ini dipakai Pria/putra Karo sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk dialah pesta tersebut diselenggarakan. Kain ini dilipat dan dibentuk menjadi Mahkota pada saat Pesta Perkawinan, Mengket Rumah (Peresmian Bangunan), dan Cawir Metua

Sebagai Pertanda (Cengkok-cengkok /Tanda-tanda) yang diletakkan di pundak sampai ke bahu dengan bentuk lipatan segi tiga.

Gambar 2 : Penutup kepala dan bahu Gambar 3 : Uis beka buluh Selain dikenakan pada anggota tubuh uis beak buluh juga digunakan sebagai Maneh-maneh. Setiap putra karo dimasa mudanya diberkati oleh Kalimbubu (Paman, Saudara Laki-laki dari Ibu, Pihak yang dihormati) sehingga berhasil dalam hidupnya. Pada Saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak kalimbubu tadi yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh.

2. Uis Jongkit dilaki

Uis ini dipakai sebagai pakaian luar bagian bawah untuk Laki-laki yang disebut gonje (sebagai kain sarung). Kain berukuran 172 x 96 Cm ini dipakai oleh Putra Karo untuk semua upacara Adat yang mengharuskan berpakaian Adat Lengkap.

Tanda-tanda ?????????


(47)

Gambar 4 : Gonje (sebagai kain sarung) Gambar 5 : Uis Jongkit Dilaki

3. Uis Gatip

Uis Gatip biasa juga digunakan sebagai Penutup Kepala wanita Karo (tudung) baik pada pesta maupun dalam kesehariannya.

Untuk beberapa daerah, diberikan sebagai tanda kehormatan (utang adat) kepada kalimbubu pada saat wanita Karo meninggal Dunia (Maneh-maneh dan morah-morah) berukutan 164 x 96 Cm

Gambar 6 : Uis Gatip Sebagai Maneh-Maneh Gambar 7 : Uis Gatip

4. Uis Nipes Benang Iring

Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat duka cita. Ukuran kain ini 155 X 62 Cm


(48)

Gambar 8 : Uis Sebagai Selendang Wanita Gambar 9 : Uis Nipes Benang Iring

5. Uis Jujung-jujungen

Kain ini dipakai hanya untuk lapisan paling luar penutup kepala wanita (tutup tudung) dengan umbai-umbai emas pada bahagian depannya. Ukuran : 120 x 54 cm

Gambar 10 : Uis Jujung-jujungen

6. Uis Nipes Mangiring

Kain ini dipakai wanita Karo sebagai selendang bahu dalam upacara adat duka cita berukuran 148 x 64 cm

Uis Nipes Benang Iring


(49)

Gambar 11 : Uis Nipes Mangiring

7. Uis Teba

Kain ini dipakai wanita Karo lanjut usia sebagai tutup kepala (tudung) dalam upacara yang bersifat duka cita

Pada beberapa daerah, kain ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada Kalimbubu (Maneh-maneh) pada saat orang yang sudah lanjut usia meninggal. Kain ini memiliki ukuran 146 x 84 cm.

Gambar 12 : Uis Teba

8. Uis Pementing

Kain ini dipakai Pria Karo sebagai ikat pinggang (benting) pada saat berpakaian Adat lengkap dengan menggunakan Uis Julu sebagai kain sarung. Kain ini memiliki ukuran 168 x 72 cm


(50)

Gambar 13 : Uis Pementing 9. Uis Kelam-Kelam

Kain ini bukan kain tenun manual, tapi hasil pabrik tekstil yang dicelup warna hitam menggunakan pewarna alami. Biasanya digunakan sebagai penutup kepala wanita Karo (tudung teger) waktu pesta adat dan pesta guro-guro aron. Kain ini juga digunakan sebagai tanda penghormatan kepada puang kalimbubu pada saat wanita lanjut usia meninggal dunia (morah-morah) berukuran 169 x 80 cm

Gambar 14 : Uis Kelam-Kelam

3.1.3.2 PeralatanUtang adat

Utang adat merupakan kewajiban yang harus diberikan anak beru kepada kalimbubunya dalam rangka memenuhi kewajibannya sebagai anggota keluarga. Jenis penamaan utang adat ini berbeda untuk tiap jenis kematian. Jenis utang adat ini dibedakan berdasarkan tiga jenis yaitu kematian bagi seorang yang masih anak-anak, bagi orang dewasa namun belum cawir metua, dan seorang yang telah cawir metua. Utang


(51)

adat untuk anak-anak disebut dengan sapu-sapu iluh, anak perana / singuda-nguda dan orang tua yang belum cawir metua utang adat untuk ini adalah morah-morah. Sedang utang adat cawir metua disebut maneh-maneh.

Dikarenakan yang meninggal dunia adalah orang tua yang sudah cawir maka Utang adat yang merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan adalah berupa maneh-maneh. Utang ada ini diberikan dalam bentuk bulang – bulang, sekin (parang) beserta batuna (berupa uang yang jumlahnya ditentukan berdasarkan hasil runggu atau musyawarah namun dari hasil musyawarah jumlah uang yang diberikan bisa bertambah tergantung permintaan kalimbubu) maneh-maneh ini pun diberikan kepada kalimbubu pada saat nggalari utang adat (membayar utang adat)

Gambra 15 : Maneh-maneh berupa Uis Gatip 3.1.3.3 Keyboard

Sebelum masuknya instrumen keyboard kedalam kebudayaan Karo, gendang lima sendalanen merupakan ensambel yang sebelumnya menjadi musik pengiring selama berlangsungnya upacara adat cawir metua.

Sejak tahun 1991 instrumen musik keyboard mulai digunakan dalam seni pertunjukan tradisional yang bersifat kontekstual. Selain sebagai musik untuk mengiringi penyanyi, keyboard juga dapat menghasilkan musik-musik yang bersifat instrumentalia.


(52)

Pada awalnya, alat musik keyboard ini dimainkan secara bersama-sama (berkolaborasi) dengan ensambel musik tradisional Karo yang dikenal dengan istilah gendang lima sedalanen. Musik kolaborasi itu awalnya dilakukan dalam konteks seni pertunjukan tradisional gendang guro-guro aron. Namun belakangan bukan hanya dalam gendang guro-guro aron saja bahkan belakangan sudah dipergunakan untuk upacara adat cawir metua.

Produk dari technik merupakan instrument keyboard yang masih dipakai hingga saat ini oleh para pemusik Karo dalam berbagai upacara meskipun saat ini pabrik tempat diproduksinya keyboard ini sudah tidak berproduksi lagi. Hal ini menyebabkan keyboard jenis technik semakin sulit ditemukan dipasaran kalaupun ada nilai jualnya sudah sangat tinggi.

Menurut Jasa tarigan beberapa produsen keyboard sudah mulai melirik untuk menggantikan jenis keyboard technic. Bahkan roland yang merupakan produsen keyboard yang cukup besar pernah menawarinya kerja sama dalam hal meniru program musik tradisi Karo yang terdapat ditechnic. Namun tetap saja hingga saat ini sebahagian besar pemain keyboard Karo masih tetap menggunakan produk technic.


(53)

Gambar 16 : KN 2000

Sumber : http://www.technics-music-service.de/modelle/main.htm

Gambar 17 : KN 2600

Sumber : http://www.technics-music-service.de/modelle/main.htm

3.1.3.4 Sound system (sistem pengeras suara)


(54)

komunikasi pengeras suara ini juga digunakan untuk memperkuat suara keyboard dan biasanya ditentukan seberapa besar kekuatan dari sound system tersebut tergantung dari ukuran tempat berlangsungnya kegiatan. Biasanya untuk ukuran sebuah acara adat dengan menggunakan keyboard 1000 watt dapat disewa dengan biaya Rp 800.000.

Gambar 18 : Sistem Pengeras Suara

3.1.4 Pendukung atau pemimpin upacara

Pendukung yang dimaksud disini adalah para kerabat, pemusik maupun undangan teman meriah. Anggota keluarga yang hadir adalah anggota keluarga yang berasal dari rakut setelu yang didalamnya terdiri dari anak beru, sembuyak/senina, dan kalimbubu.

3.1.4.1 Anakberu

Terjadi hubungan Kalimbubu Anakberu karena adanya perkawinan, perkawinan ini boleh perkawinan langsung maupun tidak langsung. Hal ini maka anakberu disebut penerima wanita. Anakberu adalah para pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri (Prints, 1986:64; Bangun, 1981:109). Oleh Darwan Prints (Prints, 1986:67) anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini


(55)

maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut. Pada dasarnya setiap individu Karo mempunyai anakberu, minimal anakberu merga (subklen). Hal ini dikatakan demikian, sebab bisa saja Bapak ego, tidak mempunyai saudara perempuan, atau kalau mempunyai saudara perempuan, saudara perempuan tersebut belum menikah. Dalam kasus seperti ini, si ego hanya mempunyai anakberu merga yaitu dari klen X misalnya yang telah beberapa generasi mengambil istri dari klen Y (ego).

Adapun orang-orang yang masuk ke dalam kelompok Anakberu adalah pengambil gadis dari pihak ego, pihak pengambil saudara perempuan ego, pihak pengambil saudara perempuan kakek ego, pihak pengambil saudara perempuan ayah ego dari kakek dan pihak pengambil anak perempuan ego, pihak pengambil gadis dari saudara perempuan ego, pihak pengambil gadis dari saudara perempuan ayah ego, dan turunan dari saudara perempuan ego, dan pihak pengambil gadis dari saudara perempuan ego.

Sedangkan tugas anakberu adalah sebagai pekerja, pemegang tanggungjawab dan protokol sesuatu acara peradatan atau acara musyawarah mulai dari dari pekerjaan yang kecil, misalnya mendirikan tenda, sampai ke pekerjaan yang besar di dalam keluarga kalimbubunya. Demikian pentingnya peranan anakberu ini, sehingga kelompok anakberu ini disebut juga kelompok yang perlu disayangi secara wajar (itami-tami), yang nami-nami (menyayangi secara wajar) adalah kalimbubunya.

Dalam acara adat pelaksanaan tugas seperti di atas adalah tugas anakberu (Anakberu Mas Pedemuken beserta anakberu menteri dan anakberu ngikuri), mereka sebagai pelaksana acara. Anakberu Singerana (Anakberu yang Berbicara) bertugas sebagai protokol. Anakberu Cekoh Baka Tutup beserta anakberu iangkip/iampu/darah,


(56)

bertugas mengatur pembagian tugas. Demikian pentingnya peran anakberu dalam acara-acara adat. Dalam pelaksanaan acara-acara adat Anakberulah yang pertama datang dan juga yang terakhir pulang. Lebih lanjut dapat dijelaskan perihal tugas anakberu tersebut sebagai berikut.

1. Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat. 2. Menyiapkan hidangan pada pesta.

3. Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta. 4. Menanggulangi sementara semua biaya pesta.

5. Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui harta benda kalimbubunya. Ia juga berhak membuka rahasia kalimbubunya. Tugas seperti ini ditangani oleh Anakberu Cekoh Baka.

6. Menjadwal pertemuan keluarga.

7. Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya berduka cita.

8. Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat) bagi kalimbubunya. Tugas seperti ini ditangani oleh Anakberu Cekoh Baka. 9. Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya.

Karena tugasnya ini, maka anakberu

1. Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berhak menolak.

2. Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia. Warisan ini berupa barang dan disebut morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian almarhum dan lainnya sebagai kenang-kenangan.


(57)

Dalam pengertian lain dalam acara-acara adat di dalam keluarga kalimbubu, anakberulah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan tugas tersebut, mulai dari menyediakan makanan sampai menyusun acaranya. Ketiga jenis pekerjaan di atas, dikerjakan tanpa mendapat imbalan materi apapun, maka Anakberu yang selalu lupa kepada kalimbubunya dianggap tercela di mata masyarakat. Bahkan dipercayai bila terjadi sesuatu bencana di dalam lingkungan keluarga dari Anakberu yang melupakan kalimbubunya, ini dianggap sebagai kutukan dari arwah nenek moyang mereka yang tetap melindungi kalimbubu. Demikian pentingnya dahulu kedudukan anakberu di dalam sebuah keluarga masyarakat Karo, maka sikap kalimbubu terhadap anakberu, harus selalu bermurah hati.

Anakberu pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu 1. Anakberu berdasarkan tutur, terbagi lagi atas:

a. Anakberu Tua. Anakberu Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi. Tugas Anakberu (ditunjuk salah satu diantara yang ada) adalah sebagai kordinator atau komandan dalam acara adat yang diadakan oleh pihak kalimbubunya. Hal-hal mendasar yang selalu dihadapi dan harus diselesaikannya secara adil adalah masalah perkawinan, pembagian harta benda, mendirikan rumah dan sebagainya. b. Anakberu Taneh, adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai

didirikan.


(58)

a. Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.

b. Anakberu Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah anakberu jabu.

c. Anakberu Menteri. Anakberu Menteri adalah Anakberu dari Anakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubunya yaitu anakberu dari pemilik acara adat.

d. Anakberu Singikuri adalah anakberu dari anakberu menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.

3.1.4.2 Sembuyak/Senina

Senina adalah pertalian saudara senenek atau semerga. Fungsi senina demikian penting, karena akan menjadi jaminan (sikaku) dan patner yang partisipatif. Senina dan semua keluarganya akan ikut mendukung semua pelaksanaan adat istiadat dan dahulu,


(59)

juga ikut berperang melawan musuh seninanya. Bahkan pada waktu tertentu akan menjadi jaminan sukut. Dalam musyawarah adat, sukut/ sembuyak akan diwakili oleh senina. Senina dalam musyawarah adat juga berfungsi sebagai penyambung lidah pihak sembuyak dan juga sebagai dan penengah. Faktor inilah maka masyarakat Karo sangat memelihara hubungannya dengan para seninanya, walau pun tidak sesubmerga dan seketurunan yang jelas sejarahnya, namun mengingat kaitan semerga dan saling membutuhkan itu mereka tetap saling membantu. Dalam literatur dijelaskan senina adalah mereka yang bersaudara karena mempunyai merga yang sama, namun bukan karena subklen sama.

Pada dasarnya setiap individu Karo mempunyai senina/sembuyak. Apakah itu senina si seh ku sukut (senina yang berkerabat langsung dengan pemilik acara adat, disebut juga senina langsung) dan gamet, senina erkelang ku sukut (senina yang berkerabat berperantara dengan pemilik acara adat).

Senina sukut (langsung) ada dua, pertama disebut sembuyak, dalam acara pesta perkawinan ia menerima rudang-rudang, dan kedua biak senina, dalam pesta perkawinan ia menerima senina kuranan.

Sedangkan senina berperantara terdiri dari 4 yaitu sepupu dari ibu (sepemeren), dalam perkawinan dia menerima perbibin (nama mahar yang diberikan kepada pihak saudara-saudara perempuan yang sesubklen dengan ibu kandung pengantin), sepengambilan (siparibanen), dalam perkawinan dia menerima "perbibin" yang berasal dari istrinya, sepengalon yang berasal dari bebere/anakberu, dan sendalanen dari kalimbubu/singempoi impal, oleh darwan prints (prints, 1986: 67) senina/sembuyak ini diumpamakan sebagai eksekutif, kekuasaan pemerintahan.


(60)

Secara umum terjadinya hubungan perseninaan ini disebabkan (1) pertalian darah, (2) sesubklen (semerga/seberu), (3) sepemeren (ibu bersaudara), (4) Separibanen (istri bersaudara), (5) mempunyai istri dari beru (sesubklen) yang sama, (6) mempunyai suami yang bersaudara (kandung, gamet, atau seklen).

Adapun tugas senina/sembuyak adalah (1) mengawasi pelaksanaan tugas para anakberunya, (2) secara bersama-sama menanggung sementara semua biaya pesta. Sedangkan hak senina dan sembuyak adalah (1) mendapat pembagian harta (hanya yang bersembuyak, seibu seayah), (2) dalam hal anak wanita kawin, berhak mendapat mas kawin (tukor).

a. Jenis Senina :

Hubungan perkerabatan senina disebabkan seklen, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan. Senina ini dapat dibagi dua:

1. Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena seklen (merga).

2. Senina berdasarkan kekerabatan. Ini dapat dibagi lagi atas:

a. Senina Siparibanen perkerabatan karena istri saling bersaudara.

b. Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai berebere (merga ibu) yang sama. c. Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang

berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena sesubklen (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan klen istri. Hal ini maka


(61)

dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat, apabila tidak diminta.

d. Senina Secimbangen (untuk wanita), mereka yang bersenina karena suami mereka sesubklen (bersembuyak).

Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila dikondisikan dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan. Fungsinya adalah sebagai sekaku, sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak terjadi friksi-friksi ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anakberu.

b. Jenis Sembuyak

Sembuyak adalah mereka yang sesubklen sama, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya.

Peranan sembuyak (yang seklen) adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu dari saudara yang seklen. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Sesubklen sama dengan saudara kandung.

Sembuyak dapat dibagi dua bagian

1. Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen (merga). 2. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas:


(62)

b. Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung. c. Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung. 3.1.4.3 Kalimbubu

Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan dibata ni idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal dilaksanakan atau tidak masalah lain.

Adapun orang-orang yang masuk ke dalam kelompok Kalimbubu ini adalah ipar ego, mertua ego, mertua ayah ego, mertua kakek ego, mertua kakek ayah ego, dan ayah mertua mertua kakek ego, paman istri ego, paman dari ibu ego, anak perempuan paman ego (paman dari pihak ibu ego) atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibu ego, termasuk suami dari mereka yang menjadi istri klen lain.

Dalam acara-acara adat, masing-masing kelompok ini mempunyai peranan masingmasing. Peranan ini tidak kaku, artinya bila seseorang pada pesta si A berperan sebagai Kalimbubu, maka pada pesta si B, dia dapat berperan sebagai Anakberu. Jadi kedudukan seseorang itu tergantung kepada kedekatan hubungan kekerabatan dengan


(63)

penyelenggara acara yang memang masing termasuk dalam lingkungan keluarganya. Dalam banyak literatur tentang masyarakat Karo, Kalimbubu ini didefinisikan adalah kelompok pemberi dara atau gadis (Prints, 1986:66; Bangun, 1981:109; Bangun, 1989:11). Adapun peranan dan fungsi para Kalimbubu ini dalam struktur daliken si telu adalah sebagai supremasi keadilan dan kehormatan. Oleh Darwan Prints (Prints, 1986:67) diumpamakan sebagai legislatif, pembuat undang-undang. Oleh Roberto Bangun, (Bangun, 1989:12) sebagai dewan pertimbangan agung, pemberi saran kalau diminta. Dan sarannya, berpedoman kepada obyektif konstruktif dalam kaitan keutuhan keluarga. Hal ini maka pihak kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah (Tuhan yang Kelihatan). Dalam acara-acara adat, dia harus hadir, dan masing-masing mendapat peran. Misalnya dalam acara upacara kematian, ketika jenajah akan dikebumikan, bagian kepala dari jenajah dipanggul oleh pihak kalimbubu dari yang meninggal. Dalam pesta sukacita, yang berperan sebagai kalimbubu dilayani sebaik mungkin oleh pihak anakberu dalam hal ini adalah penyelenggara pesta.

Pada dasarnya setiap ego Karo, baik yang belum menikah pun mempunyai kalimbubu, minimal kalimbubu si mada dareh. Kemudian bila ego (pria) menikah berdasarkan adat Karo, dia mendapat kalimbubu si erkimbang. Kalimbubu dapat dibagi atas 2 :

1. Kalimbubu berdasarkan tutur.

a. Kalimbubu Bena-Ben, disebut juga (kalimbubu tua), adalah kelompok keluarga pemberi dara kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak dara awal dari keluarga itu. Dikategorikan kalim-bubu


(1)

BAB V

PENUTUP

5.1. Ringkasan

Dari uraian-uraian pada bab sebelumnya penulis akan meringkaskannya seperti tersebut dibawah ini.

Manusia adalah merupakan pelaku kebudayaan. Dalam suatu kebudayaan seiring berjalannya waktu pastilah akan mendapat pengaruh baik itu dari dalam maupun dari luar kebudayaan tersebut. Dimana pengaruh tersebut dapat membawa suatu perubahan dalam kebudayaan.

Masuknya instrumen keyboard kedalam kebudayaan musikal masyarakat Karo awalnya memang mendapat respon yang negatif dari beberapa orang. Seiring perjalanan waktu, ekonomis dan praktis menjadi suatu pertimbangan penting hingga peranan keyboard menjadi cukup penting dalam banyak aktifitas kebudayaan orang Karo.

Dalam upacara adat kematian bagi orang Karo peranan instrumen Keyboard ini semakin menggeser fungsi gendang lima sendalanen. Dari penelitian dan wawancara yang penulis lakukan peranan Keyboard ini cukup jelas terlihat.

Peran instrumen keyboard yang semakin penting posisinya ditunjukkan melalui banyaknya kegiatan budaya yang menyertakan gendang kibod. Dalam beberapa kasus seperti kerja tahun belakangan ini tak pernah lepas dari gendang kibod terlebih saai ini dalam upacara adat cawir metua instrumen keyboard menjadi penting juga..


(2)

5.2. Kesimpulan

Dari uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis membuat kesimpulan mengenai peranan keyboard dalam upacara adat cawir metua yang penulis lakukan didesa Perbesi.

Menyanyi dan menari yang dibawakan oleh cucu-cucu yang mate cawir metua tak bisa lepas dari peranan instrumen keyboard karena untuk mengiringi lagu-lagu beserta tarian yang dibawakan hanya instrumen keyboard yang disenangi masyarakat saat ini. Dari sekian banyaknya peranan yang dimainkan oleh instrumen keyboard baik itu sebagai pengiring nyanyian maupun pengiring tarian diakhir memberikan kata pengapul maka bisa disimpulkan bahwa peranan instrumen keyboard pada acara ini menjadi penting karena untuk mengiringi nyanyian maupun tarian, sudah sangat jarang dapat kita ketemukan pemusik tradisi yang mampu mengiringi lagu-lagu populer saat ini.

5.3. Saran

Dari beberapa kesimpulan yang telah dikemukakan di atas maka dapat diajukan beberapa saran-saran yaitu:

1. Oleh karena interaksi dengan kebudayaan lain merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari khususnya di daerah yang heterogen penduduknya seperti Desa


(3)

perubahan diharapkan perubahan tersebut tidak menghilangkan hal-hal yang mendasar dari suatu tradisi tersebut.

2. Diharapkan kepada pemerintah khususnya Departemen Kebudayaan untuk membantu dalam proses pelestarian budaya dengan lebih sering mengadakan acara-acara yang bernuansa budaya seperti seminar-seminar budaya dan pertunjukan-pertunjukan kesenian. Dalam hal ini juga diharapkan agar pemerintah mengadakan program regenerasi pemusik tradisional khususnya di Kabupaten Karo, sehingga musik tradisional dapat dilestarikan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Bachtiar, Harsya W.

1983 Konsep, Definisi, teori, dan penggunaannya. Jakarta:

Depdikbud.

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor

1993 Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

Brahmana, Drs. Pertampilan.

2003 Daliken si telu dan solusi masalah sosial pada masyatakat karo: kajian sistem pengendalian sosial. Medan, tidak diterbitkan.

Depdikbud

2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Koentjaraningrat

1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Koentjaraningrat

1984. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:


(5)

Prinst, Darwan-Darwin.

1986 Sejarah dan Kebudayaan Karo. Bandung: Yirama.

Prinst, Darwin

2002 Kamus Karo-Indonesia, Medan: Bina Media Perintis

Sembiring, Erlina

2009 Upacara nengget pada masyarakat suku Karo (studi deskriptif: desa saran padang kecamatan dolok silau, kabupaten

simalungun), Departemen antropologi FISIP USU, skripsi sarjana

S1. tidak diterbitkan. Sukardi

1981 Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara

Tarigan, sarjani

2009 Lentera kehidupan orang Karo dalam berbudaya. Medan

Situs internet:


(6)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Jasa Tarigan

Usia : 51 Tahun

Pekerjaan : Seniman dan Wiraswasta

Alamat : Komplek Lona Garden Padang Bulan Medan

2. Nama : Yefta Ginting

Usia : 30 Tahun

Pekerjaan : Pemusik/Pemain keyboard Karo Alamat : Pasar 8 Padang bulan Medan

3. Nama : Sarjani Tarigan Usia : 53 tahun

Pekerjaan : PNS dan Penulis buku adat Karo Alamat : Perumnas simalingkar Medan

4. Nama : Roi Sebayang Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Pemain Keyboard Karo Alamat : P. Bulan Medan

5. Nama : Sofian Tarigan Umur : 30 tahun