Tentang Perjanjian Perjanjian Penguasaan Hak Atas Tanah Oleh Indonesian Nominee Kepada Warga Negara Asing

BAB III KONSEP PERJANJIAN HAK PAKAI ATAS TANAH HAK MILIK DI

INDONESIA BAGI WARGA NEGARA ASING

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Tentang Perjanjian

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut dengan KUHPerdata tidak ada dicantumkan definisi dari perjanjian. Menurut pasal 1313 “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Hal tersebut bukanlah sebuah definisi. Di dalam KUHPerdata disebutkan istilah perjanjian dengan persetujuan sebagai terjemahan dari kata overeenkomst. Menurut Subekti istilah perjanjian dinamakan persetujuan karena kedua belah pihak bersetuju untuk melakukan sesuatu. Persetujuan tersebut merupakan perbuatan satu pihak mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Perikatan tersebut menimbulkan perjanjian. Definisi perjanjian dapat dilihat dari doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum antara lain menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanjian kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 70 70 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1976, hal. 1 62 Universitas Sumatera Utara Wirjono Prodjodikoro mengatakan “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”. 71 Rumusan yang diuraikan diatas memfokuskan bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada 2 dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi debitur dan lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut kreditur. Di dalam pasal 1320 KUHPerdata diatur, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 empat syarat, yakni: a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Ilmu hukum merangkum bahwa arti keempat syarat tersebut digolongkan kedalam 2 dua unsur pokok yang menyangkut subjek pihak yang mengadakan perjanjian unsur subjektif, dan 2 dua unsur pokok lainnya yakni berhubungan langsung dengan objek perjanjian unsur obyektif. 72 Gunawan Widjaya, mengemukakan bahwa: Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan oleh objek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu dari keempat unsur tersebut 71 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan tertentu, Sumur, Bandung, 1974, hal. 11 72 Gunawan Widjaja, Sari Hukum Bisnis Waralaba, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 38 Universitas Sumatera Utara menyebabkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif. 73 Ilmu hukum mengenal adanya 4 empat macam asas-asas umum dalam perjanjian, yang meliputi: a. Asas kebebasan berkontrak b. Asas konsensualitas c. Asas personalia d. Asas itikad baik 74 Ad.a. Asas kebebasan berkontrak Sistem dalam kontrak adalah sistem terbuka open system yang artinya setiap orang memiliki kebebasan untuk mengadakan perjanjian. Kebebasan yang dimoliki setiap orang itu dasarnya adalah suatu kepentingan individu. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk membuat suatu perjanjian dengan pihak lain. Setiap perjanjian yang para pihak dibuat dengan sah dan berlaku sebagai undang- undang bagi para pembuatannya, sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata. Hal tersebut dipertegas kembali dengan kententuan pasal 1328 ayat 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu”. 73 Ibid, hal. 77 74 R. Subekti dan R. Tjiprosudibio, Op. Cit. hal. 71 Universitas Sumatera Utara Secara umum, kalangan para ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata jo pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata tersebut sebagai asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak yang diuraikan tersebut bukan berarti mutlak. Kebebasan berkontrak tersebut justru memiliki batasan. Sebagai batasannya adalah : konsensus, kecakapan, objek perjanjian yang jelas dan itikad yang baik dalam melakukan suatu perjanjian. Ad.b. Asas konsensualitas Asas konsensualitas merupakan elemen dasar lain dalam perjanjian yang dilakukan para pihak. Suatu kesepakatan lisan diantara para pihak yang bersepakat dianggap sebagai dasar asas konsensualitas dalam hukum perjanjian. Konsensus atau kesepakatan merupakan penyesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh para pihak. Menurut A. Qirom Syamsudin M 75 , asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum kecuali perjanjian yang bersifat formal. Oleh karena itu dikatakan bahwa dengan adanya kesepakatan maka perjanjian tersebut sudah mengikat. 75 A. Qirom Syamsudin M, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta,hal 20 Universitas Sumatera Utara Ad.c. Asas personalia Asas personalia atau yang dikenal dengan istilah yang lain asas personalitas atau asas kepribadian..Asas personalia diatur dalam pasal 1315 KUHPerdata, menyatakan bahwa “Pada umumnya tak seorang dapat mengikat diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Kemudian dipertegas dalam pasal 1340 KUHPerdata, menyebutkan bahwa “perjanjian- perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya artinya perjanjian- perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak- pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal lain”. Asas tersebut merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk suatu kepentingan diri sendiri. Hal ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, demi hukum hanya akan mengikat para pihak yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan tersebut memiliki pengecualian yang diatur di dalam pasal 1317 KUHPerdata yang mengatur bahwa dapat suatu perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga bila memang di dalam perjanjian tersebut diatur hal atau syarat seperti itu. Batasan pengecualian tersebut merupakan pelengkap dari asas personalia dalam perjanjian. Di dalam pasal 1318 KUHPerdata juga diperluas bahwa perjanjian melibatkan pihak ketiga tersebut antara lain untuk kepentingan diri sendiri, ahli waris maupun orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Universitas Sumatera Utara Ad.d. Asas itikad baik Di dalam pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, diatur bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik telah menjadi asas yang penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum di berbagai negara, tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan. Itikad baik dapat dilihat dari dua sudut yaitu subjektif dan objektif. Dari sudut yang subjektif maksudnya adalah kejujuran seseorang di dalam melakukan perjanjian. Sedangkan dari sudut yang objektif adalah suatu perjanjian yang didasari oleh norma kepatutan atau yang berlaku dan dinilai baik oleh masyarakat pada umumnya. Konsep terbaru itikad baik dalam sistem common law Inggris dikemukakan oleh Sir Anthony Mason dalam suatu kuliah di Universitas Cambridge pada tahun 1993 yang menyatakan bahwa konsep itikad baik mencakup tiga doktrin yang berkaitan dengan: 1. Suatu kewajiban bagi para pihak untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan kontrak kejujuran terhadap janji itu sendiri; 2. Pemenuhan standar perilaku terhormat; dan 3. Pemenuhan standar of contract yang masuk akal yang berkaitan dengan kepentingan para pihak. 76 J.M. Van Dunne seperti dikutip Ridwan Khairandy, membagi tahapan kontrak dalam 3 tiga fase, yaitu: 1. Fase pra kontrak 76 Ibid, hal. 147 Universitas Sumatera Utara 2. Fase pelaksanaan kontrak 3. Fase pasca kontrak 77 Itikad baik sudah harus ada sejak fase pra kontrak 78 dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan.Sedangkan pada umumnya ruang lingkup pengaturan itikad baik dalam berbagai sistem hukum dipandang hanya mencakup itikad baik dalam fase pelaksanaan kontrak, belum mencakup fase pra kontrak. Selanjutnya dalam hukum kontrak, asas itikad baik memiliki 3 tiga fungsi dalam hal : a. Penafsiran Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk menetapkan isi kontrak jarus diketahui dengan jelas maksudnya. Apabila diperlukan penafsiran, maka setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut. b. Menambah Menambah isi suatu perjanjian maupun menambah kata-kata pada suatu ketentuan mengenai perjanjian itu harus dibuat dengan itikad baik. Fungsi yang demikian ini dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban 77 Ibid, hal 190-191 78 Lihat pandangan Munir Fuady bahwa unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam pelaksanaan kontrak dan bukan pada pembuatan kontrak sebab pada fase pembuatan kontrak sudah dicakup pada kausa yang legal pasal 1320 KUHPerdata Buku Munir Fuady,2001, Hukum Kontrak Dari sudut pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 81. Universitas Sumatera Utara yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak. c. Membatasi dan meniadakan Sebagian pakar hukum mengajarkan bahwa suatu perjanjian tertentu atau suatu syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar itikad baik. 79

2. Tentang Pemberian Kuasa