Ketentuan Hukum Internasional Mengenai Pencari Suaka

ditemui dalam ketentuan – ketentuan Hukum Internasional yang bersifat universal atau regional yang berkaitan dengan masalah lembaga suaka. 46 Ada banyak definisi tentang pengungsi, dari yang paling sempit sampai yang paling luas. Setelah Perang Dunia II, negara – negara anggota PBB mendorong lahirnya apa yang sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi. Pada mulanya, konvensi ini diterapkan untuk mereka yang mengungsi di Eropa sebelum tahun 1951. Pada tahun 1967, sebuah protokol untuk Konvensi ini telah menghapuskan pembatasan waktu dan tempat yang dirumuskan sebelumnya. 47 Pengertian Pengungsi Dalam Konvensi PBB 1951 Tentang Pengungsi dinyatakan bahwa pengungsi adalah: “Any person who owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable, or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable, or owing to such fear, is unwilling to return to it. 46 Ibid. Hal. 44 47 “Pengungsi”, dalam http:jrs.or.idrefugee, diakses pada 15 Juni 2014. Pengertian ini berlaku bagi mereka yang menjadi pengungsi akibat peristiwa sebelum tanggal 1 Januari 1951 , dan pengakuan terhadap status pengungsi mereka diberikan berdasarkan instrumen internasional lainnya. 48 Negara – negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia telah mengakui dan menghormati lembaga suaka dalam hubungan antar mereka sudah sejak abad ke-19, sebagaimana terefleksikan dalam Perjanjian Montevideo tentang Hukum Pidana Internasional, 1889, yang memuat ketentuan yang mengakui dan menghormati prinsip lembaga suaka Pasal 15 – 18. Prinsip lembaga suaka terus menerus dikukuhkan oleh negara – negara di kawasan tersebut dengan inkorporasinya ke dalam, dan kemudian dibuatnya secara khusus perjajnjian regional yang mengatur masalah suaka, seperti Persetujuan Caracas tentang Ekstradisi, 1911 Pasal 18, Konvensi Havana Tentang Suaka Diplomatik, 1928, Konvensi Montevideo Tentang Suaka Politik, 1933, Deklarasi Bogota Tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1948 Pasal 27, Konvensi Caracas Tentang Suaka Diplomatik, 1954, Konvensi Caracas Tentang Suaka Teritorial, 1954, Konvensi San Jose Tentang Hak Asasi Manusia, 1969 Pasal 22, dan Konvensi Antar- Amerika Tentang Ekstradisi, Caracas, 1981 Pasal 6. 49 Konvensi Wina 1961 50 tidak memuat ketentuan – ketentuan mengenai suaka, meskipun Pasal 41 3 menyebutkan tentang “persetujuan khusus” yang 48 “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam http:hukum.unisba.ac.idsyiarhukumindex.phpjurnalitem98-perlindungan-internasional- terhadap-pengungsi-dalam-konflik-bersenjata, diakses pada 12 Juni 2014. 49 Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, Op. Cit, Hal. VII-VIII. 50 Konvensi Wina 1961 adalah Konvensi Mengenai Hubungan Diplomatik. Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Disamping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing- dapat memberikan peluang terhadap pengakuan secara bilateral, hak untuk memberikan suaka kepada pengungsi politik di dalam lingkungan perwakilan asing. 51 Dalam hal ini kemudian Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 2198 XXI 1966 yang mulai berlaku 4 Oktober 1967 Tentang Status Pengungsi yang dikenal dengan Protokol Tentang Status Pengungsi 1967. Dalam protokol ini dinyatakan bahwa pengertian pengungsi tidak lagi dibatasi kepada peristiwa sebelum 1951, hal ini terlihat dalam pasal 1 ayat 2 protokol tersebut yang menghapuskan kata- kata “As a result of events occuring before 1 January 1951” dan kata- kata “…. As a result of such events”. Protokol juga menghilangkan batas geografis berlakunya Konvensi 1951. Dari pengertian tersebut kita dapat melihat beberapa elemen yang terkandung di dalamnya, yaitu ; 1. Well-founded fear Rasa takut ini harus mempunyai landasan yang objektif dan benar- benar berdasarkan fakta yang realistis, bahwa kalau dia kembali maka dia akan diadili. 2. Persecution Persekusi dalam hal ini bukan berarti penuntutan yang dilakukan oleh suatu negara berdasarkan yurisdiksinya, tapi dalam proses itu masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa. Lihat dalam “Sejarah Kongres Wina”, sebagaimana dimuat dalam http:sahabatrevolusi.blogspot.com201107sejarah-kongres- wina.html, diakses pada 3 Februari 2015. 51 Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, Op. Cit. Hal. 63. terkandung adanya ancaman terhadap nyawa dan terhadap kemerdekaan pribadinya. Jadi ini sangat berkaitan dengan pelanggaran hak azasi manusia. 3. Convention grounds Dalam hal ini adalah alasan-alasan yang membuat dia takut dituntut tersebut, seperti alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan disuatu kelompok masyarakat atau karena perbedaan paham politik. Alasan- alasan ini pada umumnya terdapat dalam beberapa konvensi internasional 4. Outside the country of nationality or habitual residence Dalam hal ini dia tidak berada dalam wilayah negaranya, tapi pergi melintasi batas negaranya kepada negara terdekat, atau bahkan lebih jauh lagi seperti yang dilakukan oleh pengungsi Vietnam boat people. 5. Unable or unwilling to avail himself of state protection. Ini berarti bahwa dia tidak mau minta perlindungan kepada negaranya sendiri dengan alasan-alasan seperti yang terdapat dalam elemen sebelumnya. Dalam hal ini terlihat juga bahwa negaranya tidak akan memberikan perlindungan terhadap mereka. 52 Upaya internasional dalam rangka mengurangi “stateless persons” sudah ada yaitu melalui “The Convention on the Reduction of Statelessnes 1961”. 52 “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam http:hukum.unisba.ac.idsyiarhukumindex.phpjurnalitem98-perlindungan-internasional- terhadap-pengungsi-dalam-konflik-bersenjata, diakses pada 12 Juni 2014. Salah satu bentuk perubahan yang terjadi dalam suatu negara yang dapatmenyebabkan seseorang atau sekelompok orang yang kehilanganan kewarganegaraannya adalah peristiwa succession of state suksesi negara. Menurut Ian Bronwlie : “State succession arises when there is a definitive replacement of sovereignty over a given territory in conformity with international law”. Berdasarkan resolusi ini, maka setiap orang yang pada saat terjadi suksesi negara, berkewarganegaraan dari negara lama predecessor state memiliki hak atas kewarganegaraan dari salah satu negara yang tersangkut. Maksudnya orang yang bersangkutan dapat memilih kewarganegaraannya baik dari negara lama atau negara pengganti successor state. Pilihan ini, tentunya untuk menghindari agar seseorang tidak kehilangan kewarganegaraan dan akan menjadi seorang yang tidak memiliki kewarganegaraan stateless persons. 53 Tanpa kewarganegaraan adalah situasi di mana tidak adanya status pengakuan berkenaan dengan hal yang membuat seorang individu memiliki landasan yang bermanfaat secara hukum untuk menyatakan kewarganegaraannya, atau di mana ia memiliki klaim yang bermanfaat secara legal namun dihalangi untuk menuntutnya karena pertimbangan- pertimbangan praktis seperti biaya, adanya gangguan sipil, atau ketakutan akan penganiayaan. Badan PBB untuk pengungsi UNHCR memperkirakan bahwa ada kurang lebih tiga juta orang tanpa kewarganegaraan di seluruh 53 Ibid. dunia. Kondisi tanpa kewarganegaraan seringkali menjadi penyebab pengungsian yang terpaksa ketika orang-orang berpindah ke wilayah- wilayah dunia di mana mereka dapat memperoleh hak-hak dasar dan menghindari pelanggaran hak asasi manusia. 54 Untuk menghindari seseorangkehilangan kewarganegaraan dalam peristiwa suksesi negara, Resulosi Majelis Umum Nomor 55153 mengenai “Nationally of natural persons in relation to the succession of states” dalam Pasal 1 yaitu : “Every individual who, on the date of the succession of states, had the nationality of the predecessor State, irrespective of the mode of acquisition of that nationality, has the right to the nationality at least one of the state concered…..” 55 Beberapa upaya telah banyak ditempuh PBB dalam memberikan perlindungan terhadap berbagai kelompok pengungsi itu supaya bisa menjadi kompetensi UNHCR hingga akhirnya pada tahun 1972 ECOSOC 56 dengan Resolusi 1655 LII memberikan referensi tentang displaced persons ketika dia meningkatkan pemulangan sukarela voluntary repatriation terhadap pengungsi 54 “Pengungsi”, dalam http:jrs.or.idrefugee, diakses pada 10 Juni 2014. 55 “Thesis Master Degree, Refugee Law”, dalam http:kadarudin.blogspot.com2012_05_ 01_archive.html, diakses pada 20 Juni 2014. 56 ECOSOC Economic And Social Council adalah Dewan Ekonomi dan Sosial ini terdiri atas 18 anggota dengan hak yang sama selama 3 tahun. Tugas Dewan Ekonomi dan Sosial :  Mengadakan penyelidikan dan menyusun laporan tentang soal-soal ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan di seluruh dunia.  Membuat rencana perjanjian tentang soal tersebut dengan negara-negara anggota untuk diajukan kepada Majelis Umum.  Mengadakan pertemuan – pertemuan internasional tentang hal - hal yang termasuk tugas dan wewenangnya. Sudan termasuk upaya reh abilitasi terhadap “persons displaced within the country ”. Pengertian displaced persons sendiri sebetulnya bukan terminologi baru, sebelumnya secara eksplisit sudah dinyatakan dalam Konstitusi IRO yaitu; “The term displaced persons applies to a person who, as a result of the action of the authorities if the regimes mentioned in Part I, section A, paragraph l a of this Annex, has been deported from, or has been obliged to leave his country of nationality or of former habitual residence, such as persons who were compelled to undertake force labour or who were deported for racial, religious or political reasons ”. Namun dari pengertian tersebut masih disebutkan bahwa orang tersebut tidak berada dalam wilayah negaranya, tapi berada di negara lain, dan pasal juga membatasi dirinya terhadap displaced persons yang menjadi korban kekejaman Nazi dan korban Perang Dunia Ke-II , sehingga pasal ini tidak cukup untuk mewadahi kompetensi UNHCR untuk melindungi displaced persons yang terlantar dalam negaranya sendiri. Dalam kaitan itulah resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB ataupun ECOSOC menjadi penting dalam memberikan perlindungan terhadap displaced persons tersebut. Dari kedua istilah tersebut UNHCR tidak memberikan pembatasan yang tegas, tapi yang pasti adalah bahwa karakteristik yang jelas terletak kepada apakah dia membatasi wilayah negaranya atau tetap berada dalam wilayah negaranya. Begitu juga ketika UNHCR Executive Committeedalam Conclusion- nya No. 75 XLV 1994 Tentang Internally Displaced Persons, tidak ada pembatasan yang eksplisit. Pembatasan yang jelas tentang itu dapat ditemukan dalam UN Doc, ECN.41998Add.2, yang menyatakan bahwa : “Internally displaced persons are persons or group of persons who have been forced or obliged to flee or to leave their homes or places or habitual residence, in particular as a result of or in order to avoid the effects of armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights or natural or human made disasters, and who have not crossed an internationally recognized State border” Pembatasan ini mempertegas karakter keberadaan seorang pengungsi dengan displaced persons dilihat dari sebab dan keberadaan mereka. Dengan demikian dalam pelaksaan tugasnya UNHCR tidak lagi terbatas pada pengungsi seperti yang diamanatkan oleh Konvensi 1951. 57 57 “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam http:hukum.unisba.ac.idsyiarhukumindex.phpjurnalitem98-perlindungan-internasional- terhadap-pengungsi-dalam-konflik-bersenjata, diakses pada 15 Juni 2014.

BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KASUS PENGUSIRAN PENCARI

SUAKA DI AUSTRALIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Aspek Yuridis Tindakan Pemerintah Australia Terhadap Pengusiran

Pencari Suaka di Wilayah Lautnya Kedaulatan merupakan syarat penting karena kedaulatan menunjukkan kekuatan suatu negara untuk mengatur sendiri tanpa ada campur tangan negara lain. Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai Hak – Hak dan Kewajiban Negara, menyebutkan bahwa unsur konstitutif ke – 4 bagi pembentukan negara adalah “Capacity to enter into relations with other states”. Unsur ini menjelaskan bahwa negara harus memiliki kekuatan untuk mengatur negaranya secara eksternal. Bentuk-bentuk kedaulatan eksternal yang dimaksud ini dapat berupa kerjasama antar negara. Bentuk yang digunakan oleh negara- negara dalam melaksanakan kerjasama ini dapat berupa traktat. Kekuatan mengikat traktat sendiri didasari oleh kebiasaan internasional yang mengakui Asas Pacta Sunt Servanda bahwa para pihak sepakat untuk melaksanakan kewajiban – kewajiban yang ditetapkan dalam traktat dengan itikad baik. 58 58 “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengusiran Pencari Suaka Di Aust”, dalam https:prezi. comlmc63ckc2msmtinjauan-yuridis-terhadap-pengusiran-pencari-suaka-oleh-aust, diakses pada 2 Februari 2015. 36 Ciri utama negara yang berdaulat adalah, bahwa negara itu berhak selaku pemerintah melakukan sendiri pengawasan terhadap wilayahnya dan orang-orang yang berada di wilayah itu, kecuali bila hal itu bertentangan dengan aturan –aturan hukum internasional dan pencipta hukum di dalam sistem tersebut, mempunyai tugas primer, yaitu berperan serta dalam perumusan ketentuan – ketentuan yang membatasi tingkah lakunya. 59 Dengan kasus pengusiran imigran gelap Australia ke Indonesia merupakan masalah yang kaitannya dengan HAM yang sangat penting untuk dibahas dalam pemajuan kepentingan HAM secara internasional dengan “pipe concept”, yakni konsep yang melihat imigrasi ilegal sebagai rangkaian yang melibatkan setidaknya tiga aspek: Negara Asal origin country, Negara Transit transit country dan Negara Tujuan potensial destination country. 60 Permasalahan mengenai pengungsi merupakan salah satu permasalahan yang dituangkan ke dalam konvensi. Konvensi Status Pengungsi 1951 The 1951 Convention Relating to The Status of Refugees menjadi dasar dalam pengaturan pengungsi oleh dunia internasional. Istilah pengungsi sangat berkaitan erat dengan pencari suaka. Terdapat perbedaan antara pengungsi dan pencari suaka. Draft UNHCR mendefinisikan pencari suaka sebagai pengakuan secara resmi oleh negara bahwa seseorang adalah pengungsi dan memiliki hak dan kewajiban tertentu. Sehingga, pencari suaka merupakan tahapan sebelum menjadi pengungsi. Dalam Konvensi Status Pengungsi Tahun 1951 ada satu prinsip umum yang 59 Scott Davidson, Op. Cit., Hal. 67. 60 “Respon Indonesia Dalam Pemajuan Kepentingan HAM Bagi Para Imigran Gelap Yang Diusir Australia Dan Bentuk Kerjasama Indonesia – Australia Dalam Penyelasian Imigran Gelap”, dalam http:rpbkthought.blogspot.com201409respon-Indonesia-dalam-pemajuan.html, diakses pada 2 Februari 2015.

Dokumen yang terkait

PENERAPAN KEBIJAKAN SOLUSI PASIFIK OLEH PEMERINTAH AUSTRALIA DALAM MENGENDALIKAN LAJU KEDATANGAN PENGUNGSI DAN PENCARI SUAKA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL.

0 4 26

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

0 0 16

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

0 0 1

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

0 0 23

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

1 1 31

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

0 1 8

Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia Dan Thailand Menurut Hukum Internasional

1 1 8

BAB II ATURAN - ATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI SUAKA A. Pengertian dan Istilah Pencari Suaka - Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional

0 0 22

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional

0 0 13

Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional

0 0 9