DASAR HUKUM PERNIKAHAN PERNIKAHAN MENURUT FIQIH

20 20 Sedangkan menurut Undang Ungang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bab I pasal I disebutkan bahwa: “pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang sakral.

B. DASAR HUKUM PERNIKAHAN

Hukum nikah perkawinan, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut. Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam didunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan, karena menurut para sarjana ilmu alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan. 8 Apa yang telah dinyatakan oleh para sarjana ilmu alam tersebut adalah sesuai dengan pernyataan Allah dalam Al- Qur‟an. Firman Allah SWT:        ا لا ير ا ∕ : 8 H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, terjemah Agus Salim Jakarta: Pustaka Amani, 2002, cet, 2 h. 11 21 21 Artinya: “ Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. QS Al-Dzariyat: 49 Dasar hukum diajurkan pernikahan dalam agama Islam terdapat dalam firmanAllah SWT dan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, Firman SWT dalam surat An-Nur ayat 32 yaitu:                    ّلا ر ∕ : Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Syariat pernikahan berupa anjuaran dan beberapa keutamaannya merupakan realita yang tidak ada perdebatan di dalamnya. Pernikahan pada satu sisi adalah sunah yang dilakukan para Nabi dan Rosul dalam upaya penyebaran dan penyampaian Risalah Illahiyah. Pernikahan pada sisi lain, berfungsi sebagai penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang. Terlepas dari pendapat imam-imam mazhab, berdasarkan nash-nash, baik Al- Qur‟an maupun As-Sunnah, islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampuh melangsungkan pernikahan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan 22 22 pernikahan itu dapat dikenakan hukuman wajib, sunnah, haram, makruh, ataupun mubah.

1. Wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak nikah maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum pernikahan itupun wajib. 9 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-nur ayat 33.                                                      ّلا ر ∕ : Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian diri nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak- 9 H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta; Prenada Media 2003, cet. 1, h. 18. 23 23 budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

2. Sunnah

Bagi seseorang yang memiliki potensi biologis melakukan hubungan suami istri, akan tetapi ia tidak takut atau tidak khawatir terjebak ke dalam perbuatan terlarang zina. Menurut penilaian Jumhur fuqaha, kondisi seseorang yang berada pada tingkatan seperti ini lebih utama baginya melakukan pernikahan dari pada menunda demi ibadah yang bersifat sunnah. 10

3. Haram

Melakukan suatu pernikahan akan menjadi haram hukumnya, jika dengan perbuatan itu seseorang mempunyai itikad yang tidak terpuji, seperti untuk menyakiti atau menganiaya istrinya. Begitu pula seseorang yang berniat sekedar untuk mempermainkan pasangannya, haram baginya melakukan pernikahan. Orang seperti itu bahkan wajib meninggalkan pernikahan. Haram pula melakukan pernikahan bagi seorang laki-laki yang nyata-nyata tidak mampuh memberikan nafkah lahir maupun batin terhadap istrinya, jika keadaan seperti itu justru akan mengakibatkan seseoarang istri hidup dalam penderitaan. 10 Ibid., h. 32. 24 24 Haram pula hukumnya melakukan suatu pernikahan, jika seorang laki-laki membohongi calon istrinyadengan menyebutkan keturunan, harta kekayaan, dan kerjaan secara palsu. Begitu pula haram bagi permpuan yang menyadari dirinya tidak mampuh memenuhi hak-hak suaminya, tetapi ia tidak mau menjelaskan hal itu kepada calon suaminya sebelum pernikahan dilakukan. 11

4. Makruh

Bagi orang yang tidak berhajat untuk menikah sama ada disebabkan keadaan aslinya yaitu bahkan kebutuhan nafsu atau karena penyakit seperti impotensi dan tidak mampuh pula menyediakan biaya. Dengan menikah berarti dia dibebankan hab dengan tanggung jawab yang tidak dapat disempurnakan olehnya. 12

5. Mubah

Mubah hukumnya menikah apabila seseorang berkeyakinan tidak akan jatuh kedalam perzinahan kalau ia tidak nikah dan seandainya dia nikah tidak akan mengabaikan kewajibannya sebagai suami istri. 13 11 H A. chaeruddin, Ensiklopedi tematis dunia Islam, Jakarta. PT Ichtiar Baru h. 69. 12 Abdullah Saddiq, Perkawinan Dalam Islam, Kuala Lumpur: Pustaka Syuhada 2003, cet. 1, h. 12 13 Peunoh Daliy, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: bulan Bintang 1989, cet 1, h. 109 25 25 Dari uraian tersebut diatas menggambarkan bahwa dasar perkawinan, menurut hukum Islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunah, dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.

C. RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN