Bentuk- Bentuk Perjanjian Kredit

Jenis kredit ini merupakan kredit yang diberikan kepada debitur dengan jumlah besar dan diperuntukkan kepada debitur besar korporasi. Pada umumnya, bank lebih mudah melakukan analisis terhadap debitur korporasi karena data keuangan lebih lengkap, administrasi baik, dan struktur pemodalan yang kuat.

3. Bentuk- Bentuk Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, asalkan pada pokok yang telah memenuhi syarat-syarat dalam membuat perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Praktik yang lazim pada masyarakat sekarang dalam membuat perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Akan berbeda apabila perjanjian dibuat secara tertulis yang mana lebih memudahkan para pihak dalam mengingat isi perjanjian termasuk mengenai hak dan kewajiban para pihak. Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara lisan tetap diakui sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dibuktikan dengan baik oleh para pihak. Sutarno berpendapat bahwa dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis mengacu pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis umun dalam organisasi bisnis modern dan manapun untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan Universitas Sumatera Utara bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit dalam bentuk tertulis adalah Instruksi Presidium Kabinet No. 15EKIN101996 tanggal 10 Oktober 1996, yang didalamnya menegaskan : “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur atau antara Bank Sentral dengan Bank- Bank lainnya”. Juga dalam surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.031093UPKKPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang pada intinya berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat suatu perjanjian kredit. 29 Dalam perjanjian Pasal 8 ayat 2 huruf a Undang-Undang Perbankan, ditentukan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam Pasal 1 Rancangan Undang- Undang Perkreditan Perbankan telah ditentukan bentuk perjanjian kredit, yaitu secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dan sesuai dengan kelaziman di dunia perbankan. Setiap perjanjian kredit yang dibuat wajib memuat sekurang-kurangnya 30 : 1. Identitas kreditur dan debitur secara benar, lengkap, dan jelas; 2. Tujuan penggunaan kredit; 3. Jumlah uang dan jenis mata uang tertentu; 4. Jangka waktu perjanjian; 5. Besar dan tata cara perhitungan bunga; 6. Jaminan kredit; 7. Hak dan kewajiban kreditur dan debitur; 29 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank Bandung: Alfabeta, 2003, hal. 99. Universitas Sumatera Utara 8. Syarat-syarat penarikan kredit; 9. Hal-hal yang menimbulkan kewajiban materiil bagi debitur; dan 10. Pernyataan debitur bahwa debitur telah mengerti dan menyetujui isi perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenisbentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti. Dalam praktik bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk perjanjian kredit yang tertulis, yaitu : 1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dinamakan akta dibawah tangan. Akta di bawah tangan ini sesuai Passal 1874 KUHPerdata adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang pejabat umum untuk dijadikan alat bukti. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat di antara para pihak sendiri dikategorikan sebagai akta di bawah tangan. Jadi akta di bawah tangan dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya dimana saja diperbolehkan. Dengan akta di bawah tangan, sesuai dengan asa kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Terpenting bagi akta di bawah tangan itu terletak pada tanda tangan para pihak, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan akta di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri Universitas Sumatera Utara tandatangannya. Kalo tanda tangan sudah diakui, maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta otentik bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya, jika tanda-tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda-tangan maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda- tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri. Selama tanda-tangan terhadap akta di bawah tangan masih dipersengketakan kebenarannya, maka tidak mempunyai banyak manfaat yang diperoleh bagi pihak yang mengajukan akta dibawah tangan. 2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris, yang dinamakan akta otentik atau akta materill. Menurut pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa pegawai umum untuk itu, tempat dimana akta dibuat tersebut. Perjanjian kredit saat ini lazim sudah menggunakan akta notaril. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktik semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh para pihak dan kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam bentuk akta otentik. Pemberian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta otentik dilakukan untuk pemberian kredit dalam jumlah yang benar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja termasuk di dalam kredit yang diberikan kepada kontraktor, dan kredit sindikasi. Melihat kedua macam akta tersebut, pada praktik hampir semua perjanjian kredit antara bank dengan debitur dibuat dalam akta otentik. Alasan utama tentu Universitas Sumatera Utara demi menjamin legalitas dari perjanjian itu, sebab kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna. Selain dari bentuk-bentuk diatas, sebagai suatu bentuk perkembangan dari perjanjian tertulis, maka dalam perjanjian kredit bank dikenal pula istilah kontrak baku standard form atau standaart contract . Perjanjian dalam bentuk kontrak baku yaitu suatu bentuk perjanjian yang dibuat dan disiapkan oleh salah satu pihak dalam hal ini dilakukan oleh pihak bank dalam bentuk ketentuan- ketentuan tertentu yang kemudian diberikan kepada pihak lain untuk ditanda- tangani. Pihak yang disodori perjanjian hanya mempunyai dua pilihan, menerima dalam bentuk membubuhkan tanda-tangan atau menolak perjanjian, yang saat ini lazim disebut sebagai semboyan “take it or not”. Poin-poin perjanjian dibuat oleh pihak bank untuk kemudian diberikan kepada nasabah debitur untuk diterima sebagai perjanjian yang mengikat satu sama lain. Praktik ini sudah diberlakukan hampir pada semua perjanjian, tidak hanya kredit, meski keabsahan sampai saat ini masih dipertentangkan. Undang –Undang Perbankan yang diubah tidak menentukan bentuk perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam praktik perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku standards contract. Perjanjian kredit bank bisa dibuat dibawah tangan dan bisa secara notarial. Praktik perbankan yang demikian ini didasarkan pada ketentuan sebagai berikut: 1. Instruksi Presidium Nomor 15IN1066 Tentang Pedoman Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 junto Surat Edaran Bank Universitas Sumatera Utara Indonesia Unit I Nomor 2539UPKPemb. Tanggal 8 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2649UPKPemb. Tanggal 20 Oktober 1996 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10EK21967 Tanggal 6 Pebruari 1967, menyatakan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa ada perjanjian yang jelas antara bank dengan nasabah atau Bank Sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad kredit; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27162KEPDIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 277uppb masing-masing tanggal 31 Maret 1995 Tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum,yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit akad kredit secara tertulis. Dengan demikian pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notarial. Perjanjian kredit disini berfungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dana kepada bank terjamin dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, sebelum pemberian kredit dilakukan, bank harus sudah memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank. Universitas Sumatera Utara

B. Tinjauan Umum Tentang Kredit Macet 1. Pengertian Kredit Macet

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Restrukturisasi Kredit Macet Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Dan Hambatannya Pada PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Binjai

12 171 144

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI UPAYA HUKUM DALAM MENYELESAIKAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI BANK RAKYAT INDONESIA CABANG KLATEN.

0 3 15

PENDAHULUAN UPAYA HUKUM DALAM MENYELESAIKAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI BANK RAKYAT INDONESIA CABANG KLATEN.

0 4 16

PENUTUP UPAYA HUKUM DALAM MENYELESAIKAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI BANK RAKYAT INDONESIA CABANG KLATEN.

0 2 4

TANP Tanggung Jawab Hukum Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Boyolali.

0 3 13

PENDAHULUAN Tanggung Jawab Hukum Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Boyolali.

0 3 14

TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) CABANG Tanggung Jawab Hukum Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Boyolali.

0 3 19

UPAYA HUKUM OLEH BANK DALAM MENYELESAIKAN KREDIT MACET (Studi Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Imam Bonjol).

0 0 6

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DAN KREDIT MACET A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Hukum Bank Dalam Menyelesaikan Kredit Macet (Studi pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Kaba

0 1 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tanggung Jawab Hukum Bank Dalam Menyelesaikan Kredit Macet (Studi pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Kabanjahe)

0 1 17