43
BAB III PERJANJIAN SEWA MENYEWA KAPAL TONGKANG
DALAM PRAKTEK
A.  Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa Kapal Tongkang
Dalam perjanjian sewa-menyewa tentu ada hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan  baik  oleh  pihak  penyewa  maupun  pihak  yang  menyewakan.
Kewajiban-kewajiban  pihak  penyewa  maupun  yang  menyewakan  telah  diatur  di dalam  KUHPerdata  Buku  ke  III  Bab  IV  bagian  kedua  dan  ketiga.  Dalam  Pasal
1550  BW  menentukan  ada  tiga  macam  kewajiban  pihak  yang  menyewakan. Ketiga  macam  kewajiban  tersebut  merupakan  kewajiban  yang  harus  dibebankan
kepada  pihak  yang  menyewakan,  sekalipun  hal  tersebut  tidak  ditentukan  dalam perjanjian. Ketiga macam kewajiban tersebut adalah :
a. Kewajiban  untuk  menyerahkan  barang  yang  disewa  kepada  pihak
penyewa. b.
Kewajiban  pihak  yang  menyewa  untuk  memelihara  barang  yang  disewa selama  waktu  yang  diperjanjikan  sehingga  barang  yang  disewa  tersebut
tetap dapat dipergunakan dan dapat dinikmati sesuai dengan maksud yang dimaksud pihak penyewa.
c. Pihak  yang  menyewakan  wajib  memberikan  ketentraman  kepada  si
penyewa selama menikmati barang yang disewa tersebut selama perjanjian berlangsung.  Sementara  yang  merupakan  hak  bagi  pihak  yang
Universitas Sumatera Utara
menyewakan adalah bahwa ia berhak atas harga yang telah disepakati dan menerima hasil pembayaran atas sewa tersebut.
Kewajiban pihak penyewa diatur dalam Pasal 1560, 1561, 1564, dan 1566 KUHPerdata. Secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Penyewa  wajib  melunasi  uang  sewa  sesuai  dengan  jumlah  dan  waktu  yang
ditetapkan sesuai dengan perjanjian sewa-menyewa tersebut. b.
Memelihara  benda  yang  disewakan  itu  sebaik-baiknya  dan  mempergunakan benda tersebut menurut kegunaannya tanpa menyalahi aturan perjanjian sewa-
menyewa yang telah disepakati. c.
Menanggung  segala  kerusakan  benda  atau  barang  yang  terjadi  selama  masa perjanjian sewa-menyewa, kecuali ia dapat membuktikan bahwa kerusakan itu
bukan karena kesalahannya tetapi terjadi diluar kekuasaannya. d.
Harus  mengembalikan  barang  yang  disewa  dalam keadaan  seperti  menerima barang tersebut.
Subjek  hukum adalah  pendukung hak  dan kewajiban.  Menurut R. Suroso subjek  hukum  adalah  :  “sesuatu  yang  menurut  hukum  berhak  atau  berwenang
untuk  melakukan  perbuatan  hukum  atau  siapa  yang  mempunyai  hak  dan  cakap bertindak  dalam  hukum,  sesuatu  pendukung  hak  rechtsbevoedgheid  dan
merupakan  sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban”.
23
Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para  pihak  ataupun  yang  telah  ditentukan  oleh  undang-undang.  Suatu  perjanjian
yang  dibuat  oleh  para  pihak  akan  menimbulkan  suatu  perikatan  yang  mana
23
R. Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
perikatan  merupakan  isi  dari  suatu  perjanjian.  Jadi  perikatan  yang  telah dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan
hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian, khususnya perjanjian sewa-menyewa ini.
Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para  pihak  ataupun  yang  telah  ditentukan  oleh  undang-undang.  Suatu  perjanjian
yang  dibuat  oleh  para  pihak  akan  menimbulkan  suatu  perikatan  yang  mana perikatan  merupakan  isi  dari  suatu  perjanjian.  Jadi  perikatan  yang  telah
dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian khususnya  perjanjian
sewa-menyewa ini. Perjanjian  sewa-menyewa  adalah  sebagai  salah  satu  bentuk  perjanjian
yang  diatur  di  dalam  KUHPerdata  dan  merupakan  perjanjian  timbal  balik  yang selalu  mengacu  kepada  asas  konsensualitas  atau  berdasarkan  kesepakatan  para
pihak  dan  merupakan  salah  satu  jenis  perjanjian  yang  sering  terjadi  dalam kehidupan di masyarakat.
Hak  bagi  yang  menyewa  kapal  adalah  memanfaatkan  penggunaan  kapal tersebut tanpa ada gangguan dari pihak manapun juga dan mempunyai kewajiban
mengembalikan  kapal  sesuai  dengan  jadwal  waktu  yang  sudah  ditentukan. Sedangkan  kewajiban  PT.  Armada  Intan  Sari  adalah  menyerahkan  kapal  dalam
keadaan  baik  dan  memiliki  hak  untuk  menerima  sejumlah  uang  sewa  tertentu tepat waktu sesuai dengan perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
B.  Pelaksanaan  Perjanjian  Sewa  Menyewa  Kapal  Tongkang  Antara  PT. Armada Intan Raya dengan  PT. Alek Buana Piling
Penyediaan  kapal  tongkang  beserta  alat  perlengkapannya  telah memberikan  kontribusi  yang  cukup  signifikan  bagi  yang  membutuhkannya.
Begitu pula penyediaan armada angkutan yang telah disediakan oleh PT. Armada Intan  Sari  yang  dapat  dilakukan  penyewaannya.  Tentunya  dalam  proses
penyewaan  tersebut  tidak  bisa  dilakukan  dengan  cara  mudah,  tetapi  harus menempuh  beberapa  proses  yang  harus  dilalui  sebelum  menggunakan  armada
pengangkutan yang telah disediakan oleh PT. Armada Intan Sari tersebut. Adapun proses  yang  dapat  ditempuh  untuk  melakukan  penyewaan  armada  pengangkutan
tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Tahap persetujuan Tahap ini adalah suatu tahap awal yang harus ditempuh terlebih dahulu. Di
dalam  tahap  awal  ini  terjadi  perjanjian  penyewaan  kapal  beserta  alat perlengkapannya  antara  PT.  Armada  Intan  Sari  dengan  penyewa.  Kesemuanya
tersebut  haruslah  terlebih  dahulu  memenuhi  persyaratan  yang  sudah  ditetapkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan di antara para
pihak,  kecakapan  untuk  membuat  perjanjian,  suatu  hal  tertentu  dan  suatu  sebab causa  yang  halal.  Setelah  dipenuhi  keempat  persyaratan  di  atas  untuk  dapat
dikatakan  sahnya  suatu  perjanjian  penyewaan  kapal,  maka  harus  pula  diikuti dengan memenuhi persyaratan teknis dan administrasi yang sudah ditetapkan.
Setelah  terpenuhi  kata  sepakat  dan  persyaratan  teknis  serta  administrasi lainnya  seperti  yang  sudah  tertera  dan  seperti  telah  menyerahkan  identitas  diri
Universitas Sumatera Utara
berupa  KTP  atau  SIM,  memiliki  alamat  yang  jelas,  bersedia  dan  sanggup mematuhi  peraturan  yang  berlaku  dan  telah  mengisi  formulir  yang  sudah
disediakan.  Setelah  semua  syarat  dan  proses  tahap  pertama  sudah  dilaksanakan dan  sudah  terpenuhi,  barulah  semua  berkas  tersebut  dikuatkan  dengan
mengikatnya dengan surat kontrak perjanjian sewa. 2.
Tahap pembuatan kontrak persetujuan Di dalam tahap ini, jika telah tercapai kata sepakat  di antara kedua  belah
pihak dalam hal sewa menyewa kapal beserta alat perlengkapannya dan terpenuhi semua  persyaratan  teknis  serta  administrasi  yang  sudah  ditentukan  dan  tahap
berikutnya juga telah  dikuatkan  dalam kontrak  persetujuan  sewa-menyewa kapal dimaksud  dalam  bentuk  tertentu  yang  tertuang  dalam  suatu  surat  kontrak
perjanjian. Surat  kontrak  penyewaan  kapal  antara  PT.  Armada  Intan  Sari  dengan
penyewa  di  Pelabuhan  Belawan  Medan,  pada  dasarnya  memuat  materi  sebagai berikut :
a. Nama dan alamat pemilik kapal sebagai pihak pertama dan nama serta alamat
penyewa kapal sebagai pihak kedua. b.
Nama  kapal  beserta  spesifikasinya,  kecepatan,  beban  yang  dapat  diangkut, bahan bakar dan lainnya.
c. Tempat  dan  waktu  penyerahan  kapal  serta  penyerahan  kapal  kembali  dan
tempat atau waktu pemuatan serta pembongkaran. d.
Jenis barang yang boleh diangkut, dimana harus sah dan sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa menyalahi aturan.
Universitas Sumatera Utara
e. Pemakaian  kapal  oleh  penyewa  untuk  tujuan  yang  menurut  hukum  yang
berlaku. f.
Syarat-syarat  pengangkutan  dan  tanggung  jawab  masing-masing  pihak  yang menyewa dan penyewa.
g. Pembatasan  lalu  lintas  dan  pelabuhan-pelabuhan  yang  akan  dimasuki  dan
dilalui. h.
Besarnya harga sewa kapal dan syarat-syarat pembayaran. Setelah  surat kontrak sewa kapal  selesai  dibuat dan  sudah  disepakati juga
ditandatangani, barulah apa yang  menjadi barang  dari kapal tersebut  sudah dapat dimasukkan  kedalam  kapal  dan  siap  untuk  digunakan  oleh  pihak  penyewa.
Selanjutnya barulah dapat dilakukan tahap penataan administrasi dari persetujuan sewa yang sudah disepakati bersama.
3. Tahap penataan administrasi persetujuan
Dalam tahap ini diatur mengenai pelaksanaan administrasi dari persetujuan sewa  kapal  antara  PT.  Armada  Intan  Sari  dengan  PT.Alek  Buana  Piling.  Pada
pengaturan  administrasinya  masing-masing  pihak  diminta  untuk  menandatangani surat  kontraksewa  kapal  yang  sudah  dibuat  dan  disiapkan.  Besarnya  uang  sewa
kapal  sangat  tergantung  dari  jenis  kapal  yang  diinginkan  dan  daya  tampung  dari kapal tersebut.
Setelah  dilakukan  penandatanganan  surat  kontrak  penyewaan  kapal  dan telah  dilakukan  pembayaran  uang  sewa  yang  sudah  disepakati  bersama,  dan
barulah  kemudian  yang  menyewa  kapal  dapat  memanfaatkan  penggunaan  kapal
Universitas Sumatera Utara
untuk  kepentingannya  dalam  mengangkut  barang  dari  suatu  tempat  ke  tempat yang ingin dituju ataupun dikehendaki.
Pihak  yang  menyewa  kapal  tersebut  mempunyai  hak  mutlak  untuk  dapat memanfaatkan  penggunaan  kapal  tersebut  tanpa  adanya  gangguan  dari  pihak
laindan  tentunya  juga  punya  kewajiban  mengembalikan  kapal  sesuai  dengan jadwal  waktu yang  sudah kedua belah pihak tentukan. Sedangkan kewajiban PT.
Armada  Intan  Sari  adalah  menyerahkan  kapal  dalam  keadaan  baik  dengan  hak untuk  menerima  sejumlah  uang  sewa  tertentu  dari  yang  menyewa  kapal  tersebut
dan  menerima kapal tersebut kembali tepat  pada  waktu yang  sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Surat  perjanjian  sewa-menyewa  ini  dibuat  pada  hari  Selasa,  tanggal  12 bulan Januari dua ribu enam 12-01-2006 oleh dan antara:
I. Nama
: Nura Sadikun Jabatan
: Manager Operasional PT. Armada Intan Raya Alamat
: Jl. Veteran No. 214 Belawan Selanjutnya dalam perjanjian ini disebut sebagai Pihak Pertama
II. Nama
: Rudy Darlek Jabatan
: Direktur PT. Alek Buana Piling Alamat
: Jl. Wahidin No. 362 Medan Selanjutnya dalam perjanjian ini disebut sebagai Pihak Kedua.
Selanjutnya,  kedua  belah  pihak  telah  sepakat  untuk  mengikatkan  diri  dalam perjanjian sewa menyewa ini dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal I maksud dan tujuan 1.
Pihak  Pertama  setuju  untuk  menyewakan  kapal  tongkang  terhadap  pihak kedua  dan  pihak  kedua  setuju  untuk  menyewakan  kapal  tongkang  milik
pihak pertama seperti tersebut dalam Pasal II perjanjian ini. 2.
Pihak  kedua  menyewa  kapal  tongkang  tersebut  untuk  keperluan pelaksanaan  proyek  di  Sinabang  Aceh  Barat  untuk  memuat  tiang
pancang proyek. 3.
Pihak  kedua  tidak  diizinkan  membawa  barang-barang  diluar  proyek Sinabang kecuali ada kesepakatan dengan pihak pertama.
4. Serah terima tongkang dilaksanakan di Pelabuhan Belawan.
Pasal II Tongkang Tongkang yang disewakan pihak pertama kepada pihak kedua adalah berupa :
- 1 satu unit PATON ARON I GRT 378 ukuran 42 x 12 x 3.0 M
Pasal III Biaya Sewa 1.
Biaya sewa tongkang per bulan Rp.
85.000.000,- Biaya mobilisasi dan demobilisasi ditanggung oleh pihak kedua
Disetujui  menjadi  Rp.  82.500.000,-  delapan    puluh  dua  juta  lima  ratus ribu rupiah.
Kelebihan waktu dihitung Rp. 2.750.000,- dua juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah per hari.
2. Biaya sewa tidak termasuk pajak PPN  PPH
Universitas Sumatera Utara
Pasal IV Cara Pembayaran Sistem  pembayaran  untuk  sewa  tongkang  adalah  dibayar  dimuka  sebesar
RP.  85.000.000,-  delapan  puluh  lima  juta  rupiah  sebelum  kapal  berangkat  dan dengan  masa  sewa  paling  lama  30  tiga  puluh  hari  dan  apabila  pihak  kedua
berkeinginan  untuk  memperpanjang  masa  pemakaian  kapal  tongkang,  maka sebelum 1 minggu habis masa jangka waktu sewa harus memberitahukan  kepada
pihak  pertama  secara  lisan  yang  kemudian  akan  dilanjutkan  dengan pemberitahuan tertulis.
Pasal V Jangka Waktu 1.
Surat  perjanjian  sewa-menyewa  kapal  tongkang  ini  dihitung  mulai  dari tanggal  12  Januari    2006,  yang  diberangkatkan  dari  Belawan  dan  sampai
kembali di Belawan. 2.
Apabila  pihak  kedua  memakai  kapal  tongkang  lewat  dari  7  tujuh  hari tanpa  pemberitahuan  kepada  pihak  pertama  maka  otomatis  dihitung    1½
bulan dan tiap ½ bulan sewa dihitung Rp. 45.000.000,- empat puluh lima juta  rupiah  dan  pemakaian  lebih  dari  ½  bulan  maka  dihitung  1  bulan
dengan sewa Rp. 85.000,000,- delapan puluh lima juta rupiah. 3.
Pihak kedua  menyediakan pengawalan  penuh  mulai berangkat kapal  dari Belawan sampai kembali ke Belawan.
4. Apabila  terjadi  suatu  perampokan  atau  penyanderaan  atau  kandas  dibatu
karang  dan  lain-lain  maka  hal  tersebut  adalah  menjadi  tanggung  jawab pihak kedua.
Universitas Sumatera Utara
Pasal VI Tanggung Jawab Pihak Pertama 1.
Pihak  pertama  wajib  dan  bertanggung  jawab  sepenuhnya  untuk melengkapi  surat-surat  kapal  tongkang  sebagaimana  mestinya  dan
tongkang tidak mempunyai anak buah kapal. 2.
Pihak  pertama  hanya  menerima  barang  dari  pihak  kedua  diatas  kapal tongkang  dan  kapal  tongkang  tersebut  ditarik  dengan  tug  boat  pihak
kedua. Pasal VII Tanggung Jawab Pihak Kedua
1. Izin pekerjaan dilokasi proyek.
2. Kerusakan  terhadap  kapal  tongkang  selama  pelaksanaan  pekerjaan  yang
disebabkan oleh equipment pihak kedua. 3.
Biaya bongkar muat pihak kedua. 4.
Biaya jasa pelabuhan selama di proyek atau lokasi dan keamanan. 5.
Seluruh pengurusan atau in-out Clearance adalah tanggung jawab pihak kedua.
6. Pihak  kedua  tidak  diizinkan  untuk  mengisi  air  laut  kedalam  kapal
tongkang dengan alasan apapun. Pasal VIII Force Majeure
1. Force  majeure  dalam  perjanjian  ini  adalah  bencana  alam  seperti  banjir,
gempa  bumi  selama  operasi  maupun  dalam  perjalanan  yang mengakibatkan  kerusakan  kapal  tongkang  tersebut  maka  kerusakan
tersebut  akan diganti oleh asuransi.
Universitas Sumatera Utara
2. Bila terjadi force majeure seperti Pasal 1 diatas maka dalam tempo 2 x 24
jam  pihak  kedua  wajib  memberikan  laporan  secara  tertulis  kepada  pihak pertama.
3. Apabila dalam  waktu 2 x 24 jam sejak timbulnya keadaan  force majeure
yang  dibuktikan  dengan  keterangan  pihak  berwajib  dan  ternyata  pihak kedua  tidak  melaporkan  kepada  pihak  pertama  secara  tertulis  maka  force
majeure tersebut dianggap tidak ada.
Pasal IX Penyelesaian  Perselisihan Surat  perjanjian  ini  dibuat  dengan  penuh  tanggung  jawab  dan  itikad  baik
dari  kedua  belah  pihak  yang  karena  itu  segala  perselisihan  yang  mungkin  akan timbul akan diselesaikan secara musyawarah dan apabila tidak dapat diselesaikan
secara  musyawarah  maka  kedua  belah  pihak  akan  menyelesaikan  melalui Pengadilan Negeri Medan.
Pasal X Penutup Surat perjanjian sewa menyewa ini dibuat dan ditandatangani di Medan dalam
rangkap  2  dua  diatas  materai  yang  cukup  dengan  ketentuan  hukum  yang  sama dan diperuntukkan bagi masing-masing pihak pertama dan pihak kedua.
C.  Wanprestasi  dan  Force  Majeure  serta  akibat  hukumnya  dalam Perjanjian Sewa-menyewa Kapal Tongkang
Debitur yang tidak dapat melaksanakan apa yang diperjanjikannya maka ia dapatlah  dikatakan  telah  melakukan  perbuatan  wanprestasi  atau  ingkar  janji.
Setelah adanya penagihan dari prestasi tersebut atau dengan lewatnya waktu yang telah  diperjanjikan  maka  perbuatan  wanprestasi  sebagai  bentuk  tidak
Universitas Sumatera Utara
terlaksananya perjanjian sebagaimana mestinya menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak dan terhadap hal itu pihak lainnya harus memberikan ganti rugi, bunga
dan  lain  sebagainya  sebagai  bentuk  pertanggungjawabannya  terhadap  kelalaian yang dilakukan dalam memenuhi prestasinya.
Kelalaian  atau  wanprestasi  pada  pihak  si  berhutang  ini  harus  dinyatakan dahulu  secara  resmi  yaitu  dengan  memperingatkan  si  berhutang  itu  bahwa  si
berpiutang  menghendaki  pembayaran  seketika  atau  dalam  jangka  waktu  yang pendek.  Hal  ini  diatur  pada  Pasal  1238  KUHPerdata  yang  menyatakan  sebagai
berikut : “Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan  sebuah  akta  sejenis  itu,  atau  ia  berada  dalam  keadaan  lalai  demi
perikatannya  sendiri,  jika  perikatan  itu  membawa  akibat,  bahwa  si  berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja”.
24
Kata  “perintah”  bevel  dalam  Pasal  1238  di  atas  mengandung  suatu peringatan  dan  karenanya
“bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena  di  sana  dikatakan  bahwa  perintah  atau  peringatan  itu  ditujukan  kepada
debitur  si  berhutang  dan  debitur  si  berhutang  adalah  pihak  yang  dalam perikatan  mempunyai  kewajiban  prestasi.  Tentunya  “perintahperingatan”  itu
datang  dari  krediturnya,  yaitu  pihak  yang  dalam  perikatan  mempunyai  hak tuntut  atas  prestasi.  Sekalipun  pasal  yang  bersangkutan  tidak  secara  tegas
mengatakan  apa  isi  perintah  kreditur,  namun  demikian  kedudukan  para  pihak dalam  perikatan  yang  bersangkutan  bisa  disimpulkan  bahwa  perintah  kreditur
adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam
24
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 2003, hal 147.
Universitas Sumatera Utara
keadaan  lalai  setelah  ada  perintah  atau  peringatan  agar  debitur  melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan surat teguran itu dalam doktrin
dan yurisprudensi disebut “somasi”.
25
Somasi  tidak perlu  diberitahukan  terlebih  dahulu kepada  pengadilan akan tetapi  dapat  dilakukan  dengan  melakukan  pengirim  somasi  dan  wajib  membuat
suatu berita acara penerimaan  somasi kepada pihak calon tergugat. Hal ini untuk membuktikan  bahwa  penggugat  telah  beritikad  baik  dalam  menyelesaikan
perkaranya  secara  damai  sebelum  akhirnya  berperkara  dipengadilan  hal  ini memberikan  penilaian  permulaan  kepada  hakim  bahwa  tergugat  beritikad
buruk.
26
Hal  tenggang  waktu  untuk  suatu  pelaksanaan  pemenuhan  prestasi  telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan. Bentuk  wanprestasiketiadalaksanaan  dapat  terwujud  dalam  beberapa
bentuk,yaitu: a.
Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; b.
Debitur  tidak  melaksanakan  kewajibannya  sebagaimana  mestinya melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya;
c. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya;
25
J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi Bagian I, diakses dari http:www.hukum online.com berita baca lt4cbfb836aa5d0beberapa-segi-hukum-tentang-
somasi-bagian-i-brioleh-jsatrio-,pada tanggal 11 Maret 2015
26
Somasi atau Teguran , diakses dari http:www.negarahukum.comhukumsomasi-
atauteguran. html, pada tanggal 11 Maret 2015
Universitas Sumatera Utara
d. Debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.
27
Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitur untuk tidak mau  melaksanakannya  maupun  karena  kelalaian  debitur  untuk  tidak
melaksanakannya.
28
Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu:
a. Menuntut pemenuhan perikatan;
b. Menuntut  pemutusan  perikatan  atau  apabila  perikatan  tersebut  bersifat
timbal balik, menuntut pembatalan perikatan; c.
Menuntut ganti rugi; d.
Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi; e.
Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
29
Perlunya  diketahui  apakah  penyebab  dari  terjadinya  wanprestasi mengingat  akibat  yang  terjadi  karena  tindakan  wanprestasi  itu  dilakukan,
semuanya  dibuktikan  dihadapan  hakim.  Seorang  debitur  yang  dituduh  lalai  dan dimintakan  supaya  kepadanya  diberikan  hukuman  atas  kelalaiannya,  ia  dapat
membela  diri  dengan  mengajukan  beberapa  macam  alasan  untuk  membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu.
Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu: a.
Mengajukan  tuntutan  adanya  keadaan  memaksa  overmacht  atau  force majeure
;
27
Kartini  Muljadi  dan  Gunawan  Widjaja,  Perikatan  Pada  Umumnya,  Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal.70.
28
Ibid .hal 71
29
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan , Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009, Hal 81-84
Universitas Sumatera Utara
b. Mengajukan  bahwa  si  berpiutang  kreditur  sendiri  juga  telah  lalai
exceptio non adimpleti contractus; c.
Mengajukan  bahwa  kreditur  telah  melepaskan  haknya  untuk  menuntut ganti rugi pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking.
30
Menurut Subekti, ada 4 akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu : a.
Membayar  kerugian  yang  diderita  oleh  kreditur  atau  dengan  singkat dinamakan ganti rugi;
b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c. Peralihan risiko;
d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
31
Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi  diatas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut :
1. Ganti rugi
Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan  oleh  salah  satu  pihak.  Misalnya  jika  seorang  sutradara mengadakan  perjanjian  dengan  seorang  pemain  sandiwara  untuk
mengadakan  suatu  pertunjukkan  dan  pemain  ini  kemudian  tidak  datang sehingga  pertunjukkan  terpaksa  dibatalkan,  maka  yang  termasuk  biaya
adalah  ongkos  cetak  iklan,  sewa  gedung,  sewa  kursi  dan  lain-lain.Yang dimaksudkan  dengan  istilah  rugi  adalah  kerugian  karena  kerusakan
barang-barang  kepunyaan  debitur  yang  diakibatkan  oleh  kelalaian  si debitur.  Misalnya  dalam  hal  jual  beli  sapi.  Kalau  sapi  yang  dibelinya  itu
mengandung  suatu  penyakit  yang  kemudian  dapat  menularkan penyakitnya kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli hingga sapi-sapi ini
mati karena penyakit tersebut.
32
Bunga  adalah  kerugian  yang  berupa  kehilangan  keuntungan  yang  sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika
30
Subekti, op.cit, hal.55
31
Ibid., hal 45
Universitas Sumatera Utara
barang  tersebut  sudah  mendapat  tawaran  yang  lebih  tinggi  dari  harga pembeliannya.
33
Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1246 KUHPerdata yang mana menyatakan bunga sebagai untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.
Pasal 1247 KUHPerdata menentukan: “Siberutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata
telah  atau  sedianya  harus  dapat  diduga  sewaktu  perjanjian  dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu
tipu daya yang dilakukan olehnya”. Pasal 1248 KUHPerdata menentukan:
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya  si  berutang,  penggantian  biaya,  rugi,  bunga,  sekedar  mengenai
kerugian  yang  diderita  oleh  si  berpiutang  dan  keuntungan  yang  terhilang baginya,  hanyalah  terdiri  atas  apa  yang  merupakan  akibat  langsung  dari
tak dipenuhinya perjanjian”. Dari dua pasal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu hanya
dibatasi  meliputi  kerugian  yang  dapat  diduga  dan  yang  merupakan  akibat langsung dari wanprestasi.
2. Pembatalan perjanjian
Mengenai  pembatalan  perjanjian  atau  juga  dinamakan  pemecahan perjanjian  sebagai  sanksi  kedua  atas  kelalaian  seorang  debitur.  Mungkin  ada
orang  yang  tidak  dapat  melihat  sifat  pembatalannya  atau  pemecahan  tersebut sebagai  suatu  hukuman  karena  debitur  menganggap  dibebaskan  dari  kewajiban
memenuhi prestasi. Pembatalan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belah pihak  kembali  pada  keadaan  sebelum  perjanjian  diadakan.  Kalau  suatu  pihak
32
Ibid., hal 47
33
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.
Pasal 1266 KUHPerdata menentukan: “Syarat  batal  dianggap  selamanya  dicantumkan  dalam  perjanjian-
perjanjian  yang  timbal  balik  manakala  salah  satu  pihak  tidak  memenuhi kewajibannya”.
Hal  demikian  perjanjian  tidak  batal  demi  hukum  tetapi  pembatalan  harus
dimintakan  kepada  hakim.  Permintaan  ini  juga  harus  dilakukan  meskipun  syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika
syarat  batal  tidak  dinyatakan  dalam  perjanjian,  maka  hakim  leluasa  menurut keadaan atas  permintaan  si tergugat untuk memberikan  suatu jangka  waktu guna
kesempatan memenuhi kewajibannya, dimana jangka waktu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Berdasarkan  ketentuan  pasal  di  atas  maka  jelas  bahwa  pembatalan perjanjian  tidak  terjadi  secara  otomatis  pada  waktu  debitur  nyata
–nyata melalaikan  kewajibannya,  akan  tetapi  harus  dimintakan  kepada  hakim  dan
disebutkan dengan jelas bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum. a.
Peralihan risiko Peralihan  risiko  sebagai  sanksi  ketiga  atas  kelalaian  seorang  debitur
disebutkan  dalam  Pasal  1237  ayat  2  KUHPerdata,  yang  dimaksudkan  dengan “risiko”  adalah  kewajiban  untuk  memikul  kerugian  jika  terjadi  suatu  peristiwa
diluar  kesalahan  salah  satu  pihak  yang  menimpa  barang  yang  menjadi  objek perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
Peralihan  risiko  dapat  digambarkan  demikian:  Menurut  Pasal  1460 KUHPerdata,  maka  risiko  dalam  jual-beli  barang  tertentu  dibebankan  kepada  si
pembeli  meskipun  barangnya  belum  diserahkan.  Kalau  penjual  itu  terlambat menyerahkan  barangnya,  maka kelalaian  ini  diancam  dengan  mengalihkan risiko
tadi  dari  si  pembeli  kepada  si  penjual.  Jadi  dengan  lalainya  si  penjual,  risiko  itu beralih kepada dia.
b. Pembayaran biaya perkara
Tentang  pembayaran  ongkos  biaya  perkara  sebagai  sanksi  keempat  bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara,
bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara Pasal 181 ayat 1  HIR.  Seorang  debitur  yang  lalai  tentu  akan  dikalahkan  kalau  sampai  terjadi
suatu perkara di depan hakim. Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila  wanprestasi  yang  dilakukan  dalam  perjanjian  itu  terjadi  akibat  dari
keadaan  memaksa  force  majeure,  maka  dapat  melepaskan  pihak  yang  tidak memenuhi kewajiban itu dari tuntutan ganti kerugian.
Di  dalam  KUHPerdata  tidak  ada  defenisi  tentang  keadaan  memaksa, namunhanya  memberikan  batasan.  Sehingga,  dari  batasan  tersebut  dapat  diambil
kesimpulan  bahwa  keadaan  memaksa  adalah  suatu  keadaan  tidak  terduga,  tidak disengaja,  dan  tidak  dapat  dipertanggungjawabkan  oleh  debitur,  dimana  debitur
tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum  juga  tidak  diindahkan  sebagaimana  mestinya.  Hal  ini  disebabkan  adanya
Universitas Sumatera Utara
kejadian yang berada di luar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian.
34
Dikarenakan  KUHPerdata  tidak  mengenal  istilah  force  majeure  dan  juga tidak  menjelaskan  lebih  lanjut  apa  yang  disebut  sebagai  keadaan  memaksa,  hal
tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut, sehingga dalam menafsirkan pengaturan force majeure dalam KUHPerdata adalah dengan menarik kesimpulan
umum  dari  pengaturan-pengaturan  khusus,  yaitu  pengaturan  khusustentang  force majeure
yang  terdapat  dalam  bagian  pengaturan  tentang  ganti  rugi,  atau pengaturan  resiko  akibat  force  majeure  untuk  kontrak  sepihak  ataupun  dalam
bagian  kontrak-kontrak  khusus  kontrak  bernama.  Disamping  tentunya  menarik kesimpulan  dari  teori-teori  hukum  tentang  force  majeure,  doktrin  dan
yurisprudensi.
35
Menurut  Hasanuddin  Rahman,  terdapat  beberapa  pasal  dalam  KUH Perdata  yang  dapat  digunakan  sebagai  pedoman  terhadap  ketentuan  mengenai
force majeure , antara lain:
36
Pasal 1244 KUHPerdata: “Jika ada alasan untuk itu, si  berhutang  harus  dihukum mengganti biaya,
rugi dan bunga apabila ia tidak dapat  membuktikan,  bahwa hal tidak atau tidak  pada  waktu  yang  tepat  dilaksanakannya  perikatan  itu,  disebabkan
karena
suatu hal
yang tidak
terduga, pun
tidak dapat
dipertanggungjawabkan  padanya.  Kesemuanya  itupun  jika  itikad  buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
34
Handri Raharjo, op.cit, hal 104
35
Munir Fuady,Op.cit, hal 118
36
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 206.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1245 KUHPerdata: “Tidaklah  biaya  rugi  dan  bunga,  harus  digantinya,  apabila  lantaran
keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja siberhutang berhalangan  memberikan  atau  berbuat  sesuatu  yang  diwajibkan,  atau
lantaran hal-
hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Pasal 1545 KUHPerdata: “Jika  suatu  barang  tertentu,  yang  telah  dijanjikan  untuk  ditukar,  musnah
diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap gugur, dan siapa yang dari  pihaknya  telah  memenuhi  persetujuan,  dapat  menuntut  kembali
barang yang ia telah berikan dalam tukar-
menukar”.
Pasal 1553 KUHPerdata: “Jika  barang  yang  disewakan  musnah  sama  sekali  dalam  masa  sewa
karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi  hukum.  Jika  barang  yang  bersangkutan  hanya  sebagian  musnah,
maka  penyewa  dapat  memilih  menurut  keadaan,  akan  meminta pengurangan harga atau pembatalan persetujuan sewa, tetapi dalam kedua
hal itu ia tidak berhak atas ganti rugi”.
Selain empat pasal yang disebutkan di atas, masih terdapat pasal-pasal lain yang berkaitan dengan force majeure, yaitu
Pasal 1444 KUHPerdata: “Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah dan tak dapat
diperdagangkan,  atau  hilang,  hingga  sama  sekali  tidak  diketahui  apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah
atau  hilang  di  luar  kesalahan  si  berutang  dan  sebelum  ia  lalai menyerahkannya.  Bahkan  meskipun  si  berutang  lalai  menyerahkan  suatu
barang,  sedangkan  ia  tidak  telah  menanggung  terhadap  kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga
dengan  cara  yang  sama  ditangannya  si  berpiutang  seandainya  sudah diserahkan  kepadanya.  Si  berutang  diwajibkan  membuktikan  kejadian
yang  tidak  terduga,  yang  dimajukannya  itu.  Dengan  cara  bagaimanapun suatu  barang  yang  telah  dicuri,  musnah  atau  hilang,  hilangnya  barang  itu
tidak  sekali-kali  membebaskan  orang  yang  mencuri  barang  dari
kewajibannya mengganti harganya”.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1445 KUHPerdata: “Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tak dapat
lagi  diperdagangkan,  atau  hilang,  maka  si  berutang,  jika  ia  mempunyai hak-hak  atau  tuntutan-tuntutan  ganti  rugi  mengenai  barang  tersebut,
diwajibkan  memberikan  hak-hak  dan  tuntutan-tuntutan  tersebut  kepada
orang yang mengutangkan kepadanya”. Pasal 1460 KUH Perdata:
“Jika  kebendaan  yang  dijual  itu  berupa  suatu  barang  yang  sudah ditentukan,  maka barang ini  sejak  saat  pembelian adalah atas tanggungan
si  pembeli  meskipun  penyerahannya  belum  dilakukan,  dan  si  penjual
berhak menuntut harganya”. Pasal  1244  KUHPerdata  dan  Pasal  1245  KUHPerdata  hanya  mengatur
masalah force majeure dalam hubungan dengan penggantian biaya rugi dan bunga saja,  akan  tetapi  perumusan  pasal-pasal  ini  dapat  digunakan  sebagai  pedoman
dalam  mengartikan  force  majeure  pada  umumnya.  Ketentuan  ini  memberikan kelonggaran kepada  debitur untuk tidak  melakukan  penggantian  biaya, kerugian,
dan  bunga  kepada  kreditur,  oleh  karena  suatu  keadaan  yang  berada  di  luar kekuasaannya.
37
Pada Pasal 1545 KUHPerdata  mengatur mengenai  masalah  force majeure dalam  hubungan  dengan  kontrak  tukar-menukar.  Dari  ketentuan  Pasal  1545  ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu kontrak timbal balik in casu kontrak tukar-menukar,  maka  risiko  akibat  dari  force  majeure  ditanggung  bersama  oleh
para  pihak.  Jika  ada  para  pihak  telah  terlanjur  berprestasi  dapat  memintakan kembali  prestasinya  tersebut,  jadi  kontrak  tersebut  dianggap  gugur.  Dengan
demikian,  pengaturan  risiko  dalam  kontrak  tukar  menukar  ini  dapat  dianggap
37
Munir Fuady, Op.cit, hal 113
Universitas Sumatera Utara
pengaturan  risiko  yang  adil,  sehingga  dapat  dicontoh  pengaturan  risiko  untuk kontrak-kontrak timbal balik lain selain dari kontrak tukar menukar tersebut.
38
Pada  Pasal  1244  KUHPerdata  dan  Pasal  1245  KUHPerdata  hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan penggantian biaya rugi
dan  bunga  saja,  akan  tetapi  perumusan  pasal-pasal  ini  dapat  digunakan  sebagai pedoman  dalam  mengartikan  force  majeure  pada  umumnya.  Ketentuan  ini
memberikan  kelonggaran  kepada  debitur  untuk  tidak  melakukan  penggantian biaya,  kerugian,  dan  bunga  kepada  kreditur,  oleh  karena  suatu  keadaan  yang
berada  di  luar  kekuasaannya.
39
Pasal  1553  mengatur  mengenai  masalah  force majeure
dalam hubungan dengan kontrak sewa menyewa. Ketentuan risiko dalam kontrak sewa menyewa seperti terlihat dalam Pasal 1553 KUHPerdata tersebut di
atas  menempatkan  kedua  belah  pihak  untuk  menanggung  risiko  dari  force majeure
, tanpa adanya hak dari pihak yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Ini juga merupakan ketentuan yang dapat dicontoh bagi penafsiran risiko dan
force  majeure untuk  kontrak  timbal  balik  selain  dari  kontrak  sewa  menyewa
tersebut.
40
Pasal 1460 KUHPerdata mengatur mengenai masalah force majeuredalam hubungan  dengan  kontrak  jual  beli.  Terjadi  ketidaktepatan  di  pasal  ini
dikarenakan  peralihan  resiko  dibuat  beralih  pada  saat  kontrak  ditandatangani bukan  pada  saat  penyerahan,  ketidaktepatan  pengaturan  resiko  dalam  Pasal
1460KUHPerdata  ini  diatasi  dengan  dikeluarkannya  Surat  Edaran  Mahkamah
38
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hal 101
39
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hal 101.
Universitas Sumatera Utara
Agung Nomor 3 tahum 1963, yang memintakan para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut.
41
Secara  umum,  pengaturan  mengenai  force  majeure  dalam  perundang- undangan  dapat  dikelompokkan  dalam  dua  kelompok  besar.  Pertama,  force
majeure ditentukan  sebagai  klausula  yang  harus  dimasukkan  dalam  kontrakatau
perjanjian  mengenai  substansi  yang  diatur  dalam peraturan perundang-undangan. Kedua  forcemajeure  diatur  dalam  peraturan  perundang-undangan,  tetapi  tidak
berkaitan  dengan  kontrakperjanjian  mengenai  substansi  yang  diatur  dalam peraturan perundang-undangan.
42
Perundang-undangan  yang  mengatur  force  majeure  dalam  kelompok pertama  yang  dikaji  dalam  penelitian  ini  adalah  UU  No.  18  Tahun  1999  tentang
Jasa  Konstruksi  juncto  Peraturan  Pemerintah  No.  29  Tahun  2000  tentang Penyelenggaraan  Jasa  Konstruksi,  Keputusan  Presiden  Keppres  No.  80  Tahun
2003 tentang  Pengadaan Barang  dan Jasa  beserta lampirannya yang telah  diubah beberapa  kali  berturut-turut  dengan  Keppres  No.  61  Tahun  2004,  Peraturan
Presiden Perpres No.32 Tahun 2005, Perpres No. 70 Tahun 2005, Perpres No. 8 Tahun 2006, Perpres No.79 Tahun 2006, Perpres No. 85 Tahun 2006, dan Perpres
No.  95  Tahun  2007.
43
Perundang-undangan  yang  mengatur  force  majeure  dalam kelompok kedua yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.
23  Tahun  2007tentang  Perkeretaapian,  UU  No.  4  Tahun  2009  tentang Pertambangan  Mineral  dan  Batu  Bara,  UU  No.  22  Tahun  2009  tentang  Lalu
40
Ibid., hal 122
41
Damang, Risiko, diakses dari http:www.negarahukum.comhukumrisiko.html pada tanggal 13 Maret 2015
42
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
Lintas  dan  Jasa  Angkutan,  Peraturan  Bank  Indonesia  No.  92PBI2007  tentang Laporan  Harian  Bank  Umum,  Peraturan  Bank  Indonesia  No.  820PBI2006
tentang  Transparansi  Kondisi  Keuangan  Bank  Perkreditan  Rakyat,  Peraturan Bank  Indonesia  No.  104PBI2008  tentang  Laporan  Penyelenggaraan  Kegiatan
Alat  Pembayaran dengan  menggunakan  Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga  Selain  Bank,  Surat  Edaran  Bank  Indonesia  No.  1121DKBU  tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.
44
Dalam  konteks  hukum,  force  majeure  dapat  diartikan  sebagai  klausula yang  memberikan  dasar  pemaaf  pada  salah  satu  pihak  dalam  suatu  perjanjian,
untuk  menanggung  sesuatu  hal  yang  tidak  dapat  diperkirakan  sebelumnya,  yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan
kontrak  yang  telah  diperjanjikan.  Selain  sebagai  dasar  pemaaf,  klausula forcemajeure
juga merupakan dasar pembenar.
45
Rumusan  Pasal  1244  KUHPerdata  dan  Pasal  1245  KUHPerdata menyatakan  bahwa  force  majeure  ini  merupakan  alasan  pembenar  dan  pemaaf,
dimana dapat disimpulkan sebagai berikut: a.
Alasan  pembenar  dan  alasan  pemaaf  adalah  alasan  yang  mengakibatkan debitur  yang  tidak  melaksanakan  kewajibannya  sesuai  perikatan  pokokasal,
tidak diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga. b.
Alasan  pembenar  adalah  alasan  yang  berhubungan  dengan  ketidakmampuan obyektif  untuk  memenuhi  perikatan  yang  ada.  Sedangkan  alasan  pemaaf
43
Ibid
44
Ibid. hal 71-72
45
Supriyadi, Force Majeure, diakses dari http:excellent- lawyer.blogspot.com201004forcemajeure. html, pada tanggal 2 Maret 2015
Universitas Sumatera Utara
adalah  alasan  yang  berhubungan  denganketidakmampuan  subjektif  dalam memenuhi perikatan.
c. Alasan pembenar dan pemaaf yang diperbolehkan tersebut bersifat  limitative
dengan  pengertian  bahwa  selain  yang  disebutkan  dalam  KUHPerdata  tidak dimungkinkan  bagi  debitur  untuk  mengajukan  alasan  lain  yang  dapat
membebaskannya  dari  kewajibannya  untuk  mengganti  biaya,  kerugian,  dan bunga dalam hal debitur telah cidera janji. Hal ini harus dibedakan dari suatu
keadaan  dimana  kreditur  tidak  menuntut  pelaksanaan  penggantianbiaya, kerugian, dan bunga dari debitur yang telah cidera janji.
d. Alasan  pembenar  yang  diperbolehkan  adalah  suatu  keadaan  memaksa  atau
keadaan  yang  tidak  disengaja  mengakibatkan  debitur  terhalang  untuk memberikan  atau  berbuat  sesuatu  yang  diwajibkan,  atau  melakukan  suatu
perbuatan yang terlarang baginya. Yang  dimaksud  dengan keadaan  memaksa atau  kejadian  yang  tidak  disengaja  ini  adalah  suatu  alasan  yang  bersifat
obyektif, yang dalam pandangan setiap orang tidak hanya semata-mata debitur pribadi,  dengan  terjadinya  peristiwa  memaksa  atau  tidak  terduga  tersebut,
tidak mungkin dapat melaksanakan perikatan yang telah ditetapkan. e.
Alasan pemaaf yang dapat dijadikan alasan adalah terjadinya suatu hal yang takterduga  yang  tidak  dapat  dipertanggungjawabkan  kepadanya  selama  tidak
ada  itikad  buruk  kepadanya.  Dalam  konteks  alasan  pemaaf  ini,  unsur  tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur memegang peranan yang sangat
penting.
46
46
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Oleh  karena  alasan  ini  semata-mata  bergantung  pada  kemampuan subjektivitas  dari  debitur  tersebut.  Jadi  jika  debitur  masih  dapat  dipertanggung
jawabkan  atas  tidak  dipenuhinya  kewajiban  atau  prestasi  yang  wajib  dipenuhi olehnya  tersebut,  maka  debitur  berkewajiban  untuk  membayar  ganti  rugi,  biaya,
dan bunga.
47
Klausula force majeure  mempunyai kemiripan  dengan perjanjian untung- untungan  karena  sama-sama  bergantung  pada  suatu  kejadian  yang  belum  tentu
akan  terjadi  akan  tetapi  klausula  force  majeure  bukanlah  merupakan  suatu persetujuan untung-untungan.
Pasal 1774 KUHPerdata menyatakan: “suatu  perjanjian  untung-untungan  adalah  suatu  perbuatan  yang  hasilnya
mengenai  untung  ruginya  baik  bagi  semua  pihak  maupun  bagi  sementara pihak, bergantung pada kejadian yang belum tentu”.
Perbedaan  terlihat  jelas  dimana  dalam  perjanjian  untung-untungan
terdapatnya  suatu  hasil  pelaksanaan  berupa  untung  atau  rugi  digantungkan  pada suatu  peristiwa  yang  belum  tentu  akan  terjadi  yang  mana  peristiwa  yang  belum
tentu terjadi ini  merupakan tujuan  dari dilaksanakannya  suatu  perjanjian untung- untungan  sedangkan  pencantuman klausula  force majeure  dalam  suatu perjanjian
itu  ditujukan  untuk  melindungi  para  pihak  dari  kewajiban  menanggung  kerugian atas  kejadian  yang  belum  tentu  akan  terjadi  dalam  pelaksanaan  dari  suatu
perjanjian.  Walaupun  tidak  dimasukannya  klausula  force  majeure  atau  keadaan memaksa dalam kontrak, bukan berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh
perundang-undangan  menjadi  terbatasi,  hilang  atau  dapat  dikesampingkan,  akan
47
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal 89-90
Universitas Sumatera Utara
tetapi  tidak  adanya  pencantuman  klausula  force  majeure  dianggap  sebagai ketidakcermatan  dalam  penyusunan  kontrak  sehingga  memicu  sengketa  dimana
jika  tidak  adanya  klausula  force  majeure  dalam  kontrak,  dan  pada  saat pelaksanaan  perjanjian  terdapat  force  majeure,  kedua  belah  pihak  akan  merasa
dirugikan  dan  saling  menghindari  kewajiban  yang  akan  berujung  pada  saling menuntun.
48
48
Michiko, Seputar Hukum Kontrak Komersial, dari http:michikodiakses 2 Mei 2015
Universitas Sumatera Utara
70
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI DALAM
PERJANJIAN SEWA MENYEWA KAPAL TONGKANG STUDI PUTUSAN PERDATA PENGADILAN
NEGERI MEDAN NO. 503PDT.G2009PN-MDN
A.  Perjanjian  Sewa-menyewa  dan  Pengaturan  Hukum  Dalam    Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Walaupun  dalam  Pasal  1548  KUHPerdata  dikatakan  bahwa  sewa- menyewa  itu  berlangsung  selama  waktu  tertentu  yang  berarti  bahwa  dalam
perjanjian sewa menyewa harus selalu ditentukan tenggang waktu tertentu.  Tetapi dalam  perjanjian  sewa-menyewa  itu  dapat  juga  tidak  ditetapkan  suatu  jangka
waktu  tertentu  asal  sudah  disetujui  harga  sewa  untuk  satu  jam,  satu  hari,  satu bulan,  dan lain-lain. Jadi para pihak bebas untuk menentukan berapa lama  waktu
tersebut.  Dalam  praktik  pada  umumnya  perjanjian  sewa  menyewa  ini  diadakan untuk  jangka  waktu  tertentu  sebab  para  pihak  menginginkan  adanya  suatu
kepastian hukum. Dalam perjanjian sewa-menyewa selalu terdapat 2 dua belah pihak yang
selalu  mengikatkan  diri  untuk  berprestasi  satu  sama  lain.  Pihak  inilah  yang menjadi subjek sewa-menyewa. Subjek sewa-menyewa merupakan subjek hukum
dimana subjek hukum ini ada 2 dua yaitu : orang pribadi dan badan hukum. Untuk  melaksanakan  suatu  perjanjian,  terlebih  dahulu  harus  ditetapkan
secara  tegas  dan  cermat  apa  saja  isi  perjanjianapa  saja  hak  dan  kewajiban  para pihak.  Pada  dasarnya  kontrak  berawal  dari  perbedaan  atau  ketidaksamaan
kepentingan para pihak yang merumuskan hubungan kontraktual tersebut diawali dengan  proses  negosiasi  diantara  pihak.  Melalui  negosiasi  para  pihak  berupaya
Universitas Sumatera Utara
menciptakan  bentuk-bentuk  kesepakatan  untuk  saling  mempertemukan  sesuatu yang diinginkan kepentingan melalui proses tawar menawar.
49
Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian  oleh  hukum dianggap  sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi
syarat-syarat tertentu yang digolongkan sebagai berikut: 1.
Syarat sah yang umum yaitu : a.
Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdiri dari: 1 Kesepakatan kehendak.
2 Wenang berbuat. 3 Perihal tertentu.
4 Kuasa yang legal. b.
Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari:
1. Syarat itikad baik.
2. Syarat sesuai dengan kebiasaan.
3. Syarat sesuai dengan kepatutan.
4. Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
2. Syarat sah yang khusus terdiri dari:
a. Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
b. Syarat akta notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Syarat  Akta  pejabat  tertentu  yang  bukan  notaris  untuk  perjanjian-
perjanjian tertentu.
49
Agus  Yudha  Hernoko,Hukum  Perjanjian  Asas  Proporsionalitas  dalam  Kontrak Komersil
, Jakarta : Prenada Media Group, 2010 , hal 1
Universitas Sumatera Utara
d. Syarat izin dari yang berwenang.
Perjanjian  yang  tidak  memenuhi  syarat  subyektif  yaitu  tidak  adanya kesepakatan  mereka  yang  membuat  perjanjian  dan  kecakapan  membawa
konsekuensi  perjanjian  yang  dibuatnya  itu  dapat  dibatalkan  oleh  pihak  yang merasa  dirugikan  namun  selama  yang  dirugikan  tidak  mengajukan  gugatan
pembatalan  maka  perjanjian  yang  dibuat  itu  tetap  berlaku  terus.  Apabila  syarat subyektif  tidak  dipenuhi  yaitu  tidak  adanya  hal  tertentu  dan  sebab  yang  halal,
perjanjian yang dibuat para pihak sejak dibuatnya perjanjian telah batal atau batal demi hukum.
D.  Perjanjian Sewa Menyewa Kapal Tongkang dalam Praktek