Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa Kapal Tongkang

43 BAB III PERJANJIAN SEWA MENYEWA KAPAL TONGKANG DALAM PRAKTEK

A. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa Kapal Tongkang

Dalam perjanjian sewa-menyewa tentu ada hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan baik oleh pihak penyewa maupun pihak yang menyewakan. Kewajiban-kewajiban pihak penyewa maupun yang menyewakan telah diatur di dalam KUHPerdata Buku ke III Bab IV bagian kedua dan ketiga. Dalam Pasal 1550 BW menentukan ada tiga macam kewajiban pihak yang menyewakan. Ketiga macam kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang harus dibebankan kepada pihak yang menyewakan, sekalipun hal tersebut tidak ditentukan dalam perjanjian. Ketiga macam kewajiban tersebut adalah : a. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada pihak penyewa. b. Kewajiban pihak yang menyewa untuk memelihara barang yang disewa selama waktu yang diperjanjikan sehingga barang yang disewa tersebut tetap dapat dipergunakan dan dapat dinikmati sesuai dengan maksud yang dimaksud pihak penyewa. c. Pihak yang menyewakan wajib memberikan ketentraman kepada si penyewa selama menikmati barang yang disewa tersebut selama perjanjian berlangsung. Sementara yang merupakan hak bagi pihak yang Universitas Sumatera Utara menyewakan adalah bahwa ia berhak atas harga yang telah disepakati dan menerima hasil pembayaran atas sewa tersebut. Kewajiban pihak penyewa diatur dalam Pasal 1560, 1561, 1564, dan 1566 KUHPerdata. Secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut : a. Penyewa wajib melunasi uang sewa sesuai dengan jumlah dan waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian sewa-menyewa tersebut. b. Memelihara benda yang disewakan itu sebaik-baiknya dan mempergunakan benda tersebut menurut kegunaannya tanpa menyalahi aturan perjanjian sewa- menyewa yang telah disepakati. c. Menanggung segala kerusakan benda atau barang yang terjadi selama masa perjanjian sewa-menyewa, kecuali ia dapat membuktikan bahwa kerusakan itu bukan karena kesalahannya tetapi terjadi diluar kekuasaannya. d. Harus mengembalikan barang yang disewa dalam keadaan seperti menerima barang tersebut. Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Menurut R. Suroso subjek hukum adalah : “sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak rechtsbevoedgheid dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban”. 23 Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan suatu perikatan yang mana 23 R. Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hal. 22 Universitas Sumatera Utara perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Jadi perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian, khususnya perjanjian sewa-menyewa ini. Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan suatu perikatan yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Jadi perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian khususnya perjanjian sewa-menyewa ini. Perjanjian sewa-menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam KUHPerdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat. Hak bagi yang menyewa kapal adalah memanfaatkan penggunaan kapal tersebut tanpa ada gangguan dari pihak manapun juga dan mempunyai kewajiban mengembalikan kapal sesuai dengan jadwal waktu yang sudah ditentukan. Sedangkan kewajiban PT. Armada Intan Sari adalah menyerahkan kapal dalam keadaan baik dan memiliki hak untuk menerima sejumlah uang sewa tertentu tepat waktu sesuai dengan perjanjian. Universitas Sumatera Utara B. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Kapal Tongkang Antara PT. Armada Intan Raya dengan PT. Alek Buana Piling Penyediaan kapal tongkang beserta alat perlengkapannya telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi yang membutuhkannya. Begitu pula penyediaan armada angkutan yang telah disediakan oleh PT. Armada Intan Sari yang dapat dilakukan penyewaannya. Tentunya dalam proses penyewaan tersebut tidak bisa dilakukan dengan cara mudah, tetapi harus menempuh beberapa proses yang harus dilalui sebelum menggunakan armada pengangkutan yang telah disediakan oleh PT. Armada Intan Sari tersebut. Adapun proses yang dapat ditempuh untuk melakukan penyewaan armada pengangkutan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Tahap persetujuan Tahap ini adalah suatu tahap awal yang harus ditempuh terlebih dahulu. Di dalam tahap awal ini terjadi perjanjian penyewaan kapal beserta alat perlengkapannya antara PT. Armada Intan Sari dengan penyewa. Kesemuanya tersebut haruslah terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan di antara para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab causa yang halal. Setelah dipenuhi keempat persyaratan di atas untuk dapat dikatakan sahnya suatu perjanjian penyewaan kapal, maka harus pula diikuti dengan memenuhi persyaratan teknis dan administrasi yang sudah ditetapkan. Setelah terpenuhi kata sepakat dan persyaratan teknis serta administrasi lainnya seperti yang sudah tertera dan seperti telah menyerahkan identitas diri Universitas Sumatera Utara berupa KTP atau SIM, memiliki alamat yang jelas, bersedia dan sanggup mematuhi peraturan yang berlaku dan telah mengisi formulir yang sudah disediakan. Setelah semua syarat dan proses tahap pertama sudah dilaksanakan dan sudah terpenuhi, barulah semua berkas tersebut dikuatkan dengan mengikatnya dengan surat kontrak perjanjian sewa. 2. Tahap pembuatan kontrak persetujuan Di dalam tahap ini, jika telah tercapai kata sepakat di antara kedua belah pihak dalam hal sewa menyewa kapal beserta alat perlengkapannya dan terpenuhi semua persyaratan teknis serta administrasi yang sudah ditentukan dan tahap berikutnya juga telah dikuatkan dalam kontrak persetujuan sewa-menyewa kapal dimaksud dalam bentuk tertentu yang tertuang dalam suatu surat kontrak perjanjian. Surat kontrak penyewaan kapal antara PT. Armada Intan Sari dengan penyewa di Pelabuhan Belawan Medan, pada dasarnya memuat materi sebagai berikut : a. Nama dan alamat pemilik kapal sebagai pihak pertama dan nama serta alamat penyewa kapal sebagai pihak kedua. b. Nama kapal beserta spesifikasinya, kecepatan, beban yang dapat diangkut, bahan bakar dan lainnya. c. Tempat dan waktu penyerahan kapal serta penyerahan kapal kembali dan tempat atau waktu pemuatan serta pembongkaran. d. Jenis barang yang boleh diangkut, dimana harus sah dan sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa menyalahi aturan. Universitas Sumatera Utara e. Pemakaian kapal oleh penyewa untuk tujuan yang menurut hukum yang berlaku. f. Syarat-syarat pengangkutan dan tanggung jawab masing-masing pihak yang menyewa dan penyewa. g. Pembatasan lalu lintas dan pelabuhan-pelabuhan yang akan dimasuki dan dilalui. h. Besarnya harga sewa kapal dan syarat-syarat pembayaran. Setelah surat kontrak sewa kapal selesai dibuat dan sudah disepakati juga ditandatangani, barulah apa yang menjadi barang dari kapal tersebut sudah dapat dimasukkan kedalam kapal dan siap untuk digunakan oleh pihak penyewa. Selanjutnya barulah dapat dilakukan tahap penataan administrasi dari persetujuan sewa yang sudah disepakati bersama. 3. Tahap penataan administrasi persetujuan Dalam tahap ini diatur mengenai pelaksanaan administrasi dari persetujuan sewa kapal antara PT. Armada Intan Sari dengan PT.Alek Buana Piling. Pada pengaturan administrasinya masing-masing pihak diminta untuk menandatangani surat kontraksewa kapal yang sudah dibuat dan disiapkan. Besarnya uang sewa kapal sangat tergantung dari jenis kapal yang diinginkan dan daya tampung dari kapal tersebut. Setelah dilakukan penandatanganan surat kontrak penyewaan kapal dan telah dilakukan pembayaran uang sewa yang sudah disepakati bersama, dan barulah kemudian yang menyewa kapal dapat memanfaatkan penggunaan kapal Universitas Sumatera Utara untuk kepentingannya dalam mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat yang ingin dituju ataupun dikehendaki. Pihak yang menyewa kapal tersebut mempunyai hak mutlak untuk dapat memanfaatkan penggunaan kapal tersebut tanpa adanya gangguan dari pihak laindan tentunya juga punya kewajiban mengembalikan kapal sesuai dengan jadwal waktu yang sudah kedua belah pihak tentukan. Sedangkan kewajiban PT. Armada Intan Sari adalah menyerahkan kapal dalam keadaan baik dengan hak untuk menerima sejumlah uang sewa tertentu dari yang menyewa kapal tersebut dan menerima kapal tersebut kembali tepat pada waktu yang sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Surat perjanjian sewa-menyewa ini dibuat pada hari Selasa, tanggal 12 bulan Januari dua ribu enam 12-01-2006 oleh dan antara: I. Nama : Nura Sadikun Jabatan : Manager Operasional PT. Armada Intan Raya Alamat : Jl. Veteran No. 214 Belawan Selanjutnya dalam perjanjian ini disebut sebagai Pihak Pertama II. Nama : Rudy Darlek Jabatan : Direktur PT. Alek Buana Piling Alamat : Jl. Wahidin No. 362 Medan Selanjutnya dalam perjanjian ini disebut sebagai Pihak Kedua. Selanjutnya, kedua belah pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian sewa menyewa ini dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan. Universitas Sumatera Utara Pasal I maksud dan tujuan 1. Pihak Pertama setuju untuk menyewakan kapal tongkang terhadap pihak kedua dan pihak kedua setuju untuk menyewakan kapal tongkang milik pihak pertama seperti tersebut dalam Pasal II perjanjian ini. 2. Pihak kedua menyewa kapal tongkang tersebut untuk keperluan pelaksanaan proyek di Sinabang Aceh Barat untuk memuat tiang pancang proyek. 3. Pihak kedua tidak diizinkan membawa barang-barang diluar proyek Sinabang kecuali ada kesepakatan dengan pihak pertama. 4. Serah terima tongkang dilaksanakan di Pelabuhan Belawan. Pasal II Tongkang Tongkang yang disewakan pihak pertama kepada pihak kedua adalah berupa : - 1 satu unit PATON ARON I GRT 378 ukuran 42 x 12 x 3.0 M Pasal III Biaya Sewa 1. Biaya sewa tongkang per bulan Rp. 85.000.000,- Biaya mobilisasi dan demobilisasi ditanggung oleh pihak kedua Disetujui menjadi Rp. 82.500.000,- delapan puluh dua juta lima ratus ribu rupiah. Kelebihan waktu dihitung Rp. 2.750.000,- dua juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah per hari. 2. Biaya sewa tidak termasuk pajak PPN PPH Universitas Sumatera Utara Pasal IV Cara Pembayaran Sistem pembayaran untuk sewa tongkang adalah dibayar dimuka sebesar RP. 85.000.000,- delapan puluh lima juta rupiah sebelum kapal berangkat dan dengan masa sewa paling lama 30 tiga puluh hari dan apabila pihak kedua berkeinginan untuk memperpanjang masa pemakaian kapal tongkang, maka sebelum 1 minggu habis masa jangka waktu sewa harus memberitahukan kepada pihak pertama secara lisan yang kemudian akan dilanjutkan dengan pemberitahuan tertulis. Pasal V Jangka Waktu 1. Surat perjanjian sewa-menyewa kapal tongkang ini dihitung mulai dari tanggal 12 Januari 2006, yang diberangkatkan dari Belawan dan sampai kembali di Belawan. 2. Apabila pihak kedua memakai kapal tongkang lewat dari 7 tujuh hari tanpa pemberitahuan kepada pihak pertama maka otomatis dihitung 1½ bulan dan tiap ½ bulan sewa dihitung Rp. 45.000.000,- empat puluh lima juta rupiah dan pemakaian lebih dari ½ bulan maka dihitung 1 bulan dengan sewa Rp. 85.000,000,- delapan puluh lima juta rupiah. 3. Pihak kedua menyediakan pengawalan penuh mulai berangkat kapal dari Belawan sampai kembali ke Belawan. 4. Apabila terjadi suatu perampokan atau penyanderaan atau kandas dibatu karang dan lain-lain maka hal tersebut adalah menjadi tanggung jawab pihak kedua. Universitas Sumatera Utara Pasal VI Tanggung Jawab Pihak Pertama 1. Pihak pertama wajib dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk melengkapi surat-surat kapal tongkang sebagaimana mestinya dan tongkang tidak mempunyai anak buah kapal. 2. Pihak pertama hanya menerima barang dari pihak kedua diatas kapal tongkang dan kapal tongkang tersebut ditarik dengan tug boat pihak kedua. Pasal VII Tanggung Jawab Pihak Kedua 1. Izin pekerjaan dilokasi proyek. 2. Kerusakan terhadap kapal tongkang selama pelaksanaan pekerjaan yang disebabkan oleh equipment pihak kedua. 3. Biaya bongkar muat pihak kedua. 4. Biaya jasa pelabuhan selama di proyek atau lokasi dan keamanan. 5. Seluruh pengurusan atau in-out Clearance adalah tanggung jawab pihak kedua. 6. Pihak kedua tidak diizinkan untuk mengisi air laut kedalam kapal tongkang dengan alasan apapun. Pasal VIII Force Majeure 1. Force majeure dalam perjanjian ini adalah bencana alam seperti banjir, gempa bumi selama operasi maupun dalam perjalanan yang mengakibatkan kerusakan kapal tongkang tersebut maka kerusakan tersebut akan diganti oleh asuransi. Universitas Sumatera Utara 2. Bila terjadi force majeure seperti Pasal 1 diatas maka dalam tempo 2 x 24 jam pihak kedua wajib memberikan laporan secara tertulis kepada pihak pertama. 3. Apabila dalam waktu 2 x 24 jam sejak timbulnya keadaan force majeure yang dibuktikan dengan keterangan pihak berwajib dan ternyata pihak kedua tidak melaporkan kepada pihak pertama secara tertulis maka force majeure tersebut dianggap tidak ada. Pasal IX Penyelesaian Perselisihan Surat perjanjian ini dibuat dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik dari kedua belah pihak yang karena itu segala perselisihan yang mungkin akan timbul akan diselesaikan secara musyawarah dan apabila tidak dapat diselesaikan secara musyawarah maka kedua belah pihak akan menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri Medan. Pasal X Penutup Surat perjanjian sewa menyewa ini dibuat dan ditandatangani di Medan dalam rangkap 2 dua diatas materai yang cukup dengan ketentuan hukum yang sama dan diperuntukkan bagi masing-masing pihak pertama dan pihak kedua. C. Wanprestasi dan Force Majeure serta akibat hukumnya dalam Perjanjian Sewa-menyewa Kapal Tongkang Debitur yang tidak dapat melaksanakan apa yang diperjanjikannya maka ia dapatlah dikatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi atau ingkar janji. Setelah adanya penagihan dari prestasi tersebut atau dengan lewatnya waktu yang telah diperjanjikan maka perbuatan wanprestasi sebagai bentuk tidak Universitas Sumatera Utara terlaksananya perjanjian sebagaimana mestinya menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak dan terhadap hal itu pihak lainnya harus memberikan ganti rugi, bunga dan lain sebagainya sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap kelalaian yang dilakukan dalam memenuhi prestasinya. Kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : “Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja”. 24 Kata “perintah” bevel dalam Pasal 1238 di atas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan bahwa perintah atau peringatan itu ditujukan kepada debitur si berhutang dan debitur si berhutang adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi. Tentunya “perintahperingatan” itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak tuntut atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan bisa disimpulkan bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam 24 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 2003, hal 147. Universitas Sumatera Utara keadaan lalai setelah ada perintah atau peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan surat teguran itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi”. 25 Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan tetapi dapat dilakukan dengan melakukan pengirim somasi dan wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat. Hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik dalam menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk. 26 Hal tenggang waktu untuk suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Bentuk wanprestasiketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk,yaitu: a. Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; b. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; c. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; 25 J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi Bagian I, diakses dari http:www.hukum online.com berita baca lt4cbfb836aa5d0beberapa-segi-hukum-tentang- somasi-bagian-i-brioleh-jsatrio-,pada tanggal 11 Maret 2015 26 Somasi atau Teguran , diakses dari http:www.negarahukum.comhukumsomasi- atauteguran. html, pada tanggal 11 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara d. Debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. 27 Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitur untuk tidak mau melaksanakannya maupun karena kelalaian debitur untuk tidak melaksanakannya. 28 Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu: a. Menuntut pemenuhan perikatan; b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan; c. Menuntut ganti rugi; d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi; e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi. 29 Perlunya diketahui apakah penyebab dari terjadinya wanprestasi mengingat akibat yang terjadi karena tindakan wanprestasi itu dilakukan, semuanya dibuktikan dihadapan hakim. Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu: a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa overmacht atau force majeure ; 27 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal.70. 28 Ibid .hal 71 29 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan , Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009, Hal 81-84 Universitas Sumatera Utara b. Mengajukan bahwa si berpiutang kreditur sendiri juga telah lalai exceptio non adimpleti contractus; c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking. 30 Menurut Subekti, ada 4 akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu : a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi; b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; c. Peralihan risiko; d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. 31 Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi diatas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut : 1. Ganti rugi Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukkan dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu penyakit yang kemudian dapat menularkan penyakitnya kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut. 32 Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika 30 Subekti, op.cit, hal.55 31 Ibid., hal 45 Universitas Sumatera Utara barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya. 33 Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1246 KUHPerdata yang mana menyatakan bunga sebagai untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya. Pasal 1247 KUHPerdata menentukan: “Siberutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”. Pasal 1248 KUHPerdata menentukan: “Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”. Dari dua pasal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu hanya dibatasi meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. 2. Pembatalan perjanjian Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur. Mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi. Pembatalan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak 32 Ibid., hal 47 33 Ibid Universitas Sumatera Utara sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pasal 1266 KUHPerdata menentukan: “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian- perjanjian yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”. Hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, maka hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, dimana jangka waktu tidak boleh lebih dari satu bulan. Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka jelas bahwa pembatalan perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata –nyata melalaikan kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan jelas bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum. a. Peralihan risiko Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata, yang dimaksudkan dengan “risiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Universitas Sumatera Utara Peralihan risiko dapat digambarkan demikian: Menurut Pasal 1460 KUHPerdata, maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dibebankan kepada si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu beralih kepada dia. b. Pembayaran biaya perkara Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara Pasal 181 ayat 1 HIR. Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim. Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang dilakukan dalam perjanjian itu terjadi akibat dari keadaan memaksa force majeure, maka dapat melepaskan pihak yang tidak memenuhi kewajiban itu dari tuntutan ganti kerugian. Di dalam KUHPerdata tidak ada defenisi tentang keadaan memaksa, namunhanya memberikan batasan. Sehingga, dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan adanya Universitas Sumatera Utara kejadian yang berada di luar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. 34 Dikarenakan KUHPerdata tidak mengenal istilah force majeure dan juga tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut, sehingga dalam menafsirkan pengaturan force majeure dalam KUHPerdata adalah dengan menarik kesimpulan umum dari pengaturan-pengaturan khusus, yaitu pengaturan khusustentang force majeure yang terdapat dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan resiko akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak-kontrak khusus kontrak bernama. Disamping tentunya menarik kesimpulan dari teori-teori hukum tentang force majeure, doktrin dan yurisprudensi. 35 Menurut Hasanuddin Rahman, terdapat beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman terhadap ketentuan mengenai force majeure , antara lain: 36 Pasal 1244 KUHPerdata: “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya. Kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. 34 Handri Raharjo, op.cit, hal 104 35 Munir Fuady,Op.cit, hal 118 36 Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 206. Universitas Sumatera Utara Pasal 1245 KUHPerdata: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja siberhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal- hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Pasal 1545 KUHPerdata: “Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar- menukar”. Pasal 1553 KUHPerdata: “Jika barang yang disewakan musnah sama sekali dalam masa sewa karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barang yang bersangkutan hanya sebagian musnah, maka penyewa dapat memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga atau pembatalan persetujuan sewa, tetapi dalam kedua hal itu ia tidak berhak atas ganti rugi”. Selain empat pasal yang disebutkan di atas, masih terdapat pasal-pasal lain yang berkaitan dengan force majeure, yaitu Pasal 1444 KUHPerdata: “Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah dan tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama ditangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu. Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya”. Universitas Sumatera Utara Pasal 1445 KUHPerdata: “Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya”. Pasal 1460 KUH Perdata: “Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya”. Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan penggantian biaya rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya. Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya. 37 Pada Pasal 1545 KUHPerdata mengatur mengenai masalah force majeure dalam hubungan dengan kontrak tukar-menukar. Dari ketentuan Pasal 1545 ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu kontrak timbal balik in casu kontrak tukar-menukar, maka risiko akibat dari force majeure ditanggung bersama oleh para pihak. Jika ada para pihak telah terlanjur berprestasi dapat memintakan kembali prestasinya tersebut, jadi kontrak tersebut dianggap gugur. Dengan demikian, pengaturan risiko dalam kontrak tukar menukar ini dapat dianggap 37 Munir Fuady, Op.cit, hal 113 Universitas Sumatera Utara pengaturan risiko yang adil, sehingga dapat dicontoh pengaturan risiko untuk kontrak-kontrak timbal balik lain selain dari kontrak tukar menukar tersebut. 38 Pada Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan penggantian biaya rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya. Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya. 39 Pasal 1553 mengatur mengenai masalah force majeure dalam hubungan dengan kontrak sewa menyewa. Ketentuan risiko dalam kontrak sewa menyewa seperti terlihat dalam Pasal 1553 KUHPerdata tersebut di atas menempatkan kedua belah pihak untuk menanggung risiko dari force majeure , tanpa adanya hak dari pihak yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Ini juga merupakan ketentuan yang dapat dicontoh bagi penafsiran risiko dan force majeure untuk kontrak timbal balik selain dari kontrak sewa menyewa tersebut. 40 Pasal 1460 KUHPerdata mengatur mengenai masalah force majeuredalam hubungan dengan kontrak jual beli. Terjadi ketidaktepatan di pasal ini dikarenakan peralihan resiko dibuat beralih pada saat kontrak ditandatangani bukan pada saat penyerahan, ketidaktepatan pengaturan resiko dalam Pasal 1460KUHPerdata ini diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah 38 Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hal 101 39 Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hal 101. Universitas Sumatera Utara Agung Nomor 3 tahum 1963, yang memintakan para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut. 41 Secara umum, pengaturan mengenai force majeure dalam perundang- undangan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar. Pertama, force majeure ditentukan sebagai klausula yang harus dimasukkan dalam kontrakatau perjanjian mengenai substansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kedua forcemajeure diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi tidak berkaitan dengan kontrakperjanjian mengenai substansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 42 Perundang-undangan yang mengatur force majeure dalam kelompok pertama yang dikaji dalam penelitian ini adalah UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Keputusan Presiden Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta lampirannya yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Keppres No. 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden Perpres No.32 Tahun 2005, Perpres No. 70 Tahun 2005, Perpres No. 8 Tahun 2006, Perpres No.79 Tahun 2006, Perpres No. 85 Tahun 2006, dan Perpres No. 95 Tahun 2007. 43 Perundang-undangan yang mengatur force majeure dalam kelompok kedua yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 23 Tahun 2007tentang Perkeretaapian, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu 40 Ibid., hal 122 41 Damang, Risiko, diakses dari http:www.negarahukum.comhukumrisiko.html pada tanggal 13 Maret 2015 42 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal. 71. Universitas Sumatera Utara Lintas dan Jasa Angkutan, Peraturan Bank Indonesia No. 92PBI2007 tentang Laporan Harian Bank Umum, Peraturan Bank Indonesia No. 820PBI2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Bank Indonesia No. 104PBI2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank, Surat Edaran Bank Indonesia No. 1121DKBU tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat. 44 Dalam konteks hukum, force majeure dapat diartikan sebagai klausula yang memberikan dasar pemaaf pada salah satu pihak dalam suatu perjanjian, untuk menanggung sesuatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan kontrak yang telah diperjanjikan. Selain sebagai dasar pemaaf, klausula forcemajeure juga merupakan dasar pembenar. 45 Rumusan Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata menyatakan bahwa force majeure ini merupakan alasan pembenar dan pemaaf, dimana dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Alasan pembenar dan alasan pemaaf adalah alasan yang mengakibatkan debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perikatan pokokasal, tidak diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga. b. Alasan pembenar adalah alasan yang berhubungan dengan ketidakmampuan obyektif untuk memenuhi perikatan yang ada. Sedangkan alasan pemaaf 43 Ibid 44 Ibid. hal 71-72 45 Supriyadi, Force Majeure, diakses dari http:excellent- lawyer.blogspot.com201004forcemajeure. html, pada tanggal 2 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara adalah alasan yang berhubungan denganketidakmampuan subjektif dalam memenuhi perikatan. c. Alasan pembenar dan pemaaf yang diperbolehkan tersebut bersifat limitative dengan pengertian bahwa selain yang disebutkan dalam KUHPerdata tidak dimungkinkan bagi debitur untuk mengajukan alasan lain yang dapat membebaskannya dari kewajibannya untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga dalam hal debitur telah cidera janji. Hal ini harus dibedakan dari suatu keadaan dimana kreditur tidak menuntut pelaksanaan penggantianbiaya, kerugian, dan bunga dari debitur yang telah cidera janji. d. Alasan pembenar yang diperbolehkan adalah suatu keadaan memaksa atau keadaan yang tidak disengaja mengakibatkan debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja ini adalah suatu alasan yang bersifat obyektif, yang dalam pandangan setiap orang tidak hanya semata-mata debitur pribadi, dengan terjadinya peristiwa memaksa atau tidak terduga tersebut, tidak mungkin dapat melaksanakan perikatan yang telah ditetapkan. e. Alasan pemaaf yang dapat dijadikan alasan adalah terjadinya suatu hal yang takterduga yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya selama tidak ada itikad buruk kepadanya. Dalam konteks alasan pemaaf ini, unsur tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur memegang peranan yang sangat penting. 46 46 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara Oleh karena alasan ini semata-mata bergantung pada kemampuan subjektivitas dari debitur tersebut. Jadi jika debitur masih dapat dipertanggung jawabkan atas tidak dipenuhinya kewajiban atau prestasi yang wajib dipenuhi olehnya tersebut, maka debitur berkewajiban untuk membayar ganti rugi, biaya, dan bunga. 47 Klausula force majeure mempunyai kemiripan dengan perjanjian untung- untungan karena sama-sama bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu akan terjadi akan tetapi klausula force majeure bukanlah merupakan suatu persetujuan untung-untungan. Pasal 1774 KUHPerdata menyatakan: “suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung pada kejadian yang belum tentu”. Perbedaan terlihat jelas dimana dalam perjanjian untung-untungan terdapatnya suatu hasil pelaksanaan berupa untung atau rugi digantungkan pada suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi yang mana peristiwa yang belum tentu terjadi ini merupakan tujuan dari dilaksanakannya suatu perjanjian untung- untungan sedangkan pencantuman klausula force majeure dalam suatu perjanjian itu ditujukan untuk melindungi para pihak dari kewajiban menanggung kerugian atas kejadian yang belum tentu akan terjadi dalam pelaksanaan dari suatu perjanjian. Walaupun tidak dimasukannya klausula force majeure atau keadaan memaksa dalam kontrak, bukan berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh perundang-undangan menjadi terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan, akan 47 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal 89-90 Universitas Sumatera Utara tetapi tidak adanya pencantuman klausula force majeure dianggap sebagai ketidakcermatan dalam penyusunan kontrak sehingga memicu sengketa dimana jika tidak adanya klausula force majeure dalam kontrak, dan pada saat pelaksanaan perjanjian terdapat force majeure, kedua belah pihak akan merasa dirugikan dan saling menghindari kewajiban yang akan berujung pada saling menuntun. 48 48 Michiko, Seputar Hukum Kontrak Komersial, dari http:michikodiakses 2 Mei 2015 Universitas Sumatera Utara 70 BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA KAPAL TONGKANG STUDI PUTUSAN PERDATA PENGADILAN NEGERI MEDAN NO. 503PDT.G2009PN-MDN A. Perjanjian Sewa-menyewa dan Pengaturan Hukum Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Walaupun dalam Pasal 1548 KUHPerdata dikatakan bahwa sewa- menyewa itu berlangsung selama waktu tertentu yang berarti bahwa dalam perjanjian sewa menyewa harus selalu ditentukan tenggang waktu tertentu. Tetapi dalam perjanjian sewa-menyewa itu dapat juga tidak ditetapkan suatu jangka waktu tertentu asal sudah disetujui harga sewa untuk satu jam, satu hari, satu bulan, dan lain-lain. Jadi para pihak bebas untuk menentukan berapa lama waktu tersebut. Dalam praktik pada umumnya perjanjian sewa menyewa ini diadakan untuk jangka waktu tertentu sebab para pihak menginginkan adanya suatu kepastian hukum. Dalam perjanjian sewa-menyewa selalu terdapat 2 dua belah pihak yang selalu mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi subjek sewa-menyewa. Subjek sewa-menyewa merupakan subjek hukum dimana subjek hukum ini ada 2 dua yaitu : orang pribadi dan badan hukum. Untuk melaksanakan suatu perjanjian, terlebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjianapa saja hak dan kewajiban para pihak. Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan para pihak yang merumuskan hubungan kontraktual tersebut diawali dengan proses negosiasi diantara pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya Universitas Sumatera Utara menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan kepentingan melalui proses tawar menawar. 49 Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang digolongkan sebagai berikut: 1. Syarat sah yang umum yaitu : a. Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdiri dari: 1 Kesepakatan kehendak. 2 Wenang berbuat. 3 Perihal tertentu. 4 Kuasa yang legal. b. Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari: 1. Syarat itikad baik. 2. Syarat sesuai dengan kebiasaan. 3. Syarat sesuai dengan kepatutan. 4. Syarat sesuai dengan kepentingan umum. 2. Syarat sah yang khusus terdiri dari: a. Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu. b. Syarat akta notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu. c. Syarat Akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk perjanjian- perjanjian tertentu. 49 Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil , Jakarta : Prenada Media Group, 2010 , hal 1 Universitas Sumatera Utara d. Syarat izin dari yang berwenang. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif yaitu tidak adanya kesepakatan mereka yang membuat perjanjian dan kecakapan membawa konsekuensi perjanjian yang dibuatnya itu dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan namun selama yang dirugikan tidak mengajukan gugatan pembatalan maka perjanjian yang dibuat itu tetap berlaku terus. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi yaitu tidak adanya hal tertentu dan sebab yang halal, perjanjian yang dibuat para pihak sejak dibuatnya perjanjian telah batal atau batal demi hukum.

D. Perjanjian Sewa Menyewa Kapal Tongkang dalam Praktek