II. LANDASAN TEORI
A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilih Tidak Hadir Dalam
Pemilihan Umum
Istilah “golput” sendiri muncul tahun 1990-an. Istilah ini diperkenalkan oleh sejumlah aktivis dan kelompok pro demokrasi seperti Arief Budiman yang
menolak terlibat dalam Pemilu di masa Orde Baru. Saat itu, Pemilu dilihat sebagai kewajiban. Warga negara yang mempunyai hak pilih dipaksa untuk
terlibat atau berpartisipasi sebagai pemilih. Seseorang menggunakan hak pilihnya lebih karena kewajiban atau ketakutan daripada pencerminan dari
sikap atau pilihan politik. Aktivis yang tidak setuju dengan penyelenggaraan Pemilu dan termasuk partai-partai yang ikut bertarung, memperkenalkan
golput untuk mengajak agar masyarakat tidak ikut memilih. Golput karena itu lebih merupakan sikap atau polihan politik yang diambil secara sengaja. Saat
ini istilah ‘golput” kemungkinan mengalami perubahan. Saat ini, warga negara berhak untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya. Tidak ada
sanksi atau hukuman bagi orang yang tidak menggunakan hak pilihnya
Golput adalah singkatan dari Golongan Putih yaitu orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam proses Pemilihan Umum, baik karena
sengaja maupun karena penyebab lainnya. Karena putih identik dengan bersih,
yaitu bersih dari segala noda-noda dalam proses pemilu tersebut. Ada berbagai macam penyebab orang berlaku Golput dan bila dibahas disini mungkin
menjadi panjang di samping karena saya sendiri tidak mahir dalam hal ini.
Hasil dari pemilu berefek selama 5 tahun, di mana rakyat sebagai pemilih hanya dilibatkan dalam kurang lebih sebulan atau bahkan sebenarnya sekejap
yaitu ketika proses pemilhan berlangsung. Rakyat kini semakin banyak yang golput, ditandai dengan meningkatnya angka golput di berbagai pemilihan
kepala daerah.
Golput kini menjadi pro dan kontra. Ada banyak yang setuju golput karena sudah tidak percaya lagi dengan proses pemilu dan politik di negara ini.
Banyak juga yang menentang tindakan golput. Bahkan sebuah kelompok keagamaan terbesar di negara ini mengeluarkan fatwa haram terhadap tindakan
golput. Padahal sudah jelas tindakan golput adalah hak setiap warga negara.
Pilihan masyarakat untuk golput juga ditengarai disebabkan beberapa faktor. Salah satunya, faktor materi. Ada sebuah paradigma di masyarakat bahwa jika
ada pasangan calon yang memberikan uang kepada calon pemilih, dia akan memilih. Jika tidak ada pasangan calon yang memberi uang, dia akan golput.
Pandangan masyarakat seperti itu tentu ada benarnya. Setelah pemilihan usai, biasanya pemimpin kita, seperti presiden, wakil presiden, bupati, wakil bupati,
wali kota, wakil wali kota, lupa akan janji-janjinya. Mereka meninggalkan begitu saja masyarakat pemilih. Proses pendidikan dan demokratisasi di daerah
tidak berjalan lagi. Maka, tidak aneh jika banyak warga yang apatis dan cenderung berperilaku pragmatis.
Faktor penyebab golput tersebut pada dasarnya dapat ditekan atau diminimalkan. Peran serta tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pamong
desa, misalnya, sangat berpengaruh di sini.
Tokoh masyarakat harus mau dan mampu mendidik warga agar mempunyai kesadaran politik. Politik tidak hanya diukur dengan uang atau hadiah lain.
Pelaksanaan pemilu akan menentukan masa depan daerah. Pada dasarnya, keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum yang
merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ramlan Surbakti yaitu memilih atau tidak memilih dalam
pemilu. Sehingga, keputusan untuk tidak memilih ini juga merupakan suatu pilihan yang memungkinkan untuk diambil. Hal ini merupakan bentuk
konsekuensi dari berbagai macam karakteristik perilaku politik masyarakat yang oleh Bone dan Renney diuraikan antara lain menyumbang dan
memberikan dana bagi organisasi, mendirikan organisasi, menjadi anggota organisasi, mengemukakan pendapat, memberikan suara dan bersikap apolitis.
Sebenarnya perilaku memilih merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling kecil dari masyarakat karena hal itu hanya menuntut suatu keterlibatan
minimal yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana. Meskipun demikian perilaku memilih menjadi sebuah obyek penelitian menarik bagi para
ilmuwan sosial, termasuk perilaku memilih di Indonesia. Hal ini dikarenakan pluralitas yang terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu kemajemukan suku,
agama, ideologi, aliran dan budaya politik dalam masyarakat yang dapat
mepengaruhi sikap dan perilaku memilih masyarakat terhadap pemilihan partai maupun calon kepala daerah tertentu. Lebih menarik lagi dicermati, bahwa
ternyata pola perilaku masyarakat pemilih di Indonesia cenderung tidak bersifat rasional dalam arti bahwa para pemilih di Indonesia menentukan
pilihannya terhadap partai tertentu bukan semata-mata karena perhitungan rasional tentang manfaat yang akan mereka terima, namun cenderung
didasarkan oleh faktor-faktor yang bersifat tradisional dan ikatan-ikatan emosional yang dibangun sebagai akibat internalisasi nilai yang mereka pilih
dari suatu generasi ke generasi sebelumnya. Maka, konsep identifikasi kepartaian menjadi sangat relevan dalam memahami perilaku memilih
masyarakat.
B. Macam-Macam Golput