commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hurlock 1993 mengungkapkan bahwa masa remaja adalah periode peralihan dimana status individu tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran
yang harus dilakukan. Status remaja yang tidak jelas selain merugikan juga menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya
hidup yang berbeda dan menetukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.
Masa remaja berlangsung antara umur 12- 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja
pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir Haditono, 2002. Remaja berada pada fase yang mengalami banyak masalah, baik menyangkut hubungan
dengan dirinya maupun orang lain. Remaja memiliki dorongan yang kuat untuk mengatasi dan mencapai apa yang individu inginkan tetapi individu sering tidak
realistis Notosoedirjo, 1999. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya
atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang diterapkannya sendiri Russian dalam Hurlock 1993. Remaja suka membuat teori tentang segala sesuatu yang
dihadapi. Pikirannya sudah dapat melampaui waktu dan tempat, tidak hanya terlihat pada hal yang sudah dialami, tetapi juga dapat berpikir mengenai sesuatu
yang akan datang karena dapat berpikir secara hipotetis Suparno, 2001.
commit to user
Ginsburg dan Opper dalam Suparno, 2001 mengemukakan bahwa remaja lebih mengutamakan posibilitas daripada realitas. Realitas menjadi nomor dua,
bukan yang utama. Segala kemungkinan yang dapat terjadi dipertimbangkan, meskipun itu tidak berpengaruh dan tidak akan dibuat dalam praktik. Remaja
melihat segala kemungkinan dan mempertimbangkan segala macam interpretasi yang dapat diambil. Remaja dapat berpikir efektif karena dapat melihat pemikiran
mana yang cocok untuk persoalan yang dihadapi. Ia dapat memikirkan bersama banyak kemungkinan dalam suatu analisis. Remaja kadang egosentris dalam
pikirannya karena tekanan pada apa yang dapat dipikirkan, kadang remaja beranggapan bahwa apa yang dipikirkan itu dianggap kenyataan padahal
sebenarnya tidak. Remaja terlalu menonjolkan pemikiran sendiri sehingga kadang lupa akan kenyataan yang sesungguhnya.
Karakteristik khas remaja yang melatarbelakangi pola-pola perilaku seperti dijelaskan di atas adalah idealis. Remaja memiliki standar idealisme yang individu
ciptakan sehingga mengarahkan pada tuntutan-tuntutan terhadap diri sendiri dan lingkungan akan bagaimana seharusnya standar ideal. Piaget dalam Santrock,
J.W, 2003 mengungkapkan bahwa remaja memasuki tahapan pemikiran operasional formal dimana beberapa cirinya adalah pemikiran abstrak, idealistis
dan logis. Piaget mengatakan bahwa pemikiran operasional formal baru akan tercapai sepenuhnya di akhir masa remaja, sekitar usia 15-20 tahun. Remaja kerap
berpikir mengenai hal-hal yang mungkin terjadi. Pemikiran remaja adalah pemikiran yang penuh dengan idealisme dan kemungkinan-kemungkinan. Anak-
anak sering berpikir secara konkret, atau berkaitan dengan hal yang nyata dan
commit to user
terbatas, sedangkan remaja mulai memikirkan secara luas mengenai karakteristik ideal, kualitas yang ingin dimilikinya sendiri atau yang diinginkan ada pada orang
lain, berkaitan dengan patokan ideal tersebut. Sepanjang masa remaja, pemikiran seseorang seringkali melayang, berfantasi ke arah kemungkinan-kemungkinan di
masa depan. Remaja mungkin saja menjadi tidak sabar dengan patokan ideal yang dimilikinya dan bingung dengan patokan ideal manakah yang akan dipegangnya.
Individu memikirkan karakteristik ideal dari diri individu sendiri, orang lain, dan dunia. Idealistik remaja berhubungan dengan standar hidup remaja yang tinggi
VanderZanden, J, et.al, 2007. Pemikiran karakteristik ideal ini, terutama dari diri individu sendiri, dikuatirkan membentuk sikap self-criticism.
Blatt dan Zuroff dalam Sturman, E dan Miriam. M, 2005 menyatakan bahwa self-criticism adalah mengenai kegagalan pencapaian standar personal
disertai dengan kebencian pada diri dan perasaan bersalah. Orang-orang dengan sikap self-criticism yang tinggi cenderung menjadi orang yang berorientasi pada
pencapaian, kompetitif, dan keras terhadap diri sendiri. Self-criticism adalah reaksi diri pada apa yang dirasa sebagai penampilan yang kurang sempurna,
karakter yang kurang sempurna dan perilaku yang kurang sempurna sehingga menekan diri Rosengren, 2007.
Self-criticism atau kritik pada diri sendiri dilakukan orang sebagai bagian dari proses perbincangan dengan diri sendiri. Individu berbicara kepada diri
sendiri secara terus menerus. Otak selalu aktif dan sebagian besar yang dilakukannya adalah memberitahu individu tentang dirinya sendiri. Perbincangan
diri ini tentu saja dilakukan secara diam-diam di dalam pikiran yang paling
commit to user
pribadi. Kata-kata dari dalam diri sendiri, seperti kata-kata yang keluar dari mulut orang lain, juga dapat berefek dramatis kepada diri individu. Banyak orang
menyusahkan diri sendiri dengan berkata kasar dan tidak menyenangkan. Perbincangan diri ini, untuk sebagian besar orang, berisi pemberitahuan terhadap
diri sendiri mengenai apa-apa saja yang salah dengan diri individu Lazarus dan Lazarus, 2005. Self-criticism muncul dari sikap evaluasi diri seseorang. Evaluasi
diri seringkali dilakukan seseorang dalam setiap kesempatan. Constantines dan Michelle luke dalam Chang, E, 2007 membedakan
antara dua motif evaluasi diri, yaitu Self-enhancement dan self-assessment. Motif Self-enhancement menggerakkan pikiran dan tingkah laku dalam tugas
memelihara, melindungi atau meningkatkan kepositifan konsep diri. Kebalikannya, motif self-assessment menggerakkan pikiran dan tingkah laku ke
arah pemeliharaan, perlindungan dan peningkatan keakuratan konsep diri. Kedua motif ini mempunyai pengaruh yang bersifat memaksa yang seringnya berlawanan
pada proses informasi yang berkenaan dengan diri. Dua motif ini diaktivasi dan bersaing pada proses seleksi dari informasi.
Self-enhancement adalah kecenderungan untuk fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri seseorang misalnya sifat, kemampuan dan
cita-cita, kehidupan seseorang misalnya kemungkinan terjadinya peristiwa- peristiwa yang diinginkan, kapasitas untuk mengendalikan kejadian-kejadian
macam itu atau informasi yang berkenaan dengan diri yang baru masuk misal umpan balik. Salah satu produk dari self-assessment adalah self-criticism. Orang
akan mempertanyakan maksud individu ketika memilih keakuratan daripada
commit to user
kepositifan informasi atau pengetahuan diri. Individu melampaui informasi yang diberikan dan ikut serta dalam pencarian autobiografis yang dalam dan obyektif,
juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit mengenai orang macam apa individu sebenarnya dan berakhir dengan mengkritik diri individu sendiri. Self-
assessment dapat menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri kepribadian, tingkah laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau cita-cita
seseorang. Kitayama, S dan Yukiko. U 2003 menyatakan bahwa penelitian
mengindikasikan bahwa orang-orang dari beberapa budaya negara Asia sering mengevaluasi diri individu secara negatif. Gilbert,P dan Miles dalam Mills, A et
al, 2007 menemukan bahwa ketika orang ditanyai mengenai bagaimana individu merespon jika individu menerima kritikan, individu dapat menyalahkan diri
sendiri dan atau menyalahkan orang lain. Festinger dalam Santor, A.D dan Aimée.A.Y, 2006 mengemukakan bahwa menurut teori perbandingan sosial
social comparison theory, individu memiliki dorongan dalam dirinya untuk mengevaluasi diri, terutama jika performa individu bermasalah.
Evaluasi diri dapat berfungsi besar dalam kehidupan individu, berdasarkan pendapat bahwa kecakapan yang berkembang untuk pembentukan peranan sosial
sering didapatkan dari evaluasi diri. Pemakaian evaluasi diri merupakan bentuk hubungan diri dengan diri sendiri. Orang dapat menjadi kritis dengan diri sendiri
untuk mencoba mengkoreksi perilaku individu, atau karena individu memiliki sesuatu yang tidak disukai atau dibenci dari diri sendiri. Respon alternatif untuk
kegagalan dapat berupa dukungan pada diri atau penentraman diri, berfokus pada
commit to user
kelebihan seseorang dan koping yang aktif, walaupun sikap menyerang diri sendiri teraktivasi ketika orang merasa bahwa individu telah gagal dalam tugas-
tugas penting, atau jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Respon lain terhadap diri adalah orang dapat menjadi hangat dan menentramkan
diri sendiri. Orang yang mengkritik dan menyerang diri sendiri ketika sesuatu tidak berjalan seperti apa yang diinginkannya, mungkin memiliki kemampuan
yang kurang baik untuk menenangkan diri individu sendiri atau berfokus pada kelebihan-kelebihannya Gilbert,P et al, 2004.
Kritik terhadap diri sendiri atau Self-criticism menyebabkan ketertekanan dalam diri individu, khususnya remaja dengan karakteristik idealis yang
dimilikinya. Remaja menetapkan standar ideal untuk dirinya sendiri. Standar ideal ini dimiliki oleh remaja dalam keberadaannya dalam lingkungan. Remaja
memiliki patokan kualitas ideal untuk dimilikinya sendiri. Patokan kualitas ideal ini memungkinkan remaja untuk memiliki pemikiran yang penuh dengan
alternatif-alternatif perilaku yang memungkinkan individu meraih kualitas ideal yang individu inginkan. Kualitas ideal yang dimiliki oleh remaja seringkali tidak
melihat batasan kemampuannya sendiri sehingga tentunya kualitas ini tidak selalu dapat tercapai. Keadaan ini membuat remaja selalu berusaha untuk memperbaiki
performanya dengan melakukan evaluasi diri yang dapat mengarahkannya pada sikap self-criticism. Menurut Gilbert,P Procter, S 2006, beberapa orang yang
memiliki self-criticism sering melaporkan merasa enggan untuk melepaskan sikap self-criticism individu karena ketakutan akan meleset dari standar individu dan
bahwa individu mungkin menjadi egois atau sombong, atau bahwa itu merupakan
commit to user
perubahan identitas diri. Keadaan ini memungkinkan remaja bereaksi negatif terhadap stres atau mengalami distres.
Kiecolt-Glaser 1994 mengungkapkan bahwa reaksi terhadap stres atau distres berbeda-beda ditinjau pada suatu kontinum. Reaksi subyektif seseorang
terhadap stres mungkin lebih berpengaruh terhadap akibat-akibat psikologis Yip, T et al, 2008. Penelitian akan distres menemukan bahwa individu-individu yang
lebih tua akan kelihatan kurang reaktif terhadap stres karena individu telah membangun strategi-strategi koping yang lebih baik seiring berjalannya waktu
Almeida dan Horn dalam Yip, T et al, 2008. Orang-orang melakukan usaha yang terbaik yang dapat individu lakukan untuk mengatur situasi-situasi, memori-
memori, dan emosi-emosi yang menyakitkan Gilbert,P Procter, S, 2006. Santor dalam Sturman, E dan Miriam. M, 2005 menyebutkan bahwa
orang dengan self-criticism memiliki kebutuhan akan kebanggaan dan status, apabila strategi-strategi perilaku yang bertujuan untuk pengaturan status gagal
maka orang yang memiliki self-criticism menjadi tertekan. Gilbert,P dan Irons dalam Irons et al, 2006 mengemukakan bahwa hubungan seseorang dengan diri
sendiri beroperasi melalui sistem-sistem psikologis yang sama dengan yang individu gunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Seseorang dapat menjadi
kritis dan bermusuhan dengan diri sendiri kemudian merasa tertekan dan terkalahkan. Individu akan tertekan dan mengalami distres ketika menyerang diri
sendiri dengan kritikan. Gilbert,P dan Procter.S 2006 mengemukakan bahwa orang yang
memiliki sifat self-criticism, beresiko tinggi untuk mengalami distres ketika
commit to user
menghadapi suatu kejadian yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Orang yang memiliki suara internal yang melekat dengan baik, menerima serangan kata-
kata yang terus menerus berupa kritikan dan tidak ada yang luput dari penilaian kritik internal. Kritik tersebut seringkali menyamar sebagai “kecaman yang
membangun”. Orang seringkali terlalu menfokuskan diri pada perbaikan akan sesuatu sehingga pada akhirnya individu takut untuk mengambil langkah yang
dibutuhkan untuk perbaikan tersebut. Orang seringkali meyakinkan diri bahwa memperhatikan tindakan dengan terus-menerus memeriksa kekurangan-
kekurangan diri, akan membuat diri bertambuh dan maju, tetapi ketika melihat lebih dalam lagi, individu sering menemukan kebiasaan berbahaya yang hanya
bermanfaat untuk membatasi potensi individu daripada mengembangkannya. Hal yang membuat fokus pada sesuatu yang membuat individu kecewa adalah self-
criticism yang bersifat destruktif yang seringkali menyamar sebagai kesadaran diri. Kesadaran diri adalah tentang memeriksa kenyataan-kenyataan yang ada dan
mencari cara-cara untuk bertumbuh secara positif. Self-criticism dapat membuat diri tertekan dengan putaran pikiran-pikiran negatif yang tidak ada akhirnya
Rosengren, 2007. Uraian di atas mengungkapkan adanya keterkaitan antara self-criticism
dengan distres. Individu yang memiliki self-criticism dapat menjadi sangat kritis dan bermusuhan dengan dirinya sendiri sehingga mengalami distres. SMA Negeri
3 Surakarta merupakan salah satu sekolah favorit di kota Surakarta, dimana para siswa di sana memiliki kompetensi tinggi untuk menjadi yang terbaik.
Kompetensi yang dimiliki mengarahkan siswa untuk terus mengevaluasi diri nya
commit to user
sehingga mencapai prestasi yang terbaik yang diharapkannya. Evaluasi diri ini dapat mengarahkan pada self-criticism sehingga dimungkinkan terjadinya distres
pada siswa. Bapak Drs. Sutarto, guru pembimbing mata pelajaran Bimbingan Karir kelas XI-IPA 5, XI-IPA 6 dan XI-IPA 7 yang sebelumnya menjabat sebagai
koordinator Bimbingan Karir SMA Negeri 3 Surakarta, mengungkapkan bahwa siswa-siswi SMA Negeri 3 Surakarta memang unggul dalam mengejar prestasi
dan berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap aktivitas belajar yang individu lakukan. Siswa-siswi SMA terus-menerus berkompetisi untuk menjadi
yang terbaik diantara sesamanya dan menjadi unggul dibidangnya. Usaha kompetisi untuk menjadi lebih unggul mengandung usaha evaluasi diri sehingga
dimungkinkan untuk mengarahkan pada sikap self-criticism yang dapat mengakibatkan distres. Berdasarkan keterangan yang sama dari Bapak Suyono
kemudian juga didapatkan keterangan bahwa penelitian tentang distres belum ada di SMA Negeri 3 Surakarta. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk meneliti
mengenai hubungan antara self-criticism dengan distres pada siswa SMA negeri 3 Surakarta.
B. Perumusan Masalah