HUBUNGAN ANTARA SELF CRITICISM DENGAN DISTRES PADA SISWA SMA NEGERI 3 SURAKARTA
SMA NEGERI 3 SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program
Pendidikan Strata 1 Psikologi
Oleh:
Evlijn Pasha Widjast
G0105023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
(2)
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah periode peralihan dimana status individu tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Status remaja yang tidak jelas selain merugikan juga menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menetukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.
Masa remaja berlangsung antara umur 12- 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Haditono, 2002). Remaja berada pada fase yang mengalami banyak masalah, baik menyangkut hubungan dengan dirinya maupun orang lain. Remaja memiliki dorongan yang kuat untuk mengatasi dan mencapai apa yang individu inginkan tetapi individu sering tidak realistis (Notosoedirjo, 1999).
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang diterapkannya sendiri (Russian dalam Hurlock 1993). Remaja suka membuat teori tentang segala sesuatu yang dihadapi. Pikirannya sudah dapat melampaui waktu dan tempat, tidak hanya terlihat pada hal yang sudah dialami, tetapi juga dapat berpikir mengenai sesuatu yang akan datang karena dapat berpikir secara hipotetis (Suparno, 2001).
(3)
commit to user
Ginsburg dan Opper (dalam Suparno, 2001) mengemukakan bahwa remaja lebih mengutamakan posibilitas daripada realitas. Realitas menjadi nomor dua, bukan yang utama. Segala kemungkinan yang dapat terjadi dipertimbangkan, meskipun itu tidak berpengaruh dan tidak akan dibuat dalam praktik. Remaja melihat segala kemungkinan dan mempertimbangkan segala macam interpretasi yang dapat diambil. Remaja dapat berpikir efektif karena dapat melihat pemikiran mana yang cocok untuk persoalan yang dihadapi. Ia dapat memikirkan bersama banyak kemungkinan dalam suatu analisis. Remaja kadang egosentris dalam pikirannya karena tekanan pada apa yang dapat dipikirkan, kadang remaja beranggapan bahwa apa yang dipikirkan itu dianggap kenyataan padahal sebenarnya tidak. Remaja terlalu menonjolkan pemikiran sendiri sehingga kadang lupa akan kenyataan yang sesungguhnya.
Karakteristik khas remaja yang melatarbelakangi pola-pola perilaku seperti dijelaskan di atas adalah idealis. Remaja memiliki standar idealisme yang individu ciptakan sehingga mengarahkan pada tuntutan-tuntutan terhadap diri sendiri dan lingkungan akan bagaimana seharusnya standar ideal. Piaget (dalam Santrock, J.W, 2003) mengungkapkan bahwa remaja memasuki tahapan pemikiran operasional formal dimana beberapa cirinya adalah pemikiran abstrak, idealistis dan logis. Piaget mengatakan bahwa pemikiran operasional formal baru akan tercapai sepenuhnya di akhir masa remaja, sekitar usia 15-20 tahun. Remaja kerap berpikir mengenai hal-hal yang mungkin terjadi. Pemikiran remaja adalah pemikiran yang penuh dengan idealisme dan kemungkinan-kemungkinan. Anak-anak sering berpikir secara konkret, atau berkaitan dengan hal yang nyata dan
(4)
commit to user
terbatas, sedangkan remaja mulai memikirkan secara luas mengenai karakteristik ideal, kualitas yang ingin dimilikinya sendiri atau yang diinginkan ada pada orang lain, berkaitan dengan patokan ideal tersebut. Sepanjang masa remaja, pemikiran seseorang seringkali melayang, berfantasi ke arah kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Remaja mungkin saja menjadi tidak sabar dengan patokan ideal yang dimilikinya dan bingung dengan patokan ideal manakah yang akan dipegangnya. Individu memikirkan karakteristik ideal dari diri individu sendiri, orang lain, dan dunia. Idealistik remaja berhubungan dengan standar hidup remaja yang tinggi (VanderZanden, J, et.al, 2007). Pemikiran karakteristik ideal ini, terutama dari diri
individu sendiri, dikuatirkan membentuk sikap self-criticism.
Blatt dan Zuroff (dalam Sturman, E dan Miriam. M, 2005) menyatakan
bahwa self-criticism adalah mengenai kegagalan pencapaian standar personal
disertai dengan kebencian pada diri dan perasaan bersalah. Orang-orang dengan
sikap self-criticism yang tinggi cenderung menjadi orang yang berorientasi pada
pencapaian, kompetitif, dan keras terhadap diri sendiri. Self-criticism adalah
reaksi diri pada apa yang dirasa sebagai penampilan yang kurang sempurna, karakter yang kurang sempurna dan perilaku yang kurang sempurna sehingga menekan diri (Rosengren, 2007).
Self-criticism atau kritik pada diri sendiri dilakukan orang sebagai bagian dari proses perbincangan dengan diri sendiri. Individu berbicara kepada diri sendiri secara terus menerus. Otak selalu aktif dan sebagian besar yang dilakukannya adalah memberitahu individu tentang dirinya sendiri. Perbincangan diri ini tentu saja dilakukan secara diam-diam di dalam pikiran yang paling
(5)
commit to user
pribadi. Kata-kata dari dalam diri sendiri, seperti kata-kata yang keluar dari mulut orang lain, juga dapat berefek dramatis kepada diri individu. Banyak orang menyusahkan diri sendiri dengan berkata kasar dan tidak menyenangkan. Perbincangan diri ini, untuk sebagian besar orang, berisi pemberitahuan terhadap diri sendiri mengenai apa-apa saja yang salah dengan diri individu (Lazarus dan
Lazarus, 2005). Self-criticism muncul dari sikap evaluasi diri seseorang. Evaluasi
diri seringkali dilakukan seseorang dalam setiap kesempatan.
Constantines dan Michelle luke (dalam Chang, E, 2007) membedakan
antara dua motif evaluasi diri, yaitu Self-enhancement dan self-assessment. Motif
Self-enhancement menggerakkan pikiran dan tingkah laku dalam tugas memelihara, melindungi atau meningkatkan kepositifan konsep diri.
Kebalikannya, motif self-assessment menggerakkan pikiran dan tingkah laku ke
arah pemeliharaan, perlindungan dan peningkatan keakuratan konsep diri. Kedua motif ini mempunyai pengaruh yang bersifat memaksa yang seringnya berlawanan pada proses informasi yang berkenaan dengan diri. Dua motif ini diaktivasi dan bersaing pada proses seleksi dari informasi.
Self-enhancement adalah kecenderungan untuk fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri seseorang (misalnya sifat, kemampuan dan cita-cita), kehidupan seseorang (misalnya kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diinginkan, kapasitas untuk mengendalikan kejadian-kejadian macam itu) atau informasi yang berkenaan dengan diri yang baru masuk (misal
umpan balik). Salah satu produk dari self-assessment adalah self-criticism. Orang
(6)
commit to user
kepositifan informasi atau pengetahuan diri. Individu melampaui informasi yang diberikan dan ikut serta dalam pencarian autobiografis yang dalam dan obyektif, juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit mengenai orang macam apa
individu sebenarnya dan berakhir dengan mengkritik diri individu sendiri.
Self-assessment dapat menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri kepribadian, tingkah laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau cita-cita seseorang.
Kitayama, S dan Yukiko. U (2003) menyatakan bahwa penelitian mengindikasikan bahwa orang-orang dari beberapa budaya negara Asia sering mengevaluasi diri individu secara negatif. Gilbert,P dan Miles (dalam Mills, A et al, 2007) menemukan bahwa ketika orang ditanyai mengenai bagaimana individu merespon jika individu menerima kritikan, individu dapat menyalahkan diri sendiri dan atau menyalahkan orang lain. Festinger (dalam Santor, A.D dan Aimée.A.Y, 2006) mengemukakan bahwa menurut teori perbandingan sosial (social comparison theory), individu memiliki dorongan dalam dirinya untuk mengevaluasi diri, terutama jika performa individu bermasalah.
Evaluasi diri dapat berfungsi besar dalam kehidupan individu, berdasarkan pendapat bahwa kecakapan yang berkembang untuk pembentukan peranan sosial sering didapatkan dari evaluasi diri. Pemakaian evaluasi diri merupakan bentuk hubungan diri dengan diri sendiri. Orang dapat menjadi kritis dengan diri sendiri untuk mencoba mengkoreksi perilaku individu, atau karena individu memiliki sesuatu yang tidak disukai atau dibenci dari diri sendiri. Respon alternatif untuk kegagalan dapat berupa dukungan pada diri atau penentraman diri, berfokus pada
(7)
commit to user
kelebihan seseorang dan koping yang aktif, walaupun sikap menyerang diri sendiri teraktivasi ketika orang merasa bahwa individu telah gagal dalam tugas-tugas penting, atau jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Respon lain terhadap diri adalah orang dapat menjadi hangat dan menentramkan diri sendiri. Orang yang mengkritik dan menyerang diri sendiri ketika sesuatu tidak berjalan seperti apa yang diinginkannya, mungkin memiliki kemampuan yang kurang baik untuk menenangkan diri individu sendiri atau berfokus pada kelebihan-kelebihannya (Gilbert,P et al, 2004).
Kritik terhadap diri sendiri atau Self-criticism menyebabkan ketertekanan
dalam diri individu, khususnya remaja dengan karakteristik idealis yang dimilikinya. Remaja menetapkan standar ideal untuk dirinya sendiri. Standar ideal ini dimiliki oleh remaja dalam keberadaannya dalam lingkungan. Remaja memiliki patokan kualitas ideal untuk dimilikinya sendiri. Patokan kualitas ideal ini memungkinkan remaja untuk memiliki pemikiran yang penuh dengan alternatif-alternatif perilaku yang memungkinkan individu meraih kualitas ideal yang individu inginkan. Kualitas ideal yang dimiliki oleh remaja seringkali tidak melihat batasan kemampuannya sendiri sehingga tentunya kualitas ini tidak selalu dapat tercapai. Keadaan ini membuat remaja selalu berusaha untuk memperbaiki performanya dengan melakukan evaluasi diri yang dapat mengarahkannya pada
sikap self-criticism. Menurut Gilbert,P & Procter, S (2006), beberapa orang yang
memiliki self-criticism sering melaporkan merasa enggan untuk melepaskan sikap
self-criticism individu karena ketakutan akan meleset dari standar individu dan bahwa individu mungkin menjadi egois atau sombong, atau bahwa itu merupakan
(8)
commit to user
perubahan identitas diri. Keadaan ini memungkinkan remaja bereaksi negatif terhadap stres atau mengalami distres.
Kiecolt-Glaser (1994) mengungkapkan bahwa reaksi terhadap stres atau distres berbeda-beda ditinjau pada suatu kontinum. Reaksi subyektif seseorang terhadap stres mungkin lebih berpengaruh terhadap akibat-akibat psikologis (Yip, T et al, 2008). Penelitian akan distres menemukan bahwa individu-individu yang lebih tua akan kelihatan kurang reaktif terhadap stres karena individu telah membangun strategi-strategi koping yang lebih baik seiring berjalannya waktu (Almeida dan Horn dalam Yip, T et al, 2008). Orang-orang melakukan usaha yang terbaik yang dapat individu lakukan untuk mengatur situasi-situasi, memori-memori, dan emosi-emosi yang menyakitkan (Gilbert,P & Procter, S, 2006).
Santor (dalam Sturman, E dan Miriam. M, 2005) menyebutkan bahwa
orang dengan self-criticism memiliki kebutuhan akan kebanggaan dan status,
apabila strategi-strategi perilaku yang bertujuan untuk pengaturan status gagal
maka orang yang memiliki self-criticism menjadi tertekan. Gilbert,P dan Irons
(dalam Irons et al, 2006) mengemukakan bahwa hubungan seseorang dengan diri sendiri beroperasi melalui sistem-sistem psikologis yang sama dengan yang individu gunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Seseorang dapat menjadi kritis dan bermusuhan dengan diri sendiri kemudian merasa tertekan dan terkalahkan. Individu akan tertekan dan mengalami distres ketika menyerang diri sendiri dengan kritikan.
Gilbert,P dan Procter.S (2006) mengemukakan bahwa orang yang
(9)
commit to user
menghadapi suatu kejadian yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Orang yang memiliki suara internal yang melekat dengan baik, menerima serangan kata-kata yang terus menerus berupa kritikan dan tidak ada yang luput dari penilaian kritik internal. Kritik tersebut seringkali menyamar sebagai “kecaman yang membangun”. Orang seringkali terlalu menfokuskan diri pada perbaikan akan sesuatu sehingga pada akhirnya individu takut untuk mengambil langkah yang dibutuhkan untuk perbaikan tersebut. Orang seringkali meyakinkan diri bahwa memperhatikan tindakan dengan terus-menerus memeriksa kekurangan-kekurangan diri, akan membuat diri bertambuh dan maju, tetapi ketika melihat lebih dalam lagi, individu sering menemukan kebiasaan berbahaya yang hanya bermanfaat untuk membatasi potensi individu daripada mengembangkannya. Hal
yang membuat fokus pada sesuatu yang membuat individu kecewa adalah
self-criticism yang bersifat destruktif yang seringkali menyamar sebagai kesadaran diri. Kesadaran diri adalah tentang memeriksa kenyataan-kenyataan yang ada dan
mencari cara-cara untuk bertumbuh secara positif. Self-criticism dapat membuat
diri tertekan dengan putaran pikiran-pikiran negatif yang tidak ada akhirnya (Rosengren, 2007).
Uraian di atas mengungkapkan adanya keterkaitan antara self-criticism
dengan distres. Individu yang memiliki self-criticism dapat menjadi sangat kritis
dan bermusuhan dengan dirinya sendiri sehingga mengalami distres. SMA Negeri 3 Surakarta merupakan salah satu sekolah favorit di kota Surakarta, dimana para siswa di sana memiliki kompetensi tinggi untuk menjadi yang terbaik. Kompetensi yang dimiliki mengarahkan siswa untuk terus mengevaluasi diri nya
(10)
commit to user
sehingga mencapai prestasi yang terbaik yang diharapkannya. Evaluasi diri ini
dapat mengarahkan pada self-criticism sehingga dimungkinkan terjadinya distres
pada siswa. Bapak Drs. Sutarto, guru pembimbing mata pelajaran Bimbingan Karir kelas XI-IPA 5, XI-IPA 6 dan XI-IPA 7 yang sebelumnya menjabat sebagai koordinator Bimbingan Karir SMA Negeri 3 Surakarta, mengungkapkan bahwa siswa-siswi SMA Negeri 3 Surakarta memang unggul dalam mengejar prestasi dan berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap aktivitas belajar yang individu lakukan. Siswa-siswi SMA terus-menerus berkompetisi untuk menjadi yang terbaik diantara sesamanya dan menjadi unggul dibidangnya. Usaha kompetisi untuk menjadi lebih unggul mengandung usaha evaluasi diri sehingga
dimungkinkan untuk mengarahkan pada sikap self-criticism yang dapat
mengakibatkan distres. Berdasarkan keterangan yang sama dari Bapak Suyono kemudian juga didapatkan keterangan bahwa penelitian tentang distres belum ada di SMA Negeri 3 Surakarta. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk meneliti
mengenai hubungan antara self-criticism dengan distres pada siswa SMA negeri 3
Surakarta.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah penelitian ini
adalah “apakah ada hubungan antara self-criticism dengan distres pada siswa
(11)
commit to user
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
self-criticism dengan distres pada siswa SMA negeri 3 Surakarta.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi berkaitan
dengan hubungan antara self-criticism dengan distres khususnya bidang pikologi
sosial serta psikologi klinis.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi subyek penelitian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai self-criticism dan distres sehingga mendorong timbulnya pola
pikir yang sehat yang dapat membuka pintu menuju perkembangan, perbaikan dan pemahaman diri yang lebih baik.
2) Bagi para pendidik yang menangani permasalahan remaja, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai self-criticism dan distres
sehingga memberikan proses pembelajaran yang mengarahkan pada self-criticism
secara positif.
3) Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang self-criticism dan dampaknya bagi kesehatan mental anak sehingga dapat
(12)
commit to user
4) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan informasi yang
berkaitan dengan hubungan antara self-criticism dan distres yang dapat
(13)
commit to user
BAB II LANDASAN TEORIA. Distres 1. Pengertian Distres.
Istilah distres muncul dari pembahasan tentang stres, dimana stres yang timbul dalam kehidupan individu dapat menimbulkan respon yang berbeda untuk setiap individu. Distres merupakan respon stres negatif. Stres diartikan sebagai segala sesuatu yang mengganggu seseorang untuk beradaptasi atau mengatasi suatu masalah (LazarusdanLazarus, 2005). Stres adalah suatu kekuatan yang memaksa seseorang untuk berubah, bertumbuh, berjuang, beradaptasi atau mendapatkan keuntungan (Swarth, 2004). Stres adalah keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi orang yang mengalami stres dan hal yang dianggap mendatangkan stres membuat orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan, entah nyata atau tidak nyata, antara keadaan atau kondisi dan sistem sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang ada padanya (Hardjana,1994).
Sarafino, E (1990) menyatakan dalam bentuk yang paling sederhana, ada stres yang baik dan ada stres yang jahat. Stres yang jahat secara umum melibatkan komponen emosi negatif yang kuat. Rice (1999) menyebut distres sebagai stres yang jahat, sementara stres yang baik adalah eustres. Menurut Selye (dalam Sarafino, E, 1990) stres yang berbahaya dan bersifat merusak disebut distres, sedangkan stres yang menguntungkan atau berguna disebut eustres. Tidak semua bentuk stres mempunyai konotasi negatif. Individu yang sanggup menghadapi
(14)
tuntutan beban atasnya dengan baik tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental serta merasa senang, maka ia dikatakan mengalami eustres. Stres yang optimal, berperan dan berdampak positif serta konstruktif bagi seseorang. Stres yang baik disebut eustres. Sebaliknya stres yang merugikan dan merusak atau stres destruktif disebut distres. Distres adalah dampak negatif stres yang tidak hanya mengenai gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh tetapi juga berdampak pada bidang kejiwaan, yang merupakan respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (Hawari, D, 2001).
McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1999) menyebut distres sebagai kekacauan atau ketidakmampuan dalam pemecahan-pemecahan masalah untuk mengelola stres. Distres (dalam Kiecot-Glaser, J.K, 1994) disebut sebagai reaksi terhadap stres yang diduga berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang kuat dari stresor. Reaksi-reaksi terhadap stresor dapat bervariasi dalam sikap yang kompleks diantara individu. Kejadian-kejadian kuat yang mengakibatkan stres akan mempercepat reaksi distres jangka panjang.
Collins dan Frankenhaeuser (dalam Sarafino, E, 1990) mengatakan bahwa pola dari dampak fisiologis dalam keadaan stres tergantung pada 2 faktor yaitu effort dan distres. Effort melibatkan minat, usaha keras dan kebulatan tekad dari seseorang. Distres melibatkan kecemasan, ketidakpastian, kebosanan, dan
ketidakpuasan. Distres tanpa atau dengan effort lebih mungkin bersifat merusak
daripada effort tanpa distres.
Distres adalah manifestasi langsung dari usaha yang harus dikerahkan seseorang untuk menjaga homeostatis psikososial dan fungsi sosial seseorang
(15)
ketika berhadapan dengan stres hidup yang membebani (Kates dalam Terluin B et al, 2006). Distres didefinisikan sebagai pengalaman multifaktorial yang tidak menyenangkan dari sifat emosi, psikologis, sosial atau spiritual yang mengganggu kemampuan koping (Holand dalam Graves, K et al, 2007).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa distres adalah reaksi negatif dan merusak dari stres akibat ketidakmampuan dalam pemecahan masalah untuk mengelola stres, yang tidak hanya mengenai gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh tetapi juga berdampak pada kejiwaan, yang berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang kuat dari stresor.
2. Aspek dan Ciri-Ciri Distres.
a) Aspek Distres
Smith, Ellen dan Jeanne S (www.helguide.org) menulis bahwa
aspek-aspek dari distres terdiri dari aspek-aspek kognitif, aspek-aspek emosi, aspek-aspek fisik dan aspek-aspek behavioural. Aspek kognitif adalah masalah-masalah ingatan, keragu-raguan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, sulit berpikiran jernih, penilaian yang buruk, melihat hanya hal-hal yang negatif, khawatir, kecemasan yang berkelanjutan, kehilangan objektivitas, mengantipasi rasa takut . Aspek emosi
adalah kemurungan, agitasi, gelisah, lekas marah, ketidaksabaran,
ketidakmampuan untuk rileks, merasa tegang dan merasa di ujung tanduk, merasa
kewalahan, merasa kesepian dan isolasi, depresi atau ketidakbahagiaan. Aspek
fisik adalah sakit kepala atau sakit punggung, ketegangan atau kekakuan otot, diare atau konstipasi, mual, rasa pusing, insomnia, nyeri pada dada, detak jantung
(16)
yang cepat, kehilangan berat badan atau berat badan naik, kulit berjerawat, sering flu . Aspek behavioural adalah makan berlebihan atau kurang makan, tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, mengisolasi diri dari orang lain, penundaan atau mengabaikan tanggung jawab, menggunakan alkohol, rokok, atau obat-obatan untuk bersantai, kebiasaan gugup (misalnya, menggigit kuku, mondar-mandir), Teeth grinding atau mengepalkan rahang, aktivitas berlebihan (misalnya, berolahraga, belanja), reaksi berlebihan pada masalah tak terduga dan berkelahi
dengan orang lain.
Mayo Clinic (www.nlm.nih.gov/medlineplus/stress) mencatat bahwa distres dapat dilihat pada tubuh, perasaan dan perilaku. Distres dapat dilihat pada tubuh yaitu sakit kepala, sakit punggung, nyeri dada, penyakit jantung, jantung berdebar-debar, tekanan darah tinggi, penurunan kekebalan, sakit perut dan masalah tidur. Distres dapat dilihat pada perasaan yaitu anxietas, gelisah, khawatir, mudah tersinggung, depresi, kesedihan, kemarahan, merasa tidak aman, kurang fokus, kelelahan dan pelupa. Distres dapat dilihat pada perilaku yaitu makan berlebihan atau kurang makan, ledakan kemarahan, penyalahgunaan obat atau alcohol, peningkatan konsumsi rokok, penarikan diri dari dunia sosial, menangis dan konflik dalam hubungan.
Hardjana (1994) mengungkapkan bahwa distres terdiri dari 4 aspek yaitu fisik, emosi, intelektual dan interpersonal. Aspek fisik adalah mengenai sakit kepala, tidur tidak teratur, sakit punggung, gatal-gatal pada kulit, urat tegang ter utama bagian leher dan bahu, gangguan pencernaan, kelewat berkeringat, selera makan berubah dan lelah atau kehilangan daya energi. Aspek emosi berupa
(17)
gelisah, sedih, depresi, mood, berubah-ubah, gugup, mudah tersinggung dan emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental. Aspek intelektual berupa susah ber konsentrasi, sulit, membuat keputusan, mudah terlupa, pikiran kacau, pikiran di penuhi oleh satu, pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat, mutu kerja rendah, dalam kerja dan membuat kekeliruan lebih banyak. Aspek interpersonal berupa kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mengacuhkan orang lain dan mengambil sikap terlalu membentengi diri.
b) Ciri-ciri Distres
Karakteristik dari distres menurut Kates (dalam Terluin B et al, 2006)
adalah kekhawatiran (worry), sifat lekas marah (irritability), ketegangan (tension),
lesu (listleness), konsentrasi yang kurang baik (poor concentration),
masalah-masalah tidur (sleeping problems) dan demoralisasi (demoralization).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa aspek-aspek distres meliputi aspek fisik , aspek emosi, aspek intelektual dan aspek interpersonal. Ciri-ciri distres meliputi kekhawatiran, sifat emosional, gangguan pada konsentrasi dan masalah moral.
Penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek distres yang diungkapkan oleh Hardjana (1994) yaitu aspek fisik, aspek emosi, aspek intelektual dan aspek interpersonal.
3. Sumber Distres
Sumber-sumber distres menurut Smith, Ellen dan Jeanne S
(18)
sumber internal. Sumber-sumber distres eksternal yaitu perubahan hidup, pekerjaan, hubungan kesulitan, masalah keuangan, kesibukan, anak-anak dan keluarga. Sumber-sumber distres internal yaitu ketidakmampuan untuk menerima ketidakpastian, pesimisme, pembicaraan intrapersonal yang negatif, harapan yang tidak realistis, perfeksionisme, kurangnya ketegasan. Menurut Tatik.Wardhani dalam intisari-online (www.intisari-online.com), daya tahan seseorang terhadap stres merupakan salah satu sumber yang menentukan seseorang mengalami
distres. Johana dalam All About Stress (All-About-Stress.com) menyebutkan
bahwa pola piker dan emosi seseorang terhadap ancaman fisik atau psikologis yang dihadapinya menjadi sumber terbentuknya distres.
Berdasarkan pendapat diatas, distres bersumber dari dua sumber yaitu sumber eksternal yang berasal dari luar diri individu dan sumber internal yang berasal dari diri individu sendiri.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distres
Graves, K et al (2007) menyatakan bahwa distres adalah multifaktorial. Banyak segi dalam kehidupan seseorang berperan untuk membuat individu mengalami distres, termasuk diantaranya:
a) Simptom-simptom psikis, keparahan penyakit yang mungkin dialami,
perawatan yang berkaitan dengannya
b) Tingkatan aktivitas fisik atau status penampilan
c) Dukungan sosial dan faktor-faktor psikologis seperti optimisme
(19)
e) Depresi yang dialami
Stres yang datang dapat menjadi eustres atau distres, dipengaruhi oleh penilaian dan daya tahan seseorang terhadap hal, peristiwa, orang, dan keadaan yang potensial atau netral kandungan daya stresnya (Hardjana, 1994). Sarafino, E (1994) mengungkapkan bahwa penilaian seseorang tentang hal, peristiwa, orang atau keadaan dipengaruhi oleh dua faktor pokok:
a) Pribadi
Faktor pribadi meliputi unsur intelektual, motivasi dan kepribadian. Unsur intelektual berkaitan dengan sistem berpikir. Unsur motivasi berkaitan dengan ancaman terhadap cita-cita hidup yang ditimbulkan oleh hal, peristiwa, orang atau keadaan tersebut.
b) Situasi
Faktor situasi dapat tampil dalam beberapa bentuk. Bentuk pertama, bila terdapat kandungan tuntutan berat dan mendesak. Bentuk kedua, bila hal itu berhubungan dengan perubahan hidup. Bentuk ketiga, bila ada ketidakjelasan (ambiguity) dalam situasi. Bentuk keempat, berhubungan dengan tingkat
diinginkannya (desirability) suatu hal. Bentuk kelima, berhubungan dengan
kemampuan orang untuk mengendalikan (controllability) hal tersebut.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi distres dipengaruhi oleh penilaian dan daya tahan seseorang terhadap hal, peristiwa, orang, dan keadaan yang potensial atau netral kandungan daya stresnya.
(20)
B. Self-Criticism
1. Pengertian Self-Criticism
Rosengren, C (2007) mengungkapkan self-criticism sebagai suatu cara
melihat diri sendiri, menemukan kekurangan dalam diri dan menguatkan pesan
bahwa diri sendiri tidak cukup baik. Self-Criticism menekan diri pada kesalahan
apa yang telah diperbuat, apa yang seharusnya dilakukan dengan lebih baik, apa yang perlu dilakukan dengan cara yang berbeda lain kali, merasa frustasi terhadap
diri sendiri dan perasaan bahwa diri tidak cukup baik. Self-criticism adalah suatu
kritik internal dalam keadaan tidak realistik dan individu akan memiliki pemikiran berbeda ketika kritikan tersebut tentang orang lain. Dick olney (dalam Rosengren,
C, 2007) mengatakan bahwa self-criticism adalah kebencian pada diri sendiri, dan
akan selalu menyerang diri sendiri tanpa pengecualian. Self-criticism adalah
kecenderungan untuk memusatkan perhatian dan menekankan pada aspek-aspek negatif dari konsep diri seseorang, kehidupan seseorang atau umpan balik yang negatif (Chang, E, 2007).
Self-criticism adalah bentuk maladaptif dari self-definition yang
dikarakterisasikan dengan self-regulation yang disertai oleh rasa bersalah dan
ketakutan akan celaan. Self-criticism membuat cara adaptasi individu menjadi
buruk. Orang yang memiliki self-criticism akan lebih mungkin memulai dan
mengatur pengejaran tujuan berdasarkan kemungkinan rasa bersalah dan harga
diri daripada minat dan makna personal. Orang yang memiliki self-criticism
(21)
persetujuan daripada pengejaran tujuan yang efektif (Shahar, dalam Powers, T., Richard.K dan David Z 2007).
Individu yang mengkritik diri sendiri dicirikan dengan perasaan tidak berguna, inferior dan sikap mencermati diri sendiri dengan keras. Seseorang dipercaya memiliki ketakutan kronis terhadap ketidaksetujuan dan kritikan dari orang lain bersama dengan ketakutan akan kehilangan persetujuan atau penerimaan dari orang lain yang berarti baginya (Blatt dan Schichman, dalam
Santor, A.D dan Aimée.A.Y, 2006). Self-Criticism dapat mempengaruhi sikap
individu dalam merespon kejadian-kejadian yang mengancam harga diri. Individu yang mengkritik diri sendiri mungkin akan berusaha untuk melindungi diri sendiri ketika harga diri seseorang terancam dengan membalas dendam kepada teman-teman atau pasangan (Santor dan Zuroff, dalam Santor, A.D dan Aimée.A.Y, 2006).
Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006)
mengemukakan bahwa self-criticism dapat dilihat sebagai bentuk gangguan diri
internal (internal self-harrasment), yang dapat secara tetap menstimulasi
penjagaan terhadap kepatuhan (submissive), cemas dan depresi, terutama jika
orang tidak dapat membela dirinya terhadapnya. Self-criticism adalah
menunjukkan sesuatu yang kritis atau penting dalam kepercayaan, pemikiran,
gerakan, perilaku atau hasil-hasil seseorang. Self-Criticism dapat membentuk
bagian dari privasi, pemikiran personal atau diskusi kelompok. Self-criticism
(22)
Self-criticism menunjuk pada salah satu isi dari “hati nurani” atau superego yaitu penilikan diri atau kritikan diri (Mappiare, 2006). Sedangkan
menurut VandenBos G.R (2007), self-criticism adalah pemeriksaan dan evaluasi
dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan kelemahan-kelemahan, kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan.
Dari berbagai uraian di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa self-criticism adalah bentuk gangguan diri internal yang berupa pemeriksaan dan evaluasi dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan kelemahan, kesalahan, kekurangan diri sendiri yang disertai rasa bersalah dan ketakutan akan celaan.
2. Sumber-Sumber Self-Criticism
Menurut Andrew (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006) sumber-sumber self-criticism yaitu
a) Modelling. Modelling adalah memperlakukan diri sendiri seperti yang diperlakukan orang lain pada dirinya.
b) Strategi atau perilaku aman dengan orang lain yang bersikap
bermusuhan.
c) Rasa malu.
d) Ketidakmampuan untuk menenteramkan diri.
e) Ketidakmampuan untuk menghibur diri ketika berada dalam ancaman.
(23)
g) Kekurangan skema internal orang lain sebagai orang yang aman dan suportif dan atau sebagai respon ketakutan-kemarahan atau frustrasi yang bertindak sebagai peringatan dalam menghadapi ancaman.
Menurut Gilbert (Gilbert, P et al, 2004), self-criticism dapat timbul dari
usaha-usaha untuk memperbaiki diri sendiri dan mencegah kesalahan, keluar dari frustasi, atau dari kebencian pada diri.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa self-criticism berasal dari beberapa hal yaitu modelling, perilaku aman, rasa malu, usaha memperbaiki diri, ketidakmampuan untuk menentramkan diri dan ktidakmampuan untuk memproses kemarahan.
3. Aspek-Aspek Self-Criticism
Menurut Gilbert, P et al (2004) terdapat 2 aspek untuk mengukur
self-criticism yaitu
a) Inadequate Self
Inadequate Self mencakup perasaan dalam diri individu yang tertekan
secara internal dan menimbulkan perasaan inadequate (merasa tidak mampu)oleh
kegagalan dan kemunduran yang dialami individu. Inadequate Self berfokus pada
perasaan ketidakcakapan individu dan perasaan individu bahwa ia telah
terkalahkan. Inadequate Self juga melingkupi perasaan bahwa individu merasa
pantas untuk dikritik dan pemikiran bahwa individu mengingat dan larut dalam kegagalan yang dialami.
(24)
b) Hated Self
Hated Self merangkum respon yang lebih destruktif dan berdasarkan kemuakan diri pada kemunduran yang dialami dikarakteristikkan oleh
ketidaksukaan pada diri (self-dislike) dan hasrat agresif atau sadistis atau
penyiksaan (persecution) kepada diri sendiri. Hated Self Berfokus pada rasa
kemarahan pada diri atau self-hatred.
Cox et al (2004) mengungkapkan bahwa aspek dari self-criticism yaitu
self-blame yaitu merupakan salah satu penilaian negatif kognitif, feelings of worthlesness and guilt, Perceived personal weakness dan Perasaan bahwa telah gagal untuk berbuat sesuai dengan harapan semula.
Thompson dan Zuroff (dalam Gilbert, P et al, 2004) mengukur
self-criticism dalam dua aspek, yaitu
a) Comparative Self-Criticism (Com S.C)
Adalah pandangan negatif dari diri dalam perbandingannya dengan orang
lain. Comparative Self-criticism merefleksikan kepedulian akan keadaan sosial.
Item-item dalam Comparative Self-criticism termasuk ketidaknyamanan dalam
situasi sosial dimana individu tidak sepenuhnya mengetahui apa yang akan terjadi dan ketakutan akan kehilangan penghargaan dari orang lain apabila seseorang terlalu mengetahui diri individu yang bersangkutan.
b) Internalized Self-criticism (Int.S.C)
Adalah pandangan negatif dari diri dalam perbandingannya dengan standar
(25)
kesedihan mendalam ketika mengalami kegagalan dan perasaan keraguan akan nilai diri ketika mengalami kegagalan.
Aspek self-criticism yang akan peneliti gunakan adalah aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Gilbert, P et al (2004) yaitu Inadequate Self dan Hated Self.
4. Konsep Self-Criticism
Beck (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa kognisi, emosi dan
elemen-elemen pondasi psikologis dapat dihubungkan dalam modes (cara-cara).
Aktivasinya seiring dengan berjalannya waktu , mempengaruhi kemunculan tipe-tipe tertentu dari skema diri yang lain sebagai kompetensi kognitif yang beragam untuk hubungan diri dengan yang lain (misalnya kesadaran diri dan teori-teori tentang pikiran) dan berkembang dengan kematangan.
Gilbert, P (2005) menghubungkan self-criticism ke dalam bentuk
hubungan self-to-self internal yang berakar pada system-sistem penyusun hal-hal
yang berhubungan dengan sosial yang disebut teori mentalitas sosial.
Gilbert (dalam Gilbert, P et al, 2006) mengungkapkan bahwa elemen yang lebih jauh dari skema-skema diri yang lain , berhubungan dengan evolusi dari sistem pembentukan peran dan ditentukan secara sosial. Sistem pembentukan peran mengarah pada mentalitas sosial. Mentalitas sosial membimbing orang untuk menciptakan tipe-tipe tertentu dari peran-peran dengan orang lain (contoh: kelekatan anak, perlindungan orangtua, pertemanan, persekutuan atau hubungan seksual), membimbingnya dalam interpretasi terhadap peran sosial orang lain yang dicoba atau dicari untuk diperankan pada dirinya (misal orang lain berlaku
(26)
peduli, seksual, ramah atau kompetitif terhadap dirinya) dan juga membimbing respon-respon afektif dan behavioral (contoh: jika orang lain ramah maka respon yang timbul adalah mendekati dan berlaku ramah juga, jika orang lain bersikap bermusuhan maka respon yang timbul adalah menyerang atau menghindari). Orang dapat mengatasi kegagalannya dengan lebih baik jika dirinya memiliki akses kepada skema suportif untuk dirinya sendiri dan atau orang lain. Tingkatan dimana orang dapat mengakses kehangatan dan dukungan, atau menghukum diri dan kritis pada diri, skema hubungan orang lain ke diri sendiri dan diri ke diri sendiri dan ingatan-ingatan memiliki sikap pokok pada respon emosi dan sosial terhadap kejadian-kejadian yang ada.
Sistem-sistem internal manusia berguna untuk merespon isyarat-isyarat sosial eksternal (contohnya perasaan relaks dan suportif terhadap isyarat-isyarat sosial yang positif, atau takut, malu dan patuh terhadap isyarat-isyarat ancaman dari orang lain yang sangat kuat) terkait dengan mentalitas sosial sehingga dapat juga menjadi pola, dengan prosedur implicit untuk memproses dan merespon sinyal-sinyal internal. Baldwin (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa skema-skema interpersonal (diri dalam hubungannya dengan orang lain) membentuk dasar untuk evaluasi dan pengalaman-pengalaman hubungan internal diri berikutnya.
Constantines dan Michelle luke (dalam Chang, E, 2007) membedakan
antara dua motif evaluasi diri, yaitu Self-enhancement dan self-assessment. Motif
Self-enhancement menggerakkan pikiran dan tingkah laku dalam tugas memelihara, melindungi atau meningkatkan kepositifan konsep diri.
(27)
Kebalikannya, motif self-assessment menggerakkan pikiran dan tingkah laku ke arah pemeliharaan, perlindungan dan peningkatan keakuratan konsep diri. Kedua motif ini mempunyai pengaruh yang bersifat memaksa yang seringnya berlawanan pada proses informasi yang berkenaan dengan diri. Dua motif ini diaktivasi dan
bersaing pada proses seleksi dari informasi. Self-enhancement adalah
kecenderungan untuk fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri seseorang (misalnya sifat, kemampuan dan cita-cita), kehidupan seseorang (misalnya kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diinginkan, kapasitas untuk mengendalikan kejadian-kejadian macam itu) atau informasi yang berkenaan dengan diri yang baru masuk (misal umpan balik). Salah satu produk
dari self-assessment adalah self-criticism. Orang akan mempertanyakan maksud
dirinya ketika memilih keakuratan daripada kepositifan informasi atau pengetahuan diri. Individu melampaui informasi yang diberikan dan ikut serta dalam pencarian autobiografis yang dalam dan obyektif, juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit mengenai orang macam apa individu sebenarnya
dan berakhir dengan mengkritik diri individu sendiri. Self-assessment dapat
menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri kepribadian, tingkah
laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau cita-cita seseorang.
Ketika individu menyerang dan mengkritik diri sendiri, kemungkinan mengaktivasi beberapa cara otak yang sama dengan ketika individu melakukannya pada orang lain. Greenberg, Elliot dan Foerster (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa depresi lebih mungkin pada individu yang tidak dapat membela diri individu sendiri dari sikap menyerang diri individu, kemudian
(28)
individu merasa kalah dan ditaklukkan oleh sikap tersebut dan secara patuh
menerima self-criticism. Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P et al, 2006)
menemukan bahwa orang dengan self-criticism yang tinggi sering tunduk pada
self-criticism individu sendiri, dan tidak dapat meniadakan sikap individu yang menyerang diri individu sendiri.
Blatt dan Homann (dalam Irons et al, 2006) mencatat bahwa self-criticism
berkembang dari kecemasan-kecemasan akan kehilangan persetujuan orangtua yang bersikap kasar, memiliki sifat menghukum, yang juga kekurangan kehangatan emosi. Koestner, Zuroff dan Powers (dalam Irons et al, 2006) menemukan bahwa anak yang memiliki orangtua yang bersikap membatasi dan menolak secara berlebihan lebih mungkin untuk menjadi pribadi yang mengkritik diri sendiri.
Baldwin (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa pengalaman-pengalaman dalam hubungan-hubungan, memberikan skema interpersonal yang
menjadi sumber hubungan dengan diri sendiri (self-relating) yang adalah bahwa
individu mungkin berpikir tentang diri sendiri dan memperlakukan diri sendiri dengan cara yang dilakukan orang lain padanya.
Hermans, H dan Dimaggio, G (2004) mengatakan bahwa self-criticism
tidak hanya berisi kumpulan dari kepercayaan dan pemikiran yang dipegang mengenai diri atau diarahkan pada diri dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan
peringatan-peringatan. Hal yang terinternalisasi dalam self-criticism lebih dari
(29)
cemoohan dan penolakan yang adalah kecenderungan aksi dari emosi-emosi seperti kebencian dan kemuakan.
Greenberg (dalam Gilbert.P, 2004) yang pertama menyatakan dengan jelas bahwa ketidakmampuan untuk membela diri dan merasa terkalahkan oleh self-criticismnya,yang terkandung di dalam self-criticism adalah suatu hal yang penting dalam respon afeksi. Beberapa kasus menunjukkan seperti ada pertikaian yang berlangsung dalam diri dan kebencian pada diri.
Berdasarkan hal-hal di atas konsep self-criticism dapat disimpulkan
berasal dari sistem-sistem internal manusia yang berguna untuk merespon isyarat-isyarat sosial eksternal. Hal ini terkait dengan mentalitas sosial sehingga dapat juga menjadi pola prosedur implisit untuk memproses dan merespon sinyal-sinyal internal skema-skema interpersonal (diri dalam hubungannya dengan orang lain) membentuk dasar untuk evaluasi dan pengalaman-pengalaman hubungan internal
diri berikutnya. Dua motif evaluasi diri adalah self-enhancement dan
self-assessment. Self-assessment dapat menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri kepribadian, tingkah laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau cita-cita seseorang.
C. Hubungan Antara Self-criticism dengan Distres
Distres merupakan bentuk respon negatif terhadap stres yang dialami oleh individu. Carlson, R (2002) mengungkapkan bahwa distres bukanlah sesuatu yang terjadi terhadap seseorang melainkan sesuatu yang dibuat dari dalam pikirannya sendiri. Perbincangan diri negatif biasanya menghasilkan rasa cemas dan depresi,
(30)
serta akibat-akibat lain yang tidak menguntungkan. Perbincangan diri positif akan mengarah ke pencapaian hasil yang diinginkan dan membangkitkan perasaan yang menyenangkan (Lazarus dan Lazarus, 2005). Tindakan ini memperburuk stres dan pada akhirnya mengurangi efektifitas seseorang.
Proses evaluasi negatif dalam diri mendatangkan respon stres (Dickerson dan Kemeny, dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006). Proses penilaian kognitif berperan penting dalam menentukan jenis stres yang mana yang akan dialami oleh
individu (Sarafino, E, 1990). Pemikiran self-criticism merupakan salah satu
penilaian kognitif yang negatif (Cox et al, 2004). Remaja yang memiliki gaya
kognitif self-criticism dalam menghadapi kejadian-kejadian stres lebih mungkin
memiliki sikap menghukum diri sendiri (Glassman, L.H et al, 2007).
Menurut Gilbert dan Irons (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006),
self-criticism dapat mengarah pada banyak gangguan, meningkatkan sifat mudah terkena sakit, ekspresi dampak dari simptom-simptom dan meningkatkan resiko kambuh. Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006)
mengemukakan bahwa aspek-aspek patologis dari self-criticism tidak hanya
berhubungan dengan isi pikiran tetapi juga dengan dampak dari kemarahan dan
kemuakan yang mengarah pada diri sendiri dalam criticism. Gilbert, P dan
Procter, S (2006) mengemukakan bahwa kualitas patogenik dari self-criticism ada
pada dua kunci proses yaitu tingkat permusuhan yang diarahkan pada diri sendiri,
rasa jijik, dan rasa benci pada diri sendiri yang menimbulkan self-criticism dan
ketidakmampuan relatif untuk menghasilkan perasaan kehangatan hati, ketenangan hati, ketenteraman hati, dan menyukai diri sendiri.
(31)
Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P et al, 2006) menyatakan bahwa ada individu yang ketika mengalami distres memiliki prosedur implicit yang
sedikit dalam menstimulasi sikap penentraman hati (self-soothing). Individu
dengan self-criticism memiliki kesulitan untuk merasa lega, tenang atau aman.
Penelitian membuktikan bahwa sistem regulasi afeksi (affect regulation system)
khusus menyokong perasaan tenang, aman dan sejahtera. Sistem ini kurang baik
dicapai oleh individu yang memiliki self-criticism tinggi (Gilbert, 2009). Gilbert
dan Irons (2004) mengungkapkan bahwa orang-orang yang memiliki self-criticism
mengalami distres ketika diminta untuk membangkitkan gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan suportif untuk diri sendiri.
Sekides dan Luke (dalam Chang, E, 2007) menyatakan bahwa ada banyak
bukti dari akibat-akibat self-criticism yang merusak, tidak hanya psikologis tetapi
juga kesehatan fisik. Self-criticism yang berulang berhubungan dengan mood
negatif dan keputusasaan (Santor dan Patterson dalam Chang, E, 2007), Aspek depresi (Besser dan Priel dalam Chang, E, 2007), depresi mayor (Cox, McWilliams, Enns dan Clara dalam Chang, E,2007), rasa malu dan menimbulkan peningkatan aktivitas proinflamatori sitokinin dan tingkat kortisol, bersama dengan perasaan malu (Dickenson, Gruenewald dan Kemedy, dalam Chang, E 2007).
Freud (dalam Gibert et al, 2004) berpendapat bahwa self-devaluation dan
self-criticism timbul dari serangan-serangan superego pada ego dan usaha-usaha untuk melindungi orang yang memerlukannya dari kemarahan. Gilbert (dalam Gilbert, P et al, 2004) berpendapat bahwa pemikiran-pemikiran dan
(32)
perasaan-perasaan self-criticism dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk dari ” usikan atau
gangguan atau godaan yang muncul dari dalam diri (inner harrasment)” yang
menyebabkan distres. Orang yang memiliki self-criticism jika mendapatkan
bantuan untuk mengurangi self-criticism individu (mengurangi ancaman internal
dan menjadi lebih dapat menghibur diri menentramkan diri individu dan orang lain) maka distres yang ada pun akan berkurang (Gilbert dan Irons , dalam Mills, A et al, 2007).
Orang yang membangkitkan self-criticism maka “suara kritik dalam diri”
tersebut dapat juga menstimulasi stres dan membuat orang tersebut merasa dikalahkan (Gilbert, P dan Procter, S, 2006). Orang yang mengakses
pikiran-pikiran negatif (self-attacking) dengan mudah menjadi lebih tertekan (Teasdale,
dalam Gilbert, P et al, 2004). Orang yang memiliki self-criticism mengalami
kesulitan untuk menghibur diri individu sendiri (Gilbert, P dan Procter, S, 2006) padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Rockliff et al (2008), orang yang berhasil menggunakan sikap menghibur atau menenangkan diri sendiri mengalami
penurunan kortisol, meunujukkan dampak penentraman dalam axis HPA.
Self-criticism berhubungan dengan peningkatan axis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenokortisol) dan pelepasan kortisol (Mason, dalam Rockliff et al,2008). Ketika seseorang berada dalam distres, jumlah kortisol yang beredar dalam tubuh tinggi (Talbott, 2004). Masalah-masalah dalam hubungan keluarga, fungsi emosi, kekurangan informasi terhadap suatu hal dan penanganannya, fungsi fisik dan fungsi kognitif berhubungan dengan kasus-kasus distres yang banyak (Graves, K et al, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Paul Gilbert dan Chris Irons (2004)
(33)
menyebutkan bahwa orang yang memiliki self-criticism merasakan bahwa self-criticism individu muncul secara otomatis, kuat, sukar untuk dihindari, bersifat intrusive (mengganggu) dan menimbulkan distres.
Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya hubungan antara self-criticism
dengan distres. individu dengan self-criticism mengalami kesulitan dalam upaya
menenangkan dirinya sendiri apabila mengalami stres. Individu yang memiliki self-criticism akan bereaksi terhadap stres dengan lebih negatif dan lebih merasa tertekan.
D. Kerangka Pemikiran
Remaja memiliki karakteristik khas perkembangan. Salah satu karakteristik tersebut adalah karakteristik idealis. Remaja menetapkan standar ideal atau kualitas pribadi yang harus dimilikinya. Standar ini seringkali lebih dari apa yang mampu ia lakukan sehingga seringkali standar ini tidak tercapai seperti yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mendorong remaja untuk terus memperbaiki performanya dengan melakukan evaluasi diri yang dapat
mengarahkannya pada self-criticism. Self-criticism yang dilakukan remaja dapat
menimbulkan ketertekanan dalam diri remaja sehingga ketika ada kejadian stres, respon yang timbul adalah distres.
(34)
E. Hipotesis
Hipotesis yang melandasi penelitian ini adalah Ada hubungan positif
antara self-criticism dengan distres pada remaja dimana ketika self-criticism tinggi
(35)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel 1. Variable tergantung dari penelitian ini adalah distres 2. Variable bebas dari penelitian ini adalah self-criticism
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Distres
Distres adalah reaksi negatif dan merusak dari stres akibat ketidakmampuan dalam pemecahan masalah untuk mengelola stres, yang tidak hanya mengenai gangguan fungsional organ-organ tubuh tetapi juga berdampak pada kejiwaan, yang berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang kuat dari stresor. Distres diukur dengan skala yang dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek distres yang dikemukakan oleh Hardjana (1994) yaitu fisikal, emosional, intelektual dan interpersonal. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi pula distres yang dialami.
2. Self-Criticism
Self-criticism adalah bentuk gangguan diri internal yang berupa pemeriksaan dan evaluasi dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan kelemahan, kesalahan, kekurangan diri sendiri yang disertai rasa bersalah dan ketakutan akan celaan. Self-Criticism diukur dengan skala yang dibuat oleh
(36)
peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Gilbert (2004) yaitu
Inadequate Self dan Hated Self. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi pula self-criticism yang dialami.
C. Populasi, Sampel, Dan Sampling
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 3 Surakarta. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini mengambil 3 kelas dari 10 kelas pada kelas XI SMA Negeri 3 Surakarta, yang berjumlah 96 orang. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling (Suryabrata. S , 2003). Cara yang digunakan dalam pemilihan adalah dengan undian. Undian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Membuat suatu daftar yang berisi semua kelas yang ada dalam populasi.
b. Memberikan kode-kode yang berupa angka-angka untuk tiap-tiap kelas yang dimaksudkan.
c. Menuliskan masing-masing kode ke dalam lembar kertas kecil-kecil. d. Menggulung kertas yang sudah berisikan kode.
e. Memasukkan gulungan-gulungan kertas ke dalam kaleng atau semacamnya
f. Mengocok kaleng yang berisi gulungan-gulungan kertas. g. Mengambil kertas gulungan sebanyak yang dibutuhkan.
(37)
Jumlah kelas digunakan untuk penelitian sebanyak 3 kelas dari keseluruhan 11 kelas yang ada, sedangkan 2 kelas yang lain akan digunakan untuk
try out.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala pengukuran psikologis. Adapun skala yang digunakan ada 2 skala yaitu skala distres dan skala self-criticism.
1. Skala distres. Skala ini digunakan untuk mengukur distres yang dialami subyek penelitian. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hardjana (1994) yaitu fisikal, emosional, intelektual dan interpersonal.
Skoring item skala ini menggunakan sistem penilaian skala Likert yang terdiri dari 5 alternatif jawaban yang telah dimodifikasi menjadi 4 alternatif jawaban yaitu dengan cara menghilangkan alternatif jawaban ragu-ragu. Untuk item-item favorabel skor untuk jawaban: 4 (sangat sesuai), 3 (sesuai), 2 (tidak sesuai), 1 (sangat tidak sesuai). Untuk item-item unfavorabel menggunakan skor jawaban 4 (sangat tidak sesuai), 3 (tidak sesuai), 2 (sesuai), 1 (sangat sesuai). Perhitungannya adalah semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi pula sikap yang diukur.
(38)
Tabel 1
Blueprint Skala Distres
Nomor Aitem No Ciri-ciri Indikator
Favourable Unfavorable
Jumlah 1 fisikal a. sakit kepala
b. tidur tidak teratur c. sakit punggung d. gatal-gatal pada kulit
e. urat tegang terutama bagian leher dan bahu
f. gangguan pencernaan g. serangan jantung h. kelewat berkeringat i. selera makan berubah
j. lelah atau kehilangan daya energi
3, 9,16, 1, 6, 8,12, 13,1, 7,2, 10,4, 11,15 18 5, 14 18
2 emosional a. gelisah b. sedih c. depresi
d. mood berubah-ubah e. gugup
f. mudah tersinggung
g. emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental
27, 29, 21, 20, 19, 22, 30, 37, 25, 35, 31, 28, 32, 33
23, 26, 36 34
18
3 intelektual a. susah berkonsentrasi b. sulit membuat keputusan c. mudah terlupa
d. pikiran kacau
e. pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja
f. kehilangan rasa humor yang sehat
g. mutu kerja rendah
h. dalam kerja membuat ke keliruan lebih banyak.
47, 49, 51, 39, 42, 59, 45, 46, 52,44, 50 38 40, 41,43, 48 16
4 Inter personal a. kehilangan kepercayaan kepada orang lain
b. mengacuhkan orang lain
c. mengambil sikap terlalu
membentengi dan mempertahankan diri.
53, 54, 60, 61, 62, 63 55,56,59
57, 58 11
Jumlah 49 14 63
2. Skala Self-Criticism. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Gilbert (2004) yaitu Inadequate Self dan Hated Self.
Skoring item skala ini menggunakan sistem penilaian skala Likert yang terdiri dari 5 alternatif jawaban yang telah dimodifikasi menjadi 4 alternatif
(39)
item-item favorabel skor untuk jawaban: 4 (sangat sesuai), 3 (sesuai), 2 (tidak sesuai), 1 (sangat tidak sesuai). Untuk item-item unfavorabel menggunakan skor jawaban 4 (sangat tidak sesuai), 3 (tidak sesuai), 2 (sesuai), 1 (sangat sesuai). Perhitungannya adalah semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi pula sikap yang diukur.
Tabel 2
Blueprint Skala Self-Criticism Nomor Aitem No Aspek Indikator
Favourable Unfavorable Jumlah 1 Inadequate
Self
perasaan ketidakcakapan individu dan perasaan individu bahwa ia telah terkalahkan
1, 4, 6, 8, 16, 17, 18, 9, 12, 19, 10, 20, 13, 14, 22, 23, 24, 27, 28 2, 21, 25, 30
5, 11, 15 3, 7, 26, 29
30
2 Hated Self
ketidaksukaan pada diri ( self-dislike) dan hasrat agresif atau sadistis atau penyiksaan (persecution) kepada diri sendiri
35, 31,39, 38, 40, 41, 35, 37, 42, 32, 33,46, 47,49, 52,34
36, 44, 48, 50, 51
43 22
Jumlah 39 13 52
E. Validitas Dan Reliabilitas 1. Validitas
Validitas dikonsepkan sebagai sejauhmana tes mampu mengukur atribut yang seharusnya diukur. Validitas skala distres dan skala self-criticism dalam penelitian ini menggunakan review professional judgement. Langkah selanjutnya adalah prosedur seleksi aitem berdasarkan data empiris dengan melakukan analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter aitem. Pada tahap ini dilakukan seleksi aitem berdasarkan daya diskriminasinya. Daya diskriminasi aitem adalah sejauhmana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Indeks daya
(40)
diskriminasi aitem dalam penelitian ini menggunakan korelasi product moment pearson.
2. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama instrumen pengukuran yang baik. Reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu pengukuran (Azwar,2007). Reliabilitas dinyatakan dengan koefisiensi reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya koefisien reliabilitas yang semakin rendah mendekati 0 berarti semakin rendah reliabilitas.
Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan formula Alpha Cronbach
yaitu dengan membelah aitem-aitem sebanyak dua atau tiga bagian, sehingga setiap belahan berisi aitem dengan jumlah yang sama banyak. Alpha Cronbach
mempergunakan data yang yang diperoleh dari skala yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok responden (Azwar, 2003). Pengukuran reliabilitas dalam penelitian selanjutnya perhitungannya akan menggunakan jasa Statistical Product and Service Solution (SPSS) version 15.0 for windows.
F. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi product moment . Korelasi product moment digunakan untuk menguji hipotesis hubungan antara satu variable independen dengan satu dependen apabila data yang
(41)
digunakan berbentuk interval atau rasio (Sugiyono, 2007). Penghitungan data selanjutnya akan menggunakan jasa Statistical Product and Service Solution (SPSS) version 15.0 for windows.
(42)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi Kancah Penelitian
SMA Negeri 3 Surakarta memiliki dua gedung sekolah yang berada di jalan
Prof. W Z.Johanes 58 Surakarta dan jalan R.E.Martadinata Surakarta. Penelitian
hubungan self-criticism dengan distres dilakukan di SMA Negeri 3 Surakarta yang
beralamatkan di Prof. W Z.Johanes 58 Surakarta. SMA Negeri 3 Surakarta .
a. Visi dan Misi SMA Negeri 3 Surakarta
SMA Negeri 3 Surakarta memiliki motto : ”Widya Karma Jaya” yang berarti ungul dalam ilmu dan perbuatan/budi pekerti. Visi dan misi serta tujuan pendidikannya adalah sebagai berikut :
1) Visi : terwujudnya akhlak mulia dan semangat berprestasi dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, komunikasi internasional dan seni budaya menuju sekolah unggul yang berwawasan internasional. Indikator Visi:
a) Tertingkatnya akhlak bagi siswa
b) Tertingkatnya prestasi siswa pada bidang sains, teknik, komunikasi
internasional dan seni.
(43)
2) Misi :
a) Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang berorientasi
pada mutu dan relevansi menuju standar internasional.
b) Menyelenggarakan pembelajaran dengan menerapkan
prinsip-prinsip “Active Learning” berbasis pada IT dan penerapan
“Bilingual” untuk mata pelajaran tertentu.
c) Menyelenggarakan pembinaan kesiswaan melalui berbagai
kegiatan yang mendukung berkembangnya kecerdasan, kreativitas, akhlak mulia dan kompetitif dalam skala internasional dengan tetap berwawasan budaya nasional.
d) Mewujudkan kerjasama dan partisipasi masyarakat baik nasional
maupun internasional yang lebih bermakna, untuk percepatan berkembangnya sekolah.
e) Menyelenggarakan pengelolaan sekolah secara profesional,
partisipasif, transparan dan akuntabel sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah.
Untuk mewujudkan misi tersebut, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a) Meningkatkan kedisplinan Guru, Staf Tata Usaha dan Siswa.
b) Meningkatkan kualitas bidang akademik (pembelajaran), dengan
berbasis IT dan Bilingual.
c) Meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait baik skala nasional
(44)
d) Wawasan Keilmuan yang berupa penulisan karya-karya ilmiah, riset-riset sederhana baik dalam bidang MIPA maupun bidang Sosial, serta meningkatkan kualitas bidang non-akademik, yakni kegiatan ekstrakulikuler yang berupaya meningkatkan bakat-prestasi seperti olahraga kesenian, keorganisasian, dan lain-lain.
3) Tujuan Pendidikan :
Tujuan pendidikan yang dikembangkan di SMA Negeri 3 Surakarta adalah
a. Memberi layanan kepada siswa yang berpotensi untuk mencapai
prestasi bertaraf nasional dan internasional.
b. Menyiapkan lulusan SMA Negeri 3 Surakarta yang mampu
berperan aktif dalam masyarakat global.
c. Menyiapkan lulusan SMA Negeri 3 Surakarta yang memiliki
kompetensi seperti yang tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang diperkaya dengan SKL berciri internasional.
d. Lulusan SMA Negeri 3 Surakarta menjadi:
i. Individu yang nasionalis dan berwawasan global
ii. Individu yang cinta damai dan toleran.
iii. Pemikir yang kritis, kreatif dan produktif.
iv. Pemecah masalah yang efektif dan inovatif.
v. Komunikator yang efektif.
vi. Individu yang mampu bekerjasama.
(45)
Ekstrakulikuler yang ada di SMA Negeri 3 Surakarta antara lain Wikarya, PMR, Palasmaga, Rohanian Islam, Rohanian Katholik dan Kristen, Teater dan PKS. Jumlah seluruh siswa SMA Negeri 3 Surakarta sebanyak 1211 orang meliputi 38 rombongan belajar. SMA Negeri 3 Surakarta telah ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) untuk semua rombongan belajar kelas X. SMA Negeri 3 Surakarta selalu berusaha meningkatkan pelayanan yang sesuai dengan harapan masyarakat dan dapat melahirkan lulusan yang berkualitas dan ikut aktif berkiprah dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar dan terarah. Hal-hal yang dipersiapkan adalah berkaitan dengan perijinan dan penyusunan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian ini
memerlukan dua alat ukur yaitu skala self-criticism dan skala distres. Diperlukan
persiapan yang matang agar kedua alat ukur tersebut layak dan siap digunakan. Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini telah melalui prosedur validitas alat ukur melalui pengujian validitas isi. Validitas isi dilakukan dengan
melihat kesesuaian antara butir-butir item dalam alat ukur dengan blue-print yang
telah ditentukan sebelumnya. Selain itu validitas isi juga melihat kesesuaian aitem-aitem dengan indikator perilaku yang hendak diungkap. Validitas isi ini
(46)
3. Pelaksanaan Uji-coba Penelitian
Uji-coba penelitian dilakukan pada hari Senin tanggal 8 November 2010 dan Selasa 9 November 2010. Sebelum siswa-siswi melakukan pengisian skala penelitian, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan serta tujuan kegiatan yang akan dilakukan. Setelah subjek penelitian menyatakan kesediaan untuk membantu, kemudian baru peneliti menjelaskan tentang tata cara pengerjaan skala dan memberikan contoh cara mengerjakan. Pengisian skala dilakukan pada awal jam pelajaran Bimbingan karir. Selama subjek mengerjakan skala penelitian, peneliti selalu berada di lokasi penelitian hingga subjek selesai mengerjakan dan mengumpulkan skala kembali. Setelah skala terkumpul dilakukan skoring, kemudian dilakukan analisis daya beda dan reabilitasnya.
4. Analisis Daya Beda dan Reliabilitas Skala
Setelah uji-coba skala dilakukan, selanjutnya data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis untuk mengetahui daya beda dan reliabilitas alat ukur.
Daya beda aitem skala self-criticism dan skala distres dilakukan dengan
menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson, sedangkan
perhitungan reliabilitas dihitung dengan Cronbrach’s Alpha. Perhitungan daya
beda dan reliabilitas skala pada pendekatan ini menggunakan program analisis
daya beda dan reliabilitas butir program statistik SPSS 16.0 for Windows untuk
menentukan aitem yang gugur dan valid. Hasil uji daya beda aitem dan reabilitas tiap-tiap skala tersebut adalah sebagai berikut :
(47)
a. SkalaDistres
Skala distres yang berjumlah 63 aitem diuji-cobakan pada 45 subjek.
Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson, skala distres yang diuji-cobakan mempunyai nilai korelasi Pearson sebesar –0,152 sampai dengan 0,655. Peneliti menetapkan taraf signifikansi sebesar 5% sebagai pedoman untuk memilih aitem. Aitem dengan probabilitas di bawah 0,05 dianggap gugur dan selanjutnya tidak digunakan dalam penelitian, sehingga dari 63 aitem ditemukan 44 aitem yang dapat memenuhi syarat untuk dianalisis. Aitem dengan nomor 4, 5, 11, 14, 15, 32, 33, 34, 40, 41, 43, 44, 48, 50, 55, 56, 57, 58 dan 59 dinyatakan gugur.
Analisis reliabilitas skala menunjukkan bahwa skala distres mempunyai
nilai reliabilitas sebesar 0,89. Dengan demikian, skala distres dianggap andal
sebagai alat ukur penelitian. Ringkasan selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
(48)
Tabel 3
Distribusi Aitem Valid dan Aitem Gugur Skala Distres Setelah Uji Coba
Aitem Valid Aitem Gugur
No Aspek Indikator Bentuk
Pernyataan No. Aitem Jumlah Aitem No. Aitem Jumlah Aitem To ta l
Favourable 3,9,16, 1, 6, 8, 12,13,1, 7, 2, 10
12 4, 11, 15 3 15 1. Fisikal a. sakit kepala
b. tidur tidak teratur c. sakit
punggung d. gatal-gatal pada kulit e. urat tegang
ter utama bagian leher dan bahu f. gangguan pencernaan g. kelewat berkeringat h. selera makan
berubah i. kehilangan
daya energi
Unfavourable 18 1 5, 14 2 3
Favourable 27,29,21, 20,19,22, 30,37,25,35, 31, 28
12 32, 33 2 14 2. Emosional a. gelisah
b. sedih c. depresi d. mood berubah-ubah e. gugup f. mudah tersinggung g. emosi mengering
Unfavourable 23, 26, 36 3 34 1 4
Favourable 47, 49, 51, 39, 42, 59, 45, 46, 52,
9 44, 50 2 11
3. Intelektual a. susah ber konsentrasi b. sulit membuat keputusan c. mudah terlupa d. pikiran kacau e. kehilangan rasa humor yang sehat f. dalam kerja
membuat ke keliruan lebih banyak.
Unfavourable 38 1 40,41,43, 48
4 5
Favourable 53, 54, 60, 61, 62, 63
6 55,56,59 3 9
4. Interpersonal a. kehilangan ke percayaan kepada orang lain b. mengacuhkan orang lain c. mengambil sikap terlalu membentengi diri.
Unfavourable 57, 58 2 2
(49)
b. Skala Self-criticism
Skala self-criticism yang berjumlah 52 aitem diuji-cobakan pada 45
subjek. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson, skala self-criticism yang
diuji-cobakan mempunyai nilai korelasi Pearson sebesar –0,05 sampai dengan 0,788. Peneliti menetapkan taraf signifikansi sebesar 5% sebagai pedoman untuk memilih aitem. Aitem dengan probabilitas di bawah 0,05 dianggap gugur dan selanjutnya tidak digunakan dalam penelitian, sehingga dari 52 aitem ditemukan 42 aitem yang dapat memenuhi syarat untuk dianalisis. Aitem dengan nomor 2, 3, 7, 21, 25, 26, 29, 30, 34, dan 43 dinyatakan gugur.
Analisis reliabilitas skala menunjukkan bahwa skala self-criticism
mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,923. Dengan demikian, skala self-criticism
dianggap andal sebagai alat ukur penelitian.
(50)
Tabel 4
Distribusi Aitem Valid dan Aitem Gugur Skala Self-criticism Setelah Uji Coba
Aitem Valid
Aitem Gugur Total
No Aspek Indikator Bentuk
Pernyataan
Aitem Jumlah Aitem
Aitem Jumlah Aitem
Favourable 1, 4, 6, 8,
16, 17, 18, 9, 12, 19, 10, 20, 13, 14, 22, 23, 24, 27, 28 19 2, 21, 25, 30 4 23
1. Inadequate
Self
perasaan ketidakcakapan individu dan perasaan individu bahwa ia telah terkalahkan
UnFavourable
5, 11, 15, 3
3, 7, 26, 29,
4 7
Favourable 35, 31,39,
38, 40, 41, 35, 37, 42, 32, 33,46, 47,49, 52
15 34 1 16
2. Hated Self ketidaksukaan pada
diri (self-dislike) dan
hasrat agresif atau sadistis atau penyiksaan
(persecution) kepada diri sendiri
UnFavourable
36, 44,
48, 50, 51 5 43 1 6
Total 42 10 52
5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian dengan Nomor Urut Baru
Setelah dilakukan perhitungan validitas dan reliabilitas pada skala
self-criticism dan skala distres, maka langkah selanjutnya adalah menyusun kembali
skala self-criticism dan skala distres sebagai alat ukur. Aitem yang gugur tidak
diikutsertakan dan aitem yang valid disusun dengan urutan yang baru untuk digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini. Susunan aitem setelah uji-coba
(51)
Tabel 5
Distribusi Penyusunan Aitem Valid Skaladistres dengan Nomor Urut Baru untuk Penelitian
No Aspek Bentuk Pernyataan Aitem Jumlah
Favourable 3(6), 9(26), 16(12), 1(2),
6(7), 8(24), 12(17), 13(11),
1(2), 7(28), 2(5), 10
12 1. Fisikal
UnFavourable 18(16) 1
Favourable 27(27), 29(1), 21(16),
20(15), 19(14), 22(3), 30(8),
37(31), 25(20), 35(27),
31(33), 28(23)
12 2. Emosional
UnFavourable 23(18), 26(25), 36(29) 3
Favourable 47(37), 49(38), 51(39),
39(34), 42(30), 45(35),
46(36), 52(41),
9 3. Intelektual
UnFavourable 38(32) 1
Favourable 53(44), 54(42), 60(5),
61(43), 62(9), 63(28) 6
4. Interpersonal
UnFavourable
Total 44
Keterangan : Nomor aitem yang dicetak tebal dan berada di dalam kurung (...) merupakan aitem yang Valid dan diberi nomer urut baru.
Tabel. 6
Distribusi Penyusunan Item Valid Skala Self-criticism dengan Nomor Urut Baru untuk Penelitian
Aitem Valid
No Aspek Indikator
Aitem Jumlah Aitem
Favourable 1(2), 4, 6(7), 8, 16(1), 17(16), 18(17),
9, 12, 19(6), 10, 20(19), 13, 14(3),
22(20), 23(21), 24(23), 27(24), 28(25)
19
1. Inadequate Self
UnFavourable 5(38), 11, 15(30) 3
Favourable 35(27), 31(26), 36(28), 39(32), 38(31),
40(14), 41(33), 37(29), 42(22), 32(18),
33(34), 46(42), 47(39), 49(36), 52(15)
15
2. Hated Self
UnFavourable 36(28), 44(35), 48(40), 50(5), 51(41) 5
Total 42
Keterangan : Nomor aitem yang dicetak tebal dan berada di dalam kurung (...) merupakan aitem yang Valid dan diberi nomer urut baru.
(52)
B. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Negeri 3 Surakarta kelas XI jumlah total populasi sebanyak 390 orang dengan sampel sebanyak 96 orang pada 3 kelas XI yaitu kelas XI-IPA 5, 6, dan 7. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Subjek
penelitian terdiri dari 34 subjek pada kelas XI – IPA 5, 30 subjek pada kelas XI-IPA 6, dan 32 subyek pada kelas XI-XI-IPA 7. Rincian subjek yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel. 7
Jumlah Subjek Penelitian
No Kelas Jumlah Siswa
1 XI IPA 5 34
2 XI IPA 6 30
3 XI IPA 7 32
4 Jumlah 96
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 25 November 2010 dan 27
November 2010 dengan menggunakan skala self-criticism yang terdiri dari 42
aitem, dan skala distres yang terdiri dari 44 aitem. Pembagian dan pengisian skala dilakukan pada awal jam pelajaran bimbingan karir selama 15-20 menit. Sebelum subyek melakukan pengisian skala penelitian, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan serta tujuan kegiatan yang akan dilakukan. Setelah subjek penelitian menyatakan kesediaan untuk membantu, kemudian baru peneliti menjelaskan tentang tata cara pengerjaan skala dan memberikan contoh cara mengerjakan. Selama subjek mengerjakan skala
(53)
penelitian, peneliti selalu berada di lokasi penelitian hingga subjek selesai mengerjakan dan mengumpulkan skala kembali. Pembagian dan pengisian skala pada 25 November 2010, dilakukan pada 34 subjek kelas XI-IPA 5, pengambilan data kedua dan ketiga pada 27 November 2010 terhadap 30 subjek kelas XI IPA 6 dan 32 subyek kelas XI IPA 7.
3. Pelaksanaan Skoring
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah memberikan skor
pada hasil pengisian skala self-criticism dan skala distres untuk keperluan analisis
data. Cara pelaksanaan skor pada kedua skala dilakukan dengan menjumlahkan skor aitem yang didapat dari hasil pengisian skala. Skor untuk masing-masing
aitem bergerak dari 1-4 dengan memperhatikan sifat aitem Favourable
(mendukung) dan unFavourable (tidak mendukung). Skor dari aitem Favourable
adalah 4 untuk pilihan jawaban sangat sesuai (SS), 3 untuk pilihan jawaban sesuai (S), 2 untuk jawaban tidak sesuai (TS), dan 1 untuk jawaban sangat tidak
sesuai (STS), sedangkan skor pada aitem unFavourable (tidak mendukung) adalah
1 untuk pilihan jawaban sangat sesuai (SS), 2 untuk pilihan jawaban sesuai (S), 3 untuk jawaban tidak sesuai (TS), dan 4 untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS). Total skor skala yang diperoleh dari subjek penelitian ini dipakai dalam analisis data.
(54)
C. Hasil Analisis Data Penelitian
Perhitungan analisis data dilakukan setelah melakukan uji asumsi yaitu uji normalitas sebaran dan uji linieritas. Perhitungan dalam analisis ini dilakukan
dengan bantuan komputer seri program statistik SPSS for Windows versi 16. Hasil
pengumpulan data menunjukkan hanya 82 subjek yang dapat dianalisis dan 14 subjek dinyatakan tidak dapat diikutkan dalam analisis karena administrasi yang tidak lengkap.
1. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas data
Uji normalitas sebaran dimaksudkan untuk mengetahui apakah dalam variabel yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Pada penelitian ini uji normalitas data menggunakan uji normalitas Kolmogrov-Smirnov dengan taraf signifikansi lebih besar dari 5% atau 0,05. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5%, atau 0,05(Priyatno. 2008). Hasil uji
normalitas sebaran terhadap variabel distres dan variabel self-criticism adalah
bahwa nilai Kolmogorov-Smirnov variabel distres adalah 0,82 sedangkan variabel
self-criticism adalah adalah 0,77. Nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, dengan
demikian data kedua variabeltermasuk kategori normal.
Tabel. 8
Hasil Uji normalitas Distres dan Self-criticism
Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig.
distres .082 82 .200*
selfcriticism .077 82 .200*
(55)
b. Uji linieritas
Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai hubungan yang linier atau tidak secara signifikan.. Uji ini dilakukan sebagai prasyarat dalam analisis korelasi. (Priyatno,2008)
Tabel. 9
Hasil Uji Linieritas Distres dan Self-Criticism
ANOVA Table Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
(Combined) 17149.590 44 389.763 2.736 .001
Linearity 9270.938 1 9270.938 65.080 .000
Deviation from
Linearity 7878.652 43 183.224 1.286 .218
Within Groups 5270.800 37 142.454
distres * selfcriticism
Between Groups
Total 22420.390 81
Hasil uji linieritas menunjukkan bahwa nilai signifikansi pada linieritas sebesar 0,000. Signifikansi kurang dari 0,05 maka dapat diketahui bahwa antara
variable distress dan self-criticism terdapat hubungan yang linier (Priyatno, 2208).
2. Hasil uji hipotesis
Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis korelasi sederhana
yaitu Product Moment Pearson. Penggunaan analisis Product Moment Pearson
adalah untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variable dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi. Nilai korelasi (r) berkisar antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara dua variable
(56)
semakin lemah. Nilai positif menunjukkan searah dan nilai negatif menunjukkan hubungan terbalik.(Priyanto,2008).
Tabel.10
Hasil Uji Hipotetis Product Moment Pearson
Correlations
self-criticism distres
Pearson Correlation 1.000 .643**
Sig. (2-tailed) .000
self-criticism
N 82.000 82
Pearson Correlation .643** 1.000
Sig. (2-tailed) .000
distres
N 82 82.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil hipotesis dengan menggunakan teknik Product Moment Pearson
dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows menunjukkan korelasi
self-criticism dengan distres adalah 0,643. Hubungan antara kedua variabel adalah kuat pada taraf kepercayaan 99% sedangkan arah hubungannya ialah
positif karena nilai r positif, berarti semakin tinggi self-criticim semakin tinggi
pula distres.
3. Hasil Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan data dan meringkas
data penelitian (Priyatno, 2008). Analisis deskriptif dalam penelitian ini akan
memberikan gambaran umum mengenai self-criticism dan tingkat distres pada
(1)
commit to user
masalah remaja. Peneliti menyarankan agar dapat memberikan informasi dan
pengarahan yang terkait dengan pengembangan pola pikir positif..
Pengelolaan stres dapat diterapkan melalui program-program outbound
sehingga anak yang terbiasa berpikir dengan optimal dapat mengelola stres
dengan baik supaya tidak merusak diri.
3. Bagi orangtua, peneliti menyarankan agar mewaspadai timbulnya pola pikir
self-criticism agar tidak mengarah pada respon stres negatif. Orangtua
disarankan dapat memberikan bimbingan kepada anak-anak remaja untuk
memiliki proses perbincangan diri yang lebih positif di dalam diri mereka
sehingga dapat mengarahkan pada sikap penentraman diri yang dibiasakan
untuk mendorong terbentuknya pola pikir yang lebih positif..Cara-cara yang
dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan pola komunikasi efektif
antara orangtua dan anak sehingga orangtua dapat lebih memahami
permasalahan anak, dan juga dapat memberikan dorongan semangat positif
yang berkaitan dengan proses pendidikan anak.
4. Bagi peneliti lain khususnya ilmuwan psikologi yang tertarik meneliti tema
yang sama, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan
bahan acuan dalam penelitian lebih lanjut. Peneliti menyarankan untuk
memperluas penambahan informasi mengenai kedua variabel khususnya
variabel self-criticism karena peneliti mengalami kendala dalam
mengumpulkan teori-teori yang berhubungan dengan self-criticism. Penelitian
selanjutnya disarankan memperluas lingkup subyek penelitian dan cakupan
(2)
commit to user
Misalnya dengan memperluas populasi, menambah variabel-variabel lain yang
(3)
commit to user
64
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Self-criticism. www.wikipedia.com. diakses tanggal 12 Agustus 2009.
Anonim. Stress symptoms: Effects on your body, feelings and behavior.
www.nlm.nih.gov/medlineplus/stress. diakses tanggal 1 Agustus 2010
Azwar. 2007. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
. 2007. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Carlson, R. 2002. What About The Big Stuff?:Keluar dari Masalah Sulit dalam
Hidup (alih bahasa: Daniel Wirajaya). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Chang, E. 2007. Self-Criticism and Self-Enhancement: Theory, Research and
Clinical Implication.APA.
Cox, B.J., MacPherson, P.S.R., Eons, M.W. 2004. Neuroticism and Self-criticism Associated with Posttraumatic Stress Disorder in a Nationally
Representative Sample. Behaviour Research and Therapy, 42, 105-114
Gilbert, P dan Procter, S. 2006. Compassionable Mind Training for People with High Shame ad Self-criticism: Overview and Pilot Study of a Group
Therapy Approach. Clinical Psychology and Psychotherapy, 13, 353-379.
Gilbert, P. 2009. Introducing Compassion-Focused Therapy. Advances in
Psychiatric Treatment, 15, 199-208.
_________. 2005. Compassion: Conceptualisations, Research, And Use In
Psychotherapy. New York: Routledge.
_________. 2004. Evolutionary Theory And Cognitive Therapy. New York:
Springer Publishing Company.
Gilbert, P dan Chris I. 2004. A Pilot Exploration of The Use of Compassionate
Images A Group of Self Critical People. MEMORI, 12, 507-516.
Gilbert, P., M.Clarke., S.Hempel., J.N.V.Miles. 2004. Criticizing and Reassuring Oneself: An Exploration of Forms, Styles and Reasons in Female
(4)
commit to user
Gilbert, P., Mark.W.Baldwin., Chris Irons., Jodene R.Baccus. 2006. Self-Criticism and Self-Warmth: An Imagery Study Exploring Their Relation
to Depression. Journal of Cognitive Psychotherapy: An International
Quarterly, 20 (2), 183-204.
Glassman, L.H., Weierich, M.R., Hooley, J.L., Deliberto, T.L. 2007. Child Maltreatment, Non-suicidal injury, and the Mediating Role of
Self-criticism. Behaviour Research and Therapy, 45(10), 2483–2490.
Graves, K., Susanne M.Arnold., Celia.L.Love, Kenneth L.Kirsh. 2007. Distress Screening in a Multidisciplinary Lung Cancer Clinic: Prevalence an
Predictors of Clinically-Significant Distress. NIH Public Access, 55 (2),
215-224.
Haditono. 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai
Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hardjana. 1994. Stres Tanpa Distres. Yogyakarta: Kanisius.
Hawari, D. 2001. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Hermans, H dan Dimaggio, G. 2004. The Dialoque Self In Psychotherapy. New
York: Brunner-Routledge.
Hurlock, E. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta:Erlangga.
Irons, C., P.Gilbert, M.W.Baldwin., J.R.Baccus. 2006. Parental Recall, Attachment Relating and Self-Attacking / Self-Reassurance: Their
Realtionship With Depression. British Journal of Clinical Psychology, 45,
297-308.
Johana.Anda;stressor anda.www.AllAboutStress.com. diakses tanggal 15 Juni
2011.
Kiecot-Glaser, J.K. 1994. Handbook of Human Stress and Immunity.
California:Academic Press.
Kitayama, S dan Yukiko.U. 2003. Explicit Criticism and Implicit
Self-Regard: Evaluating Self and Friend in Two Cultures. Journal of
Experimental Social Psychology, 39, 476-482.
Lazarus dan Lazarus. 2005. Staying Sane In A Crazy World (alih bahasa:
(5)
commit to user
66
Mappiare. 2006. Kamus Istilah Konseling dan Terapi. Jakarta: Grafindo Persada.
Mills, A., P.Gilbert, R.Bellew, K.McEwan. 2007. Paranoid Beliefs and
Self-Criticism in Students. Clinical Psychology and Psychotherapy, 14,
358-364.
Myers, D. 2009. Exploring Social Psychology 4th Edition. New York:
McGraw-Hill.
Nototsoedirjo, Moeljono, Latipun. 1999. Kesehatan Mental: Konsep dan
Penerapan. Malang: UMM Press.
Powers, T, Richard.K dan David Zuroff. 2007. Self-Criticism, Goal Motivation,
and Goal Progress. Journal of Social and Clinical Psychology, 26 (7),
826-840.
Priyatno. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta: Mediakom.
Rice, P.L. 1999. Stress and Health. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Rockliff, H., Paul.Gilbert., Kirsten McEwan., Stafford Lightman. 2008. A Pilot Exploration of Heart Rate Variability and Salivary Cortisol Responses to
Compassion-Focused Imagery. Clinical Neuropsychiatry, 5 (3), 132-139.
Rosengren, C. 2007. 101 Ways to Get Wild About Work.United States: Lulu
Marketplace
Santor, A.D dan Aimée.A.Y. 2006. Soliciting Unfavourable Social Comparison:
Effects of Self-Criticism. Personality and Individual differences, 40,
545-556.
Santrock, J W. 2003. Adolescence. Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E. 1990. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions 1st Edition.
New York: John Wiley and Sons.
Sarafino, E. 1994. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions 2nd Edition.
New York: John Wiley and Sons.
Smith, Ellen Jaffe–Gill, dan Jeanne Segal. Understanding stress: Signs,symptoms,
causes, and effects. www.helpguide.org. diakses tanggal 10 Agustus 2010. Sturman, E dan Miriam. M. 2005. Self-Criticism and Major Depression: An
Evolutionary Perspective. British Journal of Clinical Psychology, 44 (4).
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R dan D. Bandung:
(6)
commit to user
Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piget. Yogyakarta:
Kanisius.
Swarth, J. 2004. Stres Dan Nutrisi. (alih bahasa: Irawan). Jakarta: Bumi Aksara.
Talbott, S. 2004. The Cortisol Diet. (alih bahasa: Lily Endang Jaelani). Jakarta:
PT Buana Ilmu Populer.
Terluin, B., Harm.W.J van Marwijk., Herman.J.Ader., Henrica C.W de Vet. 2006. The Four-Dimensional Symptom Questionnaire (4DSQ): A Validation Study of a multidimensional Self-Report Questionnaire to Assess Distress,
Depression, Anxiety and Somatization. BMC Psychiatry, 6,34-54.
VandenBos, G.R. 2007. APA Dictionary of Psychology. Washington: APA.
VanderZanden, J., Thomas C., dan Corinne C. 2007. Human Development. New
York: McGraw Hill.
Wardhati, Tatik.Stress ok distress no way.www.intisari-online.com.diakses
tanggal 16 Juni 2011.
Yip, T., Gee, G.C, Takeuchi, D.T. 2008. Racial Discrimination and Psychological Distress: The Impact of Ethnic Identity and Age Among Immigrant and
United States-Born Asian Adult. Developmental Psychology, 44,