KARAKTERISTIK FOURIER TRANSFORM INFRA RED FT-IR KESIMPULAN

44 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KARAKTERISTIK FOURIER TRANSFORM INFRA RED FT-IR

BAHAN PENYERASI ALKANOLAMIDA Karakterisasi Fourier Transform Infra Red FT-IR alkanolamida dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang ada pada penyerasi alkanolamida. Karakteristik FT-IR dari bahan penyerasi alkanolamida dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini. Keterangan analisa gugus fungsi [39]: - 3372,71 cm -1 : regang alkohol O-H - 1636,59 cm -1 : regang amida C=O - 1422,24 cm -1 : ikatan –CH 3 - 1215,11 cm -1 : regang amina C-N - 1050,28 cm -1 : regang alkohol C-O Gambar 4.1 Karakteristik FT-IR Bahan Penyerasi Alkanolamida Grafik FT-IR senyawa alkanolamida diatas menunjukkan beberapa puncak serapan yang mengindikasikan beberapa gugus penting pada alkanolamida. Puncak serapan pada bilangan gelombang 3372,71 cm -1 menunjukkan keberadaan gugus O-H dari etanol. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1050,28 cm -1 menunjukkan keberadaan gugus C-O dari C-OH alkohol primer. Puncak serapan pada bilangan gelombang 2924,09 cm -1 hingga 2856,61 cm -1 menunjukkan keberadaan bagian jenuh dan tak jenuh dari regangan C-H pada molekul dan didukung oleh munculnya puncak 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 T ran sm itan si Bilangan Gelombang cm -1 3372,71 2924,20 2856,61 1636,59 1422,24 1215,11 1050,01 Universitas Sumatera Utara 45 serapan pada bilangan gelombang 1422,24 cm -1 menunjukkan keberadaan ikatan – CH 3 . Puncak serapan 1636,59 menunjukkan keberadaan gugus C=O amida. Gugus C-N amina ditunjukkan oleh munculnya puncak serapan pada bilangan gelombang 1215,11 cm -1 . Spektrum ini dengan jelas menunjukkan keberadaan bilangan gelombang dari gugus fungsi alkanolamida [34].

4.2 KARAKTERISTIK NANOKRISTALIN SELULOSA

4.2.1 Karakteristik Fourier Transform Infra Red FT-IR Nanokristalin Selulosa NCC

Karakterisasi Fourier Transform Infra Red FT-IR nanokristalin selulosa dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang ada pada pengisi nanokristalin selulosa dan dibandingkan dengan ampas tebu sebagai bahan baku nanokristalin selulosa. Karakteristik FT-IR dari bahan pengisi nanokristalin selulosa dan ampas tebu dapat dilihat pada Gambar 4.2 di bawah ini. Gambar 4.2 Karakteristik FT-IR Ampas Tebu dan Pengisi Nanokristalin Selulosa Karakteristik FTIR diatas menunjukkan beberapa puncak serapan peak kunci yang dapat mengindikasikan suatu gugus sebagai ciri khusus dari sebuah senyawa. Uji FTIR dengan sampel NCC puncak serapan kunci yang muncul adalah pada bilangan Bilangan Gelombang 1cm Universitas Sumatera Utara 46 gelombang 3356, 2885, 2349, 1647, dan 1002 cm -1 . Band besar pada bilangan gelombang 3356 cm -1 mengindikasikan keberadaan dari gugus OH 3300-3500 cm -1 merujuk pada O-H stretching dan pada puncak serapan dengan bilangan gelombang 2885 cm -1 mengindikasikan keberadaan dari gugus CH pada alkana mendekati 2900 cm -1 merujuk pada C-H stretching. Pada puncak serapan dengan bilangan gelombang 2349 cm -1 yang menunjukan keberadaan dari gugus OH yang merupakan gugus utama dari selulosa. Sisanya yaitu pada puncak serapan dengan bilangan gelombang 1647 dan 1002 cm -1 menyatakan keberadaan gugus fungsi OH dari water absorption dan gugus fungsi CO ikatan glycosidic antara unit glukosa didalam senyawa selulosa [3, 19]. Pada hasil uji FTIR dengan sampel ampas tebu puncak serapan yang diperoleh banyak memiliki kesamaan, dikarenakan NCC yang diperoleh merupakan hasil perlakuan kimia terhadap ampas tebu sehingga gugus-gugus yang mengindikasikan keberadaan selulosa terdapat pada puncak serapan dengan bilangan gelombang yang hampir sama. Disamping itu terdapat perubahan gugus yang cukup signifikan dari hasil uji FTIR ampas tebu dan NCC ini. Pada puncak serapan dalam hasil uji FTIR ampas tebu dengan bilangan gelombang 1031 cm -1 menandakan keberadaan gugus C-O ether 1300-1000 cm -1 merujuk pada C-O ether dan ester, gugus ini menunjukan eksistensi ikatan antara lignin dan karbohidrat dan juga menandakan keberadaan lignin dan hemiselulosa pada ampas tebu. Selain itu pada puncak serapan dengan bilangan gelombang 1713 cm -1 mengindikasikan keberadaan dari gugus C=O 1760-1665 merujuk pada gugus C=O karbonil, gugus tersebut merupakan gugus khas yang terdapat pada lignin. Hilangnya puncak serapan pada bilangan gelombang 1031 dan 1731 cm -1 pada hasil uji FTIR pada NCC menunjukan bahwa eksistensi dari lignin dan hemiselulosa pada NCC telah diakhiri dengan baik oleh proses delignifikasi dengan perlakuan asam dan bleaching yang berfungsi untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa dari material lignoselulosa [40].

4.2.2 Karakteristik Transmission Electron Microscope TEM Nanokristalin Selulosa NCC

Karakterisasi Transmission Electron Microscope terhadap nanokristalin selulosa dilakukan untuk menganalisis bentuk dan ukuran nanokristalin selulosa yang Universitas Sumatera Utara 47 dihasilkan dari proses hidrolisis asam dan ultrasonikasi. Karakteristik TEM dari nanokristalin selulosa ditunjukkan oleh gambar 4.3 dibawah ini. Gambar 4.3 Karakteristik Transmission Electron Microscope TEM dari Nanokristalin Selulosa NCC Gambar 4.3 merupakan karakteristik Transmission Electron Microscope TEM dari nanokristalin selulosa yang diperoleh dari proses hidrolisis asam dan ultrasonikasi. Selulosa yang dihasilkan dari proses ini memiliki bentuk batang Rod- Shaped dengan ukuran diameter rata-rata 40-100 nanometer dan beberapa ratus nanometer untuk panjang dari partikel. Ekstraksi nanokristalin selulosa dari serat selulosa umumnya melibatkan proses pemaksaan perombakan ulang struktur oleh asam. Bagian amorf dari selulosa lebih mudah dihidrolisis dibandingkan dengan bagian kristalin. Selama hidrolisis berlangsung, asam sulfat bereaksi dengan gugus hidroksil permukaan melalui sebuah proses esterifikasi yang menyebabkan percabangan gugus anionik ester sulfat -OSO 3 - . Gugus sulfat ini secara acak terdistribusi pada permukaan nanopartikel selulosa. Keberadaan gugus ester sulfat negatif ini memaksa terbentuknya lapisan elektrostatik negatif yang menutupi permukaan nanokristal dan meningkatkan kemampuan dispersi di dalam pelarut. Proses ini menghasil kan reduksi dari rantai panjang α-selulosa menjadi mikrokristalin selulosa lalu nanokristalin selulosa [19, 41]. Reaksi esterifikasi gugus hidroksil oleh ion sulfat dari selulosa hasil perlakuan asam sulfat ditunjukkan oleh gambar 4.4 dibawah ini [19] Universitas Sumatera Utara 48 Gambar 4.4 Esterifikasi Gugus Hidroksil oleh Ion Sulfat dari Selulosa Hasil Perlakuan Asam Sulfat Setelah proses hidrolisis selesai, kelebihan asam sulfat dalam suspensi harus dibuang menggunakan sentrifugasi. Selama proses sentrifugasi, endapan diambil dan dipisahkan dari larutan supernatan dan dinetralkan. Untuk mendapatkan dispersi nanokristalin yang lebih stabil, kemudian dilakukan ultrasonikasi pada suspensi nanokristalin selulosa. Suspensi kemudian dipisahkan menggunakan membran dialisis. Membran dialisis memiliki driving force berupa ukuran partikel. Nanokristalin selulosa akan berdifusi keluar membran dan selulosa yang belum berukuran nano akan tertahan pada membran. Semakin kecil ukuran dari partikel pengisi maka luas permukaan akan semakin besar dan daya interaksiadhesi antara kedua bahan akan semakin besar pula sehingga sifat-sifat mekanik akan semakin bagus [15]. Hasil Transmission Electron Microscope juga memperlihatkan aglomerasi dari beberapa partikel nanokristalin selulosa. Nanokristalin selulosa memiliki luas permukaan spesifik yang tinggi akibat besarnya rasio panjang dan lebarnya. Struktur nanoselulosa dengan luas permukaan spesifik yang tinggi S meningkatkan potensial termodinamika G yang menyebabkan ketidakstabilan objek nano. Berdasarkan hukum termodinamika, untuk memperoleh bentuk yang lebih stabil, objek berukuran nano harus memperkecil permukaan spesifiknya. Oleh sebab itu, fasa nano cenderung membentuk struktur yang lebih besar melalui agregasi dan agromerasi [42].

4.2.3 Uji Kristalinitas dengan X-Ray Diffraction XRD Nanokristalin Selulosa NCC

Universitas Sumatera Utara 49 X-Ray Diffraction XRD digunakan untuk menganalisa kristalinitas dari NCC yang diperoleh. Hasil dari pengujian kristalinitas menggunakan XRD dapat ditunjukan oleh gambar 4.5 dibawah ini. Gambar 4.5 Karakteristik XRD dari Nanokristalin Selulosa NCC dari Ampas Tebu Penentuan index kristalinitas suatu bahan dapat dilakukan dengan menggunakan metode Segal. Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa kristalinitas dari nanokristalin selulosa yang diperoleh adalah sebesar 92,33, diindikasikan oleh puncak serapan yang tajam sharp peak dari spektra yang dihasilkan oleh sampel NCC. Puncak serapan dari spektra yang dihasilkan oleh sampel NCC adalah pada 2θ = 11,82 o ; 19,96 o dan 22,17 o . Diameter kristal dapat juga dihitung pada hasil uji kristalinitas dengan XRD, puncak serapan dari spectra yang dihasilkan oleh sampel NCC adalah pada 2θ = 11,82 o ; 19,96 o dan 22,17 o . Dengan menghitung diameter kristal dari NCC pada puncak serapan 2θ=22,17 o , diperoleh diameter kristal yang dihasilkan adalah sebesar 47,90 nm. Bagian amorf selulosa lebih rentan dibubarkan akibat hidrolisis dibandingkan dengan bagian kristalin. Indeks kristalinitas yang tinggi mengindikasikan bahwa hemiselulosa dan lignin yang ada pada bagian amorf telah berhasil dipisahkan dari bagian kristalin selulosa melalui perlakuan asam. Hidrolisis pada suhu tinggi Universitas Sumatera Utara 50 menyebabkan ion hidronium berpenetrasi lebih mudah ke dalam bagian amorf dan kemudian memutus ikatan glikosidik sehingga menghasilkan segmen kristalin individual. Kristalinitas yang tinggi lebih efektif untuk mencapai efek penguatan yang lebih tinggi pada bahan komposit karena sifat mekanik dan termal menjadi lebih baik dengan peningkatan kristalinitas selulosa [43, 44].

4.3 PENGARUH PERLAKUAN AGING PADA FILM LATEKS KARET

ALAM 4.3.1 Karakteristik Fourier Transform Infra Red FT-IR Film Lateks Karet Alam Karakterisasi FT-IR ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perubahan gugus fungsi film lateks karet alam setelah perlakuan aging dengan dan tanpa penambahan pengisi nanokristalin selulosa dan penyerasi alkanolamida. Karakteristik FT-IR film lateks karet alam setelah aging dapat dilihat pada gambar 4.6 dibawah ini. Gambar 4.6 Karakteristik FT-IR Film Lateks Karet Alam Dengan dan Tanpa Penambahan Pengisi Nanokristalin Selulosa dan Peyerasi Alkanolamida Gambar 4.6 menunjukkan beberapa perbedaan pada gugus fungsi film lateks karet alam tanpa pengisi nanokristalin selulosa dan penyerasi alkanolamida dengan film lateks karet alam dengan penambahan pengisi nanokristalin selulosa dan penyerasi alkanolamida. Gambar tersebut menunjukkan beberapa puncak serapan 20 40 60 80 100 120 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 T ran sm itan si Bilangan Gelombang cm -1 Film Lateks Karet Alam Tanpa Pengisi dan Penyerasi Film Lateks Karet Alam dengan Pengisi NCC Tanpa Penyerasi Alkanolamida Film Lateks Karet Alam dengan Pengisi NCC dan Penyerasi Alkanolamida 1430 1091 3388 714 Universitas Sumatera Utara 51 yang penting dalam menganalisis gugus fungsi pada film lateks karet alam setelah perlakuan aging. Puncak serapan 3388 cm -1 menunjukkan eksistensi dari gugus O-H yang merupakan gugus fungsi utama pada selulosa. Gugus ini telah ada sebelumnya pada film lateks karet alam tanpa penambahan pengisi nanokristalin selulosa, namun, puncak serapan ini semakin tajam setelah penambahan pengisi nanokristalin selulosa, hal ini menandakan bahwa selulosa telah terdispersi dengan baik pada film lateks karet alam. Gambar 4.6 juga menunjukkan perubahan pada ketajaman puncak serapan 1091 cm -1 yang mengindikasikan adanya gugus C-N amina dan puncak serapan 714 cm -1 yang mengindikasikan adanya gugus N-H amina. Gugus ini sudah terdapat pada lateks karet alam karena adanya gugus amina pada protein lateks karet alam. Perubahan yang terjadi adalah puncak serapan semakin tajam setelah film lateks karet alam ditambahkan penyerasi alkanolamida. Alkanolamida merupakan hasil reaksi antara RBDPS Refined Bleached Deodorized Palm Stearin dengan dietanolamina, sehingga penambahan penyerasi alkanolamida pada film lateks karet alam akan membawa serta gugus aminanya. Puncak serapan 1430 cm -1 menunjukkan keberadaan gugus alkana yang merupakan gugus fungsi utama pada isoprena. Keberadaan gugus metil CH 3 ini merupakan salah satu penyebab sifat amorf pada isoprena. Puncak serapan ini semakin tajam dengan penambahan pengisi nanokristalin selulosa dan penyerasi alkanolamida. Hal ini disebabkan oleh adanya pemutusan ikatan rangkap pada unit-unit poliisoprena yang mengakibatkan rantai samping lebih mudah untuk bervibrasi dengan kehadiran kompleks Zn-selulosa diantara rantai molekul isoprena. Selulosa dapat bereaksi dengan kuratif yang dapat menghasilkan kompleks yang dapat membentuk interaksi kimia yang kuat satu sama lain [45]. Universitas Sumatera Utara 52 Gambar 4.7 Reaksi Antara Lateks Karet Alam dengan Pengisi Selulosa dan Bahan Kuratif Perubahan gugus fungsi film lateks karet alam dengan dan tanpa penambahan bahan penyerasi alkanolamida juga menunjukkan adanya interaksi antara alkanolamida dengan nanokristalin selulosa. Hal ini yang menyebabkan nanokristalin selulosa lebih mudah berinteraksi dengan molekul lateks karet alam. Kemungkinan interaksi yang terjadi dapat dilihat pada gambar 4.8 dibawah ini. Gambar 4.8 Interaksi Antara Lateks Karet Alam dengan Pengisi Nanokristalin Selulosa dan Penyerasi Alkanolamida 4.3.2 Pengaruh Perlakuan Aging Terhadap Kekuatan Tarik Tensile Strength Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa Pengaruh perlakuan aging terhadap kekuatan tarik tensile strength film lateks karet alam berpengisi nanokristalin selulosa dengan dan tanpa penambahan penyerasi alkanolamida dapat dilihat pada gambar 4.9 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 53 a b Gambar 4.9 Pengaruh Aging pada Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa a Tanpa Penyerasi Alkanolamida dan b Dengan Penyerasi Alkanolamida Gambar 4.9a menunjukkan pengaruh aging pada film lateks karet alam berpengisi nanokristalin selulosa tanpa penyerasi alkanolamida. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai kekuatan tarik film lateks karet alam tanpa penyerasi alkanolamida setelah aging lebih rendah dibandingkan dengan nilai kekuatan tarik sebelum aging. Namun, gambar 4.9b menunjukkan perilaku sebaliknya, yaitu nilai kekuatan tarik film lateks karet alam dengan penyerasi alkanolamida setelah aging lebih tinggi dibandingkan kekuatan tarik sebelum aging. Umumnya, kekuatan tarik suatu material akan menurun setelah perlakuan aging. Kekuatan tarik yang lebih tinggi setelah perlakuan aging menunjukkan kemampuan alkanolamida dalam memodifikasi nanokristalin selulosa sehingga memiliki interaksi yang baik dengan lateks karet alam. Selain itu, kehadiran 5 10 15 20 5 10 15 K ekuatan T ari k MPa Pembebanan Pengisi bsk Tanpa Perlakuan Aging Dengan Perlakuan Aging 5 10 15 20 5 10 15 K ekuatan T ari k MPa Pembebanan Pengisi bsk Tanpa Perlakuan Aging Dengan Perlakuan Aging Universitas Sumatera Utara 54 nanokristalin selulosa sebagai pengisi mampu meningkatkan ketahanan film lateks karet alam terhadap panas. Nanokristalin selulosa merupakan pengisi dengan gugus fungsi polar. Menurut Arayaprane dan Rempel [46] kehadiran gugus fungsi polar pada matriks karet dapat meningkatkan ketahanan aging pada komposit karet. Sifat yang baik ini disebabkan karena kekakuan tinggi dari selulosa yang menyebabkan kekuatan semakin tinggi dan reaktivitas tinggi dari selulosa Nanokristalin selulosa memiliki dimensi skala nano dan rasio panjang dan lebar yang besar aspect ratio sehingga meningkatkan luas permukaan antarmuka interface antara lateks karet alam dengan nanokristalin selulosa. Interaksi antarmuka yang baik menyebabkan pengisi lebih mudah terdispersi di dalam lateks karet alam. Hal ini menyebabkan lateks dapat mentransfer panas dengan baik kepada nanokristalin selulosa dan mengurangi efek penurunan sifat akibat aging. Karet sebagai material yang sangat sensitif terhadap panas, dengan adanya penambahan pengisi nanokristalin selulosa menyebabkan porsi karet yang mudah terdegradasi berkurang, hal inilah yang menyebabkan peningkatan nilai kekuatan tarik yang tinggi setelah aging [47, 48]. Penambahan alkanolamida memberikan pengaruh yang besar pada ketahanan film lateks karet alam terhadap aging. Nilai kekuatan tarik film lateks karet alam dengan penambahan penyerasi alkanolamida menunjukkan peningkatan setelah mengalami perlakuan aging dibandingkan dengan sebelum mengalami perlakuan aging. Peningkatan nilai kekuatan tarik ini sangat berhubungan dengan kemampuan alkanolamida untuk meningkatkan interaksi antara nanokristalin selulosa dengan lateks karet alam. Alkanolamida bekerja dengan memodifikasi permukaan nanokristalin selulosa yang hidrofilik dan tidak sesuai dengan lateks karet alam yang hidrofobik dan umumnya memiliki interaksi yang rendah. Nanokristalin selulosa yang telah dimodifikasi ini bersifat hidrofobik dan dapat menghasilkan interaksi yang kuat dengan lateks karet alam. Interaksi antara pengisi nanokristalin selulosa yang dimodifikasi alkanolamida dengan lateks karet alam akan mempercepat laju pematangan dan memungkinkan terjadinya proses pematangan dan pembentukan ikatan sambung silang lanjutan post-curing lateks karet alam akibat pemberian panas pada saat aging berlangsung. Interaksi partikel karet dan pengisi nanokristalin selulosa yang baik menyebabkan pada saat panas diberikan pada film lateks karet alam pada Universitas Sumatera Utara 55 saat perlakuan aging, panas disebarkan secara merata ke seluruh bagian matriks dan pengisi nanokristalin selulosa. 4.3.3 Pengaruh Pembebanan Pengisi dan Penambahan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Kekuatan Tarik Tensile Strength Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa Setelah Perlakuan Aging Pengaruh pembebanan pengisi dan penambahan penyerasi alkanolamida terhadap kekuatan tarik film lateks karet alam berpengisi nanokristalin selulosa setelah perlakuan aging ditunjukkan oleh gambar 4.10 berikut ini. Gambar 4.10 Pengaruh Pembebanan Pengisi dan Penambahan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Kekuatan Tarik Tensile Strength Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa Gambar 4.10 menunjukkan hubungan pembebanan pengisi dan penambahan penyerasi alkanolamida terhadap kekuatan tarik tensile strength film lateks karet alam yang dihasilkan. Dari gambar 4.10 dapat dilihat bahwa kekuatan tarik dari film lateks karet alam terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah pembebanan pengisi dan penambahan penyerasi alkanolamida setelah perlakuan aging. Sifat mekanik yang baik diperoleh dengan mencampurkan nanokristalin selulosa dengan lateks karet alam bahkan pada pembebanan pengisi yang rendah. Sifat yang baik ini disebabkan karena kekakuan tinggi dari selulosa yang menyebabkan kekuatan semakin tinggi dan reaktivitas tinggi dari selulosa. Selain itu, nanokristalin selulosa memiliki dimensi skala nano dan rasio panjang dan lebar aspect ratio yang 0,00 4,00 8,00 12,00 16,00 20,00 5 10 15 K ek ua ta n T a rik M P a Pembebanan bsk TANPA ALKANOLAMIDA DENGAN ALKANOLAMIDA Universitas Sumatera Utara 56 besar sehingga meningkatkan luas permukaan antarmuka interface antara lateks karet alam dengan nanokristalin selulosa. Nanokristalin selulosa yang digunakan sebagai pengisi tidak seperti pengisi konvensional yang umumnya digunakan untuk mengurangi biaya produksi. Pengisi nanokristalin selulosa menunjukkan peningkatan sifat fisik dan mekanik dengan penggunaan pengisi dalam jumlah yang relatif kecil 5- 10 [47, 49]. Kekuatan tarik film lateks karet alam yang terus meningkat dengan penambahan jumlah pembebanan pengisi menunjukkan bahwa nanokristalin selulosa memiliki kemampuan yang sangat baik untuk menjadi pengisi pada film lateks karet alam. Kekuatan tarik yang relatif tinggi bahkan setelah perlakuan aging menunjukkan kehadiran nanokristalin selulosa sebagai pengisi mampu meningkatkan ketahanan film lateks karet alam terhadap panas. Ukuran partikel nanokristalin selulosa yang kecil dapat meningkatkan interaksi antarmuka. Interaksi antarmuka yang baik menyebabkan pengisi lebih mudah terdispersi di dalam lateks karet alam. Hal ini menyebabkan lateks dapat mentransfer panas dengan baik kepada nanokristalin selulosa dan mengurangi efek penurunan sifat akibat aging. Karet sebagai material yang sangat sensitif terhadap panas, dengan adanya penambahan pengisi nanokristalin selulosa menyebabkan porsi karet yang mudah terdegradasi berkurang, hal inilah yang menyebabkan peningkatan nilai kekuatan tarik yang tinggi setelah aging [48]. Gambar 4.10 juga menunjukkan bahwa kekuatan tarik untuk film lateks karet alam dengan penambahan penyerasi alkanolamida lebih tinggi dibandingkan dengan film lateks karet alam tanpa penambahan penyerasi alkanolamida. Peningkatan nilai kekuatan tarik ini sangat berhubungan dengan kemampuan alkanolamida untuk meningkatkan interaksi antara nanokristalin selulosa dengan lateks karet alam. Alkanolamida bekerja dengan memodifikasi permukaan nanokristalin selulosa yang hidrofilik dan tidak sesuai dengan lateks karet alam yang hidrofobik dan umumnya memiliki interaksi yang rendah. Nanokristalin selulosa yang telah dimodifikasi ini bersifat hidrofobik dan dapat menghasilkan interaksi yang kuat dengan lateks karet alam seperti yang terjadi pada karet alam dengan pengisi silika dan penyerasi alkanolamida [49]. Universitas Sumatera Utara 57 4.3.4 Pengaruh Aging Terhadap Pemanjangan Saat Putus Elongation at Break Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa Pengaruh perlakuan aging terhadap pemanjangan saat putus elongation at break film lateks karet alam berpengisi nanokristalin selulosa dengan dan tanpa penambahan penyerasi alkanolamida dapat dilihat pada gambar 4.11 dibawah ini. a b Gambar 4.11 Pengaruh Perlakuan Aging Terhadap Pemanjangan Saat Putus Elongation At Break Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa a Tanpa Penambahan Penyerasi Alkanolamida dan b Dengan Penambahan Penyerasi Alkanolamida 250 500 750 1000 1250 1500 5 10 15 Pem anjangan Saat Pu tus Pembebanan Pengisi bsk Tanpa Perlakuan Aging Dengan Perlakuan Aging 500 1000 1500 5 10 15 Pem anjangan Saat Pu tus Pembebanan Pengisi bsk Tanpa Perlakuan Aging Dengan Perlakuan Aging Universitas Sumatera Utara 58 Gambar 4.11 a menunjukkan pemanjangan saat putus film lateks karet alam dengan pengisi nanokristalin selulosa tanpa penyerasi akanolamida. Pada pembebanan pengisi 5 dan 10 bsk, nilai pemanjangan saat putus film lateks karet alam setelah perlakuan aging lebih tinggi daripada sebelum aging. Sedangkan pada pembebanan pengisi 15 bsk nilai pemanjangan saat putus antara film sebelum aging dan setelah aging relatif sama. Gambar 4.11 b menunjukkan bahwa pemanjangan saat putus film lateks karet alam dengan pengisi nanokristalin selulosa dan dengan penyerasi alkanolamida sebelum dan setelah aging pada pembebanan 5 dan 10 bsk relatif sama, dan mengalami sedikit peningkatan nilai pada pembebanan 15 bsk setelah aging dibandingkan sebelum aging. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan nanokristalin selulosa mampu menahan kerusakan pada sifat mekanik film lateks karet alam akibat perlakuan aging. Umumnya, perlakuan aging akan menurunkan kualitas suatu produk terutama polimer, namun, penambahan nanokristalin selulosa mampu menahan penurunan kualitas akibat aging pada film lateks karet alam. Nilai pemanjangan saat putus film lateks karet alam dengan penambahan alkanolamida pada pembebanan 15 bsk setelah aging lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pemanjangan saat putus sebelum aging. Hal ini disebabkan pembebanan pengisi yang besar berbanding lurus dengan jumlah alkanolamida yang ada pada film lateks karet alam. Alkanolamida bertindak sebagai bahan pemlastis plastisizer yang menambah keelastisan elasticity dari film lateks karet alam sehingga meningkatkan nilai pemanjangan saat putus pada film [30]. 4.3.5 Pengaruh Pembebanan Pengisi dan Penambahan Penyerasi Alkanolamida terhadap Pemanjangan Saat Putus Elongation at Break Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa Setelah Perlakuan Aging Pengaruh pembebanan pengisi dan penambahan penyerasi alkanolamida terhadap pemanjangan saat putus film lateks karet alam berpengisi nanokristalin selulosa setelah perlakuan aging ditunjukkan oleh gambar 4.12 berikut ini. Universitas Sumatera Utara 59 Gambar 4.12 Pengaruh Pembebanan Pengisi dan Penambahan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Pemanjangan Saat Putus Elongation at Break Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa Setelah Perlakuan Aging Gambar 4.12 menunjukkan pengaruh pembebanan pengisi dan penambahan penyerasi alkanolamida terhadap pemanjangan saat putus film lateks karet alam berpengisi nanokristalin selulosa setelah perlakuan aging. Pemanjangan saat putus film lateks karet alam meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pembebanan pengisi. Hal ini menujukkan bahwa nanokristalin selulosa sebagai pengisi pada film lateks karet alam mampu berinteraksi dengan karet alam sehingga memperbaiki sifat film lateks karet alam yang dihasilkan. Perlakuan aging umumnya menyebabkan penurunan pada sifat mekanik lateks karet alam. Namun, penambahan nanokristalin selulosa pada lateks karet alam dapat menyebabkan ketahanan lateks terhadap panas menjadi semakin baik. Penambahan alkanolamida sebagai penyerasi menyebabkan peningkatan yang cukup signifikan pada pemanjangan saat putus pada film lateks karet alam berpengisi nanokristalin selulosa setelah dilakukan perlakuan aging dibandingkan dengan hanya penambahan nanokristalin selulosa saja. Hal tersebut dikarenakan alkanolamida bertindak sebagai bahan pemlastis plastisizer yang menambah keelastisan elasticity dari film lateks karet alam sehingga meningkatkan nilai pemanjangan saat putus pada film [30]. Hal ini menunjukkan kemampuan nanokristalin selulosa untuk tetap mempertahankan sifat mekanik dari film lateks karet alam bahkan setelah perlakuan aging. 0,00 200,00 400,00 600,00 800,00 1000,00 1200,00 1400,00 1600,00 5 10 15 P em a nja ng a n Sa a t P utus Pembebanan bsk TANPA ALKANOLAMIDA DENGAN ALKANOLAMIDA Universitas Sumatera Utara 60

4.3.6 Pengaruh Pembebanan

Pengisi dan Penambahan Penyerasi Alkanolamida Terhadap M 100 dan M 300 Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa Setelah Perlakuan Aging Pengaruh pembebanan pengisi dan penambahan penyerasi alkanolamida terhadap M 100 dan M 300 film lateks karet alam berpengisi nanokristalin selulosa setelah perlakuan aging ditunjukkan oleh gambar 4.13 dibawah ini. Gambar 4.13 Pengaruh Pembebanan Pengisi dan Penambahan Penyerasi Alkanolamida Terhadap M 100 dan M 300 Film Lateks Karet Alam Berpengisi Nanokristalin Selulosa Setelah Perlakuan Aging Gambar 4.13 menunjukkan hubungan pembebanan pengisi dan penambahan alkanolamida pada modulus tarik tensile modulus film lateks karet alam. Modulus tarik saat pemanjangan 100 M 100 merupakan jumlah gaya yang diberikan saat 0,2 0,4 0,6 0,8 5 10 15 M 1 Pembebanan bsk TANPA ALKANOLAMIDA DENGAN ALKANOLAMIDA 0,4 0,8 1,2 1,6 5 10 15 M 3 Pembebanan bsk TANPA ALKANOLAMIDA DENGAN ALKANOLAMIDA Universitas Sumatera Utara 61 sampel memiliki pemanjangan sebesar 100. Modulus tarik saat pemanjangan 300 M 300 merupakan jumlah gaya yang diberikan saat sampel memiliki pemanjangan sebesar 300. Modulus menunjukkan nilai kekakuan stiffness relatif material. Nilai modulus tarik yang kecil menunjukkan sifat bahan yang elastis elastic sedangkan nilai modulus tarik yang besar menunjukkan sifat bahan yang kaku dan getas stiff. Oleh karena itu, nilai modulus tarik memiliki hubungan berbanding terbalik dengan pemanjangan saat putus elongation at break. Gambar 4.13 menunjukkan bahwa nilai modulus tarik dari film lateks karet alam menurun dengan penambahan jumlah pembebanan pengisi. Pada saat terjadinya aging, karet bereaksi dengan oksigen menghasilkan pemutusan rantai karet atau pematahan oksidatif oxidative breakdown menghasilkan radikal makro karet. Radikal karet ini mengalami rekombinasi dengan radikal karet yang lain membentuk rantai karet dengan beberapa derajat percabangan, sehingga menghasilkan komposit yang lebih kaku dan modulus tarik yang tinggi [50]. Rantai karet yang mungkin terbentuk selama terjadinya aging berkurang porsinya akibat jumlah molekul karet alam berkurang dengan penambahan pengisi nanokristalin selulosa. Nanokristalin selulosa sebenarnya juga memiliki sifat yang cenderung kaku, namun kekakuan material selulosa lebih rendah dibandingkan dengan rantai karet yang dihasilkan selama aging. Hal ini menjelaskan turunnya nilai M 100 dan M 300 pada film lateks karet alam dengan pengisi nanokristalin selulosa tanpa penyerasi alkanolamida. Modulus tarik film lateks karet alam dengan penambahan alkanolamida cenderung lebih rendah dibandingkan dengan modulus tarik film lateks karet alam tanpa alkanolamida. Hal ini disebabkan karena alkanolamida dapat pula bertindak sebagai pemlastis plastisizer pada sistem lateks karet alam-nanokristalin selulosa. Alkanolamida dapat membentuk satu lapisan yang membuat rantai karet lebih fleksibel [30]. Universitas Sumatera Utara 62

4.3.7 Morfologi Film Lateks Karet Alam Dengan dan Tanpa Penambahan

Pengisi Nanokristalin Selulosa dan Penyerasi Alkanolamida Setelah Perlakuan Aging Morfologi film lateks karet alam dengan dan tanpa penambahan pengisi nanokristalin selulosa dan penyerasi alkanolamida setelah perlakuan aging dapat dilihat pada gambar 4.14 dibawah ini. a b Retakan akibat aging Retakan akibat aging Universitas Sumatera Utara 63 c Gambar 4.14 Morfologi Film Lateks Karet Alam Setelah Perlakuan Aging dengan Scanning Electron Microscope SEM pada Patahan Film a Tanpa Penambahan Pengisi Nanokristalin Selulosa dan Penyerasi Alkanolamida, b dengan Penambahan Pengisi Nanokristalin Selulosa Tanpa Alkanolamida dan c dengan Penambahan Pengisi Nanokristalin Selulosa dan Penyerasi Alkanolamida dengan Perbesaran 5000x Dari micrograph SEM dapat terlihat morfologi patahan pada film lateks karet alam setelah perlakuan aging. Dari analisis SEM terlihat bahwa pada semua film lateks karet alam setelah perlakuan aging terlihat adanya retakan-retakan pada film lateks karet alam. Morfologi patahan film lateks karet alam tanpa penambahan penyerasi nanokristalin selulosa dan penyerasi alkanolamida menunjukkan retakan yang sangat banyak dan merata pada seluruh permukaan film lateks karet alam. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh patahan film lateks karet alam dengan penambahan pengisi nanokristalin selulosa dan penyerasi alkanolamida, dimana film lateks karet alam hanya menunjukkan beberapa bagian yang mengalami kerusakan akibat aging. Retakan atau sobekan ini merupakan akibat dari perpindahan pengisi selama film dipanaskan dan merupakan degradasi dari matriks itu sendiri. Umumnya pada film lateks karet alam yang diberikan perlakuan aging terbentuk lubang-lubang atau Retakan film akibat aging Universitas Sumatera Utara 64 retakan pada permukaan matriksnya yang mempengaruhi penurunan sifat mekanik dari karet alam [9]. Perlakuan aging pada film lateks karet alam tanpa pengisi nanokristalin selulosa dan tanpa penyerasi alkanolamida menunjukkan pengaruh yang signifikan pada morfologi patahan film lateks karet alam, namun tidak berpengaruh secara signifikan pada film lateks karet alam dengan penambahan pengisi nanokristalin selulosa dan penyerasi alkanolamida. Hal ini menunjukkan bahwa nanokristalin selulosa dengan penyerasi alkanolamida dapat menahan degradasi yang signifikan tejadi pada lateks karet alam yang disebabkan oleh panas. Interaksi partikel karet dan pengisi nanokristalin selulosa yang baik menyebabkan pada saat panas diberikan pada film lateks karet alam pada saat perlakuan aging, panas disebarkan secara merata ke seluruh bagian matriks dan pengisi nanokristalin selulosa, sehingga degradasi lateks karet alam tidak terjadi secara cepat. Karakteristik SEM dari film lateks karet alam setelah perlakuan aging ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan sifat mekanik dari film lateks karet alam yang dihasilkan berkaitan dengan ketahanannya terhadap aging. Universitas Sumatera Utara 65 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil analisa spektrum Fourier Transform Infra Red FTIR, analisa Scanning Electron Microscopy SEM, uji kekuatan tarik, uji pemanjangan pada saat putus dan uji modulus tarik film lateks karet alam berpengisi tepung kulit singkong dan bahan penyerasi alkanolamida dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain : 1. Alkanolamida sebagai bahan penyerasi compatibilizer memiliki gugus polar yang mampu memodifikasi pengisi nanokristalin selulosa dan gugus non polar yang mampu memodifikasi matriks lateks karet alam, hal ini dibuktikan dengan karakteristik Fourier Transform Infra Red FTIR. 2. Nanokristalin selulosa merupakan pengisi yang baik dan mampu menahan penurunan kualitas film lateks karet alam akibat aging. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya sifat mekanik film lateks karet alam bahkan setelah dilakukannya perlakuan aging. 3. Penambahan nanokristalin selulosa mampu meningkatkan sifat mekanik film lateks karet alam karena meningkatkan luas permukaan antarmuka dan kereaktifan nanokristalin selulosa yang tinggi meningkatkan interaksi antara nanokristalin selulosa dan lateks karet alam. 4. Penambahan senyawa alkanolamida meningkatkan interaksi antara nanokristalin selolosa dan lateks karet alam sehingga menghasilkan film lateks yang tahan terhadap perlakuan aging. 5. Nanokristalin selulosa dan senyawa alkanolamida mampu menahan degradasi akibat aging pada film lateks karet alam. Hal ini dibuktikan dengan hasil SEM yang menunjukkan tidak terjadi degradasi yang sangat signifikan pada film lateks karet alam setelah perlakuan aging. Universitas Sumatera Utara 66

5.2 SARAN