Efektifitas Pembelajaran Dengan Pendekatan Realistic Mathematic Education(RME) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa : suatu eksperimen di kelas 111 Mi Yapina sawangan depok

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).

Oleh

Asep Saipulloh

NIM:105024000863

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Asep Saipulloh

NIM:105024000863

Pembimbing

Drs. Ikhwan Azizi, MA. NIP : 150 268 589

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010


(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 03 Mei 2010

Asep Saipulloh NIM: 105024000863

PENGESAHAN PANITIA UJIAN


(4)

Skripsi berjudul “Ketepatan Diksi Dalam Terjemahan Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 20 Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 20 mei 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Ahmad Saekhuddin, M.Ag.

NIP: 150 268 589 NIP: 150 303 001

Anggota,

Dr. H. A. Ismakun Ilyas, MA. NIP: 150 254 962


(5)

Rasa syukur yang tidak terhingga atas kenikmatan yang ALLAH SWT berikan kepada penulis, sehingga bisa melunasi perjalanan kuliah sampai tersusunnya skripsi ini. Bersalawat kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW yang menuntun penulis secara tidak langsung untuk selalu semangat dalam menuntut ilmu, mudah-mudahan di hari akhir nanti penulis mendapatkan syafa’atnya. Amin

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag.

Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Drs. Ikhwan Azizi, MA yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak.

Kepada seluruh Dosen Tarjamah yang telah memberikan waktu untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis. Penulis hanya bisa mengucapkan hatur nuhun yang tak terhingga. Semoga ilmu dan pengalaman bapak/ibu berikan dapat diamalkan dalam kehidupan penulis.

Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, H. Hayatami dan Hj. Siti Sawanah. Kepada Kakak dan Adik Penulis yaitu Dian Efendi, Imran Rasyadi, Iis Supriati, Nurftriayanah, Nurhikmawati, dan Della Ayu Fauziah yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan kuliah ini..

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2005, kepada Aida, Hairiyah, Dwi Mulyani, Hasbullah, Lina, Yudi, Fina, Hilman, Agus, Yusa, laeli, Deni, Rachmad, Doli, Musa, Dewi Utami, Zainab, Yupi, dewi, musa dan Fauzi yang telah memberikan bantuan yang tidak habis-habisnya kepada penulis. Buat seseorang yang melebihi dari sekedar teman,


(6)

penulis.

Akhir kata. Penulis menyadari bahwa Skripsi yang masih jauh dari kesempurnaan dan kelengkapan ini bisa menjadikan kawan-kawan untuk mengisi kekosongan dalam skripsi ini. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, 03 Mei 2010

Penulis

ABSTRAK


(7)

“Ketepatan Diksi dalam Terjemahan Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali”. Di bawah bimbingan Drs. Ikhwan Azizi, MA.

Menerjemahkan terdiri atas reproduksi pesan ke dalam bahasa penerima melalui gaya bahasa alamiah yang paling mendekati kesetaraan dengan naskah bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya bahasa.

Dalam penerjemahan permasalahan diksi sangat berpengaruh dalam hasil terjemahan. Diksi adalah pemilihan kata secara tepat dan lugas untuk menyampaikan gagasan. Pemilihan kata dalam terjemahan menjadi pokok utama dalam penerjemahan. Seorang penerjemah harus mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa sasaran, diutamakan harus mencari terjemahan yang ringan atau yang terdekat, sehingga pembaca mudah mengerti akan pesan dan gagasan yang dimaksud. Tidak hanya sampai disini saja, ternyata penerjemah harus menggunakan kamus untuk menerjemahkan, karena kamus sebagai sumber diksi.

Dalam kegiatan penelitian ini, penyusun mencoba meniliti terjemahan kitab Ikhtisar Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dalam pemilihan kata.dalam terjemahan ini masih terdapat kata-kata yang belum tepat dan tidak umum digunakan oleh masyarakat Indonesia. Penyusun menemukan beberapa masalah yang terdapat dalam terjemahan, misalnya terjemahan masih terikat dengan bahasa sumbernya, sehingga ide dan gagasannya tidak tersampaikan. Terjemahan yang baik dan benar adalah tersampaikannya pesan, ide, dan gagasan secara tepat dan lugas. Penulis mengusulkan terjemahan alternatif yang lebih baik dan lebih dekat dengan merujuk kamus, seperti yang sudah disebutkan, bahwa kamus adalah sebagai sumber diksi.

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN


(8)

dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

ا ط T

ب B ظ Z

ت T ع ‘

ث Ts غ Gh

ج J ف F

ح H ق Q

خ kh ك K

د D ل L

ذ dz م M

ر R ن N

ز Z و W

س S ة H

ش sy ء `

ص S ي Y

ض D

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

A. Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

----

a Fathah

----

i Kasrah

---

u Dammah

B. Vokal rangkap


(9)

---و au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي/ا---- â a dengan topi di atas

----ي î i dengan topi di atas

---و û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةروﺮﻀﻟا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.

5. Ta Marbûtah

Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata


(10)

No. Kata Arab Alih Aksara

1 ﺔﻘ ﺮﻃ Tarîqah

2 ﺔ ﻣﻼﺳﻹاﺔﻌﻣﺎﺠﻟا al-jâmi’ah al-islâmiyah

3 دﻮ ﻮﻟاةﺪﺣو wihdat al-wujûd

6. Huruf kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital.

DAFTAR ISI


(11)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

PRAKATA... v

ABSTRAK ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... viii

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Landasan Teori ... 8

F. Metodologi Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KERANGKA TEORI A. Penerjemahan ... 11

1. Definisi Penerjemahan ... 11

2. Proses Penerjemaham ... 14

3. Metode Penerjemahan ... 16

B. Diksi 1. Definisi Diksi ... 22

2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan ... 23

3. Peranti-peranti Diksi ... 24

a. Penggunaan Kata Bersinonim ... 24

b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi 25 c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ... 26

d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret ... 28

e. Penggunaan Kata Idiomatis ... 28


(12)

xii

b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata ... 31

5. Kesesuaian Pilihan Kata a. Persoalan Pilihan Kata ... 33

b. Persyaratan Pilihan Kata ... 35

BAB III SEPUTAR MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN, BIOGRAFI SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH A. Seputar Kitab Muhtasar Ihya Ulumuddin ... 37

B. Biografi singkat dan sejumlah karya penulis ... 38

C. Biografi singkat dan sejumlah karya penerjemah ... 43

BAB IV KETEPATAN DIKSI DALAM TERJEMAHAN KITAB MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN A. Analisis Peranti-peranti Diksi 1. Kata Bersinonim ... 45

2. Kata Khusus dan Kata Umum ... 48

3. Makna Kata Abstrak dan Konkret ... 49

B. Analisis Ketepatan Pilihan Kata ... 50

C. Analisis Kesesuaian Pilihan Kata ... 52

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 58


(13)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berkembangnya pola hidup manusia pada zaman sekarang membuat hati teriris, perubahan secara total yang terjadi di dalam masyarakat baik dalam hal beragama, kebudayaan, dan berperilaku. Hal ini yang membuat manusia menjadi lupa akan penciptanya. Dalam masalah agama misalnnya, masyarakat lebih cenderung beralih kepada hukum adat atau pola pikir (rasional) ketimbang mangambil sumber hukum pada Al-Quran dan hadits. Para Filosof kotor oleh Imam Al-Ghazali adalah orang pertama yang dituduh sebagai penyesat manusia. Oleh karena itu Imam Al Ghazali mengarang kitab Ihya Ulumuddin yang mengandung isi tentang hikmah-hikmah atau nasihat kepada penduduk bumi agar selalu berada dalam jalan Tuhan.

Untuk memahami isi kitab yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali butuh pemahaman yang matang, maksudnya harus ada orang yang mampu menerjemahkan isi kitab Ihya Ulumuddin secara utuh dan tersampaikan pesan yang dimaksud. Mengalih bahasa sumber menuju bahasa sasaran adalah suatu pekerjaan penerjemah yang dituntut untuk mencari kata yang tepat dalam bahasa sasaran. Kegiatan penerjemahan di suatu lembaga pendidikan seperti pondok pesantren, sekolah dan majlis taklim tidak terlepas dari pemilihan kata. Secara umum kegiatan penerjemahan terjebak dengan metode word to word (kata perkata) sehingga, para siswa atau santri tidak dapat menerima secara utuh pesan yang disampaikan dari isi kitab tersebut.


(14)

Pada hakekatnya terjemahan merupakan pengungkapan sebuah makna yang dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target sesuai dengan makna yang dikandung dalam bahasa sumber. Perspektif tersebut menjadikan penerjemahan suatu fenomena yang tidak sederhana. Penerjemahan muncul tidak saja sebagai pengalihan kode (transcoding) atau sistem bahasa (struktur luar) tetapi juga pengalihan makna (apa di balik struktur luar). Fitur-fitur umum yang dimiliki oleh terjemahan adalah pengertian (a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke bahasa target); (b) adanya pengalihan isi (content); dan (c) adanya keharusan atau tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankan fitur-fitur keasliannya Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan maka penerjemahan tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya adalah penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga segi budaya.

Menerjemahkan berarti melakukan perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Oleh karena itu, agar pengalihan suatu bahasa terjemahan tersebut dapat di pahami dan dimengerti, maka harus diperhatikan bentuk bahasa sasaran (BSa). Kridalaksana (1985), mendefinisikan “ penerjemahan sebagai pemindahan suatu amanat dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya bahasanya.

Permasalahan yang akan dijumpai bagi para penerjemah adalah ketika mereka menemukan teks yang sulit mencari kata yang tepat untuk menerjemahkan dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). Menurut


(15)

Gorays Keraf, “Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosa kata bahasa itu”

Dalam kegiatan penerjemahan bagi seorang penerjemah, ketidakjelasan arti kata, ide dan makna merupakan kendala yang sering dihadapi ketika melakukan kegiatan penerjemahan. Ketika menemukan bahasa sumber yang memiliki arti lebih dari satu, maka akan memberikan pesan yang keliru jika memilih diksi yang salah. Jika kesalahan itu terjadi maka dampak yang akan ditimbulkan sangat besar khususnya dalam hal pemahaman. Secara ringkas, Diksi bisa diartikan sebagai pilihan kata pengarang untuk menggambarkan cerita mereka. Diksi bukan hanya berarti pilih memilih kata. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan peristiwa tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya. Agar usaha mendayagunakan teknik penceritaan yang menarik lewat pilihan kata maka diksi yang baik harus tepat memilih kata untuk mengungkapkan gagasan atau hal yang diamanatkan untuk memilih tepat seorang pengarang harus mempunyai kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa pembacanya. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya mungkin kalau ia menguasai sejumlah besar kosa kata (perbendaharaan kata) yang dimiliki masyarakat bahasanya, serta mampu pula menggerakkan dan mendayagunakan


(16)

kekayaannya itu menjadi jaring-jaring kalimat yang jelas dan efektif. Contoh-contoh pengunaan diksi dalam cerita fiktif misalnya penggunaan metafora, anafora, litotes, simile, personafikasi dan sebagainya. Kita dapat menjumpai ketidak tepatan penerjemah dalam memilih kata dalam penerjemahnya.

Contoh:

ْﺪﻘ

ﻦﱠ

اﺬﻬﺑ

ﺚْﺪﺤﻟا

ﱠنأ

ْﺻﻻا

ﻮه

ْﻘﻟا

ﻮهو

ﺮْﻣﻷا

ﻄ ﻟا

عﺎ

ﻰﻓ

ﻟﺎ

ﺪ ﺠﻟا

و

ﺔﱠﻘ ﻟا

ﺔﱠ ر

Artinya:

Dan melalui hadits ini menjadi jelaslah bahwa pokok permasalahannya adalah kalbu, dia adalah ratu yang ditaati dalam alam jasad sedang anggota tubuh lainnya adalah rakyatnya.1

Dari terjemahan di atas terdapat kesalahan penerjemah dalam menerjemahkan kata (

ﺮ ﻣﻷا

) penerjemah menerjemahkan “ratu” sedang dalam kamus al-Munawir kata

ﺮ ﻣﻷا

berarti, pemimpin, raja, atau penguasa. Dengan demikin penerjemah tidak tepat menerjemahkan kata amir dengan kata ratu.

Penggunaan kata dan di awal kalimat tersebut tidak sesuai dengan kaidah

bahasa Indonesia. Kata dan berfungsi sebagai konjungsi yang

menghubungkan dua buah konstituen yang kedudukkannya sederajat. Oleh karena itu kata dan tidak tepat berada dalam awal kalimat. Akan tepat bila kata dan dihilangkan. Kalimatnya menjadi: “Dengan hadits ini menjadi jelas bahwa yang pokok adalah hati. Ia adalah pemimpin yang dipatuhi dalam dunia tubuh, dan lainnya adalah rakyat”

1

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009)


(17)

Contoh terjemahan yang kurang sesuai dalam buku ringkasan Ihya Ulumuddin:

و

لﺎ

ىﺮ ْ ﻟا

ْﻬﺳ

:

ﺎﻀْأ

لﺪ

ﻮهو

ﻰﺳْﺮﻜﻟا

ﻮه

رْﺪ ﻟا

و

شْﺮﻌﻟا

ﻮه

ْﻘﻟا

ﻟا

ﱠنأ

ىﺮﺑﻮ ﻟا

ْﺤ ﻟا

ءارو

ءْ ﺷ

ْﻘﻟا

ﻦﻣ

ﺪْ

داﺮ

2

“Sahl At-Tusturi telah mengatakan bahwa kalbu adalah bagaikan ‘arasy, dada adalah kursinya. Pengertian ini menunjukan pula bahwa makna kalbu yang dimaksud adalah sesuatu yang ada dibalik jantung itu.3

Kata

لﺎ

di atas tidak sesuai diterjemahkan ‘mengatakan’, karena konteks di atas menyatakan bahwa subjek sedang berpendapat masalah hati. Seharusnya diterjemahkan seperti dalam kalimat:

“Sahl At-Tusturi berpendapat, Hati adalah ‘arsy dan dada adalah Kursi. Ini pun menunjukan bahwa yang dimaksud dengan hati adalah sesuatu di balik daging berbentuk seperti pohon cemara”

Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam Websters (edisi ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of word esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata, terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan

2

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, h. 132

3

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009)


(18)

Gorys Keraf dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa menuliskan beberapa point-point penting tentang diksi:

1. Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. 2. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat

nuansa-nuasa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

3. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Berdasarkan latar belakang itulah penulis mencoba meniliti hasil terjemahan kitab ini. Untuk itu penulis memberi judul skripsi ini dengan “KETEPATAN DIKSI

DALAM TERJEMAHAN KITAB MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN

KARYA IMAM AL-GHAZALI”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian bab keajaiban hati terjemahan Mukhtasar Ihya Ulumudin ini adalah menganalisa dan meneliti kata-kata pada bab keajaiban hati terjemahan Mukhtasar Ihya Ulumuddin sesuai dengan kajian diksi yang ada dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasara (BSa)


(19)

Adapun masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini :

1. Apakah diksi yang dipilih dalam terjemahan kitab ini sudah sesuai dengan pesan bahasa sumbernya?

2. Apakah diksi yang dipilih dalam terjemahan kitab ini secara kaidah bahasa Indonesia sudah tepat?

C. Tujuan dan Manfaat Penilitian

Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah:

1. Menganalisa ketepatan diksi dan pengaruhnya terhadap penerjemahan bahasa sasaran (BSa)

2. Menganalisa ketepatan makna diksi berdasarkan makna yang diinginkan bahasa sumber (BSu)

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh yang penulis temukan, penelitian tentang permasalahan diksi dilakukan oleh 6 orang, di antaranya: Euis Maemunah (2004) menganalisis diksi pada bab zakat buku terjemahan Fath al-Qarib, Muhammad Hotib (2006) menganalisis diksi pada terjemahan buku Bulugh al-Maram bab Riba “versi A. Hasan”, Rachmad Joeni Akbar (2006) Menganalisis diksi terhadap Alquran terjemahan Departemen Agama surat al-Waqiah, Elang Satya Nagara (2007) menganalisis diksi pada bab puasa buku terjemahan Fath al-Qarib. Dan Anna Saraswati (2008) diksi dalam terjemahan:Studi kritik terjemahan ar-Risalah al-Qusyairiyyah fi ilmi al-tasawwuf. Dari 6 orang tersebut ada 5 orang yang membahas masalah Fiqh dan 1 orang membahas tentang Tasauf.


(20)

Penelitian tentang karangan imam al-Ghazali belum ada yang membahas. Oleh karena itu Penulis merasa tertarik untuk meneliti terjemahan Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.

E. Landasan Teori

Dalam penelitian ini, penulis akan memakai teori Newmark dalam buku yang disusun oleh Rochayah Maachali yang berjudul Pedoman bagi Penerjemah. Penulis juga akan menggunakan teori Eugene A. Nida. Selain itu, penulis akan menggunakan Gorys Keraf yang terdapat dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa. Selanjutnya, sebagai alat untuk menganalisis, penulis akan menggunakan teori Kunjana Rahardi dalam bukunya Seni Memilih Kata.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi naskah terjemahan, yaitu dengan cara menginventarisir kata-kata berkaitan dengan masalah yang diteliti untuk menyingkap fakta yang ada sekaligus menemukan masalah-masalah baru. Setelah itu, penulis mendeskripsikan masalah tersebut sesuai dengan data yang ada sehingga dapat mencakup dan tujuan penelitian.

Penulis melakukan pencarian data dengan membaca dan menelaah berbagai kamus guna mengetahui diksi atau pilihan kata dengan tepat dan sesuai secara gaya bahasa penulis mengritik pilihan kata atau diksi yang terdapat dalam buku terjemahan Mukhtasar Ihya Ulumuddin. Di samping itu, penulis juga terus berkonsultasi dengan para ahli untuk mengetahui lebih jauh dalam memilih diksi yang tepat.


(21)

Dalam penulisan ini, penulis juga merujuk pada sumber-sumber sekunder berupa buku-buku tentang penerjemahan, buku mengenai semantik, kamus bahasa Arab, bahasa Indonesia, linguistik, ensiklopedi, internet, dan lain-lain.

Selain itu, penulis menggunakan kajian pustaka (Library Research). Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku pedoman penulisan karya ilmiah(skripsi, tesis, dan disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I merupakan yang mewadahkan topik penelitian ini. Bab ini menjelaskan latar belakang masalah atau alasan pemilihan topik penelitian ini, pembatasan masalah, perumusan masalah yang berupa pertanyaan, tujuan, manfaat, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metodologi penelitian, dan ketujuh sistematika penulisan. Bab ini sangat penting karena akan berpengaruh terhadap bab-bab selanjutnya.

BAB II menyajikan teori penerjemahan yang meliputi Teori Terjemah, Definisi Penerjemahan, Proses penerjemahan, Metode penerjemahan mengingat penelitian ini berorientasi pada analisis dan penilaian. Karenanya pada bab ini juga dipaparkan kerangka teori yang akan dipakai, diantaranya, teori diksi dan perantinya, ketepatan, dan kesesuaian pemilihan kata dan kalimat dan lain-lain. Bab ini akan menjadi alat analisis.


(22)

BAB III menyajikan hal yang terkait objek atau data penelitian ini, yaitu kajian tentang biografi singkat dan sejumlah karya penulis, dan Biografi singkat dan sejumlah karya penerjemah

BAB IV meliputi analisis internal atau penilaian dengan menerapkan teori yang ada pada bab II. Bab ini akan membuktikan hasil penelitian

BAB V merupakan bab yang mengakhiri penelitian ini dengan memeberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan, dengan tidak lupa menyertakan saran.


(23)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Penerjemahan

1. Definisi Penerjemahan

Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah diambil dari bahasa Arab

ﺔ ﺮ

, bahasa Arab sendiri mengambil istilah tersebut dari bahasa Armenia turjuman. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan turjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan secara terminologis menerjemahkan adalah mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan.1

Penerjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia “usaha memindahkan pesan dari teks bahasa Arab (bahasa sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran)”.2

Menerjemahkan merupakan kegiatan yang berusaha mengalihkan bahasa sekaligus pesan yang terdapat dalam teks sumber (TSu) ke dalam teks sasaran (TSa). Kamus The New International Webster’s (2002: 1.428) memberikan definisi bahwa to translate (menerjemahkan) berarti to render into another language (menyusun ke dalam bahasa lain); to express on their term (mengungkap dalam istilah lain); to explain by using another word (menjelaskan dengan menggunakan kata-kata lain). Kata ‘translate

1

Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005) h. 6

2 Ibnu Burdah, Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab, (Yogyakarta: P. t. Tiara


(24)

berasal dari kata-kata bahasa Latin; trans, artinya melintas dan latum, artinya melaksanakan. Sementara itu, The Oxford Companion to the English Language (2005: 1329) mendefinisikan translate/terjemahan sebagai “uraian baru dari satu bentuk bahasa ke dalam bahasa lain”. Beberapa ahli juga mengemukakan definisi yang hampir serupa; yakni sebagai uraian baru dari bentuk bahasa lain.

Larson (1984: 51) menyatakan; dalam penerjemahan, bentuk naskah dalam bahasa sumber digantikan oleh bentuk naskah dalam bahasa target. Larson lebih lanjut menjelaskan bahwa bentuk bahasa merujuk ke kata, frase, kalimat, kalimat, paragraf, dan lainnya, yang diucapkan atau ditulis dengan sebenarnya. Nida dan Taber (di dalam Widyamartaya, 1989:11), juga menyatakan bahwa menerjemahkan terdiri atas reproduksi pesan ke dalam bahasa penerima melalui gaya bahasa alamiah yang paling mendekati kesetaraan dengan naskah bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya bahasa. Bassnett (1991: 2) mengatakan bahwa apa yang umumnya dipahami sebagai terjemahan melibatkan proses rujukan teks bahasa sumber (SL = Source Language) ke dalam bahasa target (TL = Target Language). Catford (1965) dikutip dalam Machali (2000: 5) menyebutkan bahwa terjemahan adalah penggantian bahan tekstual dalam satu bahasa (SL) yang setara dengan isi bahan dalam bahasa lain (TL). Menurut Sapardi Djoko Damono di Kompas (21 Juni 2003), terjemahan adalah transfer ide yang menggunakan beberapa bahasa sebagai media.


(25)

Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) ke dalam bahasa lain (sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, baik kedua bahasa tersebut telah mempunyai system penulisan yang telah baku maupun belum, baik salah satu atau keduanya didasarkan pada isyarat sebagaimana isyarat orang tuna rungu3

Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.4 Widyamartaya menyatakan bahwa terjemahan yang baik

harus nampak tidak seperti terjemahan, melainkan harus dibaca bagai komposisi asli dan mengekspresikan seluruh makna aslinya. Larson menyebutkan karakteristik terjemahan yang baik adalah sebagai berikut:

1.Menggunakan gaya bahasa normal dalam bahasa penerima

2.Mengkomunikasikan kepada penutur bahasa penerima makna yang sama yang juga dipahami oleh pembicara dari bahasa sumber.

3.Menjaga dinamika pada teks asli yang berbahasa sumber.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa terjemahan memproduksi makna SL (makna yang dirancang oleh penutur asli) di alam bentuk TL.

3

Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariayanto, Translation: Bahasa Teori dan

Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 12.

4


(26)

Menurut Benny Hoendoro Hoed, Penerjemahan dan kebudayaan. Penerjemahan adalah upaya untuk mengungkapkan (kembali) pesan yang terkandung dalam teks suatu bahasa atau teks sumber (BSU/TSu) ke dalam bentuk teks dalam bahasa lain atau teks sasaran (BSa/TSa)5

2. Proses Penerjemahan

Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain. (pengertian menyadur tersebut diberikan oleh Harimurti Kridalaksana.) Selain memahami apa itu menerjemahkan dan apa yang harus dihasilkan dalam terjemahannya, seorang penerjemah hendaknya mengetahui bahwa kegiatan menerjemahkan itu kompleks, merupakan suatu proses, terdiri dari serangkaian kegiatan-unsur sebagai unsur integralnya.6

Penerjemahan merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan bahasa sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima, baik dilihat dari segi arti maupun gaya. Dalam proses menerjemahkan seringkali penerjemah mengalami berbagai problematika dalam rangka menemukan padanan yang sewajarnya dikarenakan terjemahan harus komunikatif dengan respon pembaca.

5

Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka jaya,

2006), h. 28

6

A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989) Cet. Ke-1, hal.


(27)

Problematika selama proses penerjemahan sering kali dialami oleh penerjemah. Adapun problematika yang dimaksud berkaitan dengan aspek kebahasaan, nonkebahasaan, dan kebudayaan. Kesulitan kebahasaan terfokus pada gejala interferensi antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia berikut faktor-faktor penyebabnya, sedangkan aspek nonkebahasaan menyangkut lemahnya pengusaan penerjemahan akan bahasa sasaran dan teori terjemah serta minimnya sarana penunjang. Adapun masalah kebudayaan bertalian dengan kesulitan mencari padanan antara dua budaya yang berbeda. Proses penerjemahan di sini adalah suatu model atau rangkaian tindakan yang dilakukan oleh penerjemah atas kualifikasinya dalam mengalihkan makna dan maksud teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran/penerima untuk memperoleh terjemahan yang berkualitas.

Proses penerjemahan tentunya berlangsung dalam tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut harus dilalui oleh seorang penerjemah dalam proses penerjemahannya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam pikiran penerjemah ketika ia sedang menerjemahkan? Dalam penelitian ini tahapan-tahapan yang dilalui penulis mengacu pada pendapat De Maar, dalam petunjuk-petunjuknya mengenai cara menerjemahkan, hal ini juga menunjukkan adanya tiga tahap dalam proses penerjemahan yaitu membaca dan mengerti karangan itu (memahami bahasa sasaran), menyerap segenap isinya dan membuatnya menjadi kepunyaan kita (menguasai bahasa sumber), dan mengungkapkannya dalam bahasa kita


(28)

dengan kemungkinan perubahan sekecil-kecilnya akan arti atau nadanya (pengungkapan kembali ke dalam bahasa sasaran).

Nida dan Taber (1969: 33), dikutip dalam Novianti (2005: 16), membagi proses penerjemahan ke dalam tiga tahapan:

1) Analisis pesan pada bahasa sumber;

2) Transfer, dan;

3) Rekonstruksi pesan yang ditransfer ke dalam bahasa target (penyelarasan).

Tahap analisis adalah proses di mana hubungan gramatikal dan makna atau kombinasi kata dianalisis. Pada tahap transfer, bahan yang telah dianalisa dalam tahap 1 ditransfer dalam pikiran penerjemah dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Tahap rekonstruksi adalah tahap di mana penulis menuliskannya kembali atau mengekspresikan kembali bahan sedemikian rupa sehingga produk terjemahan dapat diterima dan dibaca dalam aturan dan gaya bahasa target.

3. Metode Penerjemahan

Newmark mengelompokkan metode penerjemahan mejadi dua metode, yaitu (1) Communicative translation, dan (2) Semantic translation. Baik Newmark maupun Larson menjelaskan bahwa pemilihan metode penrjemahan memainkan peran penting dalam menghasilkan naskah terjemahan yang baik. Ini berart bahwa pembaca merasa nyaman membaca


(29)

naskah hasil terjemahan –seolah mereka membaca naskah aslinya yang alami.

Dilihat dari jauh dekatnya terjemahan dari bahasa sumber dan bahasa sasaran, terjemah dapat diklasifikasikan ke dalam 8 jenis. Kedelapan jenis terjemahan tersebut dapat dikategorisasikan dalam dua bagian besar. Pertama, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sumber, dalam hal ini penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual penulis, meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantik yakni hambatan bentuk dan makna. Kedua, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sasaran. Dalam hal ini penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi bahasa sasaran

a. Klasifikasi terjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber:

1) Terjemahan kata demi kata (word for word translation).

Penerjemahan jenis ini dianggap yang paling dekat dengan bahasa sumber. Urutan kata dalam teks bahasa sumber tetap dipertahankan, kata-kata diterjemahkan menurut makna dasarnya diluar konteks. Kata-kata yang bermuatan budaya diterjemahkan secara harfiah. Terjemahan kata demi kata berguna untuk memahami mekanisme bahasa sumber atau untuk menafsirkan teks yang sulit sebagai proses awal penerjemahan. Contoh:

ْ ﻌ ر

ةﺮْهز

ﻰﻟإ

ﺎﻬ ْﺑ

ﺲْﻣأ


(30)

Apabila kalimat tersebut diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa Indonesia, maka hasilnya adalah telah kembali Zuhairah ke rumahnya kemarin. Terjemahan ini terkesan kaku dan tidak sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Hasil terjemahan yang lebih tepat ialah Zuhairah kembali ke rumahnya kemarin.

1) Terjemahan Harfiah (literal translation) atau sering juga disebut terjemahan struktural. Dalam terjemahan ini konstruksi gramatikal bahasa sumber dikonversikan ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, sedangkan kata-kata diterjemahkan di luar konteks. Sebagaimana proses penerjemahan awal terjemah harfiah ini dapat membantu melihat masalah yang perlu diatasi. Contoh :

ْﻮﻃ

دﺎﺠﱢﻟا

ْﻓر

دﺎ ﻌﻟا

ﺮْﺜآ

دﺎﻣﱠﺮﻟا

.

Ia adalah orang yang panjang sarung pedangnya, tiangnya tinggi dan banyak abu dapurnya.

Metode ini dapat digunakan sebagai metode pada tahap awal pengalihan, bukan sebagai metode yang lazim. Sebagai proses penerjemahan awal, metode ini dapat membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi7

2) Terjemahan setia (faithful translation). Terjemahan ini mencoba menghasilkan kembali makna kontekstual walaupun masih terikat

7


(31)

oleh struktur gramatikal bahasa sumber. Ia berpengang teguh pada tujuan dan maksud bahasa sumber sehingga terkesan kaku. Terjemahan ini bermanfaat sebagai proses awal tahap pengalihan. Sebagai contoh:

ْﻮﻃ

دﺎﺠﱢﻟا

ْﻓر

دﺎ ﻌﻟا

ﺮْﺜآ

دﺎﻣﱠﺮﻟا

.

Apabila pasemon (kinayah) ini diterjemahkan dengan terjemahan setia, maka hasil terjemahannya "ia adalah orang yang pemberani karena ia memiliki sarung pedang yang panjang, ia adalah seorang yang kaya atau berkedudukan yang tinggi karena tiang rumahnya yang tinggi, ia adalah seorang yang pemurah karena banyak abunya". Dari terjemahan ini terlihat bahwa penerjemah berusaha untuk tetap setia pada bahasa sumber, meskipun sudah tertlihat ada upaya untuk mereproduksi makna kontekstual. Kesetian tersebut tampak pada adanya upaya untuk tetap mempertahankan uangkapan metaforis yang tersurat dalam teks asli misalnya ungkapan sarung padangnya yang panjang, tiang tertinggi, dan banyak adanya.

4) Terjamahan semantis (semantic teranslation). Berbeda dengan

terjemahan setia. Terjemahan semantis lebih memperhitungkan unsur estetika teks bahasa sumber dan kreatif dalam batas kewajaran. Selain itu terjemahan setia sifatnya masih terkait dengan bahasa sumber, sedangkan penerjemahan semantis lebih fleksibel. Penerjemah sangat menekankan pada penggunaan istilah,


(32)

kata kunci, ataupun ungkapan yang harus dihadirkan dalam terjemahannya.8 Apabila ungkapan pasemon (kinayah) di atas terjemahan secara semantis, maka hasil terjemahnanya adalah 'dia laki-laki adalah seorang pemberani, terhormat dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya, dan seorang dwermawan' (Murtdho, 1999).

b. Klasifikasi terjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran:

1) Terjemahan adaptasi (adaptation). Terjemahan inilah yang

dianggap paling bebas dan palingdekat kebahasaan sasaran. Terutama untuk jenis terjemahan drama dan puisi, tema, karakter dan alur biasanya dipertahankan. Dalam karangan ilmiah logikanya diutamakan, sedangkan contoh dikurangi atau ditiadakan. Contoh:

ﺎ ْﺣ

ﺎ أ

ﺎ ر

ﺎ رْﺪﺑ

Selama bulan purnama bersinar.9

2) Terjemahan bebas (free trantation). Penerjemahan bebas adalah

penulisan kembali tanpa melihat tanpa aslinya. Biasanya merupakan parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari aslinya. Contoh:

ﻪْ ﻮﻟا

ﺪْﺪﺠﻟا

ﺔ ﺻﺎ

ﺎ ﺎ ْﻟأ

8

Benny Hoendoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,

2006), h. 58

9

Syarif Hidayatullah, Diktat Teori danPermasalahan Penerjemahan Arab-Indonesia.


(33)

Pembaruan wilayah pemerintah Ibukota baru (lama) Jerman-Berlin.10

3) Terjemahan idiomatik (idiomatic translation). Dalam terjemahan jenis ini pesan bvahasa sumber disampaikan kembali tetapi ada penyimpangan nuansa makan karena mengutamakan kosa kata sehari-hari dan idiom dan tidak ada di dalam bahasa sumber tetapi bisa dipakai dalam bahasa sasaran. Contoh:

لﺎ ﻟا

ماﺮﺤﻟا

مْوﺪ

Harta haram tak akan bertahan lama11

4) Terjemahan komunikatif (communicative translation). Terjermahan ini berusaha menyampaikan makna kontekstual dari bahasa sumber sedemikian rupa, sehingga isiu dan bahasanya berterima dan dapat dipahami oleh dunia pembaca bahasa sasaran. Terjemahan ini biasanya dianggap terjemahan yang ideal. Contoh:

ﺤﻟا

ىﻮ ﻟا

“Spermatozoon” untuk para ahli biomedik, tetapi untuk khalayak pemabaca yang lebih umum diterjemahkan dengan “air mani”.12

10

Hidayatullah. h. 69

11

Hidayatullah. h. 69

12


(34)

B. Diksi

1. Definisi Diksi

Bahasa terdiri atas beberapa tataran gramatikal antara lain kata, frase, klausa, dan kalimat. Kata merupakan tataran terendah dan kalimat merupakan tataran tertinggi. Ketika Anda menulis, kata merupakan kunci utama dalam upaya membentuk tulisan. Oleh karena itu, sejumlah kata dalam bahasa Indonesia harus dipahami dengan baik, agar ide dan pesan seseorang dapat mudah dimengerti. Dengan demikian, kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi harus dipahami dalam konteksalinea dan wacana. Kata sebagai unsur bahasa, tidak dapat dipergunakan dengan sewenang-wenang. Akan tetapi, kata-kata tersebut harus digunakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang benar.

Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam Websters (Edisi ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata, terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan.13

Permasalahan diksi adalah berbicara tentang pilihan kata. Gorys Keraf menyimpulkan tentang diksi: Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling

13

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif,(Diksi, Struktur, dan Logika (Bandung, PT Refika


(35)

baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendeharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.14

2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan

Kegiatan menerjemah adalah suatu kegiatan yang sangat sulit, karena penerjemah harus menyampaikan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber (BSu) secara tepat dan utuh ke dalam bahasa sasaran (BSa), kegiatan ini juga tidak hanya sebatas itu saja, penerjemah harus menguasai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kebahasaan.

Menerjemahkan bukan hanya mengalihkan bahasa saja, tetapi yang terpenting adalah pesan dan amanatnya tersampaikan kepada pembaca. Pemilihan diksi atau kata dalam sebuah terjemahan adalah suatu langkah awal bagi seorang penerjemah. Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap bahwa persoalan kata adalah persoalan yang sederhana,

14

Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.


(36)

persoalan yang tidak perlu dibicarakan atau dipelajari Karen akan terjadi dengan sendirinya secara wajar15.

3. Peranti-peranati Diksi

a. Penggunaan Kata Bersinonim

Kata sinonim berasal dari kata Yunani Kuno Onoma ‘nama’ dan kata Syn ‘dengan’, jadi kurang lebih arti harfiyahnya ‘nama lain untuk benda sama’.16 Sinonim ialah dua kata atau lebih yang pada asasnya

mempunyai makna yang sama, tetapi bentuknya berlainan. Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya ada kesamaan atau kemiripan.17

Yang disebut sinonim ialah bentuk bahasa yang maknanya sama atau hamper sama dengan bentuk lain. Istilah lain ialah muradif. Mungkin tak ada dua kata dalam perbendahraan suatu bahasa yang betul-betul sama maknanya sehingga dalam setiap kalimat mana pun kedua patah kata bersinonim itu selalu dapat bersubsituasi (saling menggantikan)18. Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat

menggantikan ada pula yang tidak. Karen a itu, kita harus memilihnya secara tepat dan saksama. Misalnya, kata asas bersinonim dengan kata

15

Keraf, hal 23

16

J.W.M Verhssr, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

1995) cet. Ke-20, hal. 132

17

E Zaenal Arifin, Cermat Berbahasa Indonesia, ( Jakarta: PT Mediyatama Sarana

Perkasa 1988) cet ke-3, hal 147

18

J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III (Jakarta: PT Gramedia 1989) cet


(37)

dasar, pokok, dan prinsip. Dalam penggunaan kalimat, keempat kata tersebu tidaklah semuanya bisa saling menggantikan satu sama lain.19

b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi

Sebuah kata yang mengacu pada makna konseptual atau makna dasar berfungsi denotatif. Kata lain kecuali denotasi juga merupakan gambaran tambahan yang mengacu pada nilai dan rasa berfungsi konotatif. Nilai dan rasa diberikan masyarakat. Oleh karena itu, sebuah kata akan dinilai tinggi, baik, sopan, lucu, biasa, rendah, kotor, porno, atau sakral bergantung pada masyarakat pemakaiannya. Dalam mengarang, hendaknya digunakan kata-kata yang bermakna denotasi agar terlepas dari tafsiran yang menyimpang dari apa yang kita maksud.20

Dalam bentuk yang murni, makna denotatif dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Seorang penulis yang hanya ingin menyampaikan informasi kepada kita, dalam hal ini khususnya bidang ilmiah, akan berkecenderungan untuk mempergunakan kata-kata yang denotatif. Sebab pengarahan yang jelas terhadap fakta yang khusus adalah tujuan utamanya; ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca, dan tidak akan membiarkan interpretasi itu dengan memilih kata-kata yang konotatif. Sebab itu untuk menghindari interpretasi

19

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika

Aditama, 2007), cet. Ke-1, h. 8

20

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika


(38)

yang mungkin timbul, penulis akan berusaha memilih kata dan konteks yang relatif bebas interpretasi.21

Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna eveluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju – tidak setuju, senang – tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama.22

c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus

Perbedaan ruang lingkup acuan makna suatu kata terhadap kata lain menyebabkan lahirnya istilah kata umum dan kata khusus. Makin luas ruang lingkup acuan makna sebuah kata, makin umum sifatnya. Makin sempit ruang lingkup acuan maknanya, makin luas khusus sifatnya. Dengan kata lain, kata umum memberikan gambaran yang kurang jelas, sedangkan kata khusus memberikan gambaran yang jelas dan tepat. Karena itu, untuk mengefektifkan penuturan lebih tepat dipakai kata khusus daripada kata-kata umum. Misalnya:

21

Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.

Ke 16, h. 28

22


(39)

Umum Khusus

(a) melihat memandang (gunung/sawah/laut)

Menonton (wayang/drama/film)

Menengok (orang sakit)

Menatap (muka/gambar)

Menentang (matahari)

Menoleh (ke kiri/kanan)

Meninjau (daerah-daerah)

Menyaksikan (pertandingan)

(b) jatuh roboh (rumah/gedung)

Rebah(pohon pisang/tebu/badan)

Tumbang (pohon besar)

Rontok (daun-daun/bunga-bunga)

Longsor (tanah)

(c) buah apel, mangga, durian, pisang,

rambutan, nangka, manggis, dsb

(d) bunga melati, mawar, anggrek, kamboja,

dsb.23

23

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika


(40)

d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret

Kata abstrak adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep, sedangkan kata konkret adalah kata yang mempunyai referen berupa objek yang dapat diamati (akhadiah, 1999). Kata abstrak lebih sulit dipahami daripada kata konkret. Dalam hal hal menulis, kata-kata yang digunakan sangat bergantung pada jenis penulisan dan tujuan penulisan. Jika yang akan dideskripsikan suatu fakta, tentu saja harus lebih banyak digunakan kata-kata konkret. Akan tetapi, jika yang dikemukakan ialah klasifikasi atau generalisasi, maka yang banyak digunakan ialah kata-kata abstrak. Kerap kali, suatu uraian dimulai dengan kataa abstrak (konsep tertentu), kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang menggunakan kata-kata konkret. Contoh:

- Keadaan kesehatan anak-anak di desa sangat buruk

- Banyak yang menderita malaria, radang paru-paru, cacingan, dan kekurangan gizi.24

e. Penggunaan Bentuk Idiomatis

Idiomatik ialah kata-kata gabungan yang kedua unsurnya itu telah bersatu sedemikian rupa sehingga salah satu unsurnya itu tidak dapat dilepaskan dalam melakukan kegiatan berbahasa. Idiomatik adalah kata-kata yang mempunyai sifat idiom yang tidak terkena kaidah ekonomi bahasa. Ungkapan yang bersifat idiomatik terdiri atas dua atau tiga kata yang dapat memperkuat diksi di dalam tulisan. Contoh:

Menteri Dalam Negeri bertemu Wakil Presiden.

24

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika


(41)

Menteri Dalam Negeri bertemu dengan Wakil Presiden. Kata yang benar ialah bertemu dengan.25

Makna idiom dengan kata pembentuknya sering tidak lagi jelas atau makna itu bukanlah makna sebenarnya kata itu, idiom tak dapat dialihbahasakan secara harfiah ke dalam bahasa lain. Misalnya, idiom duduk perut dalam bahasa Indonesia yang artinya ‘hamil’ (Wanita itu sedang duduk perut) tak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan mencari dalam kamus kata duduk lalu perut, kemudian menjajarkan seperti bahasa Indonesia itu. Artinya, tentu akan terasa sangat aneh dalam bahasa asing itu. Hendaknya diterjemahkan menurut arti sebenarnya (arti ungkapan itu), atau menggantikannya dengan ungkapan dalam bahasa itu yang semakna dengan idiom bahasa Indonesia itu.26

4. Ketepatan Pilihan Kata

a. Persolan Ketepatan Pilihan Kata

Persoalan pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan

25

S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia (Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa,

1998) cet. Ke 3, hal. 155

26

J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar III (Jakarta: PT Gramedia 1989) cet.


(42)

diamanatkan, dan kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tadi.27

Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. Sebab itu, persoalan ketepatan pilihan kata akan menyangkut pula masalah makna kata dan kosa kata seseorang. Kosa kata yang kaya raya akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili pikirannya. Ketepatan makna kata menuntut pula kesadaran penulis atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan antara bentuk bahasa (kata) dengan referensinya.

Bila kita mendengar seorang menyebut kata roti, maka tidak ada seorang pun yang berpikir tentang sesuatu barang yang terdiri dari unsur-unsur:tepung, air, ragi, dan mentega, yang telah dipanggang. Semua orang berpikir kepada esensinya yang baru, yaitu sejenis makanan, entah itu disebut: roti, bread, Brot, brood, pain, pains, atau apa saja istilahnya. Bunyi yang kita dengar atau bentuk (rangkaian huruf) yang kit abaca akan langsung mengarahkan perhatian kita pada jenis makanan itu.

Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa kata adalah sebuah rangkaian bunyi atau symbol tertulis yang menyebabkan orang berpikir tentang suatu hal: dan makna sebuah kata pada dasarnya diperoleh

27

Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.


(43)

karena persetujuan informal (konvensi) antara sekelompok orang untuk menyatakan hal atau barang tertentu melalui rangkaian bunyi tertentu. Atau dengan kata lain, arti kata adalah persetujuan atau konvensi umum tentang interrelasi antara sebuah kata dengan referensinya (barang atau hal yang diwakilinya)28

b. Persyaratan Ketepatan Kata

Karena ketepatan adalah kemampuan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara, maka setiap penulis atau pembicara harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mencapai maksud tersebut. Bahwa kata yang dipakai sudah tepat akan tampak dari reaksi selanjutnya, baik berupa aksi verbal maupun berupa aksi non-verbal dari pembaca atau pendengar. Ketepatan tidak akan menimbulkan salah paham29

Gorys Kerap menyuguhkan beberapa butir persoalan mengenai ketepatan pilihan kata:

1. membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Kalau hanya pengertian dasar yang diinginkannnya, ia harus memilih kata yang denotatif; kalau ia menghendaki reaksi

28

Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.

Ke 16, hal. 88

29


(44)

emosional tertentu, ia harus memilih kata konotatif sesuai dengan sasaran yang akan dicapainya itu.

2. Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Seperti telah diuraikan di atas, kata-kata yang bersinonim tidak selalu memiliki distribusi yang saling melengkapi. Sebab itu, penulis atau pembicara harus berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang diinginkannya, sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan.

3. membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis sendiri tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu, maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan, yaitu salah paham. Kata-kata yang mirip dalam tulisannya itu misalnya: bahwa – bawah – bawa, interferensi – inferensi, karton – kartun, preposisi – preposisi, korporasi – koperasi, dan sebagainya.

4. Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. Bahasa selain tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat. Perkembangan bahasa pertama-tama tampak dari pertambahan jumlah kata baru. Namun hal itu tidak berarti bahwa setiap orang boleh menciptakan kata baru seenaknya.

5. Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut. Progres – progresif, kultur – kultural, dan sebagainya.

6. Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatis: ingat akan bukan ingat terhadap; berharap, berharap


(45)

akan, mengharapkan bukan mengharap akan; berbahaya, berbahaya bagi, membahayakan sesuatu bukan membahayakan bagi sesuatu; takut akan, menakuti sesuati (lokatif)

7. Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum.

8. Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus.

9. Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal.

10.Memperlihatkan kelangsungan pilihan kata.30

5. Kesesuaian Pilihan Kata

a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata

Persoalan kedua dalam pendayagunaan kata-kata adalah kecocokan atau kesesuaian. Perbedaan antara ketepatan dan kecocokan pertama-tama mencakup soal kata mana yang akan digunakan dalam kesempatan tertentu, walaupun kadang-kadang masih ada perbedaan tambahan berupa perbedaan tata bahasa, pola kalimat, panjang atau kompleksnya sebuah alinea, dan beberapa segi yang lain. Perbedaan yang sangat jelas antara ketepatan dan kesesuaian adalah bahwa dalam kesesuaian dipersoalkan: apakah kita dapat mengungkapkan pikiran kita dengan cara yang sama dalam semua kesempatan dan lingkungan yang kita masuki. Ada suasana yang menuntut para hadirin bertindak

30

Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.


(46)

lebih formal, ada pula suasana yang tiidak menghendaki tindakan-tindakan yang formal. Dengan demikian, tingkah laku manusia yang berwujud bahasa juga akan disesuaikan dengan suasana yang formal dan nonformal tersebut. Suasana yang formal akan menghendaki bahasa yang formal. Sedangkan suasana yang nonformal menghendaki bahasa yang nonformal.31

Jadi secara singkat perbedaan antara persoalan ketepatan dan kesesuaian adalah: dalam persoalan ketepatan kita bertanya apakah pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak akan menimbulkan interpretasi yang berlainan antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dan pembaca; sedangkan dalam persoalan kecocokan atau kesesuaian kita mempersoalkan apakah pilihan kata dan gaya bahasa yang dipergunakan tidak merusak suasana atau menyimpang perasaan orang yang hadir.32

b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata

Perubahan bahasa menjadi suatu masalah yang akan terjadi di semua bahasa yang ada di dunia. Hal ini terjadi karena mengalami pertumbuhan dan perkembangan zaman. Faktor yang menyebabkan adanya perubahan bahasa bisa terjadi karena: untuk menyerap teknologi baru yang belum dimiliki, tingkat kontak dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kekayaan budaya asli yang dimiliki penutur bahasanya, dan macam-macam faktor yang lain.

31

Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.

Ke 16, hal. 102

32


(47)

Ada beberapa hal yang perlu diketahui setiap penulis atau pembicara, agar kata yang dipergunakan tidak akan mengganggu suasana, dan tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan para hadirin atau para pembaca. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandard dalam suatu situasi yang formal.

2. Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata populer.

3. Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Istilah jargon memiliki beberapa pengertian, diantaranya kata-kata teknis yang digunakan secara terbatas dalam bidang ilmu, profesi, atau kelompok tertentu. Kata-kata ini kerap kali merupakan kata sandi/kode rahasia untuk kalangan tertentu (dokter, militer, perkumpulan rahasia). Contoh: Sikon (situasi dan kondisi), prokon (pro dan kontra), dan lain-lain.33

4. Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata slang. Pada waktu-waktu tertentu , banyak terdengar slang, yaitu kata-kata tidak baku yang dibentuk secara khas sebagai cetusan keinginan terhadap sesuatu yang baru. Kata-kata ini bersifat sementara: kalau sudah terasa usang, hilang, atau menjadi

33

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika


(48)

kata-kata biasa (asoy, mana tahan, bahenol, selangit, dan sebagainya), yang mungkin hanya dikenal didaerah tertentu.34

5. Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. 6. Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati) 7. Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial.

34

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika


(49)

BAB III

SEPUTAR MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN, BIOGRAFI SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH

A. Seputar Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin

Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin ini dikarang oleh Imam Al Ghazali untuk menjawab semua permasalahan agama yang sesuai dengan Al-Quran dan hadits. karena pada waktu itu para filosof kotor meracuni dan mengalihkan meraka pada sistem pola pikir yang akan menjadi dasar hukum. Pada abad kelima Hijriyah Kitab Ihya Ulumuddin mempunyai pengaruh yang besar dalam upaya membendung serangan pemikiran materialisme yang atheis. Serangan pemikiran itu bertujuan meruntuhkan bangunan agama dari pondasinya melalui racun-racunnya yang berkedok pemikiran-pemikiran filosofis kotor yang telah dikemas sedemikian rupa dan dipersiapkan dengan serapi-rapinya.1

Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin berisi tentang nasihat, faidah, akhlak, tobat, dan yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Nasihat yang terkandung dalam kitab ini mencakup masalah ilmu yang harus digiatkan. Dalam kitab ini ilmu menjadi pembahasan pertama yang ditulis oleh Imam al-Ghazali. Peran ilmu sangat penting dalam kehidupan manusia, tanpa ilmu manusia tidak bisa berbuat banyak di bumi ini. Setelah itu beliau membahas masalah Akidah, faidah-faidah dan adab-adab yang beliau ajarkan kepada penduduk bumi. Kitab ini juga

1


(50)

menyingkap rahasia-rahasia. Rahasia mengenai bersuci, shalat, zakat, puasa dan haji. Kitab ini mengajarkan berakhlak baik dan mencela perbuatan buruk. Tidak ketinggalan juga, kitab ini membahas luas tentang ketuhanan.Kitab ini menjadi refensi bagi kalangan ulama.

Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin termasuk kitab yang sangat tebal, sehingga orang kurang memiliki banyak waktu untuk membacanya. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali berinisiatif untuk menyusun ringkasan Ihya Ulumuddin ini. Banyak yang meringkas isi kitab Ihya Ulumuddin ini oleh beberapa kalangan, namun akan terasa lebih istimewa bila pengarangnya sendiri yang meringkasnya. Intisari dari kitab ini mengandung faedah-faedah dan hikmah-hikmah. Beliau meringkas kitab Ihya Ulumuddin karena menemui kesulitan membawa kitab ini dalam perjalanan. Dan ternyata ringkasan kitab ini sangat diperlukan di masa sekarang.2

B. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penulis 1. Biografi

Beliau adalah Imam Zainud Diin, Hujjatul Islam, Abu Hamid, Muhammad ibnu Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Ath-thusi, An-Naisaburi, seorang ulama fiqih ahli tasawuf, bermazhab fiqih Syafi’I dan beraliran tauhid Al-Asy’ari.

Ia lahir di kota Thuus, kota terbesar kedua negeri Khurrasan setelah Naisabur, yaitu pada tahun 450 Hijriyah.3

Ibnu ‘Asakir mengatakan “Imam Al-Ghazali lahir di Thuus pada tahun 450 H. Masa kecilnya dimulai dengan belajar fiqih. Kemudian ia pergi ke Naysabur dan selalu mengikuti pelajaran-pelajaran Imam Al-Haramain. Ia

2

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009) cet. Pertama, hal. 3

3


(51)

berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga dapat menamatkannya dalam waktu singkat. Ia menjadi orang terpandang pada zamannya. Ia duduk untuk membacakan dan membimbing murid-murid mewakili gurunya, dan menulis buku.4

Gurunya membanggakan dan mempercayakan kepadanya kedudukannya. Kemudian ia meninggalkan Naysabur dan menghadiri majlis Al-Wazir Nizham Al-Mulk. Ia mendapat sambutan hangat darinya dan kedudukan yang agung karena ketinggian derajatnya dan pandangan-pandangannya yang cemerlang. Majlis Al-Wazir Nizham Al-Mulk senantiasa dipadati para ulama dan didatangi para imam, pada suatu kesempatan Imam Al-Ghazali mengemukakan pandangannya yang sesuai dengan pandangan-pandangan para tokoh lain, maka mencuatlah namanya. Lalu Nizham Al-Mulk memerintahkannya pergi ke Baghdad untuk mengajar di Madrasah An-Nizhamiyah, maka ia pergi ke kota itu, dan semua orang mengagumi pengajaran dan pandangan-pandangannya.5 Maka ia menjadi imam penduduk Irak setelah menjadi imam di Khurasan. Di Baghdad posisi al-ghazali naik dikalangan para penguasa, para menteri, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pemegang kendali kekhalifahan. Kemudian, di sisi lain, keadaannya terbalik. Maka ia meninggalkan Baghdad, meninggalkan semua kedudukannya, dan menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.

Pada tahun 489 H, ia pergi ke Damaskus dan tinggal disitu selama beberapa waktu. Kemudian dari Damaskus ia pergi ke Bait Al-Maqdis dan

4

Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya Ulumuddin, (Bandung: Mizan 2008), h. 5

5

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009) cet. Pertama, hal. 3


(52)

mulai menulis bukunya AL-Ihya. Ia memulai berjihad melawan nafsu, mengubah akhlak, memperbaiki watak dan menempa hidupnya.

Ia melawan setan kebodohan, tuntutan kepemimpinan dan pangkat, serta kepura-puraan dengan akhlak mulia menuju ketenangan, mengenakan pakaian orang-orang saleh dan meninggalkan angan-angan yang panjang. Ia banyak mewakafkan harta bendanya demi memberi petunjuk kepada makhluk, menyerukan kepada mereka agar mementingkan urusan akhirat, membenci dunia, membimbing para pesuluk, bersiap-siap untuk berangkat menuju negeri abadi, taat kepada setiap orang yang melihat tanda atau mencium bau makrifat atau berjaga untuk memperoleh cahaya Musyahadah hingga terbiasa.

Kemudian ia kembali ke kampungnya, tinggal di rumah, banyak bertafakur, mengisi waktu dengan sesuatu yang bermanfaat dan menanamkan ketakutan ke dalam kalbu.

2. Karya-karya penulis

Al-Faqih Muhammad Ibnu Hasan ibnu Abdullah Al-Husaini Al-Wasithi di dalam kitabnya yang berjudul Ath-Thabanatul Aliyyah Fii Manaqibsy Syafi’iyyah menyebutkan bahwa Imam Ghazali memiliki Sembilan puluh delapan karya tulis.6

Doktor Abdur Rahman Badawi di dalam bukunya yang berjudul

Mu’allafaatul ghazali telah menelusuri karya-karya tulis Al-Ghazali yang ternyata jumlahnya mencapai 457 buah buku, berikut ini disebutkan sebagian dari karya-karyanya:

6

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009) cet. Pertama, hal. 5


(53)

1. Ihya Ulumuddin 2. Al-Adabu Fid Diin 3. Al-Arba’in Fi Ushuluddin 4. Asasul Qiyas

5. Al-Istidraj

6. Asraru Mu’aamalatid 7. Al-Iqtishad Fil I’tiqaad

8. Iljamul Awaam An Ilmi Kalaam 9. Al-Imla Ala Musykilil Ihya 10.Ayyuhal Walad

11.Al-Babul Muntahil Fi Ilmi Al-Jadal 12.Bidayatul Hidayah

13.Al-Basiith Fil Furu’

14.Ghayatul Ghaur Fi Dirayatid Duur 15.At-Tawilaat

16.At-Tibrul Masbuk Fi Naashaa’ihil Muluuk 17.Tahshiinul Ma-aakhidz

18.Talbisu Iblis

19.At-Tafriqatu Bainal Islam Waz-Zindiqah 20.At-Ta’liiqah Fi Furu’il Mazhab

21.Tafsir Al-Quranul Azhim 22.Tahafutul Falasifah 23.Tahdzibbul Ushul


(54)

24.Jawabul Ghazali ‘An Da’wati Mu’ayyidil Maliki Lahu Lima’awadatit Tadris Bin Nizhamiyyah Fi Baghdad

25.Al-Jawahirul La-aali Fi Mutsallatsil Ghazali 26.Jawahirul Qur’an Waduraruhu

27.Hujjatul Haq 28.Haqiqatul Qur’an 29.Haqiqatul Qaulani

30.Al-Hikmatu Fi Makhluqatillaahi ‘Azza Wajalla 31.Khulashatul Mukhtasar Wanaqawatul Mu’tashir 32.Ad-Durjul Marqum Bil Jadawili

33.Ad-Durratul Fakhirah Fi Kasyfi ‘Ulumill Akhirah 34.Ar-Risalatul Wa’zhiyyah

35.Zaad Akhirat

36.Sirrul ‘Alamiina Wa Kasyfi Ma Fi Daaraini 37.Syifaul Ghalil Fil Qiyas Wat Ta’lil

38.Qawashimul Bathiniyyah

39.Al-Kasyfu Wat Tabyiin Fi Ghururil Khalqi Ajma’iin 40.Kimiaus Sa’adah

41.Lubabun Nazhar

42.Mahakkun Nazhar Fil Fiqh 43.Al-Musthafa Fi ‘Ilmi Ushul

44.Al-Mustazhar Fir Raddi’ Alal Bathiniyyah 45.Al-Maqshadul Asna Fi Syarhi Asmail Husna 46.Al-Munqidz Minadh Dhalaal


(55)

47.Al-Wajiz 48.Al-Wasith

C. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penerjemah 1. Biografi

BAHRUN ABU BAKAR Lahir di kota Cirebon pada 4 Juni 1950, penerjemah adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Selepas mengenyam pendidikan di madrasah Salafiyah Syafi’I pada tahun 1967, penerjemah sekolah di pagi dan sore hari. Pagi hari beliau sekolah formal, sedangkan pada sore hari sekolah khusus mengaji. penerjemah “nyantri” di Pondok Pesantren Tebuireng Jawa Timur sambil bersekolah disana selama 6 tahun dan lulus pada tahun 1973. Beliau sudah diperbolehkan kuliah pada saat masih kelas 3 SMA. Kemudian penerjemah melanjutkan pendidikan kuliah di Libya dari tahun 1974-1978, sambil kuliah penerjemah juga bekerja disana. Pada tahun 1980 penerjemah pulang ke Indonesia.7

Saat ini beliau hanya berprofesi sebagai penerjemah. Beliau tinggal bersama keluarganya di daerah bandung, Soreang jl. Permai 25 perumahan Margahayu no 44. Beliau tinggal bersama istri dan 3 anak. Selain itu juga, beliau aktif memberikan konseling, ceramah, dan kajian keislaman di beberapa majelis ta’lim dan masjid yang ada di Bandung dan sekitarnya.

Setelah sampai di Indonesia, kegiatan beliau adalah mengajar di Universitas, majlis ta’lim dan sekolah. Selain mengajar beliau juga menjadi instruktur penerjemah di unversitas, sudah banyak murid beliau yang menjadi

7


(56)

penerjemah. Beliau sering mengisi kajian ilmiah di kampus-kampus. Beliau mulai aktif menerjemahkan pada tahun 1985 hingga sekarang. Kegiatan penerjemahan ini yang menjadikan dia dikenal masyarakat. Selain ahli menerjemah, penerjemah juga ahli faraid. Ilmu kalam dan ilmu Tasawuf. Sudah banyak hasil terjemahan yang sudah diterjemahkan oleh penerjemah. Terjemahan beliau terdapat dibeberapa penerbit yang ada di Indonesia.

2. Karya Penerjemah

Penulis mendapatkan hasil terjemahan Bahrun Abu Bakar hampir 80 terjemahan. Tapi dalam skripsi ini penulis hanya menyantum sebagian kecil hasil terjemahan Bahrun Abu Bakar.

1. Terjemahan Kitab Tafsir Ibn Katsir 2. Terjemahan Kitab Tafsir Jalalain 3. Jangan Melampaui Batas

4. Jangan Bersedih

5. Jadilah Wanita yang Paling Bahagia 6. Selamat Datang Bidadari

7. Semoga Allah Melembutkan Hati Semua Umat Islam 8. Catatan Harian Seorang Muslim

9. Jodoh yang Lebih Baik

10.Pengorbanan Demi Meraih Ridho Allah Panduan Mencari dan Memilih Jodoh8

8


(57)

BAB IV

ANALISIS DIKSI DALAM TERJEMAHAN KITAB MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN

A. Analisis Peranti-peranti Diksi 1. Penggunaan Kata Bersinonim

و

ﺬه

ﺔ ْﻄ ﻟا

ه

ﺎﻌﻟا

ﺔ ﻟ

ﺎﺑ

ﺎﻌ

ﻰﻟ

ﺔآرْﺪ ﻟا

ﺎ ﻟ

ﻪْآرْﺪ

ﱠ ﻟا

لﺎ

و

ﻮﻟا

ْه

ﻮهو

ﺔﻘْﻘﺣ

نﺎ ْﻻا

1

…dan kelembutan inilah yang dapat mengetahui Allah SWT bahkan dapat mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh daya ilusi dan angan-angan, dan ini merupakan hakikat yang sebenarnya dari manusia.2

Terjemahan kata bersinonim di atas terlihat tidak sesuai dengan kamus. Kata

لﺎ ﻟا

dalam kamus al-Ashri berarti ‘khayalan, imajinasi’. Sedangkan kata

هﻮﻟا

berarti ‘angan-angan’. Dalam arti kedua kata tersebut tidak ditemukan arti daya ilusi seperti yang diterjemahkan oleh penerjemah. Menurut penulis kata

لﺎ ﻟا

هﻮﻟا

و

lebih tepat diterjemahkan ‘khayalan’ saja, dalam kalimat seperti:

1

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, h. 130

2

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009)


(58)

“kelembutan ini salah satu cara mengenal Allah SWT. Ia mengetahui apa yang tidak dicapai oleh khayalan. Ia merupakan hakikat manusia.

ﻮه

ﺾﻣﺎﻏ

كرْﺪ

نﺎ ْﻟﺎﺑ

ْ ﺑ

ﱠﻮ

ﻟا

هﺎ

ﺪة

و

ﻌﻟا

نﺎ

3

“...hubungan yang misteri dan tidak dapat digambarkan melainkan hanya bergantung pada kesaksian dan kenyataan”.4

Menganalisis teks sumber, kata

ةﺪهﺎ ﻟا

و

نﺎ ﻌﻟا

dalam kamus al-Ashri dan al Munawwir berarti ‘ saksi mata’.5 Dalam arti kedua kata tersebut tidak terdapat arti kenyataan seperti yang diterjemahkan oleh penerjemah. Dalam KBBI, kenyataan Menurut penulis kata

ةﺪهﺎ ﻟا

نﺎ ﻌﻟاو

lebih tepat diterjemahkan ‘kesaksian’ saja. Seperti di dalam kalimat:

“ hubungan yang tidak jelas, tidak dapat dijelaskan, melainkan bergantung dengan kesaksian”.

اذﺎﻓ

ْ

و

ْ

ﺮْآﺬﺑ

ﷲا

ﻰﻟﺎ

ﺤﻣ

ﺎﻬْ

ﺮ ا

تاﻮﻬ ﻟا

تﺎ ﻟاو

ﺔﻣْﻮﻣْﺬ ﻟا

ﺳو

ﺲْ ﻟا

ﺔ ْﻄ ﻟا

6

“apabila jiwa menjadi jernih dan cemerlang karena dzikrullah, maka dihapuskanlah darinya pengaruh-pengaruh nafsu syahwat

3

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, h. 130

4

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo

2009) cet. Pertama, hal. 252

5

Atabik Ali, h. 1726

6


(59)

dan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang demikian itu disebut dengan nafsul Muthmainnah”7

Dalam terjemahan di atas terdapat kesinoniman kata. Kata

dalam kamus al-Munawwir berarti ‘jernih; bersih’. Sedanngkan kata

dalam kamus al-Ashri berarti ‘menjadi jelas; terang’. Dalam dua kamus tersebut tidak ditemukan kata ‘cemerlang’. Dalam KBBI cemerlang berarti ‘bersinar terang sekali; berkilauan’.8 Menurut penulis, kata

و

lebih tepat di terjemahkan ‘jernih’ saja. Seperti dalam kalimat:

“ apabila jiwa itu menjadi jernih karena zikir kepada Allah SWT, maka ia mampu menghapus noda-noda syahwat dan sifat-sifat tercela Kemudian itu dinamakan jiwa yang tenang”.

...

و

ْ ﻟ

ْﻦﻜ

ﺎﻣ

ﺎﻬ ﻘ

و

ﻓْﺪ

أﺪﱠ ﻟا

ﺎﻬْ

ﺎهْﻮ ْﺠ و

ﻦﱠﻜ

ﺎﻬْﻣ

و

صﺎﻏ

ﻰﻓ

ﺎﻬﻣْﺮ

و

ْ ﻜ ه

و

ْترﺎﺻ

ﺚْﺤﺑ

رﺪْﻘ

ﱢﻘ ﻟا

ْﻘ

ﻬﺎ

و

ﻬﺎ

..

9

“Maka tidak ada sarana untuk menjernihkannya kembali. Apalagi karat dan kotoran telah memenuhi permukaan cermin

7

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009)

cet. Pertama, hal. 253

8

KBBI, h. 184

9


(60)

hingga tidak mungkin lagi bahan penjernih dapat membuatnya jernih dan cemerlang” 10

Kata

ﺎﻬ ﻘﺻ

diartikan ‘jernih, dalam kamus al-Munawwir berarti ‘mengkilap’. Sedangkan kata

ﺎﻬ ﻼ

diartikan ‘cemerlang’, dalam kamus al-Ashri berarti ‘memoles; mengkilapkan. Dalam KBBI, jernih berarti ‘bening; bersih; terang tidak berdebu’.11 Sedangkan cemerlang berarti ‘bersinar terang

sekali’.12 Menurut penulis kata

ﺎﻬ ﻘﺻ

و

ﺎﻬ ﻼ

lebih tepat diterjemahkan ‘dikilapkan’ saja. Dalam kalimat seperti:

“sementara tidak ada yang dapat menghilangkan noda darinya dan mengkilapkannya, maka rusaklah cermin itu. Cermin itu tidak dapat lagi dikilapkan”

2. Penggunaan Kata Umum dan Khusus

ﻮه

ﺾﻣﺎﻏ

كرْﺪ

نﺎ ْﻟﺎﺑ

ْ ﺑ

ﱠﻮ

ةﺪهﺎ ﻟا

نﺎ ﻌﻟاو

13

“...hubungan yang misteri dan tidak dapat digambarkan melainkan hanya bergantung pada kesaksian dan kenyataan”.14

10

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo

2009) cet. Pertama, hal. 256

11

KBBI, hal. 368

12

Ibid, hal. 184

13

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, h. 130

14

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo


(61)

Kata

ﺾﻣﺎﻏ

diterjemahkan ‘misteri’. Kata misteri mengandung kata umum. Dalam KBBI berarti ‘1. sesuatu yang masih bersifat rahasia; 2. sesuatu yang masih belum dapat dibuktikan; 3 sesuatu yang menjadi teka-teki’. Menurut penulis kata

ﺾﻣﺎﻏ

lebih baik diterjemahkan ‘tidak jelas’, karena kata tidak jelas mengandung kata khusus.

Kata

نﺎ ﻟﺎﺑ

diterjemahkan ‘digambarkan’. Kata gambar mengandung kata umum. Dalam KBBI berarti ‘1. tiruan sesuatu yang dilukis di atas kertas atau kanvas; 2. gambaran yang terlintas dalam pikiran; 3. membayang, membuat gambar, melukis; 4. terlukis terbayang’. Meurut penulis kata

نﺎ ﻟﺎﺑ

lebih diterjemahkan ‘dijelaskan’, karena kata dijelaskan mengandung makna khusus yang menunjukkan kata kerja, sehingga ada keparalelan dalam kalimat. Dalam kalimat seperti:

“ hubungan yang tidak jelas, tidak dapat dijelaskan, melainkan bergantung dengan kesaksian”.

3. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret

اذﺎﻓ

ْ ﺻ

و

ْ ﱠﺠ

ﺮْآﺬﺑ

ﷲا

ﻰﻟﺎﻌ

ﺤﻣ

ﻬْ

ﺮ ا

تاﻮﻬ ﻟا

تﺎ ﻟاو

ﺔﻣْﻮﻣْﺬ ﻟا

ﺳو

ﺲْ ﻟا

ﺔ ْﻄ ﻟا

15

“apabila jiwa menjadi jernih dan cemerlang karena dzikrullah, maka dihapuskanlah darinya pengaruh-pengaruh nafsu syahwat

15


(1)

و

ﷲا

ﻪﱢ

ﻪﻘْ

ﺎ آ

ﱠنأ

ﻪ ْﺻو

ﻪﱢ

ْﺻو

ﻪﻘْ

ﺲْ ﻓ

ْﻦﻣ

و

ﺎ آ

ﱠنأ

ﻪ اذ

ْ ْﻟ

ْﻦﻣ

ﺮهْﻮ

ﻻو

ضْﺮ

25

“Qalam Allah tidaklah seperti qalam manusia, sebagaimana sifatnya tidaklah seperti makhluk-Nya. Qalam Allah bukanlah dari bambu, kayu atau saran lainnya, sebagaimana dzat Allah bukan dari jauhar dan bukan pula dari materi”26

Kata di atas diterjemahkan ‘qalam’. Kata qalam tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus al-Ashri, kata diterjemahkan ‘pena’.27 Menurut penulis, untuk memudahkan pembaca memahami teks, sebaiknya kata diterjemahkan ‘pena’, karena kata tersebut tidak jauh dari makna itu sendiri dan maknanya lebih sesuai dengan konteks. Dalam kalimat seperti:

“ Pena Allah tidak menyerupai pena makhluk-Nya sebagaimana sifat-Nya tidak menyerupai sifat makhluk-Nya. Penanya bukan dari tulang dan bukan pula dari kayu, sebagaimana zat-Nya bukan jauhar (essence) dan bukan pula ‘ardh (accident).

25

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumudin, hal 135 26

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009) cet. Pertama, hal. 253


(2)

ﺤﻣ

ﻬْ

ﺮ ا

تاﻮﻬ ﻟا

تﺎ ﻟاو

ﺔﻣْﻮﻣْﺬ ﻟا

ﺳو

ﺲْ ﻟا

ﺔ ْﻄ ﻟا

28

“maka dihapuskanlah darinya pengaruh-pengaruh nafsu syahwat dan sifat-sifat tercela. Jiwa yang demikian itu disebut dengan nafsul muthmainnah”.29

Kata

ﺲ ﻟا

ﺔ ﻄ ﻟا

di atas diterjemahkan apa adanya, yakni ‘nafsul muthmainnah’. Dalam kamus al-Munawwir kata

ﺲ ﻟا

berarti ‘jiwa’, sedangkan kata

ﺔ ﻄ ﻟا

dalam kamus al-Ashri berarti ‘yang tenang; damai; kalem, percaya diri.’30 Para pembaca dikhawatirkan belum memahami arti ‘nafsul muthmainnah’ itu sendiri, karena kata tersebut tidak terdapat dalam KBBI dan tidak umum digunakan oleh sebagian masyarakat. Menurut penulis, sebaiknya kata tersebut diterjemahkan ‘jiwa yang tenang’ saja, karena kata ini sudah umum digunakan oleh masyarakat. Dalam kalimat seperti:

“maka ia mampu menghilangkan noda-noda syahwat dan sifat-sifat tercela Kemudian itu dinamakan jiwa yang tenang”.

28

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumudin, hal 131 29

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009) cet. Pertama, hal. 253

30


(3)

و

ﻪﱠأ

ﻦﻜ

ﻦﻣ

ﺮْآﺬﻟا

ىﻮْﻘ ﻟﺎﺑ

ىﻮْﻘ ﻟﺎﻓ

بﺎﺑ

ﺮْآﺬﻟا

و

ﺮْآﺬﻟا

بﺎ

ْ ﻜﻟا

و

ْ ﻜﻟا

حﺎ ْﻣ

زْﻮ ﻟا

ﺮ ْآﻷا

31

“dan sesungguhnya zikir itu dapat dilakukan dengan bertakwa. Takwa merupakan pintu zikir, dan zikir adalah pintu kasyf, sedang kasyf merupakan keberuntungan yang terbesar”.32

Kata

ﻜﻟا

diterjemahkan apa adanya oleh penerjemah yaitu kasyf. Dikhawatirkan pembaca tidak memahami arti

ﻜﻟا

, karena kata tersebut tidak umum dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI tidak ditemukan kata kasyf. Dalam KBBI hanya ada kata kasap berarti ‘kasar; tidak halus’. Dalam konteks ini kata

ﻜﻟا

bermaksud sebuah penyingkapan. Jadi, menurut penulis, sebaiknya kata

ﻜﻟا

diterjemahkan ‘penyingkapan’. Dalam kalimat seperti:

“ zikir dapat dilakukan dengan ketakwaan. Maka ketakwaan adalah pintu zikir, zikir adalah pintu penyingkapan, dan penyingkapan adalah kunci kemenangan paling besar”

31

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, h. 133 32


(4)

و

ﻪﻟْﻮﻘﺑ

ﻪْ

ةﻼﱠ ﻟا

و

مﻼﱠ ﻟا

ﻜﺎ

ْﻦ

ﻪﱢﺑر

ﱠﺰ

و

33

“dan sabda Nabi SAW yang menceritakan Firman Allah SWT dalam hadis qudsinya”34

Kata

ﺔ ﺎﻜﺣ

di atas tidak sesuai diterjemahkan ‘menceritakan’. Menurut penulis, kata tersebut lebih sesuai diterjemahkan ‘meriwayatkan , karena dalam ilmu hadis lebih umum dipakai kata meriwayatkan daripada menceritakan. Dalam kalimat seperti:

“sabda Nabi SAW, meriwayatkan dari Tuhannya Azza wa Jalla

ﺜﻣ

ْﻮ و

ع

مﺎﻬْﻟإ

ﻰﻓ

ﺲْﱠﻟا

ﻮهو

ﻟا

ﺮﻟا

ْو

ع

35

....

“salah satunya melalui hal yang semisal dengan turunnya ilham dalam jiwa; cara inilah yang dinamakan bisikan wahyu”36

Kata

عوﺮﻟا

tidak sesuai diterjemahkan ‘wahyu’. Dalam kamus al-Ashri berarti ‘hati’.37 Menurut penulis, kata tersebut lebih tepat diterjemahkan ‘hati’. Dalam kalimat seperti:

“seperti munculnya ilham di dalam hati, yaitu bisikan ke dalam hati”

33

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, h. 136 34

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009) cet. Pertama, hal. 264

35

Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, h.137 36

Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009) cet. Pertama, hal. 268

37


(5)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagaimana telah penulis bahas pada bab sebelumnya, ternyata penulis melihat kurang tepatnya penerjemah dalam menerjemahkan. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa dalam terjemahan kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin masih terdapat terjemahan yang terikat dengan bahasa sumbernya. Seharusnya penerjemah melakukan terjemahan yang komunikatif, sehingga terjemahan ini akan terasa lebih nyaman untuk dibaca dan difahami

Setelah penulis menganalisa terjemahan ini ada sebagian terjemahan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, sehingga kata yang tidak umum digunakan dalam bahasa Indonesia.

Dalam terjemahan buku Ihya Ulumuddin penerjemah masih dipengaruhi struktur bahasa sumber, kata-kata yang seharusnya bisa diterjemahkan dengan tepat oleh penerjemah tetapi penerjemah memilih untuk mengikuti teks sumber. Dengan kata lain diksi yang digunakan oleh penerjemah belum umum dipergunakan mesyarakat Indonesia, sebagian terjemahannya masih mengikuti bahasa sumbernya dan tidak diterjemahhkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini membuat para pembaca sulit memahami isi dalam buku ini. Untuk itu, penulis mengusulkan terjemahan alternatif yang lebih dekat dengan merujuk ke beberapa kamus.


(6)

B. Saran

Penulis menyimpulkan beberapa poin terkait masalah yang ada dalam buku ini, poin ini berupa saran yang menjadi tolak ukur bagi penerjemah atau penerbit:

1. Apabila buku ini diterbitkan kembali, disarankan untuk menelaah terjemahan ini kembali, apakah sudah tepat dan sesuai diksi yang digunakan.

2. Penerjemah mengikuti perkembangan bahasa, baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran.

3. Penerjemah mencari terjemahan yang paling dekat, sehingga para pembaca bisa mengerti isi buku yang diterjemahkan.

4. Disarankan juga agar ada tim penyunting yang dapat mengurangi kesalahan-kesalahan dalam pemilihan diksi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pikiran dan tenaga sehingga skripsi ini masih kurang sempurna. Namun penulis berharap, skripsi ini dapat menjadi pedoman dan bermanfaat bagi kawan-kawan khususnya mahasiswa jurusan tarjamah.


Dokumen yang terkait

EKSPERIMEN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN Eksperimen Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Realistic Mathematic Education Dan Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Ditinjau Dari Motivasi Belajar Pada Kelas XI IPA SMA Muhammad

0 3 16

PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) Berbasis Assesment For Learning (AFL) (P

0 2 16

PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) Berbasis Assesment For Learning (AFL) (P

0 2 17

PENERAPAN PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA Penerapan Pembelajaran Realistic Mathematics Education (Rme) Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Negeri 5 Karangrejo

0 4 10

IMPLEMENTASI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION Implementasi Pendekatan Realistic Mathematic Education dengan Strategi Team Accelerated Instruction untuk Meningkatkan Komunikasi dan Hasil Belajar Matematika (PTK pada Siswa Kelas XI AP di SMK Bina

0 0 18

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) (PTK Pembelajaran Matematika Kelas III SDN Karangnongko II Boyolali).

0 0 8

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION ( RME ) PADA SISWA KELAS V SD N I PUCUNG TAHUN AJARAN

0 0 17

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) Upaya meningkatkan hasil belajar matematika dengan menggunakan pendekatan REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) dengan materi bangun ruang pa

0 0 16

PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA POKOK BAHASAN PECAHAN.

3 27 28

View of Realistic Mathematic Education (RME) Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika

0 1 14