BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Confessions of a Former Sex Worker by Anonymous
Empowered? I thought so. When I entered the sex industry at the young age of eighteen because of poverty. I had little life
experience, was high school dropout, and was forced out on my own a year earlier. Initially, I did feel empowered, beautiful,
wanted, desired. I thought that I had taken control of my own life. But I was naive and did not understand all the complexities of the
situation.
I wondered, “Who will accept me after committing such shameful acts? How can I live with myself?” The empowerment I felt had
vanished; the judgments I felt from others and myself was harsh. I was emotionally, psychologically, and spiritually wounded. I
wondered if God would ever accept me again. After five years I left the business, and tried to start over. I attempted to block
memories of my days in the sex industry and pretend it never happened. As much as I have tried to ignore it, the sex industry is
a part of my past, a very damaging part of my life. I haven’t healed and I’m not sure I ever will. Now as I read about claims
that sex work is empowering, an opportunity for women to take control of their lives, I can only assume they come from persons
who have never been in the business. My experience certainly tells me otherwise.
So while I support sex workers and certainly empathize with their lived situation, I also think there is no empowerment in sex work. I
don’t deny women’s agency, but I cannot deny the scars I carry; my continued shame and lack of self worth have left me spiritually
lost. I post anonymously because I am unsure I will ever be able to acknowledge my experience publicly. My fear of rejection and
total loss of self is too great.
Sumber : Feminism and Religion, 12 November 2012
Universitas Sumatera Utara
Artikel tersebut menceritakan mengenai kehidupan seorang wanita bernama Mawar bukan nama sebenarnya sebelum dan sesudah keluar dari prostitusi. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan Mawar memilih bekerja di dunia prostitusi. Kemiskinan, tingkat pendidikan, serta lingkungan menjadi hal utama yang
mendorong dirinya bekerja dalam dunia tersebut. Kebahagiaan dan perasaaan diberdayakan adalah hal yang pertama sekali dirasakan Mawar ketika menjadi
seorang PSK. Kekayaan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Selain itu, Mawar merasa memiliki kontrol penuh akan hidupnya, sehingga dia dapat
menentukan apa yang akan dilakukan tanpa ada kontrol atau arahan orang lain. Perasaan dan pemikiran seperti itu membuat Mawar tidak menyadari betapa
berbahaya situasi yang dihadapinya pada saat itu Feminism and Religion, 2012.
Ketika Mawar berhasil keluar dari prostitusi, hal pertama yang dirasakan adalah perasaan terluka secara emosional, psikologis, dan spiritual. Banyak
pertanyaan yang muncul dalam dirinya, seperti adakah orang yang mau menerima dirinya ketika dia ingin kembali ke dalam masyarakat, bisakah dia hidup setelah
semua yang dilakukannya, atau mungkinkah Tuhan akan memaafkan dirinya setelah semua itu. Kecemasan dan perasaan tidak berharga menjadi hal yang
paling menonjol dalam kehidupannya. Hal tersebut membuat Mawar berusaha melupakan masa lalunya. Bagi wanita yang pernah bekerja sebagai seorang PSK,
masa lalu akan terus menghantui orang tersebut sepanjang masa kehidupannya. Hal inilah yang diungkapkan oleh Mawar, bahwa masa lalu akan terus ada dan
tidak bisa dihilangkan. Feminism and Religion, 2011
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa biasanya mantan PSK memiliki perasaan pesimis dan kecemasan dalam menghadapi masa depan. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sihombing 2011 mengenai kecemasan pada wanita PSK. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa
seorang wanita yang pernah bekerja atau masih bekerja sebagai PSK akan memiliki kecemasan yang tinggi dalam berinteraksi dengan lingkungan, baik itu
lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Hal tersebut kemudian akan mempengaruhi keputusan mereka untuk memepertahankan pekerjaan sebagai PSK
atau memutuskan berhenti sebagi seorang PSK. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tetap mempertahankan
pekerjaan sebagai PSK. Faktor ekonomi dan perasaan nyaman menjadi faktor dominan yang membuat PSK tetap bertahan dalam prostitusi Koentjoro, 2004.
Dunia prostitusi tersebut sangat menjanjikan uang atau penghasilan yang sangat besar. Bagi seseorang yang sudah terbiasa memiliki penghasilan yang besar tentu
akan susah menerima perubahan menjadi penghasilan yang lebih sedikit. Ketika suatu aktivitas memberikan
positive reinforcement pada seseorang, maka orang tersebut biasanya cenderung mempertahankan prilaku tersebut dan akan susah
merubahnya Skinner dalam Schultz, 1993. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wanda 55 tahun dalam sebuah proses wawancara, yaitu :
“Pas bibik kerja kemaren, bibik sama sekali ga niat berhenti. Orang gimanalah, uang aman, makan aman, semuanya aman. Enak kali di dalam
itu kemaren, macam ga da pikiran bibik yang susah. Terus, sekali dapat uang banyak kali, ya lanjut terus lah bibik dulu tu.”
Komunikasi Personal, 25 Maret 2014
Universitas Sumatera Utara
Di lain sisi, berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Batubara 2007 dikatakan bahwa salah satu alasan mengapa para PSK susah meninggalkan
dunia prostitusi adalah kekhawatiran dan perasaan takut terhadap perlakuan masyarakat. Hal ini biasa dihubungkan dengan pandangan negatif yang diberikan
oleh masyarakat kepada orang yang bekerja di bidang tersebut. Batubara 2007 menjelaskan bahwa kecemasan dan kekhawatiran menjadi faktor dominan yang
membuat seorang PSK tetap mempertahankan profesinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Sherly 17 dalam sebuah proses wawancara,
yaitu : “Mau gimanalah bang, ngeri kuarasa berhenti bang. Kurasa orang kan
sudah tau bang kerja ku ini, takut aku bang. Tobat pun nanti aku diusir juganya, pasti ga ada nya orang nanti mau nerima aku bang. Daripada
kayak gitu nanti, mending lah kayak gini dulu. Orang sama-sama aja kok.”
Komunikasi Personal, 29 Maret 2014
Selain faktor tersebut, ada juga beberapa faktor yang mendukung seorang PSK keluar dari prostitusi. Dalam studi yang dilakukan oleh Isni Prihatini 2010 yang
meneliti mengenai hubungan antara self-esteem dan religiusitas dengan intensi
berhenti menjadi PSK, ditemukan hasil bahwa ada pengaruh positif antara self-
esteem dan religiusitas dengan intensi berhenti. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Sulis 35 dalam sebuah proses wawancara, yaitu :
“…aku waktu kayak gitu sempat merasa berdosa kali. Semakin lama aku kerja kok semakin ga tenang hidupku. Masih maunya Tuhan maafin aku.
Terus jumpa lah aku sama pertua, di nasihatinya aku. Lama-lama masih
percaya kalo aku diterima sama Tuhan. Jadi sikit-sikit bisa aku keluar. Sekarang liatlah, dah ikut pelayanan pun aku. Bertobat aku udah..”
Komunikasi Personal, 13 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, faktor keluarga seperti anak juga mempengaruhi pemikiran seseorang untuk bertahan di dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Lina
30 dalam sebuah proses wawancara, yang menyatakan bahwa dia keluar dari prostitusi disebabkan oleh anak-anaknya. Berikut adalah pernyataan yang
diungkapkan oleh Lina : “Kalo direndahkan kan dipandang hina, apalagi nanti orang ngomong ke
anak kita, hei sianu mamak mu kok kerja nya gitu… apa ga malu kau…kau dah besar masa mamak mu kerjanya kayak gitu. Janganlah
sampai orang ngomong gitu sama anak kita, kita kan juga menjaga perasaan anak kita. Jangan nanti anak kita juga terjerumus kayak orang
tuanya”
Komunikasi Personal, 14 November 2013
Pernyataan Lina tersebut telah menjelaskan bahwa dia lebih takut jika anaknya dihina daripada dirinya sendiri. Ketakutan terhadap masa depan anak akan
mengikuti jalan yang sama dengan dirinya membuat dia keluar dari dunia prostitusi. Ketika motivasi untuk berhenti sebagai PSK lebih besar daripada faktor
yang menghambat dia berhenti, maka pada saat itulah dia akan keluar dari prostitusi dan memutuskan kembali ke dalam masyarakat. Ketika dia sudah keluar
dan tidak kembali lagi ke dalam prostitusi, maka wanita tersebut akan disebut sebagai mantan PSK atau
Ex Psk. Keluar dari prostitusi bukan berarti membuat seorang mantan PSK
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Ketika seorang sudah benar-benar berhenti sebagai seorang PSK, akan terjadi perubahan yang besar di dalam
hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut merupakan suatu kondisi ketika
Universitas Sumatera Utara
seseorang memasuki sebuah situasi atau lingkungan yang baru Weiten Lloyd, 2006. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan dalam aspek ekonomi,
pekerjaan, serta peran dan prilaku di dalam lingkungan. Perubahan yang terjadi pada mantan PSK biasanya akan menimbulkan
permasalahan atau konflik tertentu bagi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Konflik atau permasalahan tersebut secara umum dibagi menjadi dua,
yaitu konflik internal dan konflik eksternal eksternal Koentjoro, 1996. Konflik internal meliputi kecemasan, ketakutan, serta persepsi yang salah terhadap
lingkungan, sedangkan konflik eksternal meliputi tekanan dari lingkungan. Suatu konflik akan terus membesar ketika seseorang tidak mampu mengatasinya dan
kemudian akan memberikan efek negatif dalam kehidupan sehari-hari Riggio Parter, 1990. Salah satu permasalahan yang akan dihadapi oleh seorang mantan
PSK adalah penolakan yang diberikan oleh masyarakat. Masyarakat cenderung memiliki pandangan yang negatif terhadap prostitusi tanpa peduli apakah
seseorang sudah keluar atau belum dari dunia tersebut Sihombing, 2011. Selain itu, seseorang yang pernah dianggap memiliki pekerjaan yang buruk akan
dianggap sebagai sampah masyarakat, biang penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial Rosenberg, 2008. Hal-hal seperti ini membuat seorang
mantan PSK akan mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik itu dalam menjalin hubungan sosial maupun mencari pekerjaan. Berikut
adalah beberapa pendapat masyarakat mengenai profesi PSK : “Orang yang jadi PSK itu bodoh kali, kenapa harus jadi PSK sementara
banyak cara untuk dapat uang, jadi pembantu misalnya.”
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi Personal, 11 November 2013 “PSK itu macam sampah di masyarakat, perilaku nya semua ga ada yang
benar. Apa yang dibuat mereka pasti ga benar. Memang lah, ntah macam apa nya mereka.”
Komunikasi Personal, 11 November 2013 “Mereka itu macam penyakit di dalam masyarakat, harus lah dihapuskan
mereka tu.” Komunikasi Personal, 12 November 2013
Pandangan masyarakat yang cenderung negatif terhadap mantan PSK menimbulkan ketakutan pada mantan PSK itu sendiri, sehingga mereka akan
cenderung memandang masyarakat sebagai sumber permasalahan dalam kehidupan mereka. Seperti contoh, penolakan dari masyarakat membuat mereka
susah mencari teman dan mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yanti 35 dalam sebuah proses
wawancara, yaitu : “Ga tau lah aku ting, sudah berhenti aja pun masi digituin aku, apalagi
waktu aku masih kerja. Masao rang-orang ga mau nerima aku. Ujung- ujungnya ga ada kawan ku lagi ting. Dapat kerja pun susah. Pernah dulu
kakak kerja jadi tukang cuci di rumah orang, tapi cuma seminggu. Di usir kakak dari situ, karena dituduh kakak mau nyuri suami orang. Terus siap
jalan kaka di gang itu ting, kakak selalu dituduh yang gak gak. Macam ga adalah kawan kakak lagi semenjak berhenti ini.”
Komunikasi Personal, 15 November 2013
Permasalahan lain yang biasanya dihadapi oleh mantan PSK adalah permasalahan ekonomi. Perubahan ekonomi adalah hal yang paling tampak dari
seorang mantan PSK, karena sesudah berhenti mereka akan mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan sumber penghasilan yang baru. Hal ini di dukung oleh
Universitas Sumatera Utara
pernyataan Lina 30 dalam sebuah proses wawancara. Adapun pernyataan Lina tersebut adalah :
“Gimana lah, banyak kali bibik rasa masalah siap bibik berhenti. Coba lah, dulu banyak kali dapat uang, sekarang susah kali cari uang. Untuk uang
makan aja pun kadang gak dapat. Kalo dulu 300 sampai 400 ribu masih gampang dapt, sekarang 10 ribu aja ga dapat-dapat. Kayakmana lah, susah
cari kerja sekarang, apalagi bibik kayak gini.”
Komunikasi Personal, 11 November 2013
Seluruh permasalahan yang dihadapi oleh mantan PSK pada dasarnya akan menimbulkan stress bagi mereka. Perubahan, tekanan, dan tuntutan lingkungan
yang tidak sesuai dengan keadaan seorang individu tersebut membuat dirinya merasa tidak aman dan cemas Sarafino, 2011. Hal-hal demikian sering membuat
seseorang sedikit demi sedikit membentuk persepsi yang salah akan lingkungan sekitarnya Weiten Lloyd, 2006.
Bagi mantan PSK sendiri yang telah mengalami stress akibat tuntutan lingkungan yang terlalu besar, akan membuat dirinya membentuk persepsi yang
negatif terhadap lingkungan tempat dia tinggal. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap perasaan pesimis dan cemas bagi seorang mantan PSK dalam
berinteraksi dengan masyarakat umum, sehingga mereka sering merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupan mereka. Hal tersebut didukung oleh pendapat
Lina 31 seorang mantan PSK dalam sebuah proses wawancara. Adapun hasil dari wawancara tersebut adalah :
“Waktu bibik sudah berhenti jadi PSK, stress ya stress. Jalan diluar rumah saja cemas. Mau gimanalah, namanya pernah kerja gituan. Nanti waktu
dengar orang cerita, kadang bibik ngerasa bibik yang diceritain, padahal
Universitas Sumatera Utara
bukan bibik nya. Jadi bibik sering ngerasa digosipin sama orang. Awalnya bibik ngerasa ga nyaman.”
Komunikasi Personal, 11 Oktober 2013
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa stress yang dirasakan memberikan pengaruh negatif bagi kehidupan seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Stress akan mempengaruhi proses kognitif, emosi, serta prilaku seseorang Sarafino, 2011.
Stress yang dirasakan oleh mantan PSK akan mempengaruhi keputusan yang mereka ambil. Keputusan tersebut pada akhirnya menentukan apakah
seorang mantan PSK tersebut mampu bertahan atau kembali ke prostitusi. Ketika seseorang memutuskan untuk bertahan, maka dia memutuskan untuk menghadapi
stress tersebut, dan sebaliknya ketika dia merasa tidak sanggup maka dia akan memutuskan lari dari sumber stress tersebut Cannon dalam Sarafino, 2011. Hal
inilah yang banyak terjadi pada mantan PSK. Mantan PSK memiliki permasalahan yang jauh lebih besar dari kebanyakan orang pada umumnya. Banyak mantan PSK
yang kembali ke prostitusi disebabkan oleh besarnya masalah yang dihadapi. Ketika ia merasa tidak sanggup mengatasi permasalahan yang ia hadapi, maka ia
cenderung akan memutuskan kembali ke dalam prostitusi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Sherly 17 dalam sebuah proses wawancara :
“Sempatnya berhenti bang, cuma kayakmana. Susah kali jadinya, uang pun payah bang, terus kena marah terus sama mamak, banyak kali lah masalah
ini bang. Kadang lebih tenang kalo tetap kerja bang, kayak gak ada beban. Jadi kerja aja aku terus.”
Komunikasi Personal, 29 Maret 2014
Universitas Sumatera Utara
Di lain sisi, ternyata ada juga dari mantan PSK yang berhasil kembali ke dalam masyakat. Ketika seorang mantan PSK memutuskan untuk menghadapi
permasalahnnya, makan besar kemungkinam mereka akan diterima kembali di dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Wanda 55, yaitu :
“Kalo banyak ya banyak masalah ini, cuma salah siapa coba, kita lah. Terus kok takut, ga berani... bodoh kali lah balik lagi. Keluar aja gini
susah, terus mau balik? Bibik ya, kalo bibik lawan semua lah. Berhasil nya itu. Liat lah bibik sekarang, sudah banyak kawan kan, kayak ornag biasa
nya bibik sekarang. Makanya ya hadapi aja lah, orang kita nya itu.”
Komunikasi Personal, 25 Maret 2014
Untuk mantan PSK yang memutuskan bertahan, mereka untuk melakukan sesuatu dalam upaya mengatasi sumber stress tersebut. Banyak usaha yang
dilakukan oleh seorang dalam mengatasi stress, baik itu yang bersifat konstruktif maupun destruktif Weiten Lloyd, 2006. Usaha bersifat konstruktif dapat
berupa mencari pekerjaan baru, mencari kegiatan yang dapt mengalihkan stress, membentuk pola pikir positif, dan lainnya. Sedangkan upaya yang bersifat
destruktif dapat berupa lari dari permasalahan, mengurung diri, serta segala bentuk
defense mechanism Lazarus Folkman, 1984 ; Weiten Lloyd, 2006. Bagi mantan PSK sendiri, upaya yang dilakukan sangat ditentukan oleh cara
pandang mereka terhadap lingkungan. Ketika mereka memandang positif lingkungan tempat mereka tinggal, mereka akan cenderung menggunakan cara-
cara positif dalam mengatasi stress mereka, dan sebaliknya jika mereka memandang negatif lingkungan, maka cara yang digunakan akan bersifat negatif
juga. Hal ini di dukung oleh pernyataan Wanda 55 dan Linda 33 dalam proses wawancara, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
“Memang kenapa sama lingkungan kita, ga ada apa-apa. Kalo pun kita diejek yaw ajar karena memang pernah gitu. Tapi ambil positif nya ajalah.
Ga semuanya kan ngejek kita, ada juga nya yang bela kita. Pikir positif aja. Kalo baik-baik nya kita buat, lama-lama diterimanya. Kayak bibik lah,
stress nya awalnya, tapi bibik coba ngilangin stress itu kyak ngumpul- ngumpul sama kawan. Awalnya payah karena mereka ga mau memang,
Cuma lama-lama diterima juganya aku kan. Itulah pikir positif aja semua. Ga masalah itu.”
Komunikasi Personal, 25 Maret 2014 “Bibik takut jugalah, kayakmana nanti kalo bibik dihina-hina, terus diusir
pula. Mampus lah bibik. Bibik ngerasa ga enak, tetangga-tetangga semua kayaknya jijik sama bibik. Makin stress lah kalo berhubungan sama
mereka. Mending bibik di rumah aja, lebih tenang bibik. Ga bekawan pun gapapa lah, yang penting bibik nyaman.
Komunikasi Personal, 11 Oktober 2013
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa cara pandang terhadap lingkungan akan mempengaruhi cara yang dilakukan seseorang dalam mengatasi stress. Selain itu,
dalam sebuah studi kualitatif yang dilakukan oleh Utami 2010 dalam penelitian yang berjudul “
Managemen Konflik Pada PSK Yang Berkeluarga”, diperoleh hasil bahwa managemen konflik yang baik akan membuat seseorang mampu
bertahan dalam suatu kondisi tertentu. Managemen konflik merupakan salah satu upaya untuk mengatasi stress, terlepas dari hal tersebut bersifat positif atau
negatif. Semua upaya yang dilakukan untuk mengatasi stress disebut sebagai Coping Stress Weiten Lloyd, 2006 ; Lazarus, 1999 ; Lazarus Folkman ,
1984. Selain
coping stress, upaya lain yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi masalah adalah dengan cara membangun hubungan dengan
orang lain. Hal tersebut bertujuan untuk mencari dukungan sosial yang dapat membantu orang lain dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Hal
Universitas Sumatera Utara
tersebut meliputi pencarian teman, berinteraksi dengan tetangga, bahkan menjalin hubungan romantis Weiten Lloyd, 2006. Bagi mantan PSK sendiri, hal
tersebut menjadi proses yang penting karena dapat mendukung mereka masuk kembali ke dalam masyarakat. Hal tersebut dirasakan oleh Wanda 55 yang
diungkapakan dalam sebuah pernyataan, yaitu : “Bagi mereka yang pernah kerja jadi PSK terus sudah berhenti, mereka ga
akan bisa kembali ke masyarakat kalo gak mau membangun hubungan sama orang lain. Memang awalnya susah, tapi di situ lah usaha. Kita-kita
ini orang jahat, ga mungkin kita bisa langsung diterima. Tapi, waktu kita sudah bisa bergaul sama orang, misalnya tetangga, tanpa kita sadari kita
sudah diterima dan kemabli ke dalam masyarakat. Itulah yang bibik rasakan.”
Komunikasi Personal, 21 Maret 2014
Selain hal tersebut, dalam penelitian berjudul “ Pengungkapan Diri Dalam
Proses Coming Together Pada Mantan PSK Yang Menikah” yang dilakukan oleh Agustina 2010, ditemukan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk
membangun hubungan dengan orang lain adalah dengan pengungkapan diri. Ketika seseorang PSK berani mengungkapkan dirinya di dalam masyarakat, maka
ada kemungkinan ia akan diterima oleh masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Sulis 35 melalui sebuah pernyataan, yaitu :
“…Kalau kita ga berani bilang siapa kita sebenarnya, gimana orang tau kita kayak mana. Kayak aku lah, ku bilang sama orang, aku dulu memang
pernah jadi PSK, tetapi aku bertobat. Aku sudah kembali ke jalan Tuhan. Nah, hasilnya apa, mereka lebih nerima sama lebih percaya dibandingkan
yang lain.”
Komunikasi Personal, 13 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa bagi seorang mantan PSK yang terbuka terhadap lingkungan dan berani menyatakan dirinya akan lebih
diterima dibandingkan yang tidak. Semua hal tersebut, keseluruhan upaya dan proses yang dilakukan oleh seseorang dalam membangun hubungan dengan orang
lain disebut dengan interpersonal realm.
Seluruh bentuk penyesuaian diri yang dilakukan seseorang, dimulai dari munculnya perubahan kehidupan,
stress dan coping stress, serta interpersonal realm dinamakan sebagai proses personal adjustment Weiten Lloyd, 2006.
Pada mantan PSK proses penyesuaian diri memiliki tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan masyarakat umum. Hal ini terjadi karena mantan
PSK mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang mengakibatkan mereka mengalami penolakan dari masyarakat itu sendiri Rosenberg, 2008. Tantangan
yang dihadapi oleh mantan PSK akan sangat mempengaruhi keputusan yang mereka ambil. Ketika mereka memutuskan untuk menghadapi hal tersebut, maka
besar kemungkinan mereka akan kembali diterima di dalam masyarakat. Sebaliknya, ketika mereka memutuskan untuk lari, besar kemungkinan mereka
akan kembali ke dalam prostitusi. Kedua hal tersebut sangat dipengaruhi oleh proses
personal adjustment yang dijalani, baik itu positif ataupun negatif. Untuk personal adjustment yang positif mengarah pada penggunaan coping yang positif,
membangun hubungan dengan orang lain, dan menerima diri sendiri serta perubahan yang ada. Sebaliknya, untuk
personal adjustment negatif mengarah pada menarik diri dari lingkungan, penggunaan
coping negatif, serta tidak mampu melupakan masa lalu.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa proses penyesuaian diri pada mantan PSK memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan
masyarakat secara umum. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat dinamika
personal adjustment pada mantan PSK untuk kembali ke dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah