Pelaksanaan Paksa Badan Lijfdwang

78 Dalam kaitannya dengan pengawasan kredit yang diselenggarakan oleh DJKN atau PUPN, Undang-undang Perbankan menggariskan bahwa Pimpinan Bank Indonesia harus memberi izin kepada pejabat DJKN atau PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur. Permintaan pembukaan rahasia bank disampaikan oleh pejabat DJKN atau PUPN secara tertulis, demikian pula izin pembukaan rahasia bank disampaikan secara tertulis oleh Pejabat Bank Indonesia. B.3. Upaya Mempercepat Proses Penyelesaian Piutang Negara Macet dalam Praktik Oleh DJKN Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh DJKN dan PUPN dalam mempercepat proses penyelesaian piutang negara macet, antara lain :

1. Pelaksanaan Paksa Badan Lijfdwang

Ketentuan mengenai Paksa Badan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan tanggal 30 Juni 2000 selanjutnya disebut PMA No. 12000. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut makan pembekuan Lembaga Sandera gijzeling berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975 dicabut. Penggunaan nomenklatur Paksa Badan dengan pertimbangan sebagaimana disebut dalam konsiderans PMA No. 12000 bahwa penerjemahan istilah gijzeling dengan kata sandera atau penyanderaan dipandang tidak tepat karena tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya dan membayar hutang, sehingga penerjemahannya perlu disempurnakan menjadi Paksa Universitas Sumatera Utara 79 Badan sebagaimana terkandung dalam pengertian “imprisonmentfor Civil Debts” yang berlaku secara universal. Penerapan kembali lembaga Paksa Badan ini dengan pertimbangan bahwa perkembangan keadaan dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Perbuatan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya, padahal ia mampu untuk melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak azasi manusia yang nilainya lebih besar dari pada pelanggaran hak azai atas pelaksanaan Paksa Badan terhadap yang bersangkutan. Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang Penanggung Hutang yang beritikad tidak baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan untuk memenuhi kewajibannya. Penanggung Hutang yang beritikad tidak baik adalah Penanggung Hutang sebagai Penanggung atau Penjamin Hutang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya ntuk membayar hutang-hutangnya 44 Bila diperlukan, sesuai ketentuan yang berlaku DJKN atau PUPN dapat melakukan Paksa Badan terhadap Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang . Pelaksanaan Paksa Badan terhadap Penanggung Hutang yang beritikad tidak baik dijalankan dengan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 sampai dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 RBg, kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam PMA No.12000. 44 S. Mantayborbir, SH., MH., dkk, loc.cit.. Universitas Sumatera Utara 80 tidak beritikad baik dalam menyelesaikan hutangnya. Paksa Badan dilakukan dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu di tempat tertentu yang tertutup dan terasing dari masyarakat, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai. Paksa Badan merupakan kewenangan eksekusi yang dimiliki oleh DJKN atau PUPN berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 jo. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 336KMK.012000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 506KMK.012000 tanggal 30 November 2000 jo. Keputusan Kepala BUPLN Nomor 41PN2000 tentang Teknis Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara tanggal 14 Desember 2000 dan telah diubah lagi menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53PMK.06 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan piutang Negara. Kewenangan eksekusi Paksa Badan yang dimiliki oleh DJKN atau PUPN tidak termasuk dalam lembaga sandera gijzeling yang dibekukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia berdasarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 tahun 1975. Dalam suratnya kepada ketua PUPN Pusat Nomor: 492MK2187M65 tanggal 3 Juni 1965, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengemukakan hal- hal sebagai berikut: a. Instruksi untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai sandera gijzeling terbatas pada yang dimaksud dalam Pasal-pasal 209 sampai dengan 224 Universitas Sumatera Utara 81 HIR tegasnya pada yang diminta oleh pihak yang berperkara kepada pengadilan yang telah memutus perkara yang bersangkutan, sedang ternyata tidak ada cukup barang untuk menjamin pelaksanaan dari pada putusan tersebut. b. Meskipun tidak disebutkan di dalam Surat Edaran, namun demikian dapat dikemukakan disini bahwa alasan Mahkamah Agung dalam hal ini adalah bahwa “institut sandera” itu pada hakikatnya dimaksud untuk melindungi penagih schuldeiser, biasanya pihak yang sudah kaya, yang dengan jalan sandera tadi dapat menekan pengutang schuldenaar, biasanya pihak yang lemah untuk membayar hutangnya dan “institut” yang dimaksud demikian inilah yang menurut Mahkamah Agung dalam ideologi Pancasila yang sebagaimana diketahui berdasarkan Peraturan No. 2 tanggal 10 Oktober 1945 pasal IV Peraturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 antara lain menjadi batu ujian terhadap ketentuan- ketentuan hukum yang tidak berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sendiri sudah tidak pada tempatnya lagi; c. Sandera yang dilakukan berdasarkan Pasal 10 dan Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960 mempunyai sifat lain, karena : 1. Hubungan antera “penyandera” dan “yang disandera” bukanlah sebagai antara pihak-pihak yang finansialnya “kuat” dan “lemah”, melainkan antara Negara dan pihak yang dalam surat dikatakan “para debitur negara yang nakal dan meliputi jumlah yang besar”jadi bukan terhadap pihak yang umumnya lemah; 2. Sifat kenakalan atau kecurangan pihak “yang disandera” tersebut menurut prosedur Pasal 10 pada umumnya telah ternyata, adalah jumlah piutang telah Universitas Sumatera Utara 82 dirundingkan dan dibuat Pernyataan Bersama antara Ketua Panitia dan Penanggung Hutang; 3. Oleh karena pertimbangan-pertimbangan di atas, maka menurut pendapat Mahkamah Agung, “sandera” yang dilakukan berdasarkan urusan piutang negara ex Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 adalah formil dan materil tidak termasuk instruksi dari Mahkamah Agung tersebut. Karena kewenangan Paksa Badan DJKN atau PUPN tidak termasuk dalam lembaga sandera yang dibekukan tersebut, maka kewenangan tersebut tetap dipergunakan oleh DJKN atau PUPN hingga saat ini. Namun pelaksanaannya dilakukan secara selektif dengan persyaratan-persyaratan yang ketat. Paksa Badan hanya dikenakan kepada Penanggung Hutang yang nyata-nyata “nakal”dan tidak bersikap kooperatif dalam upaya penyelesaian hutangnya kepada negara. Syarat-syarat tersebut terdiri atas : a. Barang Jaminan tidak ada atau tidak mencukupi untuk menanggung hutang yang bersangkutan; b. Sisa hutang Penanggung Hutang yang bersangkutan sekurang-kurangnya Rp.500.000.000,00 lima ratus juta rupiah; c. Tidak memenuhi Pernyataan Bersama atau Surat Paksa; d. Mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya tetapi nyata-nyata tidak memperlihatkan itikad baik untuk menyelesaikannya; Universitas Sumatera Utara 83 e. Tidak dapat dikenakan terhadap Penanggung Hutang yang tidak beritikad baik dalam menyelesaikan hutangnya, yang telah berumur 75 tahun ke atas; f. Surat Perintah Badan Paksa hanya dikeluarkan oleh Ketua PUPN pusat berdasarkan permintaan penerbitan surat tersebut oleh PUPN cabang yang telah memperoleh ijin dari Kejaksaan Tinggi setempat; g. Paksa Badan hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 6 enam bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 enam bulan lagi. Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang dikenakan Paksa Badan oleh DJKN atau PUPN ditempatkan pada lembaga permasyarakatan, atau rumah tahanan negara, atau rumah sandera yang diadakandisewadikontrak oleh Direktur Jenderal DJKN. Selama menjalankan Paksa Badan ditempat tersebut Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang tetap diberikan hak dan diperbolehkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. Mendapatkan makanan yang layak termasuk kiriman dari keluarga; d. Menyampaikan keluhan kepada Ketua PUPN Pusat tentang perlakuan petugas; e. Memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya sendiri; f. Menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat, dokter pribadi atas biaya sendiri, danatau rohaniawan; g. Melaksanakan ibadah ditempat ibadah; Universitas Sumatera Utara 84 h. Menghadiri sidang Pengadilan; i. Melakukan transaksi di Bursa Efek guna menjual sahamnya untuk pelunasan hutangnya kepada negara; j. Mengikuti pemilihan umum di tempat pemilihan umum; k. Menghadiri pemakaman orang tua, suamiistri, dan anak. Pelaksanaan Paksa Badan untuk sementara waktu dapat ditangguhkan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut 45 45 S. Mantayborbir, SH., MH., Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Jakarta 2004, Hal 181. : a. Sanggahan atau bantahan dari Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang mengenai Paksa Badan yang diikuti dengan penetapan penangguhan Paksa Badan dari pengadilan; b. Pembayaran hutang lebih dari 50 lima puluh persen dari jumlah sisa hutang; c. Kesanggupan untuk melunasi hutang dengan bank garansi. Terhadap Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang melaksanakan Paksa Badan akan dibebaskan apabila : a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Paksa Badan telah lampau; b. Terdapat permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan demi kepentingan umum dan disetujui oleh Ketua PUPN Pusat; c. Jumlah hutang yang bersangkutan dilunasi; d. terdapat angsuran hutang sebanyak 70 tujuh puluh persen dari jumlah hutang. Universitas Sumatera Utara 85 Meskipun Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang telah atau sedang melaksanakan Paksa Badan sepanjang hutangnya belum lunasselesai maka terhadap yang bersangkutan tetap melekat kewajiban untuk melunasi dan menyelesaikan hutang dan status barang jaminan danatau harta kekayaan tetap menjadi tanggungan atas hutang-hutangnya.

2. Pencegahan bepergian ke luar negeri