Koordinasi dengan pihak terkait Pemantapan sarana hukum

92 Persetujuan keringanan sebagaimana dimaksud di atas, dalam hal Piutang Negara merupakan piutang yang berasal dari: a. Instansi Pemerintah Pusat, pemberian keringanan hutang dalam bentuk keringanan jumlah hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, hanya dapat dilakukan dengan ketentuan besarnya keringanan hutang paling banyak Rp.10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah; dan b. Instansi Pemerintah Daerah, pemberian keringanan hutang dalam bentuk keringanan jumlah hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu, hanya dapat dilakukan setelah Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan atau menyerahkan keputusan kepada Kantor Pelayanan dan besarnya keringanan hutang paling banyak Rp.5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.

5. Koordinasi dengan pihak terkait

Penyelesaian piutang negara macet tidaklah semata-mata hanya tergantung pada peran DJKN atau PUPN saja, akan tetapi diperlukan koordinasi dengan pihak yang memiliki hubungan dengan upaya DJKN dan PUPN dalam melakukan pengurusan dan penyelesaian piutang negara. Koordinasi yang erat memungkinkan adanya tukar menukar informasi dan saling pengertian dalam hubungannya dengan penyelesaian piutang negara. Untuk itu DJKN atau PUPN yang dalam melakukan Universitas Sumatera Utara 93 pengurusan piutang negara macet harus dapat melakukan koordinasi secara aktif dengan pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan menyelesaian piutang negara tersebut antara lain pihak : 1. Bank Indonesia; 2. Bank-bank milik Pemerintah dan Instansi-instansi pemerintah; 3. Lembaga Peradilan; 4. Badan Pertanahan Nasional.

6. Pemantapan sarana hukum

Landasan hukum DJKN atau PUPN dalam mengurus piutang negara adalah Undang-undang No. 49 Prp. 1960 jo. Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1976 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61KMK.082002 jo. Peraturan Presiden No. 89 tahun 2006. Dengan Peraturan Presiden No. 94 tahun 2006 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia jo. Peraturan Menteri Keuangan No. 100PMK.012008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan jo. tanggal 11 Juli 2008, eksistensi dan kewenangannya semakin ditegaskan. Dengan landasan hukum tersebut DJKN atau PUPN dalam melakukan penyelesaian piutang negara masih dilengkapi oleh berbagai peraturan pelaksanaan lainnya antara lain, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333KMK.012000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 503KMK.012000 tanggal 30 Nopember 2000 dan telah diubah lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128PMK.062007 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor Universitas Sumatera Utara 94 88PMK.062009 tanggal 30 April 2009, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 334KMK.012000 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan Bidang Pengurusan Piutang Negara tanggal 18 Agustus 2000 sebagaimana telah diubah dengan keputusan menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 504KMK.012000 tanggal 30 Nopember 2000, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 506KMK.012000 tanggal 30 Nopember 2000 jo. Keputusan Kepala BUPLN Nomor 41PN2000 tentang Petunjuk Teknis Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara tanggal 14 Desember 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53PMK.062006 tantang Petunjuk Pelaksanaan Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara oleh panitia Urusan Piutang Negara. Walaupun telah dilengkapi dengan peraturan tersebut di atas, DJKN atau PUPN juga saat ini telah menyiapkan Rancangan Undang-undang Pengurusan Piutang Negara dan Rancangan Undang-undang lelang untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi DJKN atau PUPN untuk melakukan tugasnya dalam penyelesaian piutang negara yang telah macet sehingga kembali dapat tertagih dan dimasukkan ke dalam kas negara. Dengan demikian peran DJKN atau PUPN dalam pengamanan keuangan negara guna menghindari kerugian pada keuangan negara akan lebih dapat diandalkan dan dibanggakan. Tanpa perlu membentuk lembaga lain yang pada saat ini yang mempunyai tugas mirip-mirip dengan DJKN atau PUPN seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN misalnya. Lebih baik memberdayakan dan membenahi lembaga yang sudah ada dan sudah lama berperan serta berpengalaman dalam pengurusan piutang negara macet. Universitas Sumatera Utara 95 7. Sarana hukum lainnya yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah piutang negara macet a. Pelaksanaan Pasal 1178 ayat 2 KUHPerdataBW Tujuan penggunaan Pasal 1178 ayat 2 KUHPerdata adalah memberikan kuasa kepada kreditur sebagai Pemegang Hipotek atau Hak Tanggungan untuk menjual barang jaminan di muka umum tanpa persetujuan atau bantuan Pengadilan Negeri, apabila hutang pokok atau bunga tidak dibayar oleh Penanggung Hutang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, untuk pelaksanaannya tidak lagi memerlukan penyitaan dan juga tidak perlu adanya grosse akta. Namun pelaksanaan pasal dimaksud harus dilakukan dengan memperhatikan Pasal 1211 KUHPerdata yaitu harus melalui bantuan kantor lelang. Sebagai konsekuensi dari ketentuan dimaksud, agar lelang dapat dilaksanakan perlu adanya Surat Penetapan Pengadilan Negeri yang berisi perintah eksekusi. Surat ini menjadi jaminan bagi terlaksananya suatu eksekusi. Dalam hal ini terlaksananya eksekusi masih tetap ada kaitannya dengan Pengadilan Negeri. b. Grosse Akte Hipotik Hak Tanggungan atau surat hutang Tujuan pemanfaatan grosse akte Hipotek Hak Tanggungan dan surat hutang sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR adalah memberi kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap agar langsung Universitas Sumatera Utara 96 dapat dieksekusi. Dengan demikian pemegang grosse akte kreditur cukup mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar bunyi atau isi grosse akte dimaksud dapat dieksekusi 48 Namun demikian menurut pengadilan, adanya grosse akte bukanlah merupakan bukti bahwa Penanggung Hutang mempunyai hutang kepada kreditur, sehingga Ketua Pengadilan Negeri harus memeriksa terlebih dahulu apakah debitur masih berhutang kepada kreditur. Dalam hal ternyata Penanggung Hutang tidak lagi mempunyai hutang maka permohonan eksekusi harus ditolak . 49 48 S. Mantayborbir, SH., MH., op.cit., Hal. 144-146. 49 Ibid. . Disamping itu, adanya fatwa surat dari Mahkamah Agung kepada beberapa pihak yang menambahkan beberapa persyaratan dalam grosse akte pengakuan hutang, enyebabkan sejumlah grosse akte pengakuan hutang perbankan telah ditolak eksekusinya oleh berbagai Pengadilan Negeri.

C. Peran KPKNL dalam Upaya Penyelesaian Piutang Negara Macet