1 Karakteristik Cairan Polimer 2 Karakteristik Fisikokimia Patch

31 UIN Syarif Hidayatullah

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Karakteristik Cairan Polimer

Polimer utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah HPMC, proses pembentukan larutan polimer dilakukan dengan melarutkan HPMC dengan berbagai konsentrasi sesuai formula ke dalam etanol 70. Pemilihan etanol 70 disebabkan polimer HPMC praktis tidak larut dalam etanol 96 tetapi dapat larut dalam campuran air dan alkohol Rowe, Paul and Marian, 2009. Penggunaan etanol sebagai pelarut dalam pembuatan larutan polimer HPMC sebagai larutan pembentuk film juga telah dilakukan pada formulasi film natrium diklofenak sebagai sediaan mukoadhesif bukal Balasubramanian et al., 2012. Pengamatan secara visual terhadap organoleptis cairan polimer pembentuk lapisan HPMC menunjukkan bahwa semua larutan polimer dengan konsentrasi yang berbeda memiliki kesamaan warna, semua formula memberikan warna larutan yang jernih. Selain dari pengamatan visual, dilakukan juga pengamatan pengaruh perbedaan konsentrasi polimer dari ketiga formula terhadap viskositas larutan. Larutan polimer yang dibentuk memiliki perbedaan viskositas. Hasil pengukuran viskositas larutan polimer tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Viskositas larutan polimer Formula Viskositas cPs A1 30 A2 44 A3 60 Backing 80 UIN Syarif Hidayatullah

4. 2 Karakteristik Fisikokimia Patch

Patch yang dibuat terdiri dari dua lapisan, lapisan utama merupakan lapisan yang mengandung polimer adhesif dan natrium diklofenak sedangkan lapisan kedua adalah lapisan backing yang berfungsi untuk menahan difusi natrium diklofenak ke saliva serta untuk memberikan arah difusi zat aktif yang searah. Patch dibuat dengan metode solven casting, metode ini memiliki kelebihan pengerjaannya mudah dilakukan. Beberapa penelitian sebelumnya yang memformulasikan patch untuk sediaan oral juga menggunakan metode solven casting, beberapa penelitian tersebut diataranya penelitian yang dilakukan oleh Balasubramanian et al., tahun 2012 yang memformulasikan sediaan film bukal dengan zat aktif natrium diklofenak. Secara visual patch dengan formula A1, A2, A3 dan blangko memiliki bentuk yang penampilan yang serupa. Semua patch berwarna jernih. Seperti yang dilihat pada gambar 4.1. A1 A2 A3 Gambar 4.1. Patch dari masing-masing formula. Kiri = patch dari satu cetakan. Kanan = patch yang berukuran 8x20 mm 2 . UIN Syarif Hidayatullah Patch yang terbentuk tidak terlihat adanya pemisahan antara lapisan adhesif yang mengandung polimer HPMC dengan lapisan backing yang mengandung polimer etil selulosa. Pada proses pembentukan patch bilayer lapisan HPMC yang telah terbentuk ditambahkan larutan polimer etil selulosa. Penggabungan ini tidak menyebabkan adanya perubahan bentuk dari lapisan HPMC. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 40 C selama 8 jam. Pada percobaan pendahuluan pemanasan dilakukan hingga lapisan etil selulosa kering yaitu membutuhkan waktu selama 6 jam, tetapi lapisan kedua polimer tersebut tidak saling bersatu. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2 yang menunjukkan penampakan patch secara mikroskopis dengan perbesaran 100 kali. A B Gambar 4.2. Organoleptis patch. A = patch bilayer yang dikeringkan selama 6 jam mengalami pemisahan. B = Patch bilayer yang dikeringkan selama 8 jam tidak mengalami pemisahan. Patch yang terbentuk agak kaku, terutama pada lapisan baking. Untuk mengetahui hal tersebut dilakukan uji pelipatan pada patch, patch dilipat pada lokasi yang sama hingga patch robek. Hasil uji pelipatan jika diambil rata-ratanya menunjukkan bahwa lapisan backing memiliki ketahanan terhadap pelipatan hingga lipatan ke-25, sedangkan lapisan HPMC tidak mengalami kerusakan hingga pelipatan ke-300. Penambahan gliserin sebagai plasticizer sebanyak 40 untuk lapisan HPMC mampu membentuk lapisan polimer yang tidak mudah sobek. Hasil uji pelipatan dapat dilihat pada tabel 4.2. Pemisahan UIN Syarif Hidayatullah Tabel 4.2. Uji pelipatan patch Formula Lapisan HPMC Lapisan Backing A1 300 22 A2 300 25 A3 300 27 Untuk memastikan sediaan patch yang terbentuk memiliki organoleptis yang serupa dilakukan pengamatan organoleptis secara mikroskopis. Pengamatan secara mikroskopis juga bertujuan untuk mengetahui apakah natrium diklofenak dalam sediaan tersebut tidak mengalami rekristalisasi. Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa patch yang mengandung natrium diklofenak sebagai zat aktif dengan patch yang tidak mengandung zat aktif memiliki penampak yang sama di bawah mikroskop. Hasil pengamatan di bawah lensa mikroskop dengan perbesaran 100x menunjukkan bahwa natrium diklofenak yang telah dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol dan kemudian ditambahkan pada larutan yang telah mengandung polimer dan plasticizer yang kemudian dilakukan proses pengeringan tidak mengalami rekristalisasi. Natrium diklofenak pada masing-masing formula terdispersi secara molekuler dalam larutan polimer HPMC sehingga hasil pengamatan secara mikroskopis tidak menunjukkan adanya partikel dari natrium diklofenak. Hasil pengamatan secara mikroskopis tersebut dapat dilihat pada gambar. 4.3. Karakteristik fisikokimia patch natrium diklofenak yang berbasis polimer hidroksi propil metil selulosa HPMC dapat dilihat pada tabel 4.3. UIN Syarif Hidayatullah A1 A2 A3 Blangko Na diklofenak Gambar 4.3. Penampakan mikroskopis patch. Kiri = gambar mikroskopis bagian permukaan patch. Kanan = gambar mikroskopis penampang melintang. Tabel 4.3 . Sifat fisikokimia patch Formula Bobot mg Ketebalan µm Kandungan Zat Aktif µg A1 10 ± 1 70 ± 1 814 ± 17 A2 17 ± 0 102 ± 1 851 ± 11 A3 23 ± 2 112 ± 0 800 ± 1 UIN Syarif Hidayatullah Dari hasil pengamatan diketahui bahwa patch yang dihasilkan memiliki bobot dan ketebalan yang cukup seragam yang dilihat dari simpangan baku yang diperoleh. Peningkatan jumlah polimer pada formula secara langsung menyebabkan peningkatan bobot dan ketebalan patch yang dibentuk. Bobot patch paling rendah diperoleh dari bobot formula A1 dengan konsentrasi larutan polimer HPMC terendah yaitu 1, sedangkan bobot patch terberat adalah patch dengan formula A3 yang mengandung konsentrasi larutan polimer HPMC terbanyak yaitu 2. Gambar 4.4 . Grafik keragaman bobot Begitu juga ketebalannya, ketebalan maksimal dihasilkan patch dengan konsentrasi larutan polimer terbesar yaitu 2 sedangkan patch dengan ketebalan minimal dihasilkan oleh formula A1 yang mengandung konsentrasi larutan polimer terendah yaitu 1. Gambar 4.5 . Grafik ketebalan patch UIN Syarif Hidayatullah Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti yang telah dilakukan oleh Hamabindu tahun 2012. Dari penelitiannya diketahui bahwa peningkatan konsentrasi polimer HPMC pada formulasi patch yang mengandung Cyproheptadine Hydrochloride menunjukkan adanya peningkatan bobot dan ketebalan dari patch yang terbentuk Himabindu, 2012. Adanya keseragaman bobot dan ketebalan pada patch yang dibuat diharapkan memberikan distribusi zat aktif yang seragam, karena zat aktif yang ditambahkan pada proses preparasi patch sudah dalam bentuk terdispersi secara molekuler dalam etanol, sehingga keseragaman distribusi zat aktif pada sediaan dipengaruhi oleh ketebalan patch. Pengujian kandungan zat aktif dalam sediaan menunjukkan bahwa jumlah zat aktif dalam sediaan patch yang dibuat sekitar 800-851 µg. Pengujian kandungan zat aktif menggunakan medium campuran antara buffer posfat pH 6,8 – etanol 96 dengan perbandingan 85:15. Penggunaan campuran etanol ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan natrium diklofenak dalam medium air, karena natrium diklofenak memiliki karakteristik agak sukar larut dalam air. Sebelum dilakukan pengujian kandungan natrium diklofenak dalam sediaan patch yang berukuran 8 x 20 mm 2 dilakukan pengujian terhadap perolehan kembali dari natrium diklofenak dalam 1 cetakan. Hasil perolehan kembali diketahui sebesar 91,148 .

4.3 pH Permukaan Patch

Tabel 4.4. pH permukaan masing-masing formula patch Formula pH A1 6 A2 6 A3 6 pH permukaan patch diukur dengan menggunakan pH indikator. pH permukaan patch dapat dilihat pada tabel 4.4. Dari tabel tersebut diketahui pH semua formula dihasilkan sebesar 6. Dari hasil pengukuran pH ini diharapkan sediaan patch yang akan diaplikasikan pada mukosa gusi UIN Syarif Hidayatullah diharapkan tidak menimbulkan iritasi pada permukaan mukosa gusi sebab pH permukaan sediaan patch berada pada range pH saliva yaitu 5,6-7 Kaul, Verma, Rawat Saini, 2011.

4.4 Waktu Tinggal Patch pada Permukaan Gusi Sapi

Pengujian waktu tinggal patch menggunakan membran gusi sapi segar yang diambil dari rumah pemotongan hewan. Pengujian dilakukan menggunakan modifikasi disintegrator USP. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua formula patch dapat melekat pada membran mukosa gusi sapi selama lebih dari 7 jam. Tabel 4.5. Waktu tinggal patch pada permukaan membran gusi sapi Formula Waktu Tinggal jam A1 7 A2 7 A3 7 Penambahan polimer HPMC pada formula patch tidak mempengaruhi waktu pelekatan sediaan pada membran mukosa gusi. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Doshi et al., tahun 2011, waktu tinggal patch yang dibentuk pada penelitian ini memiliki waktu tinggal yang lebih lama pada mukosa gusi. Hasil pengujian waktu tinggal yang telah dilakukan oleh` Doshi et al., tahun 2011, menunjukkan bahwa film diklofenak yang mengandung polimer HPMC sebanyak 1,5 memiliki waktu tinggal yang paling lama sekitar 74 menit dibandingkan dengan film yang mengandung polimer PVA dan kombinasi PVA - PVP. Selain itu penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa film yang mengandung HPMC memiliki kekuatan bioadhesif yang paling tinggi. Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh Lalatendu tahun 2004 menunjukkan bahwa patch Salbutamol sulfat yang mengandung polimer HPMC sebanya 1,5 memiliki waktu tinggal yang lebih lama, yaitu selama 2,9 ± 0,55 jam jika dibandingkan dengan patch yang mengandung PVA 10 dengan waktu tinggal 2,20 ± 0,98 jam Lalatendu et al., 2004 UIN Syarif Hidayatullah

4.5 Derajat Pengembangan

Derajat pengembangan polimer merupakan titik kritis dalam menentukan sifat bioadhesif dari polimer tersebut. Pelekatan adhesi terjadi dengan cepat ketika pengembangan polimer dimulai tetapi ikatan yang dibentuk bukan ikatan yang kuat Doshi, Koliyote Joshi, 2011. Tabel 4.6 . Derajat pengembangan patch dalam medium buffer fosfat pH 6,8 Waktu Perendaman s Formula A1 A2 A3 ± ± ± 5 97 ± 20 98 ± 53 138 ± 4 10 127 ± 29 158 ± 48 151 ± 12 15 129 ± 21 164 ± 22 168 ± 13 20 151 ± 31 175 ± 38 182 ± 19 25 100 ± 30 161 ± 20 162 ± 12 30 65 ± 32 116 ± 84 143 ± 11 Derajat pengembangan dari masing-masing formula patch dapat dilihat pada tabel 4.6. Derajat pengembangan yang diamati pada menit ke-20 menunjukkan bahwa derajat pengembangan terbesar dihasilkan oleh patch dengan formula A3 yang mengandung konsentrasi larutan HPMC sebesar 2 diikuti oleh formula A2 dan yang terendah adalah formula A1. Adanya peningkatan bobot setelah dilakukan perendaman beberapa waktu dalam medium buffer fosfat pH 6,8 diakibatkan adanya absorpsi air. Hasil pengamatan derajat pengembangan pada gambar 4.6, menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman akan menyebabkan meningkatnya derajat pengembangan patch. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa pada patch dengan komposisi polimer hidrofilik persen derajat pengembangannya akan meningkat bersamaan dengan peningkatan waktu perendaman Shalini, Kumar Kothiya, 2012. Penurunan derajat pengembangan pada menit ke 25 dan menit ke 30 disebabkan oleh adanya disolusi matriks HPMC. Polimer HPMC merupakan salah satu dari bagian kelompok polimer hidrofilik, sifat polimer hidrofilik tersebut adalah UIN Syarif Hidayatullah kemampuannya untuk mengembang dengan derajat yang tidak terbatas ketika berkontak dengan air dan dengan cepat akan mengalami disolusi Vimal., et al, 2010. Gambar. 4.6. Grafik pengembangan patch dalam medium buffer fosfat pH 6,8 Karakteristik derajat pengembangan ini dapat digunakan untuk meramalkan pelepasan zat aktif dari matriks HPMC. Peningkatan jumlah polimer pada sediaan akan menyebabkan adanya peningkatan penyerapan air ke dalam matriks yang dapat menyebabkan pembentukan lapisan gel pada lapisan yang telah terhidrasi, dengan adanya peningkatan jumlah polimer dalam matriks akan menyebabkan peningkatan ketebalan dari lapisan gel tersebut. Pembentukan lapisan gel ini akan menjadi barier dan dapat menimbulkan penurunan pelepasan zat aktif melalui matriks HPMC Chandra., et al, 2008.

4.6 Kemampuan Penetrasi Natrium Diklofenak

Persentase kumulatif difusi natrium diklofenak melalui membran gusi sapi diuji secara in vitro dengan menggunakan Franz diffusion cell dengan luas area difusi sebesar 2 cm 2 dengan volume kompartemen reseptor sebanyak 22,5 ml. UIN Syarif Hidayatullah Tabel 4.7. Persentase kumulatif difusi zat aktif melewati membran gusi sapi Waktu s Kumulatif Difusi Zat Aktif A1 A2 A3 ± ± ± 15 18 ± 5 16 ± 2 17 ± 30 18 ± 5 17 ± 1 13 ± 45 20 ± 5 20 ± 1 12 ± 60 22 ± 4 19 ± 3 12 ± 1 90 26 ± 3 19 ± 2 13 ± 1 120 28 ± 8 23 ± 2 15 ± 2 180 31 ± 3 22 ± 18 ± 3 240 33 ± 1 22 ± 2 20 ± 1 300 32 ± 1 21 ± 1 22 ± 1 360 34 ± 21 ± 24 ± 1 Tabel 4.8. Jumlah kumulatif zat aktif yang terdifusi melewati membran gusi sapi Waktu s Kumulatif Difusi Zat Aktif µg A1 A2 A3 0 ± ± 0 ± 15 181 ± 50 175 ± 18 172 ± 4 30 180 ± 55 185 ± 12 125 ± 2 45 202 ± 47 213 ± 14 116 ± 4 60 224 ± 42 206 ± 34 124 ± 13 90 265 ± 34 201 ± 21 129 ± 5 120 283 ± 78 245 ± 20 152 ± 23 180 319 ± 31 232 ± 4 177 ± 32 240 339 ± 6 230 ± 24 203 ± 10 300 328 ± 12 219 ± 10 217 ± 10 360 347 ± 1 222 ± 4 237 ± 10 Dari hasil pengujian tersebut diketahui difusi zat aktif yang terbanyak dihasilkan oleh formula A1 yang diikuti oleh A3 dan difusi terendah diperoleh dari patch dengan formula A2, jika diurutkan maka difusi zat aktif dari masing-masing formula yaitu A1A3A2. Persen natrium diklofenak yang terdifusi pada masing-masing formula dapat dilihat pada gambar 4.5, sedangkan gambar 4.6 menunjukkan jumlah zat aktif yang terdifusi. UIN Syarif Hidayatullah Gambar 4.7. Grafik persentase difusi zat aktif melalui membran gusi sapi dari masing-masing formula Gambar 4.8. Grafik jumlah difusi zat aktif melalui membran gusi sapi dari masing-masing formula Dari hasil pengamatan persentase difusi natrium diklofenak dari matriks polimer pada formula A1 menunjukkan persentase difusi zat aktif yang terbesar, Sedangkan persentase difusi natrium diklofenak dari formula A2 tidak menunjukkan adanya peningkatan difusi zat aktif selama pengamatan. Persentase difusi natrium diklofenak pada formula A2 menunjukkan persentase difusi yang terendah. Pengolahan data secara statistik dilakukan untuk mengetahui pengaruh formula terhadap persentase difusi natrium diklofenak dapat dilihat dalam tabel 4.9 dan 4.10. UIN Syarif Hidayatullah Tabel 4.9. Analisis statistik Kruskal-Wallis test dari data persentase difusi natrium diklofenak difusi Chi-Square 17.171 df 2 Asymp. Sig. .000 Tabel 4.10. Statistik persentase difusi natrium diklofenak I formula J formula Mean Difference I-J Std. Error Sig. 95 Confidence Interval Lower Bound Upper Bound A1 A2 .049091 .024178 .047 .00078 .09741 A3 .092318 .024178 .000 .04400 .14063 A2 A1 -.049091 .024178 .047 -.09741 -.00078 A3 .043227 .024178 .079 -.00509 .09154 A3 A1 -.092318 .024178 .000 -.14063 -.04400 A2 -.043227 .024178 .079 -.09154 .00509 . The mean difference is significant at the 0.05 level. Dari hasil pengolahan data menggunakan statistik menunjukkan bahwa hasil uji difusi natrium diklofenak dari masing-masing formula menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan yang dapat diamati dari nilai signifikansi yang dihasilkan pada pengujian. Persentase difusi natrium diklofenak dari formula A2 dan A3 menunjukkan adanya perbedaan tetapi perbedaan yang dihasilkan tidak signifikan. Hasil uji difusi natrium diklofenak melalui membran gusi sapi pada penelitian ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi difusi natrium diklofenak adalah membran gusi yang digunakan dalam pengujian Martin et al., 1993. Adanya perbedaan ketebalan dari membran yang digunakan dari masing-masing pengujian akan menyebabkan perbedaan laju difusi natrium diklofenak melewati membran sehingga dapat mempengaruhi jumlah zat aktif yang terdifusi. Laju difusi natrium diklofenak dapat dilihat pada tabel 4.11. Hasil pengujian fluks diketahui bahwa nilai fluks natrium diklofenak terbesar dihasilkan oleh UIN Syarif Hidayatullah formula A1 yang mengandung konsentrasi larutan polimer terendah yaitu 1 diikuti oleh A3 yang mengandung konsentrasi larutan polimer 2 dan nilai fluks terkecil ditunjukkan oleh formula A2 yang mengandung konsentrasi larutan HPMC 1,5. Tingginya nilai fluks natrium diklofenak pada formula A3 dibandingkan dengan formula A2 disebabkan adanya perbedaan ketebalan membran yang digunakan, ketebalan membran yang digunakan pada formula A2 lebih tebal dibandingkan dengan membran yang digunakan pada pengujian formula lainnya. Pengaruh perbedaan ketebalan membran gusi yang digunakan terhadap laju difusi zat aktif dari masing-masing formula dapat dilihat pada tabel 4.11. Tabel 4.11. Fluks natrium diklofenak dari masing-masing formula Formula Ketebalan mm Fluks µgcm -2 jam -1 A1 1,78 ± 0,02 28,917 ± 0,094 A2 2,16 ± 0,01 18,468 ± 0,340 A3 1,88 ± 0,00 19,746 ± 0,869 Gambar 4.9. Fluks natrium diklofenak Berdasarkan pengolahan data melalui statistik diketahui bahwa terdapat perbedaan fluks difusi dari masing-masing formula. Hasil ini dapat dilihat pada tabel 4.12. Perbedaan fluks difusi natrium diklofenak dari formula A2 dan A3 terlihat berbeda secara tidak signifikan. Perbedaan fluks dari masing-masing formula dapat dilihat pada tabel 4.13. UIN Syarif Hidayatullah Tabel 4.12. Pengolahan data fluks secara statistik menggunakan ANOVA Tabel 4.13. Statistik fluks natrium diklofenak

4. 7 Kebocoran Backing Membran

Dokumen yang terkait

Formulasi patch natrium diklofenak berbasis polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan natrium karboksi metil selulosa (NaCMC) sebagai antiinflamasi lokal pada penyakit periodontal

6 42 88

Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Sodium Carboxymethylcellulose (SCMC) sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal

4 23 65

FORMULASI PATCH AMOKSISILIN DENGAN KOMBINASI POLIMER HPMC (Hidroksi Propil Metil Selulosa) DAN PVP (Polivinil Pirolidon) SEBAGAI PENDEKATAN PENANGANAN SARIAWAN

0 4 18

Pembuatan dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan Oral Dissolving Film (ODF) Chlorpheniramine Maleate Menggunakan Kombinasi Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Pektin

14 82 132

OPTIMASI FORMULA SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET KAPTOPRIL DENGAN MATRIKS HIDROKSI PROPIL METIL OPTIMASI FORMULA SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET KAPTOPRIL DENGAN MATRIKS HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA DAN AVICEL PH 102 SEBAGAI FILLER.

0 1 16

FORMULASI SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET TEOFILIN DENGAN MATRIKS HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA DAN AVICEL PH 102 DENGAN METODE GRANULASI BASAH.

0 0 26

Pembuatan dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan Oral Dissolving Film (ODF) Chlorpheniramine Maleate Menggunakan Kombinasi Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Pektin

0 0 2

Pembuatan dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan Oral Dissolving Film (ODF) Chlorpheniramine Maleate Menggunakan Kombinasi Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Pektin

0 1 5

Pembuatan dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan Oral Dissolving Film (ODF) Chlorpheniramine Maleate Menggunakan Kombinasi Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Pektin

0 0 58

PERBANDINGAN PELEPASAN PROPRANOLOL HIDROKLORIDA DARI MATRIKS KITOSAN, ETIL SELULOSA (EC) DAN HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA (HPMC)

0 0 9