Formulasi patch natrium diklofenak berbasis polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan natrium karboksi metil selulosa (NaCMC) sebagai antiinflamasi lokal pada penyakit periodontal

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI

PATCH

NATRIUM DIKLOFENAK

BERBASIS POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL

SELULOSA (HPMC) DAN NATRIUM KARBOKSI

METIL SELULOSA (NaCMC) SEBAGAI

ANTIINFLAMASI LOKAL PADA PENYAKIT

PERIODONTAL

SKRIPSI

DELVINA GINTING

1110102000058

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

MEI 2014


(2)

ii

FORMULASI

PATCH

NATRIUM DIKLOFENAK

BERBASIS POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL

SELULOSA (HPMC) DAN NATRIUM KARBOKSI

METIL SELULOSA (NaCMC) SEBAGAI

ANTIINFLAMASI LOKAL PADA PENYAKIT

PERIODONTAL

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

DELVINA GINTING

1110102000058

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

MEI 2014


(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah benar hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan benar.

Nama NIM

Tanda tangan

Tanggal

: : :

:

Delvina Ginting 1110102000058


(4)

iv Nama : Delvina Ginting NIM : 1110102000058 Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal pada Penyakit Periodontal

Disetujui oleh

Pembimbing I

Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt NIP. 198310282009012008

Pembimbing II

Sabrina, M. Farm., Apt NIP. 1197902222007102001


(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Delvina Ginting NIM : 1110102000058 Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal pada Penyakit Periodontal

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1

Pembimbing 2

Penguji 1

Penguji 2

Ditetapkan di Tanggal

:

:

:

:

: :

Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt

Sabrina, M.Farm., Apt

Nelly Suryani, Ph.D

Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt

Ciputat 13 Mei 2014

(

(

(

(

)

)

)


(6)

vi Nama : Delvina Ginting Program Studi : Farmasi

Judul : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal pada Penyakit Periodontal

Telah dibuat sediaan mukoadhesif patch yang mengandung natrium diklofenak sebagai sediaan antiinflamasi lokal pada penyakit periodontal. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch

natrium diklofenak yang berbasis polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC) dan natrium karboksi metil selulosa (NaCMC). Patch dibuat dalam 3 formula F1, F2, dan F3 dengan memvariasikan perbandingan konsentrasi HPMC:NaCMC (2% b/b) berturut-turut adalah 2:1, 1:1, dan 1:2. Patch dibuat dengan metode solvent casting. Patch yang telah dibuat menunjukkan bahwa ketiga patch dapat melekat dipermukaan membran gusi sapi dengan waktu tinggal yaitu 100 menit (F1), 101,67 menit (F2), dan 90 menit (F3). Persen kumulatif disolusi natrium diklofenak pada jam kedua dari patch F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 72,46±1,78%, 90,12±0,82%, dan 96,68±1,66%. Persen kumulatif difusi natrium diklofenak pada jam kedua dari patch F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 16,31±0,71%, 17,47±1,84%, dan 26,51±4,38%.


(7)

vii

ABSTRACT

Name : Delvina Ginting Program Study : Pharmacy

Title : Formulation of Hydroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) and Sodium Carboxy Methyl Cellulose (NaCMC) Based Diclofenac Sodium Patch as Local Anti-Inflammatory in Periodontal Disease

Mucoadhesive patches containing diclofenac sodium have been made as local anti-inflammatory in periodontal disease. The objectives of this research were to formulate and to study characteristic of the resulting hydroxy propyl methyl cellulose (HPMC) and sodium carboxy methyl cellulose (NaCMC) based diclofenac sodium patch. Patches were formulated in three formulas termed F1, F2 and F3 by varying the concentration ratio of HPMC:NaCMC (2% w/w) in the formula 2:1, 1:1, and 1:2, respectively. Patches were prepared by solvent casting method. In vitro residence time showed that all formulas patch can be attachted to the mucosa gingival bovine with the residence time were 100 minutes (F1), 101,67 minutes (F2), and 90 minutes (F3). Cumulative dissolution of diclofenac sodium after two hours from F1, F2 and F3 were 72,46±1,78%, 90,12±0,82%, and 96,68±1,66%., respectively. Cumulative diffusion of diclofenac sodium after two hours from F1, F2 and F3 were 16,31±0,71%, 17,47±1,84%, and 26,51±4,38%, respectively.


(8)

viii

Alhamdulillahirabbil`alamiin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan

skripsi yang berjudul “Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal pada Penyakit Periodontal” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt dan Sabrina, M.Farm., Apt., selaku dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu, tenaga, saran, dan dukungan dalam penelitian ini.

2. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan bantuan.

4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.

5. Kedua orang tua, ayahanda tersayang Robinson Ginting, S.E. dan ibunda tercinta Jusmiati, S. Pd. yang selalu memberikan kasih sayang, doa yang tidak pernah putus dan dukungan baik moril maupun materil. Tidak ada apapun di dunia ini yang dapat membalas semua kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang telah kalian berikan kepada anakmu, semoga Allah selalu memberikan keberkahan, kesehatan, keselamatan, perlindungan, cinta, dan kasih sayang kepada kedua orang tua hamba tercinta


(9)

ix

6. Adik dan kakakku tersayang Royi Aidiltra Ginting dan Delovita Ginting S.Si yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

7. Briptu Muhaitsan Sulaksono S.H. atas segala pengertian, semangat, perhatian, dan bantuannya.

8. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang amat besar.

9. Kakak-kakak laboran FKIK, ka Eris, ka lisna, ka Liken, Mba Rani, ka Tiwi, ka Lilis, ka Suryani, dan ka Rachmadi atas dukungan dan kerjasamanya selama kegiatan penelitian.

10. Adina S.M. Talogo, Metharezqi Suci Arsih, Liana Puspita, Mayta Ravika, Nirmala Kasih, Yeyet Durotul, dan Syarifatul Mufidah serta teman-teman laboratorium yang telah banyak memberi semangat dan kebersamaannya, terima kasih atas kerjasama dalam penelitian ini.

11. Teman teman seperjuangan farmasi angkatan 2010 atas kebersamaan kita. 12. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah

memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam penelitian ini.

Ciputat, 13 Mei 2014 Penulis


(10)

x

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Delvina Ginting NIM : 1110102000058 Program Studi : Farmasi

Fakultas Jenis Karya

: :

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul

FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK BERBASIS POLIMER

HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA (HPMC) DAN NATRIUM KARBOKSI METIL SELULOSA (NaCMC) SEBAGAI ANTIINFLAMASI

LOKAL PADA PENYAKIT PERIODONTAL

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : 13 mei 2014

Yang menyatakan,


(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... HALAMAN PENGESAHAN……….... ABSTRAK ... ABSTRACT... KATA PENGANTAR ... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL….... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB 1 PENDAHULUAN...

1.1 Latar Belakang………... 1.2 Perumusan Masalah………. 1.3 Hipotesis………... 1.4 Tujuan ………..

1.5 Manfaat……….

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……….

2.1 Penyakit Periodontal………. 2.2 Anatomi Mukosa Rongga Mulut……….. 2.3 Gingiva………. 2.4 Mukoadhesif……… 2.5 Patch……….

2.6 Natrium Diklofenak ………. 2.7 Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) ………. 2.8 Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC)……… 2.9 Poliuretan………..

BAB 3 METODE PENELITIAN...

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian………...

ii iii iv v vi vii viii x xi xiv xv xvi 1 1 3 3 3 3 4 4 5 7 8 14 17 19 20 21 23 23


(12)

xii

3.2.2 Bahan………... 3.3. Prosedur Kerja……….. 3.3.1 Formula Patch………..

3.3.1.1 Preparasi Cairan Pembentuk Film (CPF) ……… 3.3.1.2 Preparasi Patch……….

3.3.2 Pembuatan Larutan Buffer Fosfat pH 6,8 ……… 3.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi……….. 3.3.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ( maks)………….

3.3.3.2 Pembuatan Larutan Standar Natrium Diklofenak……… 3.3.4 Evaluasi Viskositas Cairan Pembentuk Film (CPF)…………. 3.3.5 Organoleptis Film………. 3.3.6 Pengambilan Sampel……… 3.3.6.1 Pengukuran Bobot Sampel...……… 3.3.6.2 Pengukuran Ketebalan Sampel……….. 3.3.6.3 Pengukuran Kandungan Natrium Diklofenak…….…………. 3.3.7 Evaluasi Patch……….. 3.3.7.1 Uji Pelipatan………. 3.3.7.2 Pengukuran pH Permukaan……….. 3.3.7.3 Penetapan Kadar Air………..………... 3.3.7.4 Uji Derajat Pengembangan (Swelling Index Studies)………... 3.3.7.5Uji Waktu Tinggal (in vitro residence time)………

3.3.7.6 Uji Kemampuan Disolusi Zat Aktif……….. 3.3.7.7 Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif……….

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN………..

4.1 Formulasi Patch………

4.2 Karakteristik Cairan Pembentuk Film (CPF)……… 4.3 Organoleptis……….. 4.4 Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel ...………. 4.5 pH Permukaan………... 4.6 Daya Tahan Lipatan……….. 4.7 Kadar Air Patch…..………..

4.8 Waktu Tinggal ………. 23 24 24 24 24 25 25 25 25 25 26 26 26 26 26 27 27 27 27 27 28 28 29 30 30 31 32 33 34 34 35 35


(13)

xiii

4.9 Derajat Pengembangan………...……….. 4.10 Kemampuan Disolusi Natrium Diklofenak……… 4.11 Kemampuan Difusi Natrium Diklofenak………..

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN………..

5.1 Kesimpulan………... 5.2 Saran……….

DAFTAR PUSTAKA……….

LAMPIRAN………

36 38 40

45

45 45 46 51


(14)

xiv

Halaman

Tabel 3.1. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4.

Tabel 4.5.

Tabel 4.6. Tabel 4.7.

Tabel 4.8. Tabel 4.9

Formula Patch Natrium Diklofenak………... Viskositas Cairan Pembentuk Film………...

Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel …...…………..

Kadar Air Patch……….

Derajat Pengembangan Patch dalam Medium Buffer Fosfat pH 6,8……… Jumlah Kumulatif Disolusi Natrium Diklofenak dari Sediaan

Patch………..

Fluks Disolusi Natrium Diklofenak………... Jumlah Kumulatif Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan

Patch………...

Fluks Difusi Natrium Diklofenak………... Jumlah Natrium Diklofenak yang Berdifusi dihitung………...

24 32 34 35

37

39 40

41 43 44


(15)

xv DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. .

Keadaan Gingivitis dan Periodontitis………... Anatomi Mukosa Rongga Mulut……….. Jenis Epitel pada Jaringan Periodontal………. Dua Tahap dalam Proses Mukoadhesif……… Struktur Kimia Natrium Diklofenak………. Struktur Kimia HPMC……….. Struktur Kimia NaCMC……… Struktur Kimia Poliuretan………. Gambar Makroskopik Film……….. Gambar Mikroskopik Film………...

Patch Sebelum (Kiri) dan Sesudah (Kanan) Dilakukan Uji Pelipatan >300 Kali……….. Grafik Derajat Pengembangan Patch………..…… Grafik Persentase Kumulatif Difusi Natrium Diklofenak..….. Fluks Difusi Masing-Masing Formula………. Grafik Persentase Kumulatif Disolusi Natrium Diklofenak … Fluks Disolusi Masing-Masing Formula………..

5 6 8 9 17 19 20 22 33 33 35 37 39 40 41 43


(16)

xvi Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22.

Alur Penelitian……….……….

Gambar Alat dan Bahan Penelitian…..……… Gambar Evaluasi Waktu Tinggal………. Gambar Evaluasi Difusi Zat Aktif……… Gambar Rangkaian Alat Disolusi ……… Gambar Uji Swelling Index…………....……….. Data Kestabilan bobot………..……… Grafik Kestabilan Bobot………..………

Scanning Panjang Gelombang Maksimum Natrium

Diklofenak………... Data Absorbansi Kurva Standar Natrium Diklofenak..…… Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak…………...………… Bobot, Ketebalan, dan Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel yang Digunakan……….. Daya Tahan Lipatan dan pH Permukaan………..…

Nilai Viskositas Cairan Pembentuk Film……….

Uji Statistik ANOVA Viskositas Cairan Pembentuk Film.. Kadar Air Patch………

Derajat Pengembangan………. Data Uji Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch

Formula 1………. Data Uji Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch

Formula 2………. Data Uji Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch

Formula 3……….

Data Uji Disolusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch Formula 1……….

Data Uji Disolusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch

Formula 2……….

51 52 52 53 53 54 55 55 56 56 56 57 58 58 58 58 59 60 60 61 61 62


(17)

xvii Lampiran 23.

Lampiran 24. Lampiran 25. Lampiran 26. Lampiran 27. Lampiran 28. Lampiran 29. Lampiran 30. Lampiran 31. Lampiran 32. Lampiran. 33 Lampiran. 34

Data Uji Disolusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch Formula 3………. Data Statistik Persentase Difusi Natrium Diklofenak…….. Data Statistik Fluks Difusi Natrium Diklofenak…………..

Data Statistik Persentase Disolusi Natrium Diklofenak…

Data Statistik Fluks Disolusi Natrium Diklofenak….……..

Contoh Perhitungan Persentase Difusi Sampel 1 pada F1... Contoh Perhitungan Fluks Difusi pada F1 jam keenam…... Contoh Perhitungan Persentase Disolui Sampel 1 pada F1. Contoh Perhitungan Fluks Disolusi pada F1 jam keenam... Sertifikat Analisis Natrium Diklofenak……… Sertifikat Analisis HPMC………. Sertifikat Analisis NaCMC………..

62 63 63 64 64 65 66 67 69 69 70 71


(18)

1

1.1 Latar Belakang

Penyakit periodontal diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar yaitu gingivitis dan periodontitis. Gingivitis adalah kondisi reversible

ditandai dengan peradangan dan pendarahan pada tepi gingiva. Jika gingivitis tidak dapat diobati maka akan berlanjut menjadi periodontitis yaitu keadaan dimana jaringan periodontal mengalami kerusakan secara

irreversible (Clarkson et al., 2013 dan National Institutes of Health, 2011). Untuk mencegah keadaan yang lebih buruk maka gingivitis harus diobati secara cepat dan tepat. Terapi untuk pengobatan gingivitis ditujukan terutama untuk mengurangi faktor etiologi dan menghilangkan inflamasi (Manjusha et al., 2011).

Sebuah penelitian telah menunjukkan bahwa inhibitor produksi prostaglandin, seperti obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID), bisa menghambat proses kehilangan tulang akibat penyakit periodontal. Data dari hewan coba dan penelitian pada manusia juga mendukung konsep ini, dimana menunjukkan bahwa obat NSAID dapat mengurangi inflamasi gingiva dan mengurangi resorpsi tulang alveolar (Ahmed et al., 2009). Hampir semua obat golongan NSAID memiliki efek samping terhadap lambung dan duodenum (Wongso, 1996). Penyebab kematian akibat dari pemakaian NSAID kebanyakan karena perdarahan lambung terutama pada pasien usia lanjut (Wongso, 1996).

Salah satu NSAID yang terkuat antiradangnya dan berasal dari turunan fenil asetat adalah diklofenak (Tjay, 2002). Selain permasalahan yang sering ditimbulkan pada saluran cerna, natrium diklofenak memiliki waktu paruh yaitu 1,9 jam dan mencapai sekitar 60% dalam darah (Dipiro et al., 2008). Hal ini mempengaruhi frekuensi pemberian natrium diklofenak kepada pasien. Dimana semakin sering frekuensi pemberian obat maka semakin berkurang tingkat kepatuhan pasien. Untuk menghindari berbagai permasalahan natrium diklofenak maka dapat dirancang suatu sediaan lokal yang dapat menghantarkan obat langsung ke tempat aksi. Salah satu sediaan


(19)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang dapat menghantarkan obat langsung ke tempat aksi adalah sediaan

patch.

Patch terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan utama mengandung polimer yang adhesif dilapisi dengan lapisan backing yang impermeable

(Koyi dan Arsyad, 2013). Salah satu kelompok polimer yang memiliki sifat mukoadhesif adalah kelompok polimer hidrofilik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Prabhakar Prabhu et al. (2011) dan Semalty et al. (2008) yang memformulasikan sediaan patch dengan berbagai kombinasi polimer, dihasilkan bahwa formulasi dengan kombinasi polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC) dan natrium karboksi metil selulosa (NaCMC) dianggap sebagai formulasi terbaik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wardana (2013) dan Fitriyah (2013) dihasilkan bahwa polimer HPMC dan NaCMC menghasilkan film dengan karakteristik yang berbeda. film NaCMC menunjukkan derajat pengembangan yang lebih tinggi daripada film HPMC. Selain itu, pelepasan obat dari matriks film NaCMC lebih cepat dibandingkan film HPMC. Namun, kemudahan NaCMC berdisolusi di dalam air menyebabkan kemungkinan lepasnya natrium diklofenak dari film NaCMC ke rongga mulut lebih besar serta waktu tinggal sediaan di gingiva lebih sebentar dibandingkan dengan film HPMC. Beberapa perbedaan karakteristik film yang dihasilkan kedua polimer ini menjadi dasar penggunaan mereka secara kombinasi sebagai polimer patch yang diduga mampu menghasilkan suatu film dengan karakteristik yang lebih baik seperti derajat pengembangan dan jumlah zat aktif yang berdifusi natrium diklofenak yang lebih tinggi. Pada penelitian ini digunakan tegaderm sebagai backing membran yang berfungsi untuk mencegah penetrasi zat aktif keluar dan tercampur dengan saliva. Berdasarkan hasil pengujian kebocoran membran tegaderm yang dilakukan oleh Wardana (2013) tegaderm dapat menahan difusi zat aktif ke saliva.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibuat suatu sediaan lokal yang berupa mukoadhesif patch. Patch yang akan dibuat merupakan patch yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan utama yang mengandung zat aktif natrium diklofenak dalam matriks kombinasi polimer HPMC dan NaCMC dengan penambahan lapisan backing tegaderm. Selain memformulasikan dalam penelitian ini juga akan dilakukan karakterisasi


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terhadap waktu tinggal patch pada membran gusi sapi, disolusi natrium diklofenak secara in vitro menggunakan metode dayung putar dan difusi natrium diklofenak secara in vitro dengan menggunakan franz diffusion cell.

1.2 Perumusan Masalah

a. Bagaimana sifat adhesifitas patch yang mengandung kombinasi polimer HPMC dan NaCMC pada membran mukosa gusi?

b. Bagaimana kemampuan difusi dan disolusi natrium diklofenak dari sediaan patch?

1.3 Hipotesis

a. Lapisan yang terbentuk dari kombinasi polimer HPMC dan NaCMC yang mengandung natrium diklofenak dapat melekat pada lapisan mukosa lebih dari 7 jam.

b. Natrium dikloflenak pada patch dengan kombinasi polimer HPMC dan NaCMC mampu berdifusi dari sediaan patch.

c. Natrium diklofenak dikloflenak pada patch dengan kombinasi polimer HPMC dan NaCMC mampu terdisolusi dari sediaan patch.

1.4 Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memformulasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch natrium diklofenak yang berbasis kombinasi polimer HPMC dan NaCMC.

1.5 Manfaat

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang karakteristik

patch yang menggunakan kombinasi polimer HPMC dan NaCMC sebagai matriks dalam pengembangan sediaan patch natrium diklofenak yang digunakan secara lokal untuk penanganan inflamasi pada penyakit periodontal.


(21)

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal merupakan penyakit mulut yang paling umum terjadi dan menjadi penyebab utama kehilangan gigi pada orang dewasa. Akumulasi plak gigi oleh mikroba merupakan faktor etiologi utama penyakit periodontal maupun karies gigi. Kerentanan terhadap penyakit periodontal juga dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan host terhadap infeksi bakteri dan faktor risiko lain seperti kalkulus dan merokok (Clarkson et al., 2013).

Infeksi periodontal disebabkan oleh bakteri yang mengkolonisasi permukaan gigi dan jaringan gingiva sekitarnya untuk membentuk plak gigi. Plak gigi adalah biofilm polimikrobial kompleks. Istilah biofilm digunakan untuk menggambarkan komunitas mikroba yang menempel pada permukaan benda mati atau hidup. Bakteri yang tumbuh pada biofilm mengikuti keadaan permukaan padat di mana mereka berkembang biak dan membentuk mikrokoloni yang melekat pada matriks polimer ekstraseluler (Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011).

Jaringan periodontal terdiri dari gingiva, mukosa alveolar, sementum, ligamen periodontal, dan tulang alveolar. Komponen ini berfungsi untuk menyokong gigi dalam tulang alveolar (Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011). Penyakit periodontal akan mempengaruhi jaringan disekitarnya dan penyangga gigi. Penyakit periodontal diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar yaitu gingivitis dan periodontitis (Clarkson et al., 2013).

Gingivitis umum terjadi pada populasi anak dan dewasa, merupakan lesi inflamasi dari jaringan gingiva dan telah terbukti bersifat reversible.

Pencegahan gingivitis merupakan langkah pertama dalam pencegahan periodontitis. Dengan perlakuan yang tepat, proses ini dapat dibalik dan jaringan periodontal dapat kembali ke keadaan normal. Karakteristik biofilm plak yang menginduksi gingivitis adalah: (1) biofilm berada pada margin gingiva, (2) perubahan warna gingiva, (3) perubahan kontur gingiva, (4) perubahan suhu sulkular, (5) peningkatan eksudat gingiva, (6 ) perdarahan,


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(7) tidak adanya kehilangan perlekatan, (8) tidak adanya keropos tulang, dan (9) perubahan histologis. Intensitas tanda dan gejala klinis akan bervariasi antar individu serta bergantung pada bagian gigi yang terinfeksi (Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011).

Periodontitis adalah reaksi inflamasi pada jaringan sekitar gigi, biasanya dihasilkan dari perluasan inflamasi gingiva (gingivitis) yang disebabkan oleh bakteri yang tinggal di biofilm plak pada permukaan gigi subgingiva. Peradangan ini dapat menyebabkan hilangnya epitel junctional

lama di sulkus normal, sehingga membentuk kantong periodontal. Selanjutnya jaringan disekitar gigi mengalami kehilangan perlekatan jaringan ikat, pembentukan cacat antartulang (intrabony), dan akhirnya, kemungkinan kehilangan gigi dapat terjadi (Andersen, Roger et al., 2007).

Keterangan: Bagian kiri: tanda-tanda klinis dari inflamasi (kemerahan, edema, perdarahan) dan tanda-tanda kehilangan perlekatan periodontal atau kehilangan tulang alveolar tidak jelas. Bagian kanan: Hasil respon inflamasi ditandai dengan kerusakan kolagen dan periodontal serta kehilangan tulang alveolar, dan tanda-tanda klinis dari peradangan.

Gambar 2.1. Keadaan Gingivitis dan Periodontitis [sumber : Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011]

2.2 Anatomi Mukosa Rongga Mulut

Oral mukosa tersusun dari lapisan terluar epitel berlapis. Di bawahnya terdapat sebuah membran basal, lamina propria diikuti oleh submukosa sebagai lapisan terdalam (Dwivedi et al., 2013).


(23)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.2. Anatomi Mukosa Rongga Mulut

[sumber : Kaul et al., 2011]

Epitel sebagai lapisan pelindung untuk jaringan di bawahnya, dibagi menjadi (a) Permukaan nonkeratin ditemukan pada lapisan mukosa dari langit-langit lunak, permukaan ventral lidah, dasar mulut, mukosa alveolar, vestibulum, bibir, dan pipi. (b) Epitel keratin ditemukan di palatal keras dan area nonfleksibel dari rongga mulut. Sel-sel epitel yang berasal dari sel-sel basal, matang, mengubah bentuk mereka, dan bertambah besar saat bergerak menuju permukaan (Kaul et al., 2011).

Ketebalan mukosa mulut bervariasi tergantung situsnya: mukosa bukal memiliki ketebalan 500-800 µm, sementara ketebalan mukosa dari palatal keras dan lunak, dasar mulut, ventral lidah, dan gingiva memiliki ukuran sekitar 100-200 µm. Secara umum, permeabilitas mukosa mulut jika diurutkan sublingual lebih besar dari bukal, dan bukal lebih besar dari palatal. Urutan peringkat ini didasarkan pada ketebalan relatif dan tingkat keratinisasi jaringan ini, dimana mukosa sublingual relatif tipis dan nonkeratin, bukal tebal dan nonkeratin, dan palatal menengah dalam ketebalan tetapi keratin (Dwivedi et al., 2013).

Terdapat dua rute kemungkinan penyerapan obat melalui epitel berlapis skuamosa dari mukosa mulut (Dwivedi et al., 2013) :

1) Transeluler (intraseluler, melewati sel). 2) Paraseluler (antarsel, lewat di sekitar sel).


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam rongga mukosa mulut, pengiriman obat diklasifikasikan menjadi tiga kategori :

1) Pengiriman sublingual: terdiri dari administrasi melalui membran dari permukaan ventral lidah dan dasar mulut. Mukosa sublingual relatif permeabel, memberikan penyerapan yang cepat dan ketersediaan hayati yang dapat diterima banyak obat, nyaman, mudah diakses dan umumnya dapat diterima dengan baik (Singh et al., 2011).

2) Pengiriman bukal: terdiri dari administrasi melalui mukosa bukal, terutama terdiri dari lapisan pipi. Mukosa bukal kurang permeabel dibandingkan daerah sublingual, umumnya tidak mampu memberikan penyerapan yang cepat dan ketersediaan hayati yang baik dibandingkan administrasi sublingual (Singh et al., 2011).

3) Pengiriman lokal: terdiri dari administrasi melalui semua daerah lain kecuali dua daerah di atas. Pengiriman lokal ke jaringan rongga mulut memiliki sejumlah aplikasi, termasuk pengobatan sakit gigi, penyakit periodontal, infeksi bakteri dan jamur, aphthous, dan stomaitis gigi serta dalam memfasilitasi perpindahan gigi dengan prostaglandin (Singh et al., 2011).

2.3 Gingiva

Gingiva adalah jaringan fibrosa berserat, ditutupi oleh epitel keratin, yang mengelilingi gigi dan berbatasan dengan ligamen periodontal dan jaringan mukosa mulut (The American Academy of Periodontology, 2001). Gingiva dengan kuat terikat pada tulang di bawahnya dan terhubung dengan mukosa alveolar yang terletak pada bagian apikal dalam keadaan tidak terikat. Perbatasan dua jenis jaringan ini disebut mucogingival junction. Gingiva terdiri dari gingiva bebas dan gingiva attached (Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011). Gingiva bebas merupakan bagian dari gingiva yang mengelilingi gigi dan tidak langsung melekat pada permukaan gigi sedangkan gingiva attached merupakan bagian gingiva yang kuat, padat, berbintik, dan terikat erat ke dasar periosteum, gigi, dan tulang (The American Academy of Periodontology, 2001). Lebar gingiva attached


(25)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.3. Jenis Epitel pada Jaringan Periodontal

[sumber : Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011]

Gingiva biasanya berwarna merah muda dan tulang alveolar berwarna merah tua. Warna dapat bervariasi tergantung pigmentasi fisiologis antar beberapa ras. Ditemukan bahwa daerah gingiva terluas berada di geraham rahang bawah dan tersempit berada di daerah gigi seri dan taring yaitu sekitar 1,8 mm. Struktur epitel gingiva sangat mirip dengan epidermis. Gingiva terdiri dari epitel permukaan dan jaringan ikat dasar disebut lamina propria. Gingiva terdiri dari tiga jenis epitel yaitu oral,

sulcular, dan junctional. Gingiva mengandung keratin dan epitel skuamosa bertingkat. Jenis sel utama adalah keratinosit. Terdapat empat lapisan yang berbeda, yaitu stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum korneum. Tekstur gingiva bervariasi tergantung usia. Pada umumnya halus pada masa muda, terdapat bintik-bintik pada masa dewasa, dan menjadi lebih halus pada usia lanjut (Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011).

2.4 Mukoadhesif

Istilah mukoadhesif umumnya digunakan untuk bahan-bahan yang mengikat lapisan musin dari membran biologis. Bentuk sediaan ini meliputi tablet, patch, tape, film, semipadat, dan bubuk. Untuk menjadi polimer mukoadhesif, polimer harus memiliki beberapa fitur fisikokimia umum seperti:


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1) Hidrofilisitas anion terutama sejumlah kelompok yang dapat membentuk ikatan hidrogen (Dwivedi et al., 2013).

2) Sifat permukaan yang sesuai untuk membasahi lendir atau mukosa permukaan jaringan (Dwivedi et al., 2013).

Mekanisme adhesi makromolekul tertentu ke permukaan jaringan mukosa belum dipahami dengan baik. Mukoadhesif harus tersebar di substrat untuk memulai kontak yang kuat sehingga meningkatkan kontak permukaan, mendorong difusi rantai di dalam mukus. Gaya tarikan dan tolakan akan timbul. Agar mukoadhesif berhasil, kekuatan tarik harus lebih mendominasi. Setiap langkah dari mekanisme adhesi dipengaruhi oleh sifat dari bentuk sediaan dan bagaimana sediaan diberikan.

Mekanisme mukoadhesi umumnya dibagi dalam dua langkah: 1) Tahap kontak

Tahap ini ditandai oleh kontak antara bahan mukoadhesif dengan selaput lendir, disertai dengan penyebaran dan pembengkakan formulasi selanjutnya memulai kontak lebih dalam hingga menembus lapisan mukus (Kaul et al., 2011).

2) Tahap konsolidasi

Pada tahap ini bahan mukoadhesif diaktifkan oleh adanya kelembaban. Sistem moisture plasticizes, yang memungkinkan molekul mukoadhesif untuk bebas dan terhubung dengan adanya ikatan Van der waals dan ikatan hidrogen pada lapisan mukus (Kaul et al., 2011).

Gambar 2.4. Dua Tahap dalam Proses Mukoadhesi [sumber : Kaul et al., 2011 telah diolah kembali]


(27)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Terdapat enam teori klasik yang diadaptasi dari studi tentang kinerja beberapa bahan dan polimer adhesif :

1) Teori elektronik

Mekanisme : Gaya elektrostatik menarik antara glikoprotein jaringan musin dan bahan bioadhesif. Transfer elektron terjadi antara dua bentuk lapisan ganda muatan listrik pada permukaan (Kaul et al., 2011).

2) Teori pembasahan

Mekanisme : Kemampuan polimer bioadhesif untuk melakukan penyebaran dan pengembangan sehingga meningkatkan kontak dengan selaput lendir. Penyebaran koefisien polimer harus positif. Kontak sudut antara polimer dan sel-sel harus mendekati nol (Kaul et al., 2011). 3) Teori adsorpsi

Mekanisme : gaya permukaan yang dihasilkan dari ikatan kimia. Gaya primer kuat dihasilkan oleh ikatan kovalen. Gaya sekunder lemah dihasilkan oleh ikatan hidrogen dan gaya Van der waals (Kaul et al.,

2011). 4) Teori difusi

Mekanisme : Keterikatan fisik untai musin dan rantai polimer fleksibel. Untuk difusi dan kekuatan adhesi maksimum, parameter kelarutan polimer bioadhesif dan glikoprotein mukus harus sama (Kaul et al.,

2011).

5) Teori mekanik

Mekanisme : Adhesi muncul dari keterikatan bahan adhesif cair pada permukaan kasar yang tidak teratur. Permukaan kasar meningkatkan luas permukaan untuk interaksi dan peningkatan viskoelastis serta mengurangi faktor penyebab kegagalan pelekatan (Kaul et al., 2011). 6) Teori fraktur

Mekanisme : Analisis gaya yang dibutuhkan untuk memisahkan dua permukaan setelah adhesi terbentuk. Gaya ini sering dihitung dalam uji ketahanan terhadap pecahnya ikatan dengan rasio kekuatan pemisahan maksimal dan total luas permukaan yang terlibat dalam interaksi perekatan (Singh Sudarshan et al., 2013)


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Polimer mukoadhesif terdiri dari polimer larut air dan tidak larut air yang dapat mengembang dan digabungkan menggunakan agen cross-linking. Polimer harus memiliki polaritas yang optimal agar terjadi pembasahan yang cukup oleh mukus serta aliran optimal agar adsoprsi dan interpenetrasi antar polimer dan mukus dapat berlangsung (Yadaf et al.,

2010).

Polimer mukoadhesif yang melekat pada permukaan epitel musin secara luas dapat dibagi menjadi 3 kelas, yaitu :

1) Polimer yang menjadi lengket ketika berkontak dengan air dan memperlihatkan sifat bioadhesifitasnya.

2) Polimer yang melekat secara tidak spesifik, melalui interaksi nonkovalen terutama ikatan elektrostatik (seperti, ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik).

3) Polimer yang berikatan secara spesifik dengan reseptor di permukaan (Yadaf et al., 2010).

Polimer mukoadhesif yang ideal memiliki karakteristik sebagai berikut :

1) Tidak beracun dan harus dapat diserap dari saluran pencernaan. 2) Tidak menyebabkan iritasi pada membran mukosa.

3) Sebaiknya dapat membentuk ikatan nonkovalen yang kuat dengan permukaan sel epitel musin.

4) Harus melekat cepat pada jaringan dan harus memiliki beberapa daerah spesifik.

5) Kompatibel dengan obat dan tidak menghambat pelepasan obat.

6) Polimer tidak terurai pada penyimpanan atau selama masa simpan sediaan.

7) Harga polimer tidak terlalu mahal sehingga bentuk sediaan yang dihasilkan tetap kompetitif (Yadaf et al., 2010).

Kekuatan bioadhesif polimer dipengaruhi oleh sifat polimer dan sifat dari lingkungan maupun medium sekitarnya.

1) Faktor terkait polimer a. Berat molekul

Berat molekul optimal untuk bioadhesi maksimum tergantung pada jenis polimer bioadhesif. Pada umumnya untuk menghasilkan sifat


(29)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bioadhesif polimer harus memiliki berat molekul minimal 100.000. Misalnya, polietilen glikol (PEG) dengan berat molekul 20.000, memiliki kemampuan bioadhesif yang kurang, sedangkan PEG dengan berat molekul 200.000 dan PEG dengan berat molekul 400.000 memiliki sifat bioadhesif yang lebih baik. Fakta ini menunjukkan bahwa sifat bioadhesif meningkat dengan semakin besarnya berat molekul polimer (Yadaf et al., 2010).

b. Konsentrasi polimer aktif

Terdapat konsentrasi optimum polimer bioadhesif untuk menghasilkan bioadhesi maksimal. Dalam sistem yang mengandung polimer berkonsentrasi tinggi dan melampaui tingkat optimum akan menyebabkan kekuatan adhesi turun secara signifikan karena molekul tergulung menjadi terpisah dari media sehingga rantai yang digunakan untuk proses interpenetrasi menjadi terbatas (Yadaf et al.,

2010).

c. Fleksibilitas rantai polimer

Hal ini merupakan faktor penting untuk proses interpenetrasi dan membentuk gulungan. Polimer yang larut dalam air membentuk ikatan silang, sehingga mobilitas masing-masing rantai polimer berkurang, dengan demikian panjang rantai efektif yang dapat menembus ke dalam lapisan mukus berkurang, hal ini akan mengurangi kekuatan bioadhesif (Yadaf et al., 2010).

d. Konformasi spasial

Selain berat molekul atau panjang rantai, konformasi spasial dari molekul juga penting. Meskipun dekstran memiliki berat molekul besar dari 19.500.000, dekstran memiliki kekuatan bioadhesif yang mirip dengan polietilen glikol dengan berat molekul 200.000. Konformasi heliks dekstran dapat melindungi gugus aktif pada bahan bioadhesif, terutama gugus yang bertanggung jawab terhadap sifat adhesifnya, sedangkan polimer PEG memiliki konformasi linier (Yadaf et al., 2010).


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2) Faktor Lingkungan a. Lokasi pelekatan

Lokasi pelekatan dari sistem bioadhesi mempengaruhi kekuatan adhesinya. Kekuatan adhesi meningkat dengan kekuatan saat aplikasi atau dengan durasi pengaplikasiannya hingga optimal. Tekanan awal pengaplikasian pada jaringan mukoadhesif efektif dalam menentukan kedalaman dari saling berpenetrasi. Jika tekanan tinggi diterapkan untuk jangka waktu yang cukup lama, polimer dapat menjadi mukoadhesif walaupun polimer tersebut tidak memiliki interaksi yang menarik dengan mukus (Yadaf et al., 2010).

b. pH

Hal ini dapat mempengaruhi muatan pada permukaan mukus serta polimer bioadhesif terionisasi tertentu. Mukus akan memiliki kerapatan muatan yang berbeda bergantung pada pH. Hal ini dikarenakan perbedaan dalam disosiasi gugus fungsi pada bagian karbohidrat dan asam amino dari rantaipolipeptida. pH medium juga penting untuk tingkat hidrasi asam poliakrilat silang, dimana menunjukkan peningkatan konsisten hidrasi pada pH 4 sampai 7 kemudian mengalami penurunan pada suasana alkali dan meningkatkan kekuatan ion (Yadaf et al., 2010).

c. Waktu kontak awal

Waktu kontak antara bahan bioadhesif dan lapisan mukus menentukan derajat pengembangan dan interpenetrasi dari rantai polimer bioadhesif. Selain itu, kekuatan bioadhesif meningkat dengan peingkatan waktu kontak awal (Yadaf et al., 2010).

d. Pembengkakan

Hal ini tergantung pada konsentrasi polimer, konsentrasi ion, serta keberadaan air (Yadaf et al., 2010).

3) Perubahan fisiologis

a. Waktu pergantian musin

Pergantian musin secara normal sangat penting karena dua alasan. Yang pertama, pergantian musin mengakibatkan adanya batasan pelekatan dari bahan mukoadhesif pada lapisan mukus. Walaupun kekuatan adhesi yang besar dari bahan bioadhesi, bahan tersebut


(31)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dapat terlepas akibat pergantian musin. Alasan yang kedua, pergantian musin menghasilkan senyawa antara yang larut dalam molekul musin. Molekul tersebut berinteraksi dengan bahan mukoadhesi sebelum memberi kesempatan untuk berinteraksi dengan lapisan mukosa. Pergantian musin bergantung pada faktor lain seperti makanan (Yadaf et al., 2010).

b. Fisikokimia mukus

Fisikokimia dari mukus dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang diakibatkan suatu penyakit, seperti flu, tukak lambung, infeksi bakteri dan jamur pada saluran reproduksi wanita (Yadaf et al.,

2010).

2.5 Patch

Patch merupakan suatu bentuk sediaan matriks tipis yang tidak larut terdiri dari satu atau lebih lapisan atau film polimer yang mengandung obat dan/atau eksipien lain. Patch dapat mengandung lapisan polimer mukoadhesif yang berikatan dengan mukosa mulut, gingiva, atau gigi untuk mengontrol pelepasan obat ke mukosa mulut (pelepasan searah), rongga mulut (pelepasan searah), atau keduanya (pelepasan dua arah). Patch

dilepaskan dari mulut dan dibuang setelah jangka waktu tertentu. Patch ideal harus fleksibel, elastis, dan lembut namun cukup kuat untuk menahan kerusakan akibat aktivitas mulut. Selain itu, patch juga harus menunjukkan kekuatan mukoadhesif yang baik sehingga dapat bertahan di mulut sesuai waktu yang diharapkan (Shravan, et al., 2012).

Patch terdiri dari dua tipe yaitu :

1) Tipe matriks (dua arah) : patch dibuat dalam bentuk matriks mengandung obat, bahan adhesive, dan zat tambahan yang dicampurkan bersama. Patch dua arah melepaskan obat pada mukosa dan mulut (Shravan, et al., 2012).

2) Tipe reservoir (searah) : patch dibuat dalam sistem reservoir mengandung sebuah ruang untuk obat dan zat tambahan terpisah dari bahan adhesif. Lapisan backing impermeable digunakan untuk mengontrol sistem penghantaran searah; untuk mengurangi perubahan


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bentuk dan hancurnya patch ketika di mulut; dan untuk mencegah kehilangan obat (Shravan, et al., 2012).

Proses pembuatan patch :

1) Solvent casting method : solvent casting merupakan proses yang banyak digunakan untuk pembuatan patch. Hal ini dikarenakan prosesnya mudah dan murah. Biasanya digunakan untuk penelitian skala labor. Terdiri dari enam langkah :

a. Pembuatan larutan cetak

b. Deaeration larutan (menghilangkan molekul udara dari larutan) c. Pemindahan larutan ke dalam cetakan sesuai volume yang

dibutuhkan

d. Pengeringan larutan

e. Pemotongan sediaan kering yang mengandung sejumlah obat yang diinginkan

f. Pengemasan

Reologi larutan cetak akan menentukan derajat pengeringan dan keseragaman kandungan zat aktif serta penampilan fisik film. Patch

yang terbentuk dari larutan yang mengandung gelembung udara akan menghasilkan permukaan yang tidak rata dan ketebalan yang heterogen (Shravan, et al., 2012).

2) Direct milling : pada metode ini, patch dibuat tanpa menggunakan pelarut. Obat dan eksipien secara mekanis dicampur dengan penggilingan langsung atau dengan meremas, tanpa adanya cairan. Setelah proses pencampuran, bahan yang dihasilkan digulung pada

release liner sampai ketebalan yang diinginkan tercapai. Bahan backing

kemudian dilaminasi seperti yang dijelaskan sebelumnya (Shravan, et al., 2012).

3) Hot melt extrusion : pada metode ini bahan dilelehkan dan kemudian ditekan melalui sebuah lubang untuk menghasilkan bahan yang homogen dalam berbagai bentuk seperti butiran, tablet, atau film. Metode ini telah digunakan untuk pembuatan tablet matriks dengan pelepasan terkendali, pelet dan butiran serta film yang hancur di mulut (Shravan, et al., 2012).


(33)

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4) Semisolid casting : pada metode ini, awalnya disiapkan larutan film larut air pembentuk polimer. Larutan yang dihasilkan ditambahkan ke larutan polimer tidak larut asam (seperti, selulosa asetat ptalat, selulosa asetat butirat) yang disiapkan pada ammonium atau NaOH. Kemudiah sejumlah plasticizer ditambahkan sehingga membentuk massa gel. Setelah itu massa gel dicetak menjadi film menggunakan heat control drums (Sharma et al., 2012).

5) Solid dispersion extrusion : pada metode ini digunakan untuk komponen yang tidak dapat dicampur dengan obat. Selanjutnya dispersi padat dibentuk menjadi film oleh die (Sharma et al., 2012).

6) Rolling method : dalam metode rolling larutan atau suspensi yang mengandung obat digulung pada pembawa. Larutan utama air dan campuran air dan alkohol. Film dikeringkan di roller dan dipotong sesuai bentuk dan ukuran yang diinginkan (Sharma et al., 2012).

Komposisi utama patch terdiri dari : 1) Zat aktif

Menurut literatur zat aktif yang dapat ditambahkan yaitu 5%-25% b/b dari berat total polimer. Untuk formulasi yang efektif, dosis obat yang digunakan harus dalam milligram (kurang dari 20 mg/hari). Obat yang mengalami first pass metabolism dan obat untuk pasien noncompliant

merupakan obat yang sesuai untuk dibuat dalam bentuk patch

mukoadhesif (R. Yogananda dan Rakesh Bulugondla, 2012). 2) Polimer mukoadhesif

Polimer mukoadhesif digunakan agar perangkat pengiriman obat melekat pada daerah target dan menghasilkan penghantaran obat yang maksimal karena dapat kontak dalam waktu yang lama (R. Yogananda dan Rakesh Bulugondla, 2012).

3) Backing membran

Backing membran yang Impermeable dapat digunakan untuk mengontrol arah pelepasan obat, mencegah hilangnya obat, dan meminimalkan perubahan bentuk dan hancurnya device selama waktu aplikasi (R. Yogananda dan Rakesh Bulugondla, 2012).


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4) Peningkat penetrasi

Peningkat penetrasi merupakan senyawa yang dapat meningkatkan laju permeasi pada membran mukosa. Bahan harus aman, tidak toksik, secara farmakologi dan secara kimia inert, tidak mengiritasi serta nonalergi (Kaul, et al., 2011).

5) Plasticizer

Merupakan unsur yang penting dalam formulasi film. Sifat mekanis seperti daya tarik dan elongasi film dapat ditingkatkan menggunakan

plasticizer. Agen ini juga dapat meningkatkan fleksibilitas film dan mengurangi kerapuhan film. Aliran polimer juga akan lebih baik dengan penambahan plasticizer (R. Yogananda dan Rakesh Bulugondla, 2012). 6) Zat tambahan lain seperti bahan pengencer, bahan perasa dan pemanis

(R. Yogananda dan Rakesh Bulugondla, 2012).

2.6 Natrium Diklofenak

Natrium diklofenak memiliki nama kimia natrium 2-[(2,6-diklorofenil)amino]fenil]asetat dan rumus molekul C14H10Cl2NNaO2 dengan

berat molekul 318,1 serta memiliki titik lebur pada suhu 280ºC. Natrium diklofenak berwarna putih atau agak kekuningan, sedikit higroskopis, dan berbentuk bubuk kristal. Natrium diklofenak sedikit larut dalam air, mudah larut dalam metanol, larut dalam etanol 96%, sedikit larut dalam aseton (British Pharmacopoiea, 2009).

Gambar 2.5. Struktur Kimia Natrium Diklofenak [sumber : Sweetman, 2009]

Diklofenak, turunan asam fenilasetat, merupakan golongan NSAID. Diklofenak sering digunakan terutama dalam bentuk garam natrium untuk menghilangkan rasa sakit dan peradangan dalam berbagai kondisi (Sweetman, 2009). Obat antiradang bukan steroid atau yang lazim dinamakan Non-streroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs) adalah


(35)

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase (Kartasasmita, 2002).

Pada umumnya dosis oral atau rektal natrium diklofenak adalah 75-150 mg sehari dalam dosis terbagi. Sediaan natrium diklofenak modified-release tersedia untuk pemberian oral. Diklofenak juga diberikan secara intramuskular, intravena, dan topikal. Natrium diklofenak digunakan sebagai larutan tetes mata 0,1% pada sejumlah kondisi (Sweetman, 2009).

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek metabolisme lintas pertama (first pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut (Nalfriadi dan Rianto Setiabudy, 2007). Diklofenak dimetabolisme menjadi 4'- hidroksidiklofenak, 5-hidroksidiklofenak, 3'- hidroksidiklofenak dan 4',5- di hidroksidiklofenak. Obat ini kemudian diekskresikan dalam bentuk glukuronida dan konjugat sulfat, terutama dalam urin (sekitar 60%), dan juga dalam empedu (sekitar 35%), kurang dari 1% diekskresikan sebagai diklofenak (Sweetman, 2009).

Efek samping yang lazim adalah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua NSAID, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak lambung. Peningkatan enzim transaminase dapat terjadi pada 15% pasien dan umumnya kembali ke normal (Nalfriadi dan Rianto Setiabudy, 2007).

Pemberian diklofenak secara sistemik dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal berat. Selain itu, penggunaan diklofenak secara intravena dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal sedang atau berat, hipovolemia, atau dehidrasi, dan tidak boleh diberikan secara intravena pada pasien dengan riwayat hemoragik diatesis, perdarahan serebrovaskuler (termasuk yang dicurigai), atau asma atau pada pasien yang menjalani operasi dengan risiko tinggi perdarahan (Sweetman, 2009).


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.7 Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC)

Hidroksi Propil Metil Selulosa dengan nama lain Benecel MHPC; hypromellose; E464; HPMC; hypromellosum; Methocel; methylcellulose propylene glycol ether; methyl hydroxypropylcellulose; Metolose; MHPC; Pharmacoat; Tylopur; Tylose MO; memiliki berat molekul sekitar 10.000-1.500.000 (Rowe, Paul and Marian, 2009).

Keterangan: R adalah H, CH3, atau CH3CH(OH)CH2

Gambar 2.6. Struktur Kimia HPMC [sumber : Rowe, Paul and Marian, 2009]

HPMC tidak berbau dan berasa, putih atau berserat berbentuk granul bubuk berwarna putih kekuningan. Larut dalam air dingin, membentuk larutan koloid kental, praktis tidak larut dalam air panas, kloroform, etanol (95%), dan eter, tetapi larut dalam campuran etanol dan diklorometana, campuran metanol dan diklorometana, serta campuran air dan alkohol. Beberapa grade dari HPMC larut dalam larutan aseton, campuran aseton dan propan-2-ol, dan pelarut organik lainnya. Beberapa grade dapat mengembang dalam etanol. Berbagai macam jenis viskositas tersedia secara komersial (Rowe, Paul and Marian, 2009).

HPMC sering digunakan sebagai eksipien dalam formulasi farmasi oral, mata, hidung, dan topikal sebagai bahan bioadhesif, zat penyalut, zat pendispersi, zat pengemulsi, penstabil emulsi, zat pembentuk film, foaming agent, membantu proses granulasi, bahan mukoadhesif, pengikat tablet, peningkat viskositas dan digunakan untuk mengatur kecepatan pelepasan obat. HPMC juga digunakan secara luas dalam kosmetik dan produk makanan. HPMC umumnya dianggap sebagai bahan nontoksik dan tidak menyebabkan iritasi. Mengkonsumsi HPMC oral dengan berlebihan dapat mengakibatkan efek pencahar. WHO belum menyatakan asupan harian yang diizinkan untuk HPMC (Rowe, Paul and Marian, 2009).


(37)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HPMC tidak bercampur dengan beberapa zat pengoksidasi kuat. HPMC merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks dengan garam logam atau ion organik dan tidak membentuk endapan yang tidak terlarut. Larutan HPMC stabil pada pH 3-11 (Rowe, Paul and Marian, 2009).

2.8 Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC)

Natrium Karboksi Metil Selulosa dengan nama lain Akucell; Aqualon CMC; Aquasorb; Blanose; Carbose D; carmellosum natricum; Cel-O-Brandt; cellulose gum; Cethylose; CMC sodium; E466; Finnfix; Glykocellan; Nymcel ZSB; SCMC; sodium cellulose glycolate; Sunrose; Tylose CB; Tylose MGA; Walocel C; Xylo-Mucine. NaCMC memiliki bobot molekul 90.000-700.000 dan titik lebur sekitar 227-252ºC (Rowe, Paul and Marian, 2009).

NaCMC berwarna putih hingga hampir putih, tidak berbau dan berasa, bubuk granular serta bersifat higroskopis setelah pengeringan. Praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%), eter, dan toluena. Mudah terdispersi dalam air pada semua suhu, membentuk larutan koloid jernih. Kelarutan dalam air bervariasi tergantung pada derajat substitusi (Rowe, Paul and Marian, 2009). Film oral dengan polimer NaCMC dapat stabil ketika polimer dilarutkan dalam campuran air dan alkohol yang ditambahkan hingga mencapai batas tertentu, ketika campuran air dan alkohol berlebih atau alkohol murni digunakan polimer akan cepat mengendap (Nagar, Chauhan & Yasir, 2011).

Gambar 2.7. Struktur Kimia NaCMC [sumber : Rowe, Paul and Marian, 2009]


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Viskositas larutan 1% b/v NaCMC memiliki nilai 5-2000 mPa (5-2000 cP). Peningkatan konsentrasi menghasilkan peningkatan viskositas larutan. Pemanasan yang lama pada suhu tinggi dapat menurunkan viskositas. Larutan kental NaCMC stabil pada pH 4-10. Nilai pH optimum adalah netral (Rowe, Paul and Marian, 2009).

NaCMC digunakan dalam beberapa formulasi oral, topikal, dan parenteral sebagai zat penyalut, penstabil, suspending agent, disintegran tablet dan kapsul, pengikat tablet, zat peningkat viskositas dan zat penyerap air. NaCMC juga banyak digunakan dalam kosmetik, perlengkapan mandi dan produk makanan. Pada umumnya NaCMC dianggap sebagai bahan nontoksik dan noniritasi. Namun, mengkonsumsi NaCMC oral dalam jumlah besar dapat mengakibatkan efek pencahar. WHO belum menetapkan asupan harian yang dapat diterima untuk NaCMC sebagai bahan tambahan makanan karena tingkat yang diperlukan untuk mencapai efek yang diinginkan tidak dianggap berbahaya bagi kesehatan (Rowe, Paul and Marian, 2009).

NaCMC tidak cocok dengan xanthan gum, larutan asam kuat dan senyawa logam seperti aluminium, merkuri, dan zink. Pengendapan terjadi apabila nilai pH kurang dari 2 dan ketika dicampur dengan etanol 95%. Membentuk kompleks dengan gelatin, pektin, dan kolagen. NaCMC merupakan bahan yang stabil walaupun higroskopis. Di bawah kondisi lembab dapat menyerap sejumlah besar (>50%) air. Larutan aqueous stabil pada pH 2-10 dan kekentalan larutan menurun dengan cepat di atas pH 10. Secara umum viskositas dan stabilitas maksimum pada pH 7-9 (Rowe, Paul and Marian, 2009).

Polimer NaCMC digunakan sebagai penghantar mukoadhesif karena kemampuannya dalam membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan musin pada lapisan mukosa (Grag et al., 2011). NaCMC memiliki gugus fungsi karboksil yang memberikan muatan negatif pada nilai pH yang melebihi nilai pKa polimer (Singh, Govind, & Bothara, 2013).

2.9 Poliuretan

Poliuretan (PU) adalah kelas polimer yang mengandung sejumlah besar kelompok uretan dalam molekulnya yang merupakan hasil reaksi


(39)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kimia antara gugus hidroksil dan kelompok isosianat. PU merupakan kelompok polimer yang banyak digunakan sebagai biomaterial dalam aplikasi klinis. Hal ini dikarenakan PU memiliki sifat fisik dan mekanik yang sangat baik dan kompatibilitasnya terhadap darah relatif baik. Kelompok polimer ini memiliki keragaman karena adanya perbedaan komposisi kimia dan sifat seperti elastisitas, toleransi dalam tubuh, daya tahan dan penyesuaian, yang umumnya lebih baik daripada polimer lain (Istanbullu et al., 2013).

Tegaderm adalah film transparan dengan backing hipoallergenik, bebas latex yang menempel dengan baik, lembut dan aman bagi kulit. Bersifat breathable, steril, transparan dan tahan air, serta dapat melindungi dari berbagai kontaminan eksternal. Breathability dari Tegaderm memungkinkan terjadinya penguapan air dan pertukaran gas yang sangat penting untuk menjaga fungsi kulit normal. Tegaderm memiliki adhesi awal yang baik dan tidak mengakibatkan peningkatan adhesi yang berlebihan pada waktu diaplikasikan, bahkan untuk penggunaan dalam waktu yang lama, risiko ketidaknyamanan pasien dan trauma kulit jarang terjadi ketika tegaderm dilepas dengan benar (3MTM, 2012).

Gambar 2.8. Struktur Kimia Poliuretan [sumber : Istanbullu et al., 2013]

Penelitian yang dilakukan Desai et al. (2012) menggunakan lapisan

backing film Tegaderm pada sediaan patch mukoadhesif oral yang mengandung fenretinide untuk kemoprevensi penyakit kanker mulut. Selain itu, Jadhav et al. (2009) melakukan uji iritasi primer pada manusia terhadap sediaan patch transdermal natrium diklofenak yang mengandung backing

membran 3M (tegaderm) dan dihasilkan bahwa film transdermal tidak menyebabkan iritasi pada kulit.


(40)

23

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 1, Laboratorium Penelitian 2 dan Laboratorium Sediaan Padat Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Laboratorium Multiguna dan Laboratorium Biologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian berlangsung 4 bulan, dari bulan Januari hingga April 2014.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Dissolution tester (erweka DT626HH), disintegrator (electrolab ED-2L), spektrofotometer UV visible (hitachi U-2910), mikroskop optik (olympus IX 71, jepang), Oven (eyela NDO- 400, jepang), franz diffusion cell, timbangan analitik (AND GH-120), viskotester HAAKE 6R, pengaduk magnetik (advantec SRS710HA), mikrometer digital (mitutoyo, jepang), freezer, pH meter (horiba F-52), cetakan film, Cutter, gunting, spuit, vial, dan alat-alat gelas yang sering dipakai di laboratorium.

3.2.2 Bahan

Natrium diklofenak (PT. Indofarma), hidroksi propil metil selulosa 50 cPs (ShinEtsu, Japan), natrium karboksi metil selulosa 50 cPs (BLANOSE® 7M1F), film tipis transparan TegadermTM 1624 W (3M health Care), propilenglikol (PT. Brataco), gliserin (PT. Brataco), etanol 70%, silica blue (PT. Brataco), natrium hidroksida (Merck), kalium dihidrogen fosfat (Merck), aquadest, cyanoacrylate adhesive, kertas saring, mukosa gingiva sapi, tissue, aluminium foil, dan plastik wrap.


(41)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3. Prosedur Kerja

3.3.1 Formula Patch

Melalui perhitungan, maka tiap 20 gram formula mengandung komponen-komponen seperti yang ada dalam tabel 3.1.

3.3.1.1 Preparasi Cairan Pembentuk Film (CPF)

HPMC dan NaCMC ditimbang secara akurat. Kemudian NaCMC dilarutkan dalam 10 gram aquadest pada gelas beker dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik. Pada beker terpisah, HPMC dilarutkan dalam 7,5 gram etanol 70% dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik. Setelah kedua polimer larut, campurkan larutan polimer HPMC ke dalam larutan polimer NaCMC dan aduk hingga homogen. Masukkan natrium diklofenak, propilenglikol dan gliserin yang sudah dilarutkan menggunakan sisa etanol 70% ke dalam larutan polimer dan diaduk hingga homogen dengan bantuan pengaduk magnetik. Kemudian diamkan CPF untuk menghilangkan molekul udara. Sebelum dimasukkan ke dalam cetakan, viskositas larutan polimer diukur terlebih dahulu (Chaudhary Amit, 2012, dengan modifikasi).

Tabel 3.1. Formula Patch Natrium Diklofenak

BAHAN

FORMULA (gram)

F1 F2 F3

Natrium diklofenak 0,02 0,02 0,02 HPMC 0,267 0,2 0,133 Na CMC 0,133 0,2 0,267 Gliserin 0,16 0,16 0,16 Propilen glikol 0,04 0,04 0,04 Aquadest 10 10 10 Etanol 70% add 20 20 20

3.3.1.2 Preparasi Patch

Tahap selanjutnya CPF dituang ke cetakan lalu dikeringkan di dalam oven suhu 60ºC selama kurang lebih 24 jam. Setelah kering, CPF yang telah berubah menjadi film dipisahkan dari cetakan. Film yang terbentuk


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

disimpan dalam wadah kedap udara yang berisi silika, setelah bobot konstan film dipotong sesuai ukuran. Sebagian film kemudian dilapisi dengan backing membran tegaderm sehingga menjadi patch, kemudian

patch dievaluasi karakteristiknya.

3.3.2 Pembuatan Larutan Buffer Fosfat pH 6,8

Dibuat dengan mencampur sebanyak 250 mL larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 112 mL NaOH 0,2 M kemudian dicukupkan volumenya dengan air bebas karbondioksida hingga volumenya 1000 mL.

3.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi

3.3.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ( maks)

Dilakukan scanning panjang gelombang dari larutan standar natrium diklofenak dengan konsentrasi 6 ppm menggunakan spektrofotometer UV-Visibel dengan panjang gelombang 200-300 nm (Wardana, 2013).

3.3.3.2 Pembuatan Larutan Standar Natrium Diklofenak

Ditimbang secara akurat 5 mg Natrium diklofenak kemudian dilarutkan dalam 50 mL buffer fosfat pH 6,8 sehingga diperoleh larutan induk standar

sebesar 100 g/mL. Dari larutan induk tersebut diambil sebanyak 200, 400, 600, 800, dan 1000 L kemudian dicukupkan volumenya hingga 10 mL, sehingga dihasilkan larutan dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm. Masing-masing larutan standar natrium diklofenak diambil dan diukur absorbansi larutan tersebut dengan panjang gelombang maksimum 275,5 nm sesuai hasil scanning sebelumnya (Wardana,2013).

3.3.4 Evaluasi Viskositas Cairan Pembentuk Film (CPF)

Pengujian dilakukan menggunakan viskotester HAAKE 6R terhadap setiap CPF sesuai formula menggunakan spindel R2 dengan kecepatan putar 100 rpm pada suhu ruang (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dengan modifikasi secara triplo).


(43)

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.5 Organoleptis Film

Pengamatan mikroskopik penampang membujur dan melintang film serta makroskopik secara visual fisik film dan patch meliputi warna dan tekstur permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012).

3.3.6 Pengambilan Sampel

Sampel yang akan dikarakterisasi harus memiliki kadar natrium diklofenak yang sama atau hampir sama. Oleh karena itu, dipilih film dengan bobot yang sama atau hampir sama, dengan asumsi bahwa film dengan bobot yang sama memiliki kandungan natrium diklofenak yang sama. Bobot film dengan luas yang sama dapat dipengaruhi oleh ketebalan film, sehingga perlu diukur keragaman ketebalan film untuk mendapatkan sampel yang sama atau hampir sama.

3.3.6.1 Pengukuran Bobot Sampel

Pengujian dilakukan dengan cara menimbang film dan dipilih film dengan bobot yang sama atau hampir sama kemudian dihitung massa rata-ratanya dan simpangan bakunya (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dengan modifikasi).

3.3.6.2 Pengukuran Ketebalan Sampel

Ketebalan film NaCMC diukur dengan mikrometer digital di 3 titik pada masing-masing film, kemudian dihitung rata-rata ketebalannya dan

dinyatakan dalam satuan mikrometer ( m) (R. Yogananda & Bulugondla,

2012 dengan modifikasi).

3.3.6.3 Pengukuran Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel

Jumlah kandungan obat dari film ditentukan berdasarkan berat kering obat dan polimer yang digunakan dengan cara metode Spektrofotometer UV. Tiga unit film dengan bobot yang sama atau hampir sama dari setiap formula diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, ditambahkan 100 mL dapar fosfat pH 6,8 dan etanol 70% (1:1) dan aduk hingga film terlarut sempurna. Larutan disaring, diencerkan dan absorbansi dibaca pada panjang gelombang maksimum. Rata-rata dari tiga


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

film dianggap sebagai kandungan obat dalam satu unit film (Chaudhary Amit, 2012 dengan modifikasi)

3.3.7 Evaluasi Patch

3.3.7.1 Uji Pelipatan

Pengujian dilakukan dengan cara melipat secara berulang satu patch

dengan ukuran 2x1 cm2 pada tempat yang sama hingga patch patah atau dilipat hingga 300 kali secara manual. Jumlah lipatan yang dapat dilipat pada tempat yang sama tanpa patah memberikan nilai daya tahan lipatan (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 secara triplo).

3.3.7.2 Pengukuran pH Permukaan

Patch dengan ukuran 2x1 cm2 dibiarkan mengembang pada 1 mL aquadest (pH 7) selama 2 jam dalam suhu ruang, kemudian pH permukaan diukur menggunakan kertas indikator pH universal (R. Yogananda dan Bulugondla, 2012 dimodifikasi secara triplo).

3.3.7.3 Penetapan Kadar Air Patch

Penetapan kadar air dilakukan menggunakan metode thermogravimetri.

Botol timbang dicuci dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105±5°C. setelah itu, bobot botol timbang dan sampel diukur menggunakan timbangan analitik. Sampel dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105±5°C selama satu jam. Kemudian dinginkan pada desikator selama 15 menit. Bobot sampel diukur kembali. Sampel dipanaskan kembali hingga bobot konstan (Buckle et al., 2008 dengan modifikasi secara duplo).

Kadar air dihitung menggunakan persamaan berikut :

Keterangan: Wo = bobot awal sampel, dan Wt = bobot akhir sampel

3.3.7.4 Uji Derajat Pengembangan (Swelling Index Studies)

Patch dengan ukuran 1x1 cm2 dari setiap formula ditimbang secara akurat, kemudian ditempatkan ke dalam cawan petri yang mengandung 25 mL dapar fosfat pH 6,8. Bobot patch ditimbang setiap 5 menit. Sebelum


(45)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ditimbang, patch dikeringkan dengan tissue. Pengujian dilakukan hingga menit ke-30.

Derajat pengembangan (%S) dihitung dengan persamaan (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dengan modifikasi secara triplo) :

Keterangan : Xo = bobot sebelum (gram) dan Xt = bobot setelah berkontak dengan larutan dapar fosfat pH 6,8 (gram)

3.3.7.5 Uji Waktu Tinggal (in vitro residence time)

Uji waktu tinggal patch dengan ukuran 2x1 cm2 dilakukan menggunakan disintegrator yang dimodifikasi. Uji waktu tinggal menggunakan 800 mL larutan dapar fosfat pH 6,8 yang dipertahankan suhunya pada 37ºC ± 0,2 sebagai larutan medium. Mukosa dari gusi sapi segar disiapkan dan direkatkan di atas permukaan kaca dengan bantuan perekat (cyanoacrylate adhesive). Sebelum patch diletakkan di atas mukosa gusi, lapisan mukosa terlebih dahulu dibasahi dengan 50 L larutan dapar fosfat pH 6,8 lalu

patch diletakkan di atas permukaan mukosa dengan sedikit ditekan. Kaca tersebut dimasukkan ke dalam alat disintegrator, lalu diamati waktu yang diperlukan hingga patch terlepas dari permukaan mukosa gusi (Reddy et al., 2011 dengan modifikasi secara triplo).

3.3.7.6 Uji Kemampuan Disolusi Zat Aktif

Berdasarkan United States Pharmacopeia (USP) XXIII-B metode dayung berputar digunakan untuk mempelajari pelepasan obat dari patch yang terdiri dari dua lapis atau lebih. Medium disolusi yang digunakan adalah larutan buffer fosfat pH 6,8 sebanyak 900 mL dilakukan pada suhu 37°C ± 0,5°C, dengan kecepatan putaran 50 rpm. Lapisan back dari patch

dilekatkan pada piringan kaca dengan menggunakan bahan perekat. Piringan ditempatkan di bagian bawah wadah disolusi. Sampel (5 mL) ditarik pada interval waktu yang telah ditentukan dan diganti dengan sejumlah larutan dapar fosfat pH 6,8 dengan volume yang sama. Sampel disaring melalui kertas saring whatman dan dianalisis untuk mengetahui kandungan obat setelah dilakukan pengenceran yang tepat (Koyi dan Khan, 2013 dengan modifikasi secara triplo).


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.7.7 Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan franz tipe glass diffusion cell pada suhu 37ºC ± 0,2ºC. Mukosa gusi sapi segar diletakkan di antara kompartemen donor dan reseptor. Patch dengan ukuran 2x1 cm2 diletakkan dengan bagian lapisan film menghadap ke arah mukosa. Kompartemen donor diisi dengan 1 mL buffer fosfat pH 6,8. Kompartemen reseptor diisi dengan larutan dapar fosfat pH 6,8 dan diaduk mengunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 50 rpm. Pada interval menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300, dan 360 diambil 1 mL larutan dapar fosfat pH 6,8 dari kompartemen reseptor dan ditambahkan juga sejumlah larutan dapar fosfat pH 6,8 dengan volume yang sama. Kemudian larutan tersebut diencerkan dan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dengan modifikasi secara triplo).


(47)

30

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Formulasi Patch

Pada penelitian ini diformulasikan patch gingiva mukoadhesif untuk penghantaran lokal. Patch terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan utama menggunakan kombinasi polimer hidrofilik HPMC dan NaCMC yang mengandung zat aktif dan lapisan backing membran yang impermeable

yaitu film tipis transparan tegaderm untuk melindungi lapisan film agar zat aktif tidak berdifusi ke saliva. Zat aktif yang digunakan adalah natrium diklofenak dengan kadar pada setiap formula sebanyak 5% b/b polimer kering.

Lapisan utama dibuat menggunakan kombinasi polimer sebanyak 2% b/b dalam 3 perbandingan konsentrasi polimer yang berbeda yaitu HPMC:NaCMC berturut-turut adalah 2:1 (F1), 1:1 (F2), dan 1:2 (F3). Penggunaan gliserin dengan kadar 40% dari bobot polimer kering sebagai

plasticizer didasarkan atas proses optimasi yang telah dilakukan sebelumnya dalam uji pendahuluan, dimana film yang dihasilkan memiliki kelenturan yang baik. Sedangkan pemilihan propilenglikol 10% sebagai peningkat penetrasi didasarkan atas sifat propilenglikol yang termasuk kelas poliol memiliki mekanisme transport paraseluler dan memiliki mekanisme aksi dengan cara mengganggu susunan lipid interseluler (Dodla & Sellappan, 2013) sehingga diharapkan obat dapat cepat berpenetrasi ke dalam gingiva yang mengandung kreatinin.

Sediaan film dibuat menggunakan metode solvent casting karena mudah dan sesuai digunakan untuk penelitian skala labor. Solvent casting

adalah teknik pencetakan film yang setiap komponen dilarutkan dahulu dalam pelarutnya, kemudian dicampurkan dan dicetak pada suhu tertentu. Berdasarkan kelarutan bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi maka digunakan campuran pelarut air dan etanol 70%. Pemilihan pelarut ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Wardana (2013) dalam pembuatan film NaCMC yang mengandung natrium diklofenak dan dilakukan pula proses optimasi sebelumnya untuk memastikan bahwa semua bahan dapat terlarut sempurna sehingga menghasilkan film yang


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

homogen. Film dibuat dengan mencampurkan larutan polimer dengan larutan natrium diklofenak yang telah ditambahkan propilenglikol dan gliserin, kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik. Setelah homogen campuran larutan didiamkan untuk menghilangkan molekul udara. Setelah molekul udara hilang, viskositas larutan polimer diukur kemudian dimasukkan ke dalam cetakan untuk proses pengeringan. Pembuatan film dibuat sebanyak 20 gram untuk satu cetakan film, bobot 20 gram dipilih berdasarkan proses optimasi pengamatan visual sehingga menghasilkan film yang cukup tipis dan tidak rapuh agar nyaman bila digunakan pasien. Pengeringan dilakukan dalam oven suhu 60ºC selama 24 jam, pemilihan suhu berdasarkan optimasi. Setelah film kering kemudian dilapisi dengan

backing membran tegaderm sehingga menjadi patch. Sebelum dikarakterisasi film disimpan dalam wadah kedap udara yang berisi silika hingga tercapai bobot yang konstan (tidak ada lagi sisa pelarut yang menguap). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang akurat karena tidak ada pengaruh perbedaan sisa pelarut dalam film yang dievaluasi (Anggraeni, 2013). Patch kemudian dipotong-potong dengan ukuran 2x1 cm2 dan dilakukan evaluasi karakteristik patch.

4.2 Karakteristik Cairan Pembentuk Film (CPF)

Pengamatan secara visual terhadap organoleptis cairan pembentuk film menunjukkan bahwa semua larutan polimer dengan perbandingan konsentrasi yang berbeda memiliki kesamaan warna, dimana semua formula memberikan warna larutan yang jernih. Selain dari pengamatan visual, dilakukan juga pengamatan pengaruh perbedaan perbandingan konsentrasi polimer dari ketiga formula terhadap viskositas larutan. Uji viskositas cairan pembentuk film (CPF) menggunakan alat viskotester HAAKE 6R spindel R2 dengan kecepatan 100 rpm. Larutan polimer yang terbentuk memiliki perbedaan viskositas. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas larutan polimer pada tabel 4.1 diketahui bahwa cairan pembentuk film yang mengandung polimer HPMC dan NaCMC dengan perbandingan 1:1 memiliki viskositas yang paling tinggi. NaCMC dilaporkan memiliki interaksi ikatan hidrogen yang sinergis dengan HPMC. Kedua polimer tersebut menunjukkan efek sinergis terhadap


(49)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

peningkatan viskositas (Tiwari dan Rajabi-Siahboomi, 2007). Oleh karena itu, dengan jumlah perbandingan yang sama antar kedua polimer diduga bahwa terjadi ikatan antarpolimer yang lebih kuat sehingga dapat meningkatkan viskositas cairan. Larutan CPF dari ketiga formulasi tidak terlalu kental sehingga mudah untuk dituang ke dalam cetakan. Dari hasil uji statistik menggunakan SPSS 20 didapat bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna nilai viskositas antara F1 dan F3, sedangkan F2 memiliki perbedaan yang bermakna terhadap F1 dan F3.

Tabel 4.1. Viskositas Cairan Pembentuk Film

Formula Viskositas (cPs)

F1 130,67 ± 3,51

F2 156,00 ± 1,73

F3 125,67 ± 2,08

4.3 Organoleptis

Makroskopik film terlihat berwarna bening. Dengan tekstur permukaan atas agak kasar dan dasar film rata, berbentuk tipis, agak kaku, tidak rapuh dan tidak berbau.

Untuk memastikan film yang terbentuk memiliki organoleptis yang serupa dilakukan pengamatan organoleptis secara mikroskopik penampang membujur dan melintang film dengan perbesaran 100x. Pengamatan secara mikroskopik juga bertujuan untuk mengetahui apakah natrium diklofenak dalam sediaan tersebut mengalami rekristalisasi (Fitriyah, 2013). Hasil pengamatan secara mikroskopik menunjukkan bahwa film yang dihasilkan memiliki organoleptis yang homogen. Selain itu, Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa natrium diklofenak tidak mengalami rekristalisasi. Hasil pengamatan secara mikroskopik tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keterangan : a). Film sebelum dipotong; b). Film sesudah dipotong berukuran 2 x 1 cm2 dengan keterangan F1(atas), F2 (tengah), dan F3 (bawah)

Gambar 4.1. Gambar Makrokopik Film

Keterangan : a). Gambar mikroskopik permukaan film; b). Gambar mikroskopik penampang film melintang dengan keterangan perbandingan konsentrasi HPMC:NaCMC berturut-turut 2:1 (kiri), 1:1 (tengah), dan 1:2 (kanan) perbesaran 100x

Gambar 4.2. Gambar Mikroskopik Film

4.4 Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel

Kandungan natrium diklofenak pada sampel yang digunakan harus sama atau hampir sama. Oleh karena itu, dilakukan pengukuran kandungan zat aktif pada sampel dari masing-masing formula secara triplo. Sampel yang digunakan adalah sampel yang memiliki bobot dan ketebalan yang sama atau hampir sama. Dengan asumsi bahwa sampel dengan bobot dan ketebalan yang sama atau hampir sama akan memiliki

b

a b


(51)

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kandungan natrium diklofenak yang sama atau hampir sama pula. Hal ini penting dilakukan untuk memudahkan proses sampling patch yang akan dikarakterisasi. Dari hasil data pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa bobot, ketebalan, dan kandungan zat aktif masing-masing formula memiliki simpangan baku yang cukup kecil, sehingga film yang dihasilkan dapat digunakan untuk karakterisasi patch. Hasil perhitungan persen kadar natrium diklofenak dalam sediaan patch F1, F2, dan F3 yang berukuran 2 x 1 cm2 berturut-turut adalah 4,47%, 4,20%, dan 3,98%.

Tabel 4.2. Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel

Formula Bobot (mg) Ketebalan (µm)

Kandungan Zat Aktif (µg)

Kadar (%)

F1 25,30 ± 0,26 93,56 ± 2,12 1131,4 ± 8,8 4,47 F2 25,37 ± 0,29 94,56 ± 1,54 1065,7 ± 8,4 4,20 F3 25,40 ± 0,17 87,22 ± 0,84 1011,0 ± 5,8 3,98 4.5 pHPermukaan

Penetapan pH permukaan patch dilakukan untuk melihat adanya kemungkinan efek samping. Apabila patch memiliki pH asam atau basa dapat menyebabkan iritasi pada mukosa gingiva, sehingga diharapkan pH permukaan patch mendekati pH netral. pH permukaan patch diukur menggunakan pH indikator universal. pH permukaan dari setiap formula memiliki pH netral yaitu 7. Dari hasil pengukuran ini diharapkan patch

tidak menimbulkan iritasi pada mukosa gusi. Hasil pengukuran pH permukaan patch juga sesuai dengan pH saliva normal manusia yaitu 5,6-7 (Kaul, et al., 2011).

4.6 Daya Tahan Lipatan

Pengujian daya tahan lipatan patch ditentukan dengan cara melipat secara berulang satu patch pada tempat yang sama hingga patah atau dilipat hingga 300 kali secara manual. Hasil pengujian menunjukkan bahwa patch dari setiap formula tidak mengalami kerusakan hingga pelipatan ke-300. Penambahan gliserin sebagai plasticizer sebanyak 40% mampu membentuk lapisan polimer yang tidak mudah sobek (Wardana, 2013).


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 4.3.Patch Sebelum (Kiri) dan Sesudah (Kanan) Dilakukan Uji

Pelipatan >300 Kali

4.7 Kadar Air Patch

Penetapan kadar air dilakukan untuk melihat sisa air yang digunakan sebagai pelarut pada patch.

Tabel 4.3. Kadar Air Patch

Kadar air tertinggi terdapat pada formula F3 yang diikuti oleh F2 dan terendah terdapat pada F1. Hal ini dapat disebabkan karena F3 mengandung NaCMC lebih tinggi daripada formula lain, dimana NaCMC merupakan polimer anionik (R. Yogananda dan Rakesh, 2012) yang memiliki kemampuan menarik air lebih besar daripada HPMC. Kadar air yang tinggi pada F3 dapat menjadi penyebab kadar natrium diklofenak pada F3 lebih kecil daripada kadar natrium diklofenak pada F1 dan F2, dimana kadar natrium diklofenak dihitung berdasarkan bobot total film yang digunakan tanpa dikurangi bobot air yang terkandung pada film tersebut. Jika bobot film dikurangi dengan kadar air, maka kandungan zat aktif pada F1, F2, dan F3 secara berturut-turut adalah 4,97%, 4,97%, dan 4,99%.

4.8 Waktu Tinggal

Pengujian waktu tinggal patch ditentukan dengan menggunakan disintegrator yang dimodifikasi. Waktu tinggal masing-masing formula yaitu F1 100 menit, F2 101,67 menit, dan F3 90 menit. Pada patch yang sudah terlepas dari gusi sapi terlihat bahwa lapisan polimer sudah terlarut dan hanya tersisa lapisan tegaderm saja.

Formula Kadar air (%)

F1 10,05 ± 0,52

F2 15,62 ± 0,03


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Faktor koreksi = 0,000 x

= 0,000

Difusi = (C15 + FK0) Volume (L) Faktor Pengenceran Difusi = (0,746 + 0,000) 0,0225 L 5 = 0,0839 mg % difusi =

100%

% difusi =

100% = 7,3%

g. Jumlah zat aktif yang terdifusi pada menit ke-30 Faktor koreksi t15 = C15

Faktor koreksi = 0,746 x

= 0,033

Difusi = (C50+FK0+FK15) Volume(L) Faktor Pengenceran Difusi = (0,746 +0,000+0,033) 0,0225L 5 = 0,0876 mg % difusi =

100%

% difusi =

100% = 7,66%

Lampiran 28. Contoh Perhitungan Fluks Difusi pada F1 jam keenam

Diketahui : M = 334 µg t = 6 jam s = 2 cm2 Ditanya : J = ? Jawab :

J =

J =

= 27,6 µg cm

-2 jam-1


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 30. Contoh Perhitungan Persentase Disolui Sampel 1 pada F1

Diketahui : y = 0,0027+0,0299x Y0 = 0,000

Y15 = 0,025 Y30 = 0,027

Kadar zat aktif = 4,47% Bobot sediaan = 26,1 mg

Ditanya : C0 = ? % disolusi zat aktif pada t0 = ? C15 = ? % disolusi zat aktif pada t15 = ? C30 = ? % disolusi zat aktif pada t30 = ? a. Mencari nilai x pada menit ke-0

y = 0,0027+0,0299x 0,000 = 0,0027+0,0299x C0 = 0,000 ppm

b. Mencari nilai x pada menit ke-15 y = 0,0027+0,0299x

0,025 = 0,0027+0,0299x C15 = 0,746 ppm

c. Mencari nilai x pada menit ke-30 y = 0,0027+0,0299x

0,027 = 0,0027+0,0299x C30 = 0,813 ppm

d. Kandungan zat aktif dalam sediaan m = Kadar zat aktif Bobot sediaan m = 4,47% 26,1 mg = 1,167 mg

e. Jumlah zat aktif yang terdisolusi pada menit ke-0

Disolusi = C0 Volume (L) Faktor Pengenceran Disolusi = 0,000 0,9 L 1 = 0 mg

% disolusi =

100%

% disolusi =

100% = 0%

f. Jumlah zat aktif yang terdisolusi pada menit ke-15 Faktor koreksi t0 = C0


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Faktor koreksi = 0,000 x

= 0,000

Disolusi = (C15 + FK0) Volume (L) Faktor Pengenceran Disolusi = (0,746 + 0,000) 0,9 L 1 = 0,671 mg % disolusi =

100%

% disolusi =

100% = 57,5%

g. Jumlah zat aktif yang terdisolusi pada menit ke 30 Faktor koreksi t15 = C15

Faktor koreksi = 0,746 x

= 0,004

Disolusi = (C30+FK0+FK15) Volume(L) Faktor Pengenceran Disolusi = (0,813 +0,000+0,004) 0,9L 1 = 0,735 mg % disolusi =

100%

% disolusi =

100% = 62,9%

Lampiran 31. Contoh Perhitungan Fluks Disolusi pada F1 jam ketiga

Diketahui : M =874 µg t = 3 jam s = 2 cm2 Ditanya : J = ? Jawab :

J =

J =

= 146,3 µg cm

-2 jam-1


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 34. Sertifikat Analisis NaCMC


Dokumen yang terkait

Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) Sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal.

3 35 80

Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Sodium Carboxymethylcellulose (SCMC) sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal

4 23 65

FORMULASI PATCH AMOKSISILIN DENGAN KOMBINASI POLIMER HPMC (Hidroksi Propil Metil Selulosa) DAN PVP (Polivinil Pirolidon) SEBAGAI PENDEKATAN PENANGANAN SARIAWAN

0 4 18

Pembuatan dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan Oral Dissolving Film (ODF) Chlorpheniramine Maleate Menggunakan Kombinasi Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Pektin

14 82 132

Pembuatan dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan Oral Dissolving Film (ODF) Chlorpheniramine Maleate Menggunakan Kombinasi Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Pektin

0 0 2

Pembuatan dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan Oral Dissolving Film (ODF) Chlorpheniramine Maleate Menggunakan Kombinasi Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Pektin

0 1 5

Pembuatan dan Evaluasi secara In Vitro Sediaan Oral Dissolving Film (ODF) Chlorpheniramine Maleate Menggunakan Kombinasi Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Pektin

0 0 58

OPTIMASI FORMULA FLOATING TABLET FAMOTIDIN DENGAN KOMBINASI POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA K100M DAN ETIL SELULOSA | Adyanti | Majalah Farmaseutik 27792 61066 1 SM

2 1 16

PEMBUATAN DAN EVALUASI SECARA IN VITROSEDIAAN ORAL DISSOLVING FILM (ODF)CHLORPHENIRAMINE MALEATE MENGGUNAKAN KOMBINASI POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA (HPMC) DAN PEKTIN SKRIPSI

0 1 17

PERBANDINGAN PELEPASAN PROPRANOLOL HIDROKLORIDA DARI MATRIKS KITOSAN, ETIL SELULOSA (EC) DAN HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA (HPMC)

0 0 9