Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Sodium Carboxymethylcellulose (SCMC) sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK

BERBASIS SODIUM CARBOXYMETHYLCELLULOSE

(SCMC) SEBAGAI SEDIAAN LOKAL PENANGANAN

INFLAMASI PADA PENYAKIT PERIODONTAL

SKRIPSI

MUTIA SARI WARDANA

109102000014

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2013


(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK

BERBASIS SODIUM CARBOXYMETHYLCELLULOSE

(SCMC) SEBAGAI SEDIAAN LOKAL PENANGANAN

INFLAMASI PADA PENYAKIT PERIODONTAL

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Far)

MUTIA SARI WARDANA

109102000014

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2013


(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Mutia Sari Wardana

NIM : 109102000014

Tanda Tangan :


(4)

iv

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : Mutia Sari Wardana

NIM : 109102000014

Program Studi : Farmasi

Judul : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Sodium

Carboxymethylcellulose (SCMC) sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. Sabrina, M.Farm., Apt.

NIP. 198310282009012008 NIP. 1197902222007102001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah


(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh

Nama : Mutia Sari Wardana

NIM : 109102000014

Program Studi : Farmasi

Judul : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Sodium

Carboxymethylcellulose (SCMC) sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt

Pembimbing 2 : Sabrina, M.Farm., Apt

Penguji 1 : Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt

Penguji 2 : Eka Putri, M.Si,, Apt

Ditetapkan di : Ciputat


(6)

vi ABSTRAK

Nama : Mutia Sari Wardana

Program Studi : Farmasi

Judul : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Sodium

Carboxymethylcellulose (SCMC) Sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal

Telah dibuat sediaan mukoadhesif patch yang mengandung natrium diklofenak sebagai sediaan lokal penanganan inflamasi pada penyakit periodontal. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch natrium diklofenak yang berbasis sodium carboxymethylcellulose (SCMC). Patch dibuat dalam 3 formula yaitu F1, F2 dan F3 dengan memvariasikan konsentrasi larutan SCMC sebanyak 1,5%, 2% dan 2,5%. Patch dibuat dengan metode solvent casting. Patch yang telah dibuat menunjukkan bahwa ketiga patch dapat melekat dipermukaan membran gusi lebih dari 6 jam. Persen kumulatif difusi natrium diklofenak pada jam ke-enam dari patch F1, F2 dan F3 berturut-turut adalah 37%, 40% dan 45%. Lapisan backing membran yang dibentuk dari film transparan tegaderm diketahui dapat menahan difusi natrium diklofenak sebesar 97,5%. Kata kunci : patch, natrium diklofenak, SCMC, tegaderm.


(7)

vii ABSTRACT

Name : Mutia Sari Wardana

Program Study : Pharmacy

Title : Formulation of Diclofenac Sodium Patch Based Sodium

Carboxymethylcellulose (SCMC) as Local Administration for The Inflammatory Treatment in Periodontal Disease

Mucoadhesive patches containing diclofenac sodium have been made as local administration for the inflammatory treatment in periodontal disease. The objectives of this research were to formulate and characterized of the resulting diclofenac sodium patches based sodium carboxymethylcellulose (SCMC). Patches were formulated in three formulas termed F1, F2 and F3 by varying the concentration of sodium carboxymethylcellulose (SCMC) solution in the formula as much as 1,5%, 2% and 2,5%. Patches was prepared by solvent casting methode. In vitro residence time showed that all formulas patch can be attachted on the mucosa gingival bovine more than 6 hours. The cumulative diffusion of diclofenac sodium at sixth hours from F1, F2 and F3 respectively were 37%, 40% and 45%. Backing layer formed from transparent film of tegaderm can inhibit diffusion of diclofenac sodium as much as 97,5%.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan petunjuk, rizki, nikmat iman, islam, dan dengan kekuatan dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Sodium Carboxymethylcellulose (SCMC) sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal”. Shalawat serta salam semoga tersampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, serta keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya yang senantiasa bershalawat atas dirinya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Keberhasilan dalam penulisan ini tidak lepas dari orang-orang baik yang membantu dan mendukung penulis dalam berbagai dukungan meteril, moril, waktu, ilmu, dan semua yang berharga. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : (1) Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt., selaku pembimbing pertama dan Ibu

Sabrina, M.Farm., Apt., selaku pembimbing kedua yang telah sangat baik memberikan waktu, tenaga, ilmu, arahan, saran dan dukungan dalam skripsi ini, semoga amal ibadah ibu mendapat imbalan yang lebih baik disisi Allah. (2) Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(3) Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(4) Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan bantuan

selama menempuh pendidikan jenjang strata satu di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5) Kedua orang tua, Ayahanda tersayang Drs. H. Zainul Anwar, M.Pd dan Ibunda tercinta Hj. Anis Farida yang selalu memberikan kasih sayang, doa yang tidak pernah putus dan dukungan baik moril maupun materil. Tidak


(9)

ix

ada apapun di dunia ini yang dapat membalas semua kebaikan, cinta dan kasih sayang yang telah kalian berikan kepada anakmu, semoga Allah selalu memberikan keberkahan, kesehatan, keselamatan, perlindungan, cinta dan kasih sayang kepada kedua orang tua hamba tercinta.

(6) Untuk kakak-kakakku tersayang Budi Rahma Wardana, SEI dan Sartika

Putri Wardana, S.Pd yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan sehingga penelitiaan ini dapat berjalan dengan lancar.

(7) Kepada Salman Ahmad Muhammad yang telah banyak sekali memberikan

doa, semangat dan dukungan dalam berbagai keadaan.

(8) Kakak-kakak laboran FKIK Ka Eris, Bu Lilis, Ka Lisna, Ka Liken, Ka Tiwi,

Ka Suryani, Mba Rani dan Pak Rachmadi atas dukungan dan kerja samanya selama kegiatan penelitian.

(9) Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang memberikan kesempatan

dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang besar. (10) Dina Permata Wijaya, Novayanti, Hissi Fitriah, Warda Nabiella, Fauziyah

Utami, Hani Haifa Putri dan Ade Juwita serta teman-teman laboratorium yang telah banyak memberi semangat dan kebersamaannya, terima kasih atas kerjasama dalam penelitian ini.

(11) Teman-teman seperjuangan farmasi 2009, Phenols dan EDTA C

(12) Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu dan mendukung penulis selama penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam penelitian ini.

Ciputat, 11 September 2013


(10)

x

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Mutia Sari Wardana

NIM : 109102000014

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dangan judul

FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK BERBASIS SODIUM CARBOXYMETHYLCELLULOSE (SCMC) SEBAGAI SEDIAAN

LOKAL PENANGANAN INFLAMASI PADA PENYAKIT PERIODONTAL

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta

Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat

Pada Tanggal : 11 September 2013 Yang menyatakan,


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1. 1 Latar Belakang ... 1

1. 2 Perumusan Masalah ... 3

1. 3 Hipotesis Penelitian ... 3

1. 4 Tujuan Penelitian ... 3

1. 5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2. 1 Penyakit Periodontal ... 4

2. 2 Gingiva ... 5

2. 3 Sistem Penghantaran Obat Lokal ... 5

2. 4 Patch ... 6

2. 5 Mukoadhesi ... 8

2. 6 Natrium Diklofenak ... 12

2. 7 Sodium Carboxymethylcellulose ... 13

2. 8 Poliuretan ... 15

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 16

3. 1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.1.1 Tempat Penelitian ... 16

3.1.2 Waktu Penelitian ... 16

3. 2 Alat dan Bahan Penelitian ... 16

3.2.1 Alat Penelitian ... 16

3.2.2 Bahan Penelitian ... 16

3. 3 Prosedur Kerja ... 17

3.3.1 Pembuatan Patch Natrium Diklofenak ... 17

3.3.2 Pembuatan Larutan Dapar Fosfat pH 6,8 ... 18

3.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 18


(12)

xii

3. 4 Evaluasi Patch ... 18

3.4.1 Evaluasi Fisik Film SCMC ... 18

3.4.1.1 Organoleptis ... 18

3.4.1.2 Keragaman bobot ... 18

3.4.1.3 Keseragaman Kandungan ... 19

3.4.1.4 Keragaman Ketebalan ... 19

3.4.2 Evaluasi Akhir Patch ... 19

3.4.2.1 Uji pH Permukaan ... 19

3.4.2.2 Daya Tahan Lipatan ... 19

3.4.2.3 Uji Derajat Pengembangan ... 19

3.4.2.4 Uji Waktu Tinggal ... 20

3.4.2.5 Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif ... 20

3.4.2.6 Uji Kebocoran Backing Membran ... 20

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Formulasi Patch Mukoadhesif ... 21

4.2 Organoleptis Cairan Pembentuk Film (CPF) ... 22

4.3 Viskositas Cairan Pembentuk Film (CPF) ... 23

4.4 Organoleptis Film SCMC dan Patch ... 24

4.5 Karakteristik Fisikokimia Film SCMC ... 25

4.6 pH Permukaan ... 26

4.7 Daya Tahan Lipatan ... 27

4.8 Waktu Tinggal ... 27

4.9 Derajat Pengembangan ... 28

4.10 Kemampuan Difusi Zat Aktif ... 29

4.11 Kebocoran Backing Membran ... 33

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tahap-tahap mukoadhesi ... 8

Gambar 2.2. Struktur kimia natrium diklofenak ... 12

Gambar 2.3. Struktur kimia sodium carboxymethylcellulose ... 13

Gambar 2.4. Struktur kimia poliuretan ... 15

Gambar 2.5. Struktur kimia sodium carboxymethylcellulose ... 16

Gambar 2.6. Struktur kimia poliuretan ... 18

Gambar 4.1. Gambar mikroskopik cairan pembentuk film SCMC ... 23

Gambar 4.2. Gambar organoleptis film SCMC dan patch ... 24

Gambar 4.3. Gambar mikroskopik permukaan membujur film... 24

Gambar 4.4. Gambar mikroskopik penampang melintang film ... 25

Gambar 4.5. Hubungan keragaman bobot dan ketebalan dengan formula ... 26

Gambar 4.6. Hubungan keseragaman kandungan dengan formula ... 26

Gambar 4.7. Hubungan derajat pengembangan terhadap waktu ... 28

Gambar 4.8. Hubungan persentase kumulatif difusi terhadap waktu ... 31

Gambar 4.9. Hubungan jumlah kumulatif difusi terhadap waktu ... 31


(14)

xiv DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Formula patch natrium diklofenak ... 17

Tabel 4.1. Viskositas cairan pembentuk film ... 23

Tabel 4.2. Karakteristik fisikokimia film SCMC... 25

Tabel 4.3. Karakteristik fisikokimia patch ... 27

Tabel 4.4. Derajat pengembangan dalam medium dapar fosfat pH 6,8 ... 28

Tabel 4.5. Persentase dan jumlah kumulatif difusi zat aktif ... 30

Tabel 4.6. Analisis statistik ANOVA data persentase difusi ... 31

Tabel 4.7. Data statistik persentase difusi natrium diklofenak ... 32

Tabel 4.8. Fluks difusi natrium diklofenak ... 32

Tabel 4.9. Analisis statistik ANOVA data nilai fluks ... 33

Tabel 4.10. Data statistik nilai fluks natrium diklofenak ... 33


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Penelitian ... 41

Lampiran 2. Gambar Bahan dan Alat Penelitian ... 42

Lampiran 3. Gambar Evaluasi Waktu Tinggal ... 42

Lampiran 4. Gambar Evaluasi Difusi Zat Aktif dan Kebocoran Backing ... 42

Lampiran 5. Contoh Aplikasi Pemakaian Patch ... 43

Lampiran 6. Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak ... 43

Lampiran 7. Grafik Kestabilan Bobot ... 43

Lampiran 8. Data Kestabilan Bobot... 43

Lampiran 9. Data Keragaman Bobot ... 44

Lampiran 10. Data Keragaman Ketebalan ... 44

Lampiran 11. Data Keseragaman Kandungan ... 44

Lampiran 12. Data Daya Tahan Lipatan dan pH Permukaan ... 44

Lampiran 13. Data Waktu Tinggal ... 45

Lampiran 14. Data Derajat Pengembangan... 45

Lampiran 15. Data Kumulatif Persentase Difusi Zat Aktif ... 46

Lampiran 16. Data Kumulatif Jumlah Difusi Zat Aktif ... 46

Lampiran 17. Data Kumulatif Kebocoran Backing Membran ... 46

Lampiran 18. Contoh Perhitungan Persentase Difusi Sampel 1 pada F1 ... 47

Lampiran 19. Contoh Perhitungan Fluks Difusi pada F1 Jam Ke-6... 48

Lampiran 20. Sertifikat Analisa Natrium Diklofenak ... 49


(16)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit periodontal adalah kondisi gingivitis dan periodontitis yang menginduksi respon inflamasi jaringan terdalam sehingga dapat meningkatkan gerakan gigi dan menyebabkan kehilangan gigi (Ramadan, E et al., 2010). Pemberian obat NSAID secara sistemik mempunyai efek yang menguntungkan pada peradangan gingiva dan resorpsi tulang alveolar, tetapi pemberian dosis NSAID secara sistemik pada periode waktu yang cukup lama dapat menyebabkan iritasi pada sistem saluran pencernaan (Hartanto dan Lessang, 2009). Penelitian telah menemukan bahwa obat-obat penghambat produksi prostaglandin seperti NSAID dapat mengurangi inflamasi gingival dan mengurangi resorpsi tulang alveolar. Natrium diklofenak memiliki aktivitas analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi serta merupakan penghambat nonselektif siklo-oksigenase dengan potensi yang lebih besar dibandingkan NSAID lainnya (Ahmed et al., 2009).

Natrium diklofenak cepat diserap secara oral, mengalami metabolisme lintas pertama dan hanya 50% obat mencapai sirkulasi sistemik, memiliki waktu paruh singkat, menyebabkan gangguan pencernaan, perut kembung, mual, muntah dan perdarahan saluran cerna atau tukak lambung (Dey et al., 2011). Berdasarkan Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui oleh DEPKES RI, diklofenak termasuk kategori B dan D. Semua NSAID mengurangi peradangan dengan menghambat sintesis prostaglandin yang berperan pada perkembangan janin dan memberikan efek pada ibu, janin, dan neonatus (Rubin, 1999). Natrium diklofenak dapat diekskresikan melalui ASI (Sweetman, 2009).

Upaya untuk menanggulangi efek samping dan bahaya natrium diklofenak bagi ibu hamil dan pasien dengan gangguan saluran cerna diperlukan sediaan lokal yang dapat memberikan efek langsung pada tempat aksi. Salah satu sediaan lokal yang dapat menghantarkan obat ke tempat aksi adalah patch. Penggunaan lokal sangat menguntungkan karena meningkatkan konsentrasi obat pada tempat aksi dan mencegah efek samping sistemik (Pragati, Ashok & Kuldeep, 2009).


(17)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu upaya mengoptimalkan pemberian obat lokal adalah dengan mempertahankan bentuk sediaan di lokasi aksi atau lokasi absorpsi dengan merancang penghantaran obat melalui sistem mukoadhesif (Lohani, Prasad & Arya, 2011). Polimer memiliki peran sangat penting dalam sistem penghantaran mukoadhesif karena dapat meningkatkan waktu tinggal obat pada tempat yang diinginkan. Polimer anionik memiliki fungsi mukoadhesif tinggi dan toksisitas yang rendah contohnya adalah sodium carboxymethylcellulosa (SCMC) memiliki bobot molekul 90.000-700.000 merupakan pembentuk film yang baik dan tidak toksik (Nagar, Chauhan & Yasir, 2011). Menurut penelitian sebelumnya film dengan konsentrasi SCMC 2% dan 3% w/v memiliki resistensi tarikan yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi SCMC 1% w/v (Mortazavi & Aboofazeli, 2000). Penelitian terdahulu gliserin digunakan sebagai plasticizer dalam sediaan film bukal untuk penghantaran obat sistemik (Chaudhary, 2012). Sedangkan pada penelitian ini akan dibuat sediaan lokal pada mukosa gusi sehingga diperlukan peningkat penetrasi. Penelitian lain propilenglikol 10% telah digunakan sebagai peningkat penetrasi dalam film ranitidin HCl (Lohani, Prasad & Arya, 2011).

Salah satu cara untuk mencegah penetrasi zat aktif keluar dan tercampur dengan saliva diperlukan backing membran yang tidak terlarut sehingga dapat mengatur arah pelepasan obat dan mengurangi penghancuran selama pemakaian (Bhalodia et al., 2010). Poliuretan termasuk termoplastik elastomer sebagai penghantaran obat terkontrol (Santos et al., 2008) dan implan medis (Priya et al., 2013). Menurut penelitian tentang efisiensi biokompatibilitas secara in vitro dan in vivo penggunaan poliuretan telah disetujui oleh US Food and Drug sebagai sediaan penghantar obat (Santos et al., 2008). Salah satu sediaan poliuretan seperti tegaderm merupakan film transparan yang mengandung backing hipoallergenik (3MTM, 2012). Dalam penelitian lain tegaderm digunakan sebagai lapisan backing pada lapisan obat fenretidin dengan polimer adhesif sebagai sediaan patch mukoadhesif oral spesifik chemoprevention kanker mulut (Desai et al., 2012).

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan diformulasikan sediaan lokal patch yang terdiri dari 2 lapis. Lapisan pertama mengandung SCMC dan zat aktif, sedangkan lapisan backing membran menggunakan tegaderm. Selain itu akan dilakukan evaluasi sediaan untuk mengetahui karakteristik patch.


(18)

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana sifat adhesivitas patch yang mengandung polimer SCMC pada membran mukosa gusi?

b. Bagaimana kemampuan difusi natrium diklofenak dari sediaan patch ?

c. Bagaimana kemampuan backing membran tegaderm untuk mencegah

difusi zat aktif ke saliva ?

1.3 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Lapisan yang terbentuk dari polimer SCMC yang mengandung zat aktif dapat melekat pada lapisan mukosa gusi.

b. Lapisan film transparan tegaderm dapat menjadi backing membran untuk mencegah difusi zat aktif ke saliva.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memformulasikan dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch natrium diklofenak yang berbasis polimer sodium carboxymethylcellulose (SCMC).

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dalam pengembangan sediaan patch natrium diklofenak yang digunakan secara lokal untuk penanganan inflamasi pada penyakit periodontal.


(19)

4 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal adalah infeksi pada jaringan pendukung gigi dengan karakteristik terjadinya destruksi tulang alveolar dan jaringan konektif (Herawati, 2008). Penyebab utama penyakit periodontal adalah plak bakteria yaitu lapisan lengket tidak berwarna secara konstan terbentuk di gigi. Faktor lain seperti merokok, genetik, kehamilan dan puberitas, stress, gigi berlubang, diabetes, dan kurang gizi menyebabkan penyakit periodontal. Adanya cairan gingival mukosa, perdarahan gingival dan sakit lokal menandakan adanya poket periodontal. Gambaran klinis patologi tergantung pada sulkus (Kumar, M et al., 2011). Poket adalah celah antara gigi dan gusi yang digambarkan sebagai peningkatan sulkus gingiva patogen. Sulkus gingival normal memiliki kedalaman 2-3 mm. Poket dengan kedalaman 4 mm dianggap sebagai tanda awal penyakit periodontal (Herawati & Sunariani, 2010).

Gingivitis tingkat sedang adalah inflamasi rongga mulut karena akumulasi plak gingival dengan karakteristik bengkak, perdarahan ringan, dan kemerahan pada sisi tepi gingival (Kumar, M et al., 2011). Ada 2 tipe dasar respon jaringan terhadap pembesaran gingiva yang mengalami peradangan yaitu edematosus dan fibrous (Ruhadi & Aini, 2005). Gingivitis bisa diobati dengan menghilangkan plak dan karang gigi sedangkan jaringan inflamasi disekitar gigi biasanya dapat sembuh dengan cepat. (Pragati, Ashok & Kuldeep, 2009).

Periodontitis merupakan tingkatan lebih tinggi dari penyakit periodontal yaitu inflamasi gingival dan ligamen periodontal dengan karakteristik rusaknya jaringan ikat dan tulang alveolar (Kumar, M et al., 2011). Gambaran klinis dari periodontitis adalah perdarahan, keluarnya nanah, nafas berbau busuk, gerakan gigi, perusakan fungsi dan menyebabkan kehilangan gigi (Nandakumar, 2006). Periodontitis serius tidak dapat diobati dengan prosedur gigi biasa, operasi gigi mungkin dibutuhkan untuk menghilangkan plak, karang gigi, dan jaringan gusi yang terinfeksi (Pragati, Ashok & Kuldeep, 2009).


(20)

5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2 Gingiva

Gingiva adalah jaringan fibrosa yang ditutupi oleh epitel keratin yang mengelilingi gigi dan dibatasi dengan ligamen periodontal dan jaringan mukosal mulut (The American Academy of Periodontology, 2001). Gingiva adalah bagian jaringan pendukung gigi yang berfungsi melindungi jaringan di bawah perlekatan gigi terhadap pengaruh lingkungan rongga mulut. Epitel gingiva berisi lapisan epitel skuamosum statifikatum, dan tiga area berbeda digambarkan dari sudut pandang morfologis dan fungsional, yaitu epitel oral, epitel sulcular dan epitel junctional (Afandi, Syaify & Suryono, 2008). Epitel oral adalah jaringan lapisan permukaan mulut yang menempel pada gigi di dasar rongga mulut. Epitel sulcular adalah epitel nonkeratin pada gingival. Sedangkan epitel juctional adalah sel-sel nonkeratin lapisan tunggal atau ganda yang menempel pada permukaan gigi di dasar celah gingival (The American Academy of Periodontology, 2001).

Anatomi dan morfologi gingiva sehat adalah berwarna merah muda terang, mukosa alveolar memiliki warna merah tua yang dapat dibedakan dengan gingiva, warna gelap menunjukan adanya aliran darah yang kuat pada subepitel jaringan ikat di bawah epitel nonkeratin yang relatif tembus cahaya. Ketebalan keratin gingival bervariasi dari 1-9 mm3 (Oh, 2008). Tekstur permukaan gingiva sehat ditunjukkan seperti tekstur kulit jeruk, keratin pada epitel gingiva membuat tekstur menjadi kuat dan permukaan terlihat tidak mengkilap. Mukosa alveolar memiliki permukaan yang licin dan lembut (Zuhr & Hürzeler, 2012).

2.3 Sistem Penghantaran Obat Lokal

Penghantaran lokal ke jaringan rongga mulut digunakan dalam aplikasi pengobatan sakit gigi, penyakit periodontal, dan infeksi bakteri (Singh et al., 2011). Mekanisme aksi obat lokal dengan menempati ruang untuk mengontrol sistem pelepasan obat yang berdekatan di dalam jaringan atau organ yang sakit. Sediaan sistem penghantaran lokal dibagi menjadi 2 tipe. Tipe pertama, sistem penghantaran dibuat untuk mengantarkan senyawa lokal pada poket periodontal tanpa ada mekanisme untuk menahan level terapetik dan memperpanjang masa kerja obat. Tipe kedua, sistem pelepasan obat lokal terkontrol yang memberikan efek diperpanjang pada tempat aksi. Keuntungan sistem ini dapat mengontrol dan


(21)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memonitor level obat, tidak diserap sistem saluran pencernaan, tidak melewati metabolisme lintas pertama, memiliki ketersediaan lebih besar dan konsentrasi serum obat lebih cepat. Contoh aplikasi obat lokal seperti fiber menempel pada gusi, gel di masukkan ke dalam poket periodontal, microsphere yang dimasukkan ke dalam gusi dan film/patch yang diletakkan di atas gusi (Aviral et al., 2012).

2.4 Patch

Patch adalah sediaan berlapis terdiri dari lapisan backing impermeable, lapisan mengandung obat yang pelepasannya terkontrol dan permukaan bioadhesif untuk perlekatan mukosal. Patch dengan backing membran tidak terlarut, dibuat untuk mengatur arah pelepasan obat, mencegah obat hilang, mengurangi perubahan bentuk dan penghancuran selama pemakaian (Bhalodia et al., 2010). Patch harus nyaman digunakan, tidak menghalangi aktivitas sehari-hari, mudah digunakan dan dilepaskan, serta tidak mengiritasi lokal (Bhati & Nagrajan, 2012).

Tipe patch ada 2 jenis antara lain :

1. Tipe matrix : patch dibuat dalam bentuk matrix mengandung obat, adhesif dan pengawet dicampur bersama (Venkatalakshmi et al., 2012).

2. Tipe reservoir : patch dibuat dalam sistem reservoir yang mengandung rongga agar zat aktif dan pengawet terpisah dari lapisan adhesif (Venkatalakshmi et al., 2012).

Patch terdiri dari beberapa komponen antara lain :

1. Bahan aktif : obat yang mengalami first pass effect merupakan kandidat terbaik untuk sediaan patch. Berdasarkan literatur, zat aktif ditambahkan sebesar 5-25% w/w dari bobot total polimer kering. Agar formulasi efektif dosis obat kurang dari 20 mg/hari (R. Yogananda & Bulugondla, 2012).

2. Polimer : polimer mukoadhesif digunakan untuk menghantarkan zat aktif ke

tempat spesifik dan untuk mengoptimalkan penghantaran obat dikarenakan adanya kontak yang lebih lama (R. Yogananda & Bulugondla, 2012).

3. Backing membran : polimer yang digunakan sebagai backing harus memiliki

kelenturan yang baik dan permeasi air yang rendah. Fungsi utamanya adalah menyediakan aliran obat satu arah pada mukosa, mencegah obat terlarut


(22)

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam saliva atau tertelan. Bahan yang digunakan harus inert dan tidak dapat ditembus obat dan peningkat permeasi (Venkatalakshmi et al., 2012).

4. Plasticizer : komponen ini meningkatkan kekuatan tarik dan fleksibilitas pada film serta mengurangi kerapuhan. Konsentrasi polimer yang digunakan berkisar antara 0-20% w/w dari bobot polimer kering. Plasticizer dapat mencegah film pecah, mudah sobek, mengelupas dan memberikan efek pada laju absorpsi obat (R. Yogananda & Bulugondla, 2012).

5. Peningkat penetrasi : senyawa yang dapat meningkatkan laju permeasi pada membran mukosa. Bahan harus aman, tidak toksik, secara farmakologi dan secara kimia inert, tidak mengiritasi serta nonalergi (Verma, et al., 2011).

Berikut ini adalah beberapa metode dalam pembuatan patch mukoadhesif : a. Solvent casting : semua bahan ditimbang dan dicampur di dalam mortar. Selanjutnya ditambahkan perlahan ke sistem pelarut menggunakan magnetic stirrer yang mengandung plasticizer, lalu diaduk hingga memperoleh larutan jernih, dipindahkan ke cawan dan dikeringkan (Shrama & Bansal, 2012).

b. Hot melt extrusion : pertama obat dicampur dengan pembawa dalam bentuk

padat. Selanjutnya extruder yang mengandung pemanas digunakan untuk mencairkan campuran. Akhirnya campuran yang keluar dibentuk dengan die. Hot melt extrusion dapat digunakan untuk pembuatan patch karena keseragaman kandungan lebih baik (Shrama & Bansal, 2012).

c. Solid dipresion extrusion : pada metode ini digunakan untuk komponen yang

tidak dapat dicampur dengan obat. Selanjutnya dispersi padat dibentuk menjadi film oleh die (Shrama & Bansal, 2012).

d. Rolling method : dalam metode rolling larutan atau suspensi yang

mengandung obat digulung pada pembawa. Larutan utama air dan campuran air dan alkohol. Film dikeringkan di roller dan dipotong sesuai bentuk dan ukuran yang diinginkan (Shrama & Bansal, 2012).

e. Semisolid casting : pertama menyiapkan larutan untuk pembentuk polimer larut air lalu ditambahkan dengan larutan asam polimer tidak larut seperti selulosa asetat ptalat yang disiapkan dalam amoniak. Sejumlah plasticizer ditambahkan hingga menjadi gel dan akhirnya dicetak menjadi film menggunakan wadah pengontrol panas (Shrama & Bansal, 2012).


(23)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5 Mukoadhesi

Adhesi (pelekatan) didefinisikan sebagai keadaaan suatu permukaan yang berikatan bersama melalui daya antarmuka yang dapat terjadi akibat daya valensi atau aksi saling mengikat atau bahkan keduanya (Kumar et al., 2011). Longer dan Robinson mendefinisikan bioadhesi sebagai penempelan makromolekul sintetik atau alami pada mukus dan atau permukaan epitel. Secara umum istilah penempelan bahan polimerik pada permukaan biologis (bioadhesi) dan pada jaringan mukosal (mukoadhesif) (Bhalodia et al., 2010). Adhesi dapat terjadi pada suatu permukaan dengan ikatan tertentu antara lain adalah ikatan ionik, ikatan kovalen, ikatan hidrogen, ikatan van der walls, ikatan hidrofobik, jembatan disulfida, daya hidrasi, daya elektrostatik, dan daya sterik (Kumar et al., 2011).

Mekanisme mukoadhesi secara umum dibagi menjadi 2 tahap yaitu :

1. Tahap kontak memiliki karakteristik kontak antara bahan mukoadhesif

dengan membran mukus dengan penyebaran atau pengembangan pada formulasi yang selanjutnya menembus lapisan mukus (Singh, Govind, & Bothara, 2013).

2. Tahap konsolidasi (penggabungan) yaitu bahan mukoadhesif diaktifkan

dengan adanya kelembaban dengan sistem tersebut membiarkan molekul mukoadhesif bebas dan terhubung dengan adanya ikatan van der walls dan ikatan hidrogen di lapisan mukus (Singh, Govind, & Bothara, 2013).

[Sumber : Singh, Govind, & Bothara, 2013]

Gambar 2.1. Tahap-tahap mukoadhesi

Permukaan mukosal ditutupi dengan lapisan mukus dan mucin sebagai komponen utama glikoprotein dengan backbone peptida besar dan oligosakarida sebagai rantai samping. Protein backbone memiliki karakter sequence berulang


(24)

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang kaya dengan residu serin, treonin dan prolin. Oligosakarida diakhiri dengan asam sialik, asam sulfonik atau L-fruktosa sehingga mucin bermuatan negatif pada pH fisiologis (Bhalodia et al., 2010).

Terdapat berbagai teori mengenai adhesi (pelekatan) yang digunakan untuk menjelaskan proses mukoadhesif. Teori-teori tersebut antara lain :

1) Teori adsorpsi : setelah terjadi kontak antara dua permukaan, bahan akan melekat disebabkan adanya daya permukaan. Ada dua jenis ikatan kimia yang berperan. Ikatan pertama adalah ikatan kovalen yang tidak diinginkan dalam proses bioadhesi karena memiliki daya lekat yang kuat dan menghasilkan ikatan permanen. Ikatan yang kedua adalah ikatan kimia yang memiliki gaya tarik menarik berbeda, meliputi elektrostatik, van der walls, ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik (Kumar et al., 2011).

2) Teori difusi : adanya interpenetrasi antara polimer dan rantai mucin yang menembus ke dalam untuk membentuk ikatan adhesif semi-permanen. Daya adhesi meningkat dengan derajat penetrasi pada rantai polimer, laju penetrasi tergantung pada koefisien difusi, kelenturan dan rantai mukoadhesif alami, pergerakan dan waktu kontak (Singh, Govind, & Bothara, 2013).

3) Teori elektronik : transisi elektronik terjadi akibat adanya kontak permukaan perekat dan karena adanya perbedaan struktur elektronik. Pelekatan terjadi akibat gaya elektrostatik antara glikoprotein mucin dengan bahan bioadhesif. Transfer elektron terjadi antara dua buah pembentukan double layer dari muatan elektron pada permukaan (Kumar et al., 2011).

4) Teori mekanik : pelekatan muncul akibat saling mengikat suatu cairan pelekat ke bagian tidak teratur pada permukaan substrat. Difusi tersebut akan membentuk ikatan bersama pada struktur yang memberikan peningkatan pelekatan (Kumar et al., 2011).

5) Teori pembasahan : afinitas pada permukaan dapat menyebar ke seluruh permukaan. Afinitas ini ditentukan dengan pengukuran sudut kontak. Sudut kontak lebih rendah memiliki afinitas lebih besar. Secara umum sudut kontak harus sama dengan atau mendekati nilai 0 untuk memberikan penyebaran yang merata (Singh, Govind, & Bothara, 2013).


(25)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Polimer mukoadhesif ideal memiliki karakteristik seperti dibawah ini : a) Polimer dan produk hasil degradasi harus tidak toksik, tidak mengiritasi dan

tidak dapat diserap oleh sistem pencernaan

b) Harus memiliki kemampuan menyebar, pembasahan, pengembangan,

kelarutan dan biodegradasi yang baik

c) Harus memiliki ikatan kuat nonkovalen dengan permukaan mucin

d) Harus cepat menempel pada jaringan dan memiliki tempat spesifik serta menempel dengan kekuatan mekanik

e) Harus dapat bergabung dengan obat dan bahan tambahan lain

f) Polimer tidak terurai selama penyimpanan

g) Polimer harus mudah tersedia dan tidak mahal

h) Harus memiliki sifat bioadhesif di tempat kering atau basah

i) Harus memiliki bobot molekul optimum, gugus aktif adhesif dan mampu membentuk ikatan antar gugus

j) Tidak menimbulkan infeksi seperti karies gigi (Yadav et al., 2010).

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan mukoadhesi yaitu :

1. Polimer

a) Bobot molekul (BM) optimum untuk menghasilkan sifat bioadhesi

maksimum tergantung pada jenis polimer bioadhesif yang digunakan. Secara umum telah diketahui BM minimal yang diperlukan untuk menghasilkan sifat bioadhesif yang baik adalah polimer dengan BM 100.000. Sifat bioadhesif dapat meningkat dengan meningkatnya BM dari suatu polimer (Yadav et al., 2010).

b) Konsentrasi polimer terdapat konsentrasi optimum penggunaan polimer bioadhesif untuk menghasilkan sifat bioadhesi maksimal. Dalam sistem konsentrasi tinggi polimer yang melampaui batas optimal, kekuatan adhesinya berkurang secara signifikan karena molekul tergulung menjadi terpisah dari medium sehingga rantai untuk saling berpenetrasi menjadi terbatas (Yadav et al., 2010).

c) Fleksibilitas rantai polimer sangat diperlukan dalam proses saling berpenetrasi serta membentuk gulungan. Polimer yang larut air membentuk ikatan silang, gerakan dari masing-masing rantai polimer


(26)

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berkurang dan berpenetrasi kedalam lapisan mukus berkurang dan menurunkan kekuatan bioadhesif (Yadav et al., 2010).

d) Konformasi ruang dari polimer contoh dextran (BM 19.500.000) memiliki

kekuatan adhesif yang sama dengan polietilenglikol dengan BM 200.000. Konformasi heliks dari dextran dapat melindungi gugus aktif yang bertanggung jawab terhadap sifat adhesinya, tidak seperti dextran maka polietilenglikol memiliki konformasi linier (Yadav et al., 2010).

2. Faktor lingkungan

a) Lokasi pelekatan mempengaruhi kekuatan adhesi yang meningkat dengan

kekuatan saat aplikasi atau durasi aplikasi optimal. Tekanan awal pengaplikasian pada jaringan mukoadhesif efektif dalam menentukan kedalaman dari penetrasi. Jika tekanan tinggi diterapkan untuk jangka waktu lama, polimer dapat menjadi mukoadhesif walaupun polimer tidak memiliki interaksi tarik menarik dengan mukus (Yadav et al., 2010).

b) pH dapat mempengaruhi muatan di permukaan mukus, seperti yang telah

diketahui beberapa polimer bioadhesi terionisasi pada lapisan tersebut. Mukus akan memiliki perbedaan muatan tergantung pada pH karena adanya pemisahan dari gugus fungsi pada karbohidrat dan asam amino dari rantai polipeptida (Yadav et al., 2010).

c) Waktu kontak antara materi bioadhesi dan lapisan mukosa menentukan derajat pengembangan dan interpenetrasi dari rantai bioadhesif. Selain itu, kekuatan bioadhesi meningkat dengan peningkatan waktu kontak di awal penempelan (Yadav et al., 2010).

d) Derajat pengembangan, tergantung pada konsentrasi polimer, konsentrasi

ion serta keberadaan air (Yadav et al., 2010). 3. Perubahan fisiologis

a) Laju perubahan mucin merupakan faktor lain karena waktu tinggal sediaan

terbatas waktu mucin. Perubahan waktu mucin telah dihitung sekitar 47-270 menit pada tikus dan 12-24 jam pada manusia (Bhalodia et al., 2010). b) Fisikokimia mukus dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang diakibatkan

suatu penyakit seperti flu, tukak lambung, infeksi bakteri dan jamur di saluran reproduksi wanita (Bhalodia et al., 2010).


(27)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6 Natrium Diklofenak

[Sumber : Reynold, 1982]

Gambar 2.2. Struktur kimia natrium diklofenak

Natrium diklofenak merupakan golongan obat NSAID termasuk derivat fenil asetat, memiliki nama kimia sodium 2-[(2,6-diklorofenil)amino]fenil]asetat, dengan rumus molekul C14H10Cl2NNaO2 dan bobot molekul 318,1 (Sweetman,

2009). Serta memiliki titik lebur 280ºC (British Pharmacopoea, 2009). Natrium diklofenak praktis tidak berbau, berwarna putih kekuningan, berbentuk bubuk kristal atau serbuk yang sedikit higroskopis dan memiliki pK sekitar 4 (AHFS, 2002). Natrium diklofenak agak larut dalam air; larut dalam alkohol; praktis tidak larut dalam kloroform dan eter; bebas larut dalam metil alkohol. pH larutan 1% dalam air adalah antara 7,0-8,5. (Sweetman, 2009).

Natrium dikofenak secara luas digunakan untuk pengobatan gangguan musculoskeletal, arthritis, sakit gigi dan untuk meringankan gejala-gejala sakit dan inflamasi (Dey, et al., 2011). Bentuk senyawa aktif anti-inflamasi adalah bentuk garam natrium dan garam dietil ammonium yang mengiritasi lambung dan mengalami metabolisme lintas pertama sehingga hanya 50% obat yang mencapai sirkulasi sistemik bila diberikan peroral. Kadar terapetik 99% terikat protein plasma dengan waktu paruh 1-2 jam (Anggraeni, Hendradi & Purwanti, 2012).

Mekanisme kerja NSAID bekerja pada saraf perifer, memiliki aktivitas penghambat radang dengan cara menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas dari enzim siklo-oksigenase (Kartasasmita, 2002). Efek samping natrium diklofenak juga menyebabkan gangguan pencernaan seperti perut kembung, mual, muntah hingga perdarahan saluran cerna serius atau tukak lambung (Reddy, et al., 2010). Kerusakan ginjal dan hati dapat terjadi pada pasien yang mengkonsumsi diklofenak. Hepatotoksik penggunaan diklofenak dapat diketahui setelah pemberian selama 6 bulan (Sweetman, 2009).


(28)

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dosis lazim natrium diklofenak yang diberikan secara oral dan rektal sebesar 75 hingga 150 mg sehari. Jika diberikan secara intramuskular dosis lazimnya adalah 75 mg sehari atau 2 kali sehari. Larutan yang ditujukan untuk sediaan topikal mengandung 1,6% natrium diklofenak yang diaplikasikan 4 kali dalam sehari. Natrium diklofenak digunakan secara oral untuk menangani gejala nyeri akibat terkilir dan epicondylitis (inflamasi tendon). Dalam penanganan nyeri akibat terkilir, 1 plaster mengandung 1% natriun diklofenak dan diaplikasikan 1 kali dalam sehari selama 3 hari sedangkan untuk epicondylitis 1 plaster 2 kali dalam sehari selama 14 hari (Sweetman, 2009).

2.7 Sodium Carboxymethylcellulose

[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Gambar 2.3. Struktur kimia sodium carboxymethylcellulose

Sodium carboxymethylcellulose (SCMC) dengan nama lain aqualon CMC; carmellosum natricum; cellulose gum; cethylose; CMC sodium; SCMC; sodium carboxymethylcellulose; sodium cellulose glycolate. SCMC merupakan garam sodium dari policarboxymethil ether cellulose. SCMC memiliki bobot molekul 90.000-700.000 dan titik lebur sekitar 227-252ºC (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Polimer ini berasal dari alam namun semi-sintetik yang dibuat dari selulosa dengan alkali dan asam monokloroasetat atau garam sodium (Priya et al., 2013).

Pemerian SCMC adalah serbuk granul warna putih, tidak berbau dan tidak berasa serta higroskopis setelah pengeringan. Kelarutan SCMC adalah praktis tidak larut dalam aseton, etanol 95%, eter dan toluene. Mudah terdispersi di dalam air pada semua suhu, dan terbentuk larutan koloidal jernih. Viskositas larutan 1%


(29)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

w/v SCMC memiliki nilai 5-2000 mPa (5-2000 cP). Peningkatan konsentrasi menghasilkan peningkatan viskositas larutan. Pemanasan yang lama pada suhu tinggi dapat menurunkan viskositas. Larutan kental SCMC stabil pada pH 4-10. Nilai pH optimum adalah netral (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

Dalam formulasi tablet digunakan sebagai pengikat dan penghancur tablet dengan konsentrasi 1-6% w/w dan sebagai emulgator dengan konsentrasi 0,25-1% w/w. Konsentrasi 3-6% w/w digunakan sebagai pembentuk gel dan basis pasta, glikol sering ditambahkan ke dalam gel untuk mencegah pengeringan. SCMC digunakan sebagai perekat dalam perawatan luka dan mukoadhesif patch dermatologi untuk menyerap eksudat luka. Karakteristik mukoadhesif yang digunakan dalam produk dibuat untuk mencegah adhesi jaringan setelah pembedahan untuk melokalisasi dan modifikasi kinetika pelepasan dari obat pada membran mukus (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Polimer SCMC digunakan sebagai penghantar mukoadhesif karena kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan mucin pada lapisan mukosa (Garg et al., 2011). Polimer tersebut memiliki karakteristik adanya gugus fungsi karboksil yang memberikan muatan negatif (Singh, Govind, & Bothara, 2013). SCMC merupakan pembentuk film yang baik, tidak toksik dan memiliki kemampuan menampung sejumlah besar obat. Film oral dengan polimer SCMC dapat stabil ketika polimer dilarutkan dalam campuran air dan alkohol yang ditambahkan hingga mencapai batas tertentu, ketika campuran air dan alkohol berlebih atau alkohol murni digunakan polimer akan cepat mengendap (Nagar, Chauhan & Yasir, 2011).

SCMC merupakan bahan yang stabil walaupun higroskopis. Di bawah kondisi lembab dapat menyerap sejumlah besar (>50%) air. Secara umum viskositas dan stabilitas maksimum pada pH 7-9. Tidak cocok dengan xanthan gum , larutan asam kuat dan senyawa logam seperti aluminium, merkuri, dan zink. Pengendapan terjadi pH <2 dan ketika dicampur dengan etanol 95%. Membentuk kompleks dengan gelatin, pektin, dan kolagen (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Secara umum stabilitas garam monovalen sangat baik, garam divalent baik, garam trivalent dan garam metal berat buruk karena menghasilkan pengendapan. Larutan CMC memberikan toleransi air yang baik terhadap campuran pelarut. Kebanyakan larutan CMC tiksotropik dan beberapa pseudoplastik (Khairnar & Sayyad, 2010).


(30)

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.8 Poliuretan

[Sumber : Mark, 1999]

Gambar 2.4. Struktur kimia poliuretan

Poliuretan merupakan bahan polimer yang mengandung gugus fungsi uretan (-NHCOO-) di rantai utama. Poliuretan dapat disintesis dari berbagai bahan baku yang mengandung gugus hidroksil (OH) di antaranya polietilenglikol, fenol, karbonimida, dan residu gula. Bahan dasar direaksikan dengan isosianat antara lain tolulen diisosianat (TDI) dan metilendifenil diisosianat (MDI) (Marlina, 2011). Poliuretan termasuk kelas termoplastik elastomer yang penting dalam kedokteran sebagai alat intravaskular dan sebagai penghantaran obat terkontrol (Santos et al., 2008). Poliuretan banyak digunakan sebagai implan medis jangka panjang dan memiliki biokompaktibilitas yang baik (Priya et al., 2013).

Tegaderm adalah film transparan mengandung backing hipoallergenik, bebas latex yang menempel dengan baik, lembut dan aman bagi kulit. Bersifat breathable, dapat terjadi pertukaran gas dan penguapan lembab untuk menjaga fungsi normal kulit, dapat digunakan dalam waktu lama dengan resiko iritasi minimal dan bersifat waterproof sebagai penghalang dan pelindung dari kontaminasi eksternal seperti bakteri, darah dan cairan tubuh lain karena tidak menyerap air (3MTM, 2012). Menurut data Material Safety Data Sheet (MSDS) tegaderm 1624W diketahui bahan yang terkandung dalam tegaderm adalah pembatas film salut silikon (5-65%), polietilen selulosa (0-35%), polimer akrilat (5-25%), polimer poliuretan (5-15%), backing poliester (0-10%), backing rayon (0-10%) dan film polietilen (0-1%). Efek bagi kesehatan jika tertelan dalam saluran cerna dapat terjadi tanda-tanda seperti kejang, sakit perut dan konstipasi.

Menurut penelitian tentang iritasi dan sensitivitas kulit manusia diketahui bahwa film transdermal yang mengandung natrium dikofenak dengan kombinasi polimer polivinilalkohol (PVA), polivinil pirolidon (PVP) dan etilselulosa yang dilapisi oleh backing membran 3M (tegaderm) tidak terjadi eritema atau edema pada kulit manusia setelah aplikasi film selama 24 jam (Jadhav et al., 2009).


(31)

16 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1 Tempat Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 1 dan Laboratorium Penelitian 2 Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Laboratorium Multiguna dan Laboratorium Biologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.1.2 Waktu Penelitian

Proses penelitian ini berlangsung mulai dari Maret sampai Agustus 2013.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan adalah timbangan analitik (AND GH-120), oven (Eyela NDO-500), hot plate stirrer (Advantec SRS710HA), disintegration tester (Electrolab ED-2L), pH meter (Horiba F-52), pipet mikro (Wiggen hauser), mikrometer digital (Mitutoyo), Spektrofotometer UV-visible (Hitachi U-2910), mikroskop optik (Olympus IX 71), viskotester HAAKE 6R, franz diffusion cell, alat-alat gelas, spatula, corong, magnetic stirrer, cetakan film, desikator, pinset, kaca objek, gunting, cutter, pH indikator universal, spuit, vial, dan botol.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan adalah natrium diklofenak (PT. Indofarma), sodium

carboxymethylcellulose 50 cPs (BLANOSE® 7M1F), film tipis transparan

TegadermTM 1624 W (3M health Care), propilenglikol (PT. Brataco), gliserin (PT. Brataco), etanol 70% (PT. Brataco), silica blue (PT. Brataco), natrium hidroksida (Merck), potasium dihidrogen fosfat (Merck), aquadest, cyanoacrylate adhesive, kertas saring, mukosa gingiva sapi, tissue, aluminium foil dan plastik.


(32)

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pembuatan Patch Natrium Diklofenak

Patch yang akan dibuat terdiri dari 2 lapis. Lapisan pertama merupakan film yang mengandung polimer SCMC dan zat aktif disebut dengan film SCMC. Lapisan kedua adalah backing membran menggunakan film tipis tegaderm. Film SCMC yang permukaannya telah dilapisi tegaderm disebut dengan patch.

Melalui perhitungan, maka tiap 20 gram formula patch mengandung :

Tabel 3.1. Formula patch natrium diklofenak

Bahan Bobot (gram)

F1 F2 F3

Natrium diklofenak 0,02 0,02 0,02

SCMC 0,3 0,4 0,5

Gliserin 0,12 0,16 0,2

Propilenglikol 0,03 0,04 0,05

Aquadest 10 10 10

Etanol 70 % 9,53 9,38 9,23

1. Preparasi cairan pembentuk film (CPF)

SCMC ditimbang kemudian dilarutkan dalam 10 gram aquadest, lalu diaduk homogen. Dalam wadah terpisah natrium diklofenak dilarutkan dalam 5 gram etanol 70%, lalu ditambah propilenglikol dan diaduk homogen. Selanjutnya larutan zat aktif dicampurkan ke dalam larutan polimer dan diaduk dengan stirrer, kemudian ditambahkan gliserin dan dicukupkan massanya hingga 20 gram, sebelum dimasukkan ke cetakan CPF diuji viskositas, lalu didiamkan untuk menghilangkan gelembung (Rao & Patel, 2013 dengan modifikasi).

2. Preparasi patch

Tahap selanjutnya CPF dituang ke cetakan sebanyak 20 gram (jumlah ini berdasarkan proses optimasi menghasilkan ketebalan yang sesuai menurut pengamatan visual) lalu dikeringkan di dalam oven suhu 60ºC selama kurang lebih 24 jam. Setelah kering CPF berubah menjadi film yang dipisahkan dari cetakan. Sebagian film SCMC kemudian dilapisi dengan backing membran tegaderm sehingga menjadi patch, kemudian disimpan dalam wadah kedap udara yang berisi silika selama kurang lebih 7 hari (tercapai bobot yang konstan), setelah bobot konstan film SCMC dan patch dapat dievaluasi.


(33)

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.2 Pembuatan Larutan Dapar Fosfat pH 6,8

Pembuatan dilakukan dengan mencampur 250 ml KH2PO4 0,2 M dengan

112 ml NaOH 0,2 M kemudian dicukupkan dengan aquadest hingga 1000 ml.

3.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi

a. Pembuatan larutan standar natrium diklofenak

Ditimbang secara akurat 5 mg natrium diklofenak kemudian dilarutkan dalam 50 ml dapar fosfat pH 6,8 sehingga diperoleh larutan sebesar 100 µg/ml. Larutan tersebut diambil sebanyak 200, 400, 600, 800 dan 1000 µ l kemudian dicukupkan volumenya hingga 10 ml, sehingga dihasilkan larutan standar dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm.

b. Penentuan panjang gelombang maksimum (λ Max) dan kurva kalibrasi

Scanning panjang gelombang ditentukan dengan mengukur larutan standar menggunakan spektrofotometer UV-visible pada panjang gelombang 200-300 nm. Kurva kalibrasi dibuat dengan mengukur absorbansi dari masing-masing larutan standar pada λ Max 275,5 nm (sesuai hasil scanning sebelumnya).

3.3.4 Evaluasi Viskositas Cairan Pembentuk Film (CPF)

Pengujian dilakukan menggunakan viskotester HAAKE 6R terhadap setiap

CPF sesuai formula menggunakan spindel R2 pada kecepatan putar 100 rpm di suhu ruang (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dengan modifikasi secara triplo).

3.4 Evaluasi Patch

3.4.1 Evaluasi Fisik Film SCMC

3.4.1.1Organoleptis

Pengamatan mikroskopik film SCMC penampang bujur dan melintang serta makroskopik secara visual fisik film dan patch meliputi warna dan tekstur permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012 dengan modifikasi secara triplo).

3.4.1.2Keragaman Bobot

Pengujian dilakukan dengan cara menimbang 10 buah film SCMC secara acak dari setiap batch kemudian dihitung massa rata-ratanya dan simpangan bakunya (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 secara triplo).


(34)

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.1.3Keseragaman Kandungan

Pengujian dilakukan dengan menggunakan film ukuran 2 x 0,8 cm2 dari setiap formula kemudian dimasukkan ke dalam 100 ml campuran dapar fosfat pH 6,8 dan etanol 70% (1:1) diaduk dengan magnetic stirrer selama 24 jam. Larutan kemudian disaring dan dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-visible pada panjang gelombang 275,5 nm dengan menggunakan blangko film SCMC tanpa zat aktif (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dengan modifikasi secara triplo).

3.4.1.4Keragaman Ketebalan

Ketebalan film SCMC diukur dengan mikrometer digital di 3 titik pada masing-masing film, kemudian dihitung rata-rata ketebalannya dan dinyatakan dalam satuan mikrometer (µm) (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 secara triplo).

3.4.2 Evaluasi Akhir Patch

3.4.2.1Uji pH Permukaan

Diambil patch secara acak, lalu dimasukkan ke wadah yang berisi 0,5 ml aquades (pH 6) dalam suhu ruang, kemudian pH permukaan diukur menggunakan kertas indikator pH universal (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 secara triplo). 3.4.2.2Daya Tahan Lipatan

Pengujian dilakukan dengan cara melipat secara berulang satu patch pada tempat yang sama hingga patch patah atau dilipat hingga 300 kali secara manual. Jumlah lipatan yang dapat dilipat pada tempat yang sama tanpa patah memberikan nilai daya tahan lipatan (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 secara triplo).

3.4.2.3Uji Derajat Pengembangan

Pengujian dilakukan pada patch dengan ukuran 2 x 0,8 cm2 dari setiap formula, ditempatkan dalam cawan petri yang mengandung 25 ml dapar fosfat pH 6,8. Bobot patch ditimbang setiap 5 menit, lalu dikeringkan dengan tissue. Pengujian dilakukan hingga menit ke-30. Derajat pengembangan dihitung dengan persamaan : (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dengan modifikasi secara triplo).

Keterangan : w1 = bobot sebelum (gram) dan w2 = bobot setelah berkontak dengan larutan dapar fosfat pH 6,8 (gram)

Derajat Pengembangan (%) = (� −� )


(35)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.2.4Uji Waktu Tinggal

Uji waktu tinggal patch dilakukan menggunakan modifikasi disintegrator. Menggunakan 800 ml larutan dapar fosfat pH 6,8 yang dipertahankan suhunya pada 37ºC ± 0,2 sebagai larutan medium. Mukosa dari gusi sapi segar disiapkan dan direkatkan di atas permukaan kaca dengan bantuan perekat (cyanoacrylate adhesive). Sebelum patch diletakkan di atas mukosa gusi, lapisan mukosa terlebih dahulu dibasahi dengan 50 µ l larutan dapar fosfat pH 6,8 lalu patch diletakkan di atas permukaan mukosa dengan sedikit ditekan. Kaca tersebut dimasukkan ke dalam alat disintegrator, lalu diamati waktu yang diperlukan hingga patch terlepas dari permukaan mukosa gusi (Reddy et al., 2011 secara triplo).

3.4.2.5Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan franz tipe glass diffusion cell pada suhu 37ºC ± 0,2ºC. Mukosa gusi sapi segar diletakkan di antara kompartemen donor dan reseptor. Patch diletakkan dengan bagian lapisan film SCMC menghadap ke arah mukosa. Kompartemen reseptor diisi dengan larutan dapar fosfat pH 6,8 dan diaduk secara konstan. Pada interval menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300 dan 360 diambil 1 ml larutan dapar fosfat pH 6,8 dari kompartemen reseptor dan ditambahkan juga sejumlah larutan dapar fosfat pH 6,8 dengan volume yang sama. Kemudian larutan tersebut dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 275,5 nm (Koyi & Khan, 2013 secara duplo).

3.4.2.6Uji Kebocoran Backing Membran

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan franz tipe glass diffusion cell pada suhu 37 0C ± 0,2 0C. Patch diletakkan dengan bagian backing membran tegaderm menghadap ke arah reseptor. Kompartemen reseptor diisi dengan larutan dapar fosfat pH 6,8 dan diaduk secara konstan. Pada interval menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300 dan 360 diambil 1 ml larutan dapar fosfat pH 6,8 dari kompartemen reseptor dan ditambahkan juga sejumlah larutan dapar fosfat pH 6,8 dengan volume yang sama. Kemudian larutan tersebut dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 275,5 nm (pengujian dilakukan secara triplo).


(36)

21 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Formulasi Patch Mukoadhesif

Pada penelitian ini patch mukoadhesif dibuat menjadi 2 lapisan dengan menggunakan polimer hidrofilik yaitu polimer SCMC sebagai lapisan utama film SCMC yang mengandung zat aktif dan lapisan kedua yaitu film tipis transparan tegaderm sebagai backing membran yang impermeable untuk melindungi lapisan film SCMC agar zat aktif tidak berdifusi ke saliva. Zat aktif yang digunakan adalah natrium diklofenak dengan kadar pada setiap formula sebanyak 20 mg.

Lapisan film SCMC dibuat dalam 3 konsentrasi cairan pembentuk film berbeda menggunakan polimer SCMC sebanyak 1,5% (F1), 2% (F2) dan 2,5% (F3). Penggunaan gliserin dengan kadar 40% sebagai plasticizer didasarkan atas proses optimasi yang telah dilakukan sebelumnya dalam uji pendahuluan dengan film yang dihasilkan agak kaku, lentur, tidak lengket, dan lebih cepat kering. Sedangkan pemilihan propilenglikol 10% sebagai peningkat penetrasi didasarkan atas sifat propilenglikol yang termasuk kelas poliol memiliki mekanisme transport paraseluler dan memiliki mekanisme aksi dengan cara mengganggu susunan lipid interseluler (Dodla & Sellappan, 2013) sehingga diharapkan obat dapat cepat berpenetrasi ke dalam gingiva yang mengandung kreatinin.

Sediaan film dibuat dengan teknik solvent casting karena sederhana dan mudah. Penelitian dengan teknik ini juga telah dilakukan oleh J. Balasubramanian pada tahun 2012 dalam formulasi sediaan film bukal dengan zat aktif natrium diklofenak. Solvent casting adalah teknik pencetakan film yang setiap komponen dilarutkan dahulu dalam pelarutnya, kemudian dicampurkan dan dicetak pada suhu tertentu. Polimer SCMC mudah terdispersi di dalam air pada semua suhu dan terbentuk larutan koloidal jernih (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Polimer SCMC dapat larut dalam campuran larutan air dan alkohol hingga batas tertentu (Nagar, Chauhan & Yasir, 2011). Perbandingan jumlah air dan alkohol 70% yang digunakan dalam penelitian adalah 1:1 berdasarkan optimasi sebelumnya sehingga menghasilkan film yang baik. Film dibuat dengan mencampurkan larutan SCMC


(37)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dengan larutan natrium diklofenak yang telah ditambahkan propilenglikol dan gliserin, kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik. Setelah homogen larutan campuran didiamkan sekitar 30 menit untuk menghilangkan gelembung udara. Setelah gelembung udara hilang, kemudian dimasukkan ke dalam cetakan untuk proses pengeringan. Pembuatan film dibuat tiap batch sebanyak 20 gram untuk satu cetakan film, bobot 20 gram dipilih berdasarkan proses optimasi pengamatan visual sehingga menghasilkan bentuk film yang agak kaku, lentur, tidak rapuh dan cukup tipis agar nyaman bila digunakan pasien. Pengeringan dilakukan dalam oven suhu 60ºC selama 24 jam, pemilihan suhu berdasarkan optimasi. Setelah film kering kemudian dilapisi dengan backing membran tegaderm sehingga menjadi patch, lalu disimpan dalam wadah kedap udara yang berisi silika selama kurang lebih 7 hari (tercapai bobot yang konstan). Patch kemudian dipotong-potong dengan ukuran 2 x 0,8 cm2 dan dilakukan evaluasi karakteristik patch.

4.2 Organoleptis Cairan Pembentuk Film (CPF)

Pengamatan makroskopik CPF dilihat pada dua larutan yang berbeda yaitu larutan polimer SCMC yang dilarutkan di dalam air dan larutan zat aktif yang dilarutkan dalam alkohol, keduanya menghasilkan larutan jernih tanpa partikel melayang, namun ketika larutan zat aktif dicampurkan ke dalam larutan polimer menghasilkan larutan koloid jernih dengan adanya serat-serat sangat kecil. Adanya serat-serat sangat kecil dalam larutan koloid mungkin terjadi karena adanya peristiwa salting-out. Pengertian salting-out adalah peristiwa pengendapan zat terlarut disebabkan oleh penambahan sejumlah kecil garam ke dalam larutan sehingga terjadi gaya tarik-menarik antara ion garam yang sangat polar dengan molekul air. Selain itu alkohol dan aseton juga dapat mengurangi kelarutan koloid hidrofilik sehingga penambahan sedikit elektrolit bisa menyebabkan koagulasi (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1990). Mekanisme yang terjadi di dalam cairan pembentuk film karena adanya penambahan alkohol dan garam ke dalam larutan polimer sehingga terbentuk koagulasi akibat gaya tarik menarik antara ion natrium dengan molekul air dan terjadi dehidrasi pada SCMC menyebabkan salting-out berupa serat-serat halus. Adanya serat-serat halus polimer SCMC pada cairan pembentuk film terlihat jelas pada gambar 4.1. pengamatan mikroskopik.


(38)

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keterangan : a). Cairan pembentuk film SCMC konsentrasi 2% yang mengalami salting-out; b). Larutan polimer SCMC tanpa zat aktif yang sengaja dibuat salting-out sebagai gambar kontrol pembanding (perbesaran 100x)

Gambar 4.1. Gambar mikroskopik cairan pembentuk film SCMC

Peristiwa salting-out terjadi pada semua CPF dalam berbagai konsentrasi. Salah satu contoh gambar mikroskopik di atas menunjukkan bahwa CPF dengan konsentrasi 2% terlihat memiliki bentuk serat bukan bentuk jarum atau kristal, hal ini menunjukkan bahwa zat aktif tidak mengalami rekristalisasi dan terjadi salting-out pada polimer SCMC bukan pada kristal zat aktif. Gambar serat pada CPF terlihat memiliki bentuk yang sama seperti serat pada larutan polimer SCMC tanpa zat aktif yang sengaja dibuat salting-out sebagai kontrol pembanding.

4.3 Viskositas Cairan Pembentuk Film (CPF)

Uji viskositas cairan pembentuk film (CPF) menggunakan alat viskotester HAAKE 6R terhadap ketiga CPF dengan konsentrasi polimer SCMC sebanyak 1,5%, 2% dan 2,5% dalam larutan air dan alkohol (1:1) menggunakan spindel R2 dengan kecepatan 100 rpm. Dari data tabel 4.1. Diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi polimer SCMC yang digunakan maka nilai viskositas semakin besar. Larutan CPF dari ketiga formulasi tidak terlalu kental sehingga mudah untuk dituang ke dalam cetakan. Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa penggunaan larutan SCMC dengan konsentrasi di atas 3% menghasilkan pembentukan sistem gel kental yang tidak cocok dalam pembuatan film (Mortazavi & Aboofazeli, 2000).

Tabel 4.1. Viskositas cairan pembentuk film

Formula Viskositas (cPs)

F1 76

F2 126

F3 218

Serat halus Polimer SCMC


(39)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.4 Organoleptis Film SCMC dan Patch

Pengamatan makroskopik dilakukan pada film blanko dan film SCMC yang telah dibuat. Pada ketiga film blanko terlihat berwarna bening, dengan tekstur permukaan atas agak kasar dan dasar film rata, berbentuk tipis, agak kaku, tidak rapuh dan tidak berbau. Sedangkan ketiga film SCMC yang mengandung zat aktif berwarna keruh dengan tekstur permukaan atas agak kasar namun dasar film rata, kurang homogen, berbentuk tipis, agak kaku, tidak rapuh dan tidak berbau.

Keterangan : a). Film blanko sebelum dipotong; b). Film SCMC sebelum dipotong; c). Film SCMC sesudah dipotong berukuran 2 x 0,8 cm2 dengan keterangan konsentrasi 1,5% (atas), konsentrasi 2% (tengah), dan konsentrasi 2,5% (bawah)

Gambar 4.2. Gambar organoleptis film SCMC dan patch

Pengamatan mikroskopik permukaan membujur film dari setiap formula terlihat rapat, padat dan tidak berpori. Pada gambar mikroskopik film blanko tidak terdapat serat atau kristal. Sedangkan pada film SCMC yang mengandung zat aktif terlihat banyak serat-serat polimer SCMC namun tidak ditemukan kristal, hal ini membuktikan bahwa film tidak mengalami rekristalisasi selama pengeringan.

Keterangan : a). Film blanko tanpa zat aktif; b). Film SCMC dengan keterangan konsentrasi 1,5% (kiri), konsentrasi 2% (tengah), dan konsentrasi 2,5% (atas) (perbesaran 50x)

Gambar 4.3. Gambar mikroskopik permukaan membujur film

Serat halus polimer SCMC


(40)

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada penampang melintang film blanko tampak rata. Sedangkan pada film SCMC terlihat serat polimer SCMC berwarna gelap diselingi berwarna terang. Sedangkan pada patch bilayer dengan menggunakan backing membran tegaderm menunjukkan gambar terlihat jelas terdiri dari 2 lapisan yang menempel tanpa adanya pemisahan, karena adanya adhesivitas tegaderm, lapisan pertama di bagian atas adalah film SCMC dan lapisan kedua di bagian bawah merupakan tegaderm.

Keterangan : a). Film konsentrasi 1,5%; b). Film konsentrasi 2%; c). Film konsentrasi 2,5% dengan keterangan film blanko (kiri), film SCMC (tengah), dan patch bilayer menggunakan backing membran tegaderm (kanan) (perbesaran 100x)

Gambar 4.4. Gambar mikroskopik penampang melintang film

4.5 Karakteristik Fisikokimia Film SCMC

Karakteristik film SCMC dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil data diketahui bahwa film SCMC yang dihasilkan memiliki keragaman bobot dan ketebalan yang cukup seragam, hal ini dapat dilihat dari nilai simpangan baku yang kecil. Peningkatan jumlah polimer dalam setiap formula secara langsung dapat menyebabkan peningkatan bobot dan ketebalan dari film SCMC yang terbentuk.

Tabel 4.2. Karakteristik fisikokimia film SCMC

Formula Bobot (mg) Ketebalan (µm) Kadar (µg) Kadar (%)

F1 17,5 ± 1,4 62,9 ± 0,2 857,7 ± 6,9 4,9

F2 25,4 ± 1,7 84,9 ± 0,2 916,0 ± 5,8 3,6

F3 31,0 ± 2,1 117,0 ± 0,0 941,9 ± 5,6 3,0

Peningkatan nilai bobot sebanding dengan nilai ketebalan film SCMC. Hasil terkecil terdapat pada F1 dengan konsentrasi polimer 1,5%, sedangkan film SCMC terbesar pada F3 dengan konsentrasi polimer 2,5%. Hasil ini sesuai dengan

Lap. SCMC Lap. tegaderm

Lap. SCMC Lap. tegaderm

Lap. SCMC Lap. tegaderm


(41)

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

penelitian terdahulu diketahui bahwa peningkatan jumlah konsentrasi polimer SCMC pada patch bukal yang mengandung ropinirol menunjukkan adanya peningkatan bobot dan ketebalan dari film yang terbentuk (Rao & Patel, 2013).

Gambar 4.5. Hubungan keragaman bobot dan ketebalan dengan formula Hasil pengujian keseragaman kandungan zat aktif dalam tiap formula yang terkandung pada film F1, F2 dan F3 secara berturut-turut adalah 858 µg, 916, µg dan 942 µg dengan simpangan baku yang cukup kecil. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan campuran medium dapar fosfat pH 6,8 dengan etanol 70% (50:50). Pengujian ini dilakukan pada tiga titik yang berbeda dalam satu cetakan film. Sedangkan hasil perhitungan persen kadar natrium diklofenak dalam sediaan 1 patch berukuran 2 x 0,8 cm2 secara berturut-turut adalah 4,9%, 3,6% dan 3,0%. Hasil persen kadar sediaan patch memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan nilai konsentrasi natrium diklofenak untuk sediaan lokal berdasarkan literatur 1% (Sweetman, 2009) sehingga diharapkan dapat memberikan efek anti-inflamasi.

Gambar 4.6. Hubungan keseragaman kandungan dengan formula

4.6 pH Permukaan

pH permukaan patch diukur menggunakan pH indikator universal. pH permukaan dari setiap formula memilki pH netral yaitu 7. Dari hasil pengukuran ini diharapkan patch tidak menimbulkan iritasi pada mukosa gusi pH ini juga sesuai dengan pH saliva normal manusia yaitu pH 5,6-7 (Verma, et al., 2011).

0,0 50,0 100,0 150,0

F1 F2 F3

Ju

m

lah

Formula

Bobot (mg) Ketebalan (µm)

800 900 1000

F1 F2 F3

K

ad

ar

g)

Formula

Kandungan Zat Aktif (µg)


(42)

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.7 Daya Tahan Lipatan

Pengujian daya tahan lipatan patch ditentukan dengan cara melipat secara berulang satu patch pada tempat yang sama hingga patah atau dilipat hingga 300 kali secara manual. Hasil pengujian menunjukkan bahwa setiap formula memiliki daya tahan melipat lebih dari 300 kali pada tempat yang sama karena lapisan film SCMC yang agak lentur dan tidak kaku telah dilapisi dengan film tipis transparan tegaderm yang sangat lentur seperti karet namun tidak mudah sobek menyebaban film tahan terhadap lipatan tanpa terlihat kedua lapisan film terpisah atau sobek.

4.8 Waktu Tinggal

Pengujian waktu tinggal patch dilakukan dengan menggunakan modifikasi disintegrator. Waktu tinggal setiap formula menunjukkan hasil yang sama yaitu mampu menempel pada gusi sapi selama lebih dari 6 jam, namun pada jam ke-6 lebih 30 menit terlihat permukaan sampel 1 pada F1 tidak menempel seluruhnya karena terlihat lapisan melayang pada gusi sapi namun masih dapat bertahan hingga waktu pengujian berakhir, hal ini berbeda pada sampel F2 dan F3 yang memiliki jumlah polimer lebih banyak dapat menempel kuat pada membran gusi. Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu tentang patch bukal mengandung ropinirol menunjukkan bahwa jumlah konsentrasi polimer SCMC sebanyak 3% memiliki waktu tinggal lebih kecil yaitu 4,35±0,235 bila dibandingkan dengan konsentrasi polimer SCMC sebanyak 4% dengan waktu tinggal yaitu 4,90±0,255 (Rao & Patel, 2013). Pada penelitian lain diketahui bahwa peningkatan jumlah konsentrasi polimer sebanding dengan peningkatan kekuatan bioadhesi film sehingga waktu tinggal film menjadi lebih lama (Mortazavi & Aboofazeli, 2000).

Menurut literatur sediaan dengan ukuran 1-3 cm2 dengan dosis kurang lebih 25 mg/hari memiliki durasi maksimal menempel sekitar 4-6 jam (Puratchikody et al., 2011). Hasil karakteristik fisikokimia patch dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Karakteristik fisikokimia patch

Formula pH Permukaan Daya Tahan Lipatan Waktu Tinggal (jam)

F1 7 > 300 > 6

F2 7 > 300 > 6


(43)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.9 Derajat Pengembangan

Derajat pengembangan diukur dengan mengamati peningkatan bobot yang didiamkan dalam dapar fosfat pH 6,8 selama 30 menit dapat dilihat pada tabel 4.4. Peningkatan bobot patch menggambarkan jumlah air yang telah diserap atau peningkatan hidrasi yang terjadi. Derajat pengembangan polimer merupakan titik kritis dalam menentukan sifat bioadhesif dari polimer tersebut. Pelekatan (adhesi) terjadi dengan cepat ketika pengembangan polimer dimulai tetapi ikatan yang dibentuk bukan ikatan yang kuat (Abha, Sheeja & Bhagyashri, 2011).

Tabel 4.4. Derajat pengembangan dalam medium dapar fosfat pH 6,8

Waktu (menit)

Derajat Pengembangan (%)

F1 F2 F3

0 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0

5 220,8 ± 15,7 222,9 ± 4,1 283,8 ± 13,3

10 306,1 ± 5,7 311,6 ± 13,0 346,6 ± 26,5

15 231,6 ± 15,9 293,9 ± 13,2 317,4 ± 4,6

20 197,5 ± 22,3 239,3 ± 19,7 245,6 ± 11,4

25 148,6 ± 20,4 149,2 ± 8,9 212,7 ± 3,7

30 102,8 ± 13,3 113,2 ± 8,6 153,7 ± 17,8

Dari data diketahui bahwa derajat pengembangan patch setiap formula meningkat dengan sangat cepat pada menit ke-5 hingga mencapai puncak pada menit ke-10 terdapatnya nilai peningkatan bobot setelah perendaman dalam medium menyebabkan terjadinya absorpsi molekul air sehingga semakin lama waktu perendaman maka derajat pengembangan patch semakin meningkat.

Gambar 4.7. Hubungan derajat pengembangan terhadap waktu

0 50 100 150 200 250 300 350 400

0 5 10 15 20 25 30 35

D e r ajat P e n ge m b an gan (% )

Waktu Perendaman (menit)

F1 F2 F3


(44)

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa derajat pengembangan film SCMC yang mengandung flubiprofen diketahui memiliki hidrasi maksimum (92-98%) hanya dalam waktu singkat karena film SCMC mempunyai kapasitas penyerapan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan film HPMC (Mishra & Ramteke, 2011). Pada penelitian lain diketahui bahwa polimer hidrofilik seperti SCMC yang mengandung diltiazem HCl melarut sangat cepat karena adanya rongga volume kosong yang diduga diisi oleh difusi pelarut ke dalam film dengan demikian mempercepat pelarutan gel. Peningkatan derajat pengembangan yang luar biasa diketahui pada film SCMC (Chaudhary, 2012). Sedangkan pada menit ke-15 hingga menit 30 terjadi penurunan, karena patch perlahan-lahan mengalami erosi dan terdisolusi dalam medium. Polimer SCMC adalah polimer hidrofilik, yang memiliki kemampuan untuk mengembang dengan derajat yang tidak terbatas ketika berkontak dengan air dan dengan cepat akan mengalami disolusi (Yadav, et al., 2010). Derajat pengembangan tertinggi terdapat pada F3 yang mengandung polimer SCMC sebanyak 2,5% diikuti oleh F2 dan terendah pada F1. Derajat pengembangan patch sangat penting untuk memprediksikan pelepasan zat aktif. Pelepasan zat aktif lebih cepat terjadi bila polimer cepat terhidrasi dan mengalami pengembangan. Peningkatan jumlah polimer menyebabkan adanya peningkatan penyerapan air ke dalam matriks sehingga derajat pengembangan meningkat. Hasil ini sesuai dengan penelitian patch bukal ropinirol menunjukkan jumlah konsentrasi polimer SCMC sebanyak 3% memiliki derajat pengembangan yang lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi polimer SCMC sebanyak 4% (Rao & Patel, 2013). Pada penelitian lain diketahui patch bukal lornoxicam dengan polimer SCMC memiliki nilai pelepasan zat aktif yang tinggi karena memiliki viskositas rendah dibandingkan dengan HEC, HPC, HPMC atau kitosan, karena itu viskositas dapat berhubungan dengan kekuatan dan daya tahan lapisan gel, sehingga zat aktif dapat berdifusi dengan mudah dari patch (Habib, et al., 2010).

4.10 Kemampuan Difusi Zat Aktif

Pengujian kemampuan difusi zat aktif menggunakan franz diffusion cell. Persentase kumulatif difusi melalui membran gusi sapi dengan luas area difusi sebesar 2 cm2 dan dengan volume kompartemen reseptor sebanyak 22,5 ml.


(45)

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.5. Persentase dan jumlah kumulatif difusi zat aktif

Waktu (menit)

Persentase Kumulatif Difusi Zat Aktif (%) Jumlah Kumulatif Difusi Zat Aktif (µg)

F1 F2 F3 F1 F2 F3

0 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00

15 14,4 ± 1,3 19,0 ± 1,7 19,3 ± 1,4 124 ± 0,01 174 ± 0,02 182 ± 0,01

30 16,5 ± 0,2 21,9 ± 1,3 23,5 ± 0,9 142 ± 0,00 201 ± 0,01 221 ± 0,01

45 18,2 ± 1,6 24,2 ± 0,9 25,3 ± 0,7 156 ± 0,01 222 ± 0,01 239 ± 0,01

60 24,4 ± 1,2 26,5 ± 0,9 27,8 ± 1,0 209 ± 0,01 243 ± 0,01 262 ± 0,01

90 27,0 ± 2,0 27,9 ± 5,7 30,4 ± 0,8 232 ± 0,02 256 ± 0,05 287 ± 0,01

120 29,7 ± 2,8 30,5 ± 5,3 32,3 ± 0,8 255 ± 0,02 280 ± 0,05 304 ± 0,01

180 32,7 ± 3,5 34,0 ± 5,5 35,5 ± 0,8 280 ± 0,03 312 ± 0,05 334 ± 0,01

240 33,2 ± 3,1 36,7 ± 2,3 36,6 ± 0,8 285 ± 0,03 336 ± 0,02 345 ± 0,01

300 35,4 ± 4,2 38,3 ± 1,9 43,4 ± 0,8 304 ± 0,04 351 ± 0,02 409 ± 0,01

360 37,4 ± 4,4 40,3 ± 1,5 44,7 ± 3,0 321 ± 0,04 370 ± 0,01 421 ± 0,03

Dari tabel 4.5. Hasil kemampuan difusi zat aktif di atas diketahui bahwa persentase dan jumlah kumulatif difusi zat aktif melalui membran gusi sapi memiliki hasil yang sama dengan nilai tertinggi dihasilkan oleh formula F3 dengan konsentrasi larutan polimer sebanyak 2,5% yang diikuti oleh F2 dan nilai terendah dihasilkan oleh formula F1 dengan konsentrasi larutan polimer 1,5%.

Semakin tinggi jumlah konsentrasi larutan polimer yang digunakan dalam pembuatan patch maka semakin besar difusi zat aktif melalui membran karena larutan dengan viskositas yang tinggi memiliki daya mengembang yang besar dan kapasitas air yang terserap menjadi lebih besar sehingga mampu melepaskan zat aktif lebih banyak. Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu tentang patch bukal yang mengandung ropinirol menunjukkan jumlah konsentrasi polimer yang lebih banyak dan semakin lamanya waktu yang digunakan maka kadar difusi zat aktif melalui membran akan meningkat. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa patch dengan polimer SCMC sebanyak 3% memiliki kemampuan difusi zat aktif setelah 8 jam sebesar 83,67±0,923, sedangkan patch dengan polimer SCMC sebanyak 4% memiliki kemampuan difusi setelah 8 jam sebesar 85,52±0,945. Penambahan peningkat penetrasi dapat membantu obat lebih cepat berdifusi ke dalam mukosa gusi (Rao & Patel, 2013).


(1)

Lampiran 13. Data Waktu Tinggal

Formula Waktu Tinggal (menit)

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 A1

1 + + + + + + + + + + + + -

2 + + + + + + + + + + + + +

3 + + + + + + + + + + + + +

A2

1 + + + + + + + + + + + + +

2 + + + + + + + + + + + + +

3 + + + + + + + + + + + + +

A3

1 + + + + + + + + + + + + +

2 + + + + + + + + + + + + +

3 + + + + + + + + + + + + +

Lampiran 14. Data Derajat Pengembangan

Derajat Pengembangan (%)

Waktu (menit) Bobot

F1 F2 F3

1 2 3

Rata-rata SB 1 2 3

Rata-rata SB 1 2 3

Rata-rata SB

0

W0 22,7 23,7 22,9 23,1 0,5 27,5 28,0 29,7 28,4 1,2 35,1 36,0 36,6 35,9 0,8

W1 22,7 23,7 22,9 23,1 0,5 27,5 28,0 29,7 28,4 1,2 35,1 36,0 36,6 35,9 0,8

%

∆W 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5

W0 22,7 21,7 22,9 22,4 0,6 29,5 28,0 29,7 29,1 0,9 35,1 37,0 36,6 36,2 1,0

W1 74,5 65,7 75,9 72,0 5,5 95,0 89,4 97,2 93,9 4,0 130,2 147,1 140,1 139,1 8,5

%

∆W 228,2 202,8 231,4 220,8 15,7 222,0 219,3 227,3 222,9 4,1 270,9 297,6 282,8 283,8 13,3 10

W0 22,0 23,4 22,4 22,6 0,7 27,9 29,2 28,4 28,5 0,7 38,5 36,0 35,7 36,7 1,5

W1 88,3 96,5 90,6 91,8 4,2 110,7 122,8 118,6 117,4 6,1 160,2 167,1 164,1 163,8 3,5

%

∆W 301,4 312,4 304,5 306,1 5,7 296,8 320,5 317,6 311,6 13,0 316,1 364,2 359,7 346,6 26,5 15

W0 24,2 23,6 22,5 23,4 0,9 29,2 27,6 28,3 28,4 0,8 35,0 38,0 37,2 36,7 1,6

W1 83,6 79,1 70,7 77,8 6,5 119,2 105,5 110,7 111,8 6,9 147,6 158,8 153,5 153,3 5,6

%

∆W 245,5 235,2 214,2 231,6 15,9 308,2 282,2 291,2 293,9 13,2 321,7 317,9 312,6 317,4 4,6 20

W0 24,3 23,1 24,5 24,0 0,8 27,8 28,4 29,4 28,5 0,8 36,2 35,4 34,4 35,3 0,9

W1 69,3 65,6 79,2 71,4 7,0 89,6 95,1 106,1 96,9 8,4 128,5 123,5 114,5 122,2 7,1

%

∆W 185,2 184,0 223,3 197,5 22,3 222,3 234,9 260,9 239,3 19,7 255,0 248,9 232,8 245,6 11,4 25

W0 25,0 24,5 23,3 24,3 0,9 29,2 29,5 28,9 29,2 0,3 35,2 34,2 37,8 35,7 1,9

W1 68,0 57,5 55,7 60,4 6,6 75,4 73,4 69,5 72,8 3,0 110,3 108,1 116,7 111,7 4,5

%

∆W 172,0 134,7 139,1 148,6 20,4 158,2 148,8 140,5 149,2 8,9 213,4 216,1 208,7 212,7 3,7 30

W0 25,8 25,0 23,5 24,8 1,2 27,9 28,7 26,5 27,7 1,1 34,0 33,2 35,8 34,3 1,3

W1 55,7 50,8 44,5 50,3 5,6 59,8 63,5 54,1 59,1 4,7 85,4 78,8 97,6 87,3 9,5

%


(2)

Lampiran 15. Data Kumulatif Persentase Difusi Zat Aktif Waktu

(menit)

Persentase Kumulatif Difusi Zat Aktif (%)

F1 F2 F3

1 2

Rata-rata SB 1 2

Rata-rata SB 1 2

Rata-rata SB

0 00,0 00,0 00,0 0,0 00,00 00,00 00,0 0,0 00,00 00,0 00,0 00,0 15 13,5 15,4 14,4 1,3 17,77 20,16 19,0 1,7 20,29 18,3 19,3 13,5 30 16,7 16,4 16,5 0,2 20,95 22,76 21,9 1,3 22,85 24,09 23,5 16,7 45 17,0 19,3 18,2 1,6 23,55 24,76 24,2 0,9 24,83 25,79 25,3 17,0 60 23,6 25,2 24,4 1,2 25,89 27,14 26,5 0,9 27,17 28,52 27,8 23,6 90 25,6 28,4 27,0 2,0 23,85 31,97 27,9 5,7 29,91 30,98 30,4 25,6 120 27,7 31,7 29,7 2,8 26,80 34,24 30,5 5,3 31,73 32,84 32,3 27,7 180 30,2 35,1 32,7 3,5 30,17 37,92 34,0 5,5 34,9 36,06 35,5 30,2 240 31,0 35,3 33,2 3,1 35,02 38,29 36,7 2,3 37,17 36,05 36,6 31,0 300 32,5 38,4 35,4 4,2 36,96 39,64 38,3 1,9 42,8 43,95 43,4 32,5 360 34,3 40,5 37,4 4,4 39,27 41,34 40,3 1,5 42,65 46,83 44,7 34,3 Lampiran 16. Data Kumulatif Jumlah Difusi Zat Aktif

Waktu (menit)

Jumlah Kumulatif Difusi Zat Aktif (µg)

F1 F2 F3

1 2

Rata-rata SB 1 2

Rata-rata SB 1 2

Rata-rata SB

0 0 0 0 0,00 0 0 0 0,00 0 0 0 0,00

15 116 132 124 0,01 163 185 174 0,02 191 172 182 0,01 30 143 141 142 0,00 192 209 201 0,01 215 227 221 0,01 45 146 165 156 0,01 216 227 222 0,01 234 243 239 0,01 60 202 216 209 0,01 237 249 243 0,01 256 268 262 0,01 90 220 243 232 0,02 218 293 256 0,05 281 292 287 0,01 120 238 272 255 0,02 245 314 280 0,05 299 309 304 0,01 180 259 301 280 0,03 276 347 312 0,05 328 339 334 0,01 240 266 303 285 0,03 321 351 336 0,02 350 339 345 0,01 300 278 329 304 0,04 339 363 351 0,02 403 414 409 0,01 360 294 347 321 0,04 360 379 369 0,01 401 441 421 0,03 Lampiran 17. Data Kumulatif Kebocoran Backing Membran

Waktu (menit)

Kumulatif Kebocoran Backing Membran (%)

Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rata-Rata SB

0 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

15 0,262 0,198 0,006 0,155 0,133

30 0,385 0,307 0,072 0,255 0,163

45 0,587 0,494 0,151 0,411 0,230

60 0,753 0,710 0,310 0,591 0,244

90 0,999 1,083 0,688 0,923 0,208

120 1,400 1,386 0,884 1,223 0,294

180 1,733 1,782 1,414 1,643 0,200

240 2,030 2,158 1,711 1,966 0,230

300 2,219 2,454 1,958 2,210 0,248


(3)

% difusi = � � � ( )

� � � � � � �� ( ) x 100%

Faktor koreksi t0 = C0 x

Volum yang diambil (ml )

� � ( )

Difusi = X0 x Volume (L) x Faktor Pengenceran

Lampiran 18. Contoh Perhitungan Persentase Difusi Sampel 1 pada F1 Diketahui : Y0 = 0,000

Y15 = 0,043

Y30 = 0,050

y = 0,0059 + 0,036 x

Ditanya : C0 = ? % difusi zat aktif pada t0 = ?

C15 = ? % difusi zat aktif pada t15 = ?

C30 = ? % difusi zat aktif pada t30 = ?

a. Mencari nilai x pada menit ke-0 y = 0,0059 + 0,036 x 0,000 = 0,0059 + 0,036 x C0 = 0,000 ppm

b. Mencari nilai x pada menit ke-15 y = 0,0059 + 0,036 x 0,043 = 0,0059 + 0,036 x C15 = 1,031 ppm

c. Mencari nilai x pada menit ke-30 y = 0,0059 + 0,036 x 0,050 = 0,0059 + 0,036 x C30 = 1,225 ppm

d. Zat aktif yang terdifusi pada menit ke 0

Difusi = 0,000 ( ) x 0,0225 (L) x 5 = 0 mg

% difusi = 0

0,857 x 100% = 0 % e. Zat aktif yang terdifusi pada menit ke 15


(4)

Difusi = (X15 + FK0) x Volume (L) x Faktor Pengenceran

% difusi = � � � ( )

� � � � � � �� ( ) x 100%

Difusi = (X30 + FK0 + FK15) x Volume (L) x Faktor Pengenceran

% difusi = � � � ( )

� � � � � � �� ( ) x 100%

Faktor koreksi = 0,000 x 1 (ml ) 22,5 ( ) Faktor koreksi = 0,000

Difusi = (1,031 ( ) + 0,000) x 0,0225 (L) x 5 = 0,116 mg

% difusi = 0,116

0,857 x 100% = 13,53 % f. Zat aktif yang terdifusi pada menit ke-30

Faktor koreksi t15 = C15 x

Volum yang diambil (ml )

� � ( )

Faktor koreksi = 1,031 x 1 (ml ) 22,5 ( ) Faktor koreksi = 0,046

Difusi = (1,225 ( ) + 0,000 + 0,046) x 0,0225 (L) x 5 = 0,143 mg

% difusi = 0,143

0,857 x 100% = 16,68 %

Lampiran 19. Contoh Perhitungan Fluks Difusi pada F1 Jam Ke-6 Diketahui : M = 321 µg

t = 6 jam s = 2 cm2 Ditanya : J = ? Jawab :

J = � J = 321

2 6


(5)

(6)