Peranan Perancangan Dan Analisa Kontrak Dalam KUHP Perdata

(1)

PERANAN PERANCANGAN DAN ANALISA KONTRAK DALAM KUHP PERDATA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dalam Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

BORRY N S SIMARMATA NIM. 070200141

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERANAN PERANCANGAN DAN ANALISA KONTRAK DALAM KUHP PERDATA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dalam Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

BORRY N S SIMARMATA NIM. 070200141

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr.Hasim Purba, S.H.,M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Sinta Uli, S.H.,M.Hum Azwar Mahyuzar, S.H NIP. 195506261986012001 NIP. 1951123119850310006


(3)

Abstraksi

Suatu hubungan manusia dengan manusia lainnya tidak terjadi satu kali, namun hubungan tersebut akan berlangsung selamanya hingga manusia tersebut mati.Adakalanya hubungan tersebut membawa keuntungan tersendiri bagi mereka yang melakukannya maupun orang lain. Hubungan bisnis salah satu hubungan yang mempunyai tujuan dan hasil yang ingin dicapai oleh para pihak.Dan kehadiran akan kontrak diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan yang dapat melindungi kepentingan para pihak yang saling mengikatkan diri dalam suatu kontrak guna tujuan kontrak tersebut dibuat. Sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kontrak yang mewakili seluruh kepentingan dan tujuan para pihak terhadap suatu kontrak, maka hal tersebut dapat dicapai dari suatu kematangan para pihak dalam merancang suatu kontrak dan menganalisa kontrak yang telah ada.

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normative dengan mengumpulkan data secara studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yaiut buku-buku, perundang-undangan dan artikel melalui media internet dengan cara membaca, menafsirkan serta membandingkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perancangan dan analisa kontrak dalam KUH Perdata.

Perancangan dan analisa kontrak merupakan persoalan tentang kepentingan hukum para pihak yang melakukan kesepakatan sehingga sangatlah diperlukan guna mencapai tujuan kesepakatan tersebut. Setiap kontrak mempunyai resiko yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan para pihak apabila suatu kontrak tidak disusun sesuai dengan kententuan dan tidak dilakukan analisa kontrak, karena nantinya akan mengikat para pihak di dalam perjanjian.

Merancang kontrak memang tidak gampang, apalagi yang didraft itu kontrak yang bersifat komersil. Dan ada juga yang mengatakan bahwa bahasa kontrak itu sangat khas, berbelit-belit dan berulang ulang. Semuanya itu ada benarnya akan tetapi bukan berarti semua itu sama sekali tidak mungkin dilakukan. Dalam melakukan perancangan kontrak dan analisa kontrak dalam bisnis, secara teoritik harus memahami asas-asas, prinsip-prinsip dan sumber hukum dari kontrak menurut hukum posistif Indonesia seperti KUHPerdata dan perundangan-undangan yang berkaitan dengan substansi kontrak.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyanyang, karena atas segala berkat dan kasih-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menemukan banyak rintangan dan hambatan, namun dengan usaha yang maksimal sesuai dengan kemampuan penulis dan dukungan bantuan dari berbagai pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikannya. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H.,M.H.,DFM, selaku Pembantu Dekan-II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan-III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr.Hasim Purba, S.H.,M.Hum selaku Ketua Bidang Studi Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Sinta Uli, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing-I penulis, yang juga telah banyak memberikan wawasan, koreksi, dorongan dan motivasi kepada penulis sejak awal penyusunan skripsi sampai pada penulisan skripsi.


(5)

7. Bapak Azwar Mahyuzar, S.H selaku Dosen Pembimbing-II penulis, yang juga telah banyak memberikan wawasan, koreksi, dorongan dan motivasi kepada penulis sejak awal penyusunan skripsi sampai pada penulisan skripsi. 8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum selaku Dosen Penasehat

Akademik penulis.

9. Dan seluruh staf dosen Fakultas Hukum Unniversitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan seatu persatu oleh penulis yang telah mendidik penulis sejak memulai perkuliahan pada tahun 2007.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan sebesar-besarnya secara khusus kepada kedua orangtua penulis, B. Simarmata dan T br. Nainggolan yang penulis sangat sayangi dan banggakan dengan kesabaran dan pengertian yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi S1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Juga tidak lupa kepada adik-adik penulis Jurgan Simarmata, Wimelda Simarmata, dan Jenny Simarmata yang memberikan dorongan walaupun terkadang menggangu penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman penulis selama menjalani perkulihan Alekson Saragih S.H, Bardixcon Tamba S.H, Tigor Sinambela S.H, Andar Panjaitan S.H, Yulistriani Simbolon S.H, Diandes Siahaan S.H, yang telah lulus lebih dulu meraih gelar sarjana dan Andi Sitorus, Putra Manalu, serta teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara umum dan Stambuk 2007 secara khusus yang tidak dapat disebutkan penulis satu per satu.


(6)

Semoga berkat dan karunia-Nya selalu menyertai kita semua dan semoga sukses dalam setiap pencapaian yang kita inginkan.

Medan, September 2011

Hormat Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 12

B. Subjek Perjanjian ... 17

C. Asas-asas Hukum Perjanjian ... 17

D. Pihak-pihak dalam Perjanjian ... 21

E. Prestasi,Wanprestasi dan Akibat-akibatnya ... 22

F. Berakhirnya Suatu Perjanjian ... 27

BAB III PERANCANGAN DAN ANALISA DALAM KONTRAK A. Pengertian Kontrak ... 29

B. Jenis-jenis kontrak ... 30

C. Perancangan dan Analisa Kontrak ... 34


(8)

BAB IV PERANAN PERANCANGAN DAN ANALISA KONTRAK DALAM KUH PERDATA

A. Pengaturan Perancangan dan Analisa Kontrak

dalam KUH Perdata... 43 B. Manfaat Bagi Para Pihak Melakukan Perancangan

dan Analisa Kontrak ... 46 C. Teknik dalam Merancang Kontrak ... 50

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 65


(9)

Abstraksi

Suatu hubungan manusia dengan manusia lainnya tidak terjadi satu kali, namun hubungan tersebut akan berlangsung selamanya hingga manusia tersebut mati.Adakalanya hubungan tersebut membawa keuntungan tersendiri bagi mereka yang melakukannya maupun orang lain. Hubungan bisnis salah satu hubungan yang mempunyai tujuan dan hasil yang ingin dicapai oleh para pihak.Dan kehadiran akan kontrak diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan yang dapat melindungi kepentingan para pihak yang saling mengikatkan diri dalam suatu kontrak guna tujuan kontrak tersebut dibuat. Sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kontrak yang mewakili seluruh kepentingan dan tujuan para pihak terhadap suatu kontrak, maka hal tersebut dapat dicapai dari suatu kematangan para pihak dalam merancang suatu kontrak dan menganalisa kontrak yang telah ada.

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normative dengan mengumpulkan data secara studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yaiut buku-buku, perundang-undangan dan artikel melalui media internet dengan cara membaca, menafsirkan serta membandingkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perancangan dan analisa kontrak dalam KUH Perdata.

Perancangan dan analisa kontrak merupakan persoalan tentang kepentingan hukum para pihak yang melakukan kesepakatan sehingga sangatlah diperlukan guna mencapai tujuan kesepakatan tersebut. Setiap kontrak mempunyai resiko yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan para pihak apabila suatu kontrak tidak disusun sesuai dengan kententuan dan tidak dilakukan analisa kontrak, karena nantinya akan mengikat para pihak di dalam perjanjian.

Merancang kontrak memang tidak gampang, apalagi yang didraft itu kontrak yang bersifat komersil. Dan ada juga yang mengatakan bahwa bahasa kontrak itu sangat khas, berbelit-belit dan berulang ulang. Semuanya itu ada benarnya akan tetapi bukan berarti semua itu sama sekali tidak mungkin dilakukan. Dalam melakukan perancangan kontrak dan analisa kontrak dalam bisnis, secara teoritik harus memahami asas-asas, prinsip-prinsip dan sumber hukum dari kontrak menurut hukum posistif Indonesia seperti KUHPerdata dan perundangan-undangan yang berkaitan dengan substansi kontrak.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era reformasi di Indonesia merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang dimulai dari tahun 1998 karena pemerintahan yang ada tidak menjalankan fungsinya dengan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama dalam bidang hukum dan ekonomi yang merupakan dua sub sistem dari suatu sistem sosial yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan kedua subsistem sosial tersebut tampak dari segi hukum dengan masyarakat. Dalam hal pendekatan hukum tidak hanya dipandang sebagai perangkat norma-norma yang bersifat otonom, tetapi juga sebagai institusi sosial yang secara nyata berkaitan erat dengan berbagai segi kehidupan sosial di masyarakat.

Hukum merupakan alat pengendalian social. Dalam kontek ini hukum menampakkan dirinya sebagai fenomena sosial bersifat independent variable dan dependent variable. Hukum dalam wujudnya sebagai independent variable, berarti hukum merupakan alat pengendalian social untuk menciptakan stabilitas masyarakat, dan sekaligus untuk mengadakan pembaharuan ekonomi kearah yang dikehendaki. Sedangkan sebagai dependent variable, hukum terbentuk berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti faktor ekonomi yang kemudian memberikan pola–pola tersendiri terhadap sistem hukum. Dengan demikian terlihat jelas adanya hubungan timbal balik antara hukum dan ekonomi.1

Namun dalam perkembangan ekonomi maupun institusi perekonomian Indonesia tidak diikuti dengan pembangunan hukum yang mendukung dan mengatur perekonomian secara memadai. Salah satu hukum yang mengatur

1

Abdulrahman, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung 1979, hal.52.


(11)

bidang kehidupan masyarakat banyak berkaitan dengan ekonomi yaitu hukum kontrak. Hukum kontrak merupakan bidang hukum yang tercakup dalam hukum bisnis, dimana hukum bisnis merupakan perluasan dari hukum perdata.2

Sejak kemerdekaan Indonesia Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) dinyatakan masih tetap berlaku sebelum dibuatnya peraturan yang baru berdasarkan UUD 1945. Menurut Padmo Wahyono, sebagaimana dikutip oleh Moh.Mahfud. MD, masih berlakunya produk hukum peninggalan zaman kolonial itu memang ditolerir berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945, dimana hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum terhadap pengaturannya di masyarakat.

Khususnya dalam hal perjanjian yang masih diatur dalam Buku III KUHPerdata yang menganut sistem terbuka (open system), dimana para pihak bebas mengadakan kontrak dengan siapa pun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis.

Sebab di Indonesia sampai sekarang ketentuan-ketentuan tentang hukum kontrak masih diatur dalam aturan-aturan hukum lama, yang di tempat asalnya sendiri, yaitu di Negeri Belanda hukum tersebut telah dilakukan perubahan-perubahan. Hukum kontrak atau hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia pada saat ini adalah Hukum Kontrak sebagaimana yang dimuat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). KUH Perdata tersebut berasal dari Burgerlijk Wetboek (BW) yang mulai berlaku di Negeri Belanda pada tahun 1838. Berdasarkan azas konkordansi yang diberlakukan di Hindia Belanda pada tahun 1848.

3

2

Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008, hal.219.

3

Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Indonesia, PT.Pustaka LP3S, Jakarta 1998, hal.10. Dan sampai saat ini KUH Perdata masih tetap berlaku di Indonesia, terutama Buku III yang mengatur tentang perjanjian yang didalamnya mengatur tentang berkontrak, yang telah berusia lebih dari 160 tahun sampai sekarang.


(12)

Dalam praktek, bentuk-bentuk kontrak yang digunakan Indonesia telah mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, sehingga baik dari azas, prinsip, kaidah maupun peraturan tentang kontrak di dalam Buku III KUH Perdata dirasakan tidak memadai atau tidak cocok lagi menampung perubahan dan perkembangan tersebut.

Kontrak-kontrak yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti jual beli, tukar nenukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perjanjian untung-untungan, dan perdamain. Diluar KUH Perdata, kini berkembang berbagai kontrak baru, seperti leasing, beli sewa, franchise, joint venture dan lain-lain. Walaupun kontrak-kontrak itu telah hidup dan berkembang di dalam masyarakat, namun peraturan yang berbentuk undang-undang belum ada. Oleh karena tidak adanya kepastian hukum tentang kontrak tersebut maka akan meninmbulkan persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi para pihak yang mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya satu pihak sering membuat kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya akan menerima kontrak tersebut karena kondisi sosial ekonomi mereka yang lemah. Untuk itu diperlukannya adanya undang-undang tentang kontrak yang bersifat nasional, yang menggantikan peraturan yang lama. Dimana undang-undang tersebut dapat memenuhi hak dan kewajiban para pihak di dalam melakukan suatu kontrak perjanjian.

Selain daripada itu kemampuan dalam menyusun dan merancang kontrak adalah syarat yang harus dipunyai dalam suatu proses negosiasi guna mencapai tujuan yang didalam prakteknya terdapat posisi tawar menawar (bargaining


(13)

position). Dalam hal inilah letak kelemahan itu terjadi dimana para pihak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam suatu kontrak perjanjian yang mau tidak mau terpaksa harus menerima persyaratan yang ditawarkan oleh pihak sebaliknya.

Oleh Munir Fuady, bahwa siapa yang mendraft suatu kontrak, maka 75% dia sudah memenangi pertandingan.4

Persoalan untuk menyusun suatu draft kontrak perjanjian dengan melakukan perancangan dan analisa merupakan suatu hal yang sering diabaikan oleh para pihak dalam melakukan suatu perjanjian. Kebiasaan untuk mengabaikan hal-hal yang sifatnya teknis seperti perancangan dan analisa terhadap kontrak perjanjian dikarenakan pemikiran para pihak yang hanya semata-mata kepada bentuk pekerjaan yang akan di hadapi atau hasil dari pekerjaan yang akan diperoleh dalam kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Dan biasanya akan baru menyadari perlunya perancangan dan analisa kontrak apabila telah dihadapkan dengan persoalan hukum yang berasal dari kontrak perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis sangat tertarik untuk menuangkan hasil pikiran dalam skripsi yang berjudul :

“ PERANAN PERANCANGAN DAN ANALISA KONTRAK DALAM KUH PERDATA ”

4

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku ke Dua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 1999,. hal.4.


(14)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah sebelumnya, maka rumusan permasalahan yang penulis dapat kemukakan, adalah :

1. Bagaimana pengaturan tentang perancangan dan analisa kontrak di dalam KUH Perdata ?

2. Apa saja manfaat yang diterima para pihak dalam melakukan perancangan dan analisa suatu kontrak ?

3. Bagaimana teknik merancang suatu kontrak yang baik dan benar ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dan manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui pengaturan merancang dan menganalisa suatu kontrak yang akan dibuat atau telah disepakati oleh para pihak, manfaat dari merancang dan menganalisa kontrak serta, cara merancang dan menganalisa suatu bentuk kontrak yang akan atau telah disepakati oleh para pihak di dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam KUH Perdata.


(15)

D. Keaslian Penulisan

Untuk membuktikan keaslian penulisan skripsi ini, penulis melakukan pemeriksaan judul skripsi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi ini belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi yang telah dibuat sebelumnya , maka hal itu menjadi tanggung jawab penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kontrak atau perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kontrak (contracts) dalam bahasa Inggris ; overeenkomst dalam bahasa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian.5 Hal tersebut juga didukung dengan tegas bagaimana kontrak dipersamakan dengan perjanjian pada judul Buku III title Kedua tentang “perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian’’. Sedangkan Subekti mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kontrak dan perjanjian.6

5

Abdul, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, Jakarta: Kencana,2005, hal 41.

6

I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Jakarta: Kesaint Blanc, 2004, hal 12

Subekti berpendapat bahwa kontrak mempunyai arti yang lebih sempit daripada perjanjian karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis. Tampak bahwa yang dimaksudkan dengan kata kontrak adalah perjanjian tertulis, dan bahkan lebih menjurus kepada pembuatan suatu akta.


(16)

Perjanjian atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada pihak lain untuk memperoleh prestasi.7

Dalam kamus hukum, kontrak disebutkan adalah perjanjian secara tertulis antara dua pihak dalam perdagangan, sewa menyewa dan sebagainya. Dalam pendefinisian yang sama kontrak adalah persetujuan yang bersanksi hukum antara dua atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan-kegiatan perikatan.8

Sedangkan menurut I.G.Ray Wijaya, mengutip pengertian kontrak dalam Black’s Law Dictionary sebagai sutu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.

9

Dalam praktek sehari-hari, istilah kontrak memberikan beberapa kesan atau konotasi antara lain, (1) kontrak hanya mengatur perjanjian tertulis; (2) kontrak adalah hukum yang mengatur perjanjian-perjanjian bisnis semata; (3) kontrak juga sering diartikan sebagai perjanjian-perjanjian internasional atau perjanjian-perjanjian dengan perusahaan internasional, multinasional; (4) Hukum kontrak semata-mata hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian yang prestasinya dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Kontrak adalah peristiwa

“Contract: An agreement between to or more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar thing”. Its essentials are competent parties, subject matter, a legal consideration, mutuality of agreement, and mutuality of obligartion. Berdasarkan pengertian yang ada, dapat dikatakan bahwa antara perjanjian dan kontrak mempunyai arti yang kurang lebih sama, juga menurut Black’s Law Dictionary, dikatakan bahwa agreement juga mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada kontrak. Semua kontrak adalah agreement, tetapi tidak semua agreement merupakan kontrak.

7

Yahya Harahap, Berbagai Bentuk Perjanjian, Jakarta: Surya Bakti, 2008, hal 43.

8

Sudarsono, Kamus Hukum, PT.Rineka Cipta Jakarta 1992, Hal. 228.

9


(17)

dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis 10

10

Abdul R. Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan;

Teori dan Contoh Kkasus, Kencana, Jakarta 2005, Hal.41.

.

Pemahaman tentang hukum kontrak haruslah dapat dikuasai, karena dalam pembuatan kontrak kepentingan para pihak akan diakomodir dalam suatu perjanjian yang jelas mempunyai tujuan dan beresiko dikemudian hari.

Penyusunan kontrak merupakan persoalan tentang perancangan dan analisa terhadap kepentingan hukum para pihak yang melakukan kesepakatan sehingga sangatlah diperlukan guna mencapai tujuan kesepakatan tersebut. Setiap kontrak mempunyai resiko yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan para pihak dan apabila suatu kontrak tidak disusun sesuai dengan kententuan dan tidak dilakukan analisa kontrak maka dapat menimbulkan kerugian karena nantinya akan mengikat para pihak di dalam perjanjian tersebut.

Dalam melakukan perancangan kontrak-kontrak dalam bisnis, secara teoritik harus memahami asas-asas, prinsip-prinsip dan sumber hukum dari kontrak menurut hukum posistif Indonesia seperti KUHPerdata dan perundangan-undangan yang berkaitan dengan substansi kontrak.

Dalam prakteknya perancangan suatu kontrak haruslah memahami teknik merancang format dan substansi kontrak. Dalam merancang suatu kontrak membutuhkan penguasaan dan kemahiran/ skill yang meliputi : kemahiran menulis dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar serta kemahiran merancang struktur suatu kontrak.


(18)

Disinilah dibutuhkan penguasaan pengetahuan teoritik hukum kontrak dan aspek bisnis dari jenis transaksi yang bersangkutan termasuk misalnya aspek-aspek manajerial, finansial dan perpajakan.

Terhadap perancangan dan analisa kontrak mempunyai peranan dalam menyusun suatu kontrak . Peranan disebut juga manfaat dari posisi dan tujuan yang melakukan perancangan dan analisa. Perancangan (contract drafter) adalah suatu bentuk kegiatan melakukan persiapan pembuatan, penyusunan kontrak yang dimulai dari pengumpulan bahan-bahan hukum, penafsiran dan menuangkan keinginan para pihak dalam kontrak. Analisa atau penelaahan, kajian, interprestasi, penafsiran terhadap suatu rancangan dengan melakukan pembedahan rancangan kontrak dengan melihat apakah terpenuhinya syarat-syarat sahnya kontrak, penerapan azas-azas hukum, ketentuan perundang-undangan yang terkait, keinginan dan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan perjanjian dalam kontrak.

Dan sebelum kontrak ditandatangani untuk disetujui oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, ada suatu langkah yang mesti dilakukan, yaitu menganalisa kontrak.

Dalam hal melakukan suatu analisa terhadap kontrak dapat dilakukan dalam dua posisi yang berbeda yakni ketika dalam posisi melakukan perancangan kontrak (contract drafter) dan pada ketika posisi dalam pihak yang menerima hasil rancangan kontrak dari pihak yang melakukan contract drafter atau yang membuat rancangan kontrak.


(19)

Skripsi ini adalah suatu kesatuan pemikiran yang terdiri dari bab-bab dan sub-bab yang mengacu kepada suatu pemahaman bahwa perancangan dan analisa mempunyai peranan dalam terciptanya suatu kontrak yang baik dan benar bagi para pihak serta teknik penyusunan bentuk kontrak yang memenuhi seluruh persyaratan agar sah dan berlaku secara hukum.

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggunjawabkan, penulis menggunakan Metode Penelitian Hukum Normatif dengan mengumpulkan data secara studi kepustakaan (library research). Penulis melakukan penelitian kepustakaan (library research) dimana penelitian hukum dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder belaka.

Metode library research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Sumber-sumber itu yaitu buku-buku, perundang-undangan dan media internet dengan cara membaca, menafsirkan serta membandingkan bahan-bahan yang berkaitan dengan peranan perancangan dan analisa kontrak dalam KUH Perdata.

G. Sistematika Penulisan

Dalam rangka menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab dengan bab yang lain yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :


(20)

BAB I : Menjelaskan secara umum mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan tinjauan umum tentang perjanjian, subjek perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, pihak-pihak dalam perjanjian, prestasi, wanprestasi serta akibat-akibatnya dan kapan berakhirnya suatu perjanjian.

BAB III : Merupakan pembahasan tentang kontrak serta jenis-jenisnya. Kegiatan yang dilakukan dalam merancang dan menganalisa suatu kontrak serta teori-teori yang ada dalam hukum kontrak

BAB IV : Merupakan pembahasan tentang peranan perancangan dan analisa kontrak di dalam KHU Perdata. Memaparkan tentang pengaturan perancangan dan analisa kontrak dalam KUH Perdata, manfaat bagi para pihak yang melakukan perancangan dan analisis kontrak serta syarat-syarat dalam membuat suatu kontrak yang baik dan benar.

BAB V : Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pembuatan kontrak di Indonesia.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan overeenkomst. Dalam menerjemahkan kedua istilah tersebut dalam bahasa Indonesia, terdapat perbedaan antar para sarjana hukum Indonesia.11

a. R. Subekti

Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana. Adapun pendapat para sarjana tersebut adalah:

Memberikan pengertian perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.12

b. Abdul Kadir Muhammad

Memberikan pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan.13 Yang mana perikatan terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan; dalam bidang hukum keluarga; dalam bidang hukum pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.

11

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986, hal 3.

12

Subekti , Hukum Perjanjian , PT Intermasa , Jakarta 1985 , hal 1

13


(22)

c. R. M. Sudikno Mertokusumo

Memberikan pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.14

a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak, dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Perjanjian/persetujuan batasannya diatur dalam Pasal 1313 KUH perdata yang berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas sehingga banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan tersebut antara lain :

Di sini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata mengikatkan merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan saling mengikatkan diri. Jadi nampak adanya konsensus/ kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

14

RM. Sudikno Mertokusumo , Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Liberty , Yogyakarta 1988 , hal 97.


(23)

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan.

Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan : 1. melaksanakan tugas tanpa kuasa.

2. perbuatan melawan hukum.

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/ perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah hukum.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Untuk pengertian perjanjian di sini dapat diartikan juga pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin. Sedangkan yang dimaksudkan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Di mana hubungan antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal.

d. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan pasal tersebut tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa.

Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Sehingga apa yang


(24)

dimaksud dengan perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka akan timbul suatu hubungan hukum di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya, begitu pula sebaliknya. Hubungan hukum yang demikian ini disebut dengan perikatan. Dengan demikian perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan, atau dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Berdasarkan Pasal 1233 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan dan perjanjian diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Dari perumusan perjanjian tersebut dapat disimpulkan unsur perjanjian sebagai berikut:

1. Adanya pihak-pihak.

Pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian ini disebut sebagai subyek perjanjian. Subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga badan hukum. Subyek perjanjian harus mampu atau memiliki wewenang dalam melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang. Subyek hukum dapat dalam kedudukan pasif atau sebagai debitur atau dalam kedudukan yang aktif atau sebagai kreditur.

2. Adanya persetujuan antara pihak-pihak.

Persetujuan di sini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap berunding. Perundingan itu sendiri adalah merupakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan.


(25)

3. Adanya tujuan yang akan dicapai.

Tujuan mengadakan perjanjian terutama guna memenuhi kebutuhan pihak-pihak dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain.

4. Adanya prestasi yang akan dilangsungkan.

Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu kewajiban untuk melaksanakannya.

5. Adanya bentuk tertentu.

Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu maka perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sebagai bukti.

6. Adanya syarat tertentu.

Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui adanya hak dan kewajiban dari pihak-pihak. Dan semua unsur tersebut dapat dihubungkan dengan ketentuan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) yang kemudian dapat disimpulkan:

a. Syarat adanya persetujuan kehendak di antara pihak-pihak dapat meliputi unsur-unsur persetujuan, syarat-syarat tertentu dan bentuk-bentuk tertentu. b. Syarat kecakapan pihak-pihak meliputi unsur-unsur dari pihak-pihak yang

ada dalam perjanjian.

c. Adanya hal tertentu sebagai pokok perjanjian, sebagai obyek perjanjian, baik berupa benda maupun jasa, serta obyek dapat berwujud dan tak berwujud.


(26)

d. Adanya kausa yang halal, yang mendasari perjanjian itu sendiri meliputi unsur tujuan yang akan dicapai.

B. Subyek Perjanjian

Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1315, Pasal 1317, Pasal 1318, Pasal 1340. Yang dimaksud dengan subyek perjanjian ialah pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. KUH Perdata membedakan dalam tiga golongan untuk berlakunya perjanjian yaitu :

1. Perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian. 2. Perjanjian berlaku bagi ahli waris dan mereka yang mendapat hak. 3. Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga.

C. Asas-asas Hukum Perjanjian

Asas hukum itu umumnya tidak berwujud peraturan hukum yang konkrit, tetapi merupakan latar belakang dalam pembentukan hukum positif. Oleh karena itu maka asas hukum tersebut bersifat umum atau abstrak.

Menurut R.M. Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.15

15


(27)

Adapun asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:16

a. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme ini berkaitan erat dengan saat lahirnya suatu perjanjian. Menurut asas ini, suatu perjanjian lahir seketika saat telah tercapainya suatu kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai unsur-unsur pokoknya.

Berkaitan dengan hal ini, R. Subekti berpendapat :17

b. Asas Kepercayaan

Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya consensus.

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

c. Asas Kekuatan Mengikat

Demikian seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang

16

Mariam Darus Badrulzaman , Perjanjian Kredit Bank , PT Citra Aditya , Bandung 1991 , hal 42.

17


(28)

diperjanjikan dan jiga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan dan kebiasaan akan mengikat para pihak.

d. Asas Persamaan Hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain, masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

e. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu, asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan baik, dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

f. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwaarneming di mana seseorang yang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.


(29)

g. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

h. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUH Perdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti.

i. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian adalah :

1. adanya kesepakatan antara para pihak yang akan mengadakan perjanjian 2. harus dilakukan oleh orang yang cakap secara hukum

3. harus mempunyai obyek tertentu 4. dan karena suatu sebab yang halal.

Syarat yang pertama dan kedua tersebut berkaitan dengan subyek perjanjian, dan kemudian disebut syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat berkaitan dengan obyek perjanjian dan kemudian disebut syarat obyektif.

Suatu perjanjian yang tidak terpenuhi syarat-syarat subyektifnya maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, ini berarti bahwa selama tidak ada pembatalan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut terus berlaku.


(30)

Sedangkan jika tidak terpenuhinya syarat-syarat obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Jadi menurut R. Subekti, syarat pertama adalah kesepakatan antara para pihak, kesepakatan berarti persesuaian kehendak yang dinyatakan.18

D. Pihak-pihak dalam Perjanjian

Pihak-pihak disini adalah siapa-siapa yang terlibat di dalam perjanjian. Berdasarkan Pasal 1315 KUH Perdata jo.Pasal 1340 KUH Perdata, pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian.

Pasal 1315 KUH Perdata menyatakan, pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Namun dalam Pasal 1340 KUH Perdata pada pokoknya menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang mengadakannya.

Terhadap asas kepribadian tersebut dalam pengecualiannya yakni, apa yang disebut dengan janji untuk pihak ketiga. Pasal 1317 KUH Perdata menyatakan sebagai berikut :

“Lagipula diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada seorang lain memuat satu janji yang seperti itu’’.

18


(31)

Menurut R. Setiawan, yang dimaksud dengan janji untuk pihak ketiga adalah janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan di mana ditentukan bahwa pihak ketiga akan memperoleh hak atas suatu prestasi.19

E. Prestasi, Wanprestasi, dan Akibat-akibatnya

Berdasarkan Pasal 1317 KUH Perdata, maka timbulnya hak bagi pihak ketiga terhadap prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga itu menyatakan kesediaannya menerima prestasi tersebut.

Pasal 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUH Perdata menyebutkan : “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.

Dari Pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberikan sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya.

Istilah memberikan sesuatu sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUH Perdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu :

1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.

19


(32)

2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.

Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah melakukan sesuatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Hal inilah yang disebut dengan wanprestasi.

Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Menurut R. Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi.20

Tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan debitur dapat dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.

20


(33)

waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.

Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi.Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan soaring debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.

Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, perkataan ‘wanprestasi’ berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.

Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa empat macam:21

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan,

2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, 3. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Tentang wanprestasi, terdapat pendapat lain mengenai syarat-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:22

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi.

2. Debitur salah berprestasi, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya.

21

Subekti, Loc. Cit.

22


(34)

3. Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini banyak kasus yang dapat menyamakan bahwa terlambat berprestasi dengan tidak berprestasi sama sekali.

Berdasarkan dengan akibat wanprestasi tersebut, Abdul Kadir Muhammad berpendapat :23

1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).

Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sabagai berikut :

2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu pihak memberikan hak kepada pihak linnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).

3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 (2) KUH Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

4. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. 5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan

perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.

Dari beberapa akibat wanprestasi tersebut, kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan sebagai berikut :

1. Meminta pelaksanaan perjanjian walaupun pelaksanaannya sudah terlambat.

2. Meminta penggantian kerugian. Menurut Pasal 1243 KUH Perdata, ganti rugi ini dapat berupa biaya (konsten), rugi (schaden), atau bunga (interessen).

3. Meminta kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan, bila perlu disertai dengan penggantian kerugian (Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata).

Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimna ditentukan dalam Pasal 1267 KUH Perdata tersebut, maka timbul persoalan apakah perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah

23


(35)

harus dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut bersifat declaratoir ataukah bersifat constitutive.

R. Subekti mengemukakan bahwa “menurut pendapat yang paling banyak dianut, bakannya kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan hakim itu bersifat constitutive dan bukannya declanatoir.24

H. Hari Saherodji berpendapat bahwa overmacht merupakan suatu keadaan memaksa atau suatu keadaan/ kejadian yang tidak dapat diduga-duga terjadinya, sehingga menghalangi seseorang debitur untuk melakukan prestasi sebelum ia lalai/ alpa, dan keadaan mana tidak dapat dipersalahkan kepadanya

Tidak terpenuhinya prestasi itu kadangkala disebabkan karena adanya suatu peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya oleh para pihak, sehingga hal tersebut mengakibatkan debitur tidak dapat memenuhi prestasinya. Dalam hal yang demikian, maka timbul persoalan yang dinamakan overmacht dan resiko.

25

24

Subekti , Op.Cit, hal 148.

25

H. Hari Saherodji, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Aksara Baru, Jakarta 1980, hal 103 Overmacht dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu overmacht yang bersifat mutlak (absolute) dan overmacht yang bersifat relatif. Pada overmacht yang bersifat absolut, debitur sama sekali tidak lagi diharapkan untuk memenuhi prestasi, sedangkan pada overmacht yang relatif, debitur masih mungkin memenuhi prestasi tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar, baik pengorbanan yang bersifat materiil maupun bersifat moril.


(36)

Sedangkan overmacht bersifat tetap bila debitur tidak dapat memenuhi prestasi atau kalaupun debitur masih mungkin dapat memenuhinya tetapi pemenuhannya tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur. Dikatakan bersifat overmacht bersifat sementara bila overmacht tersebut hanya mengakibatkan tertundanya pemenuhan prestasi untuk sementara waktu dan pemenuhannya dikemudian hari kelak masih mempunyai arti sebagaimana mestinya bagi kreditur.

Terjadinya overmacht mengakibatkan adanya resiko, yang dimaksud resiko, menurut R. Subekti adalah:26

F. Berakhirnya Suatu Perjanjian

“Perkataan resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada sesuatu di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa kepada benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.”

Resiko dalam hal ini dibedakan antara resiko pada perjanjian sepihak dan resiko pada perjanjian timbal balik. Pembedaan ini mempunyai arti penting manakala terjadi overmacht. Pada perjanjian sepihak, resiko diatur dalam Pasal 1237 (1) KUH Perdata, yang menentukan bahwa dalam perikatan untuk memberikan sesuatu kebendaan tertentu, maka kebendaan itu menjadi tanggungan si berpiutang semenjak perikatan itu dilahirkan.

Suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian itu telah dicapai, dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi yang diperlukan sebagaimna yang mereka kehendaki bersama-sama dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, suatu perjanjian dapat juga berakhir karena hal-hal sebagai berikut ;

26


(37)

1. Lama waktu perjanjian yang ditentukan para pihak telah terlewati.

2. Batas maksimal berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang-undang.

3. Ditentukan di dalam perjanjian oleh para pihak atau oleh undang-undang, bahwa dengan terjadinya suatu peristiwa tertentu, maka perjanjian akan berakhir.

4. Dengan pernyataan penghentian oleh salah satu pihak (opzegging).

Misalnya perjanjian sewa-menyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian. Pernyataan penghentian ini harus dengan memperhatikan tenggang waktu pengakhiran menurut kebiasaankebiasaan setempat.

5. Karena putusan hakim.


(38)

BAB III

PERANCANGAN DAN ANALISA DALAM KONTRAK

A. Pengertian Kontrak

Mengenai ketentuan tentang kontrak telah diatur di dalam Buku III KUH Perdata yang berkaitan dengan Perikatan. Perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian. Dalam Buku III juga diatur tentang hubungan hukum yang sama sekali sekali tidak bersumber kepada suatu persetujuan atau perjanjian. Pada umumnya Buku III mengatur tentang perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Istlah Hukum Perikatan, terdiri dari dua golongan besar, yaitu, hukum perikatan yang berasal dari undang-undang dan hukum perikatan yang berasal dari perjanjian.

Menurut Subekti perikatan berisi hukum perjanjian, perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.27

Istilah Perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda, atau contract dalam bahasa Inggris.28

27

Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intrmasa Cetakan ke-XXXII, Jakarta, 2005. hal. 122

28

Munir Fuady, Op.Cit. hal. 2.

Hukum perikatan dalam Buku ke-III KUHPerdata mencakup semua bentuk perikatan dan juga termasuk ikatan hukum yang berasal dari perjanjian, maka istilah hukum perjanjian hanya sebagai pengaturan tentang ikatan hukum yang terbit dari perjanjian saja.


(39)

Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract, sementara dalam bahasa Belanda disebut dengan, overeenkomst yang diterjemahkan dengan istilah perjanjian sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1313 KUHPerdata. Sedangkan istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sudah lama ada dan bukanlah merupakan istilah yang asing, seperti istilah kontrak kerja, buruh kontrak, atau juga istilah kebebasan berkontrak. Kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan atau menghilangkan hubungan hukum.

Perbedaan pengertian antara kontrak dengan perjanjian dapat dilihat dari bentuk dibuatnya suatu perjanjian, dimana tidak semua perjanjian dibuat secara tertulis, karena perjanjian dapat berupa lisan maupun tulisan, sehingga perjanjian yang dibuat secara tertulis disebut kontrak. Kontrak dalam pelaksanaan selalu dibuat dalam keadaan tertulis, dan harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dan syarat-sayarat sahnya perjanjian juga berlaku dalam membuatan kontrak.

B. Jenis-jenis Kontrak

Para ahli di bidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak. Masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada ahli yang mengkajinya dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya.


(40)

Berikut ini jenis-jenis kontrak berdasarkan pembagian di atas.

1. Kontrak menurut Sumbernya

Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang didasarkan tempat kontrak itu ditemukan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, dikutip oleh Salim HS menggolongkan kontrak tersebut menjadi 5 macam, yaitu:29

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti perkawinan

b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, seperti peralihan hak milik atas benda

c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban

d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara atau yang disebut dengan bewijsovereenkomst

e. Perjanjianyang bersumber dari hukum publik yang disebut dengan publieckrechtelijkeovereemkomst.

2. Kontrak menurut Namanya

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantun di dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama).

3. Kontrak menurut Bentuknya

Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak, namun apbila kita melaah berbagai ketentuan yang tercantum di dalam KUH Perdata, maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi 2 macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis.

29

Salim HS, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Mataram, 2002, hal 32.


(41)

Kontrak lisan yaitu kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau dengan kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan adanya konsensus itu, maka perjanjian itu telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Dimana perjanjian konsensual terjadi apabila ada kesepakatan antara para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.

Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Kontrak ini dapat juga dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta notaris. Akta dibawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris.

4. Kontrak Timbal Balik

Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian-perjanjian, dimana kedua belah pihak timbul hak dan kewajiban-kewajiban pokok. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak.

Kontrak timbal balik tidak sempurna senantiasa timbul suatu kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu.

Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu timbul kewajiban-kewajiban hanya bagi satu dari para pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya perbedaan disini adalah dalam rangka pembubaran perjanjian.


(42)

5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani

Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian yang disitu menurut hukumnya hanya timbul keuntungan bagi salah satu pihak, contohnya; seperti hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum ada saling hubungannya.

6. Perjanjian berdasarkan Sifatnya

Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.

Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, dimana ditimbulkan hak kebendaan diubah, dilenyapkan, hal demekian untuk memenuhi perikatan. Contohnya perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak.

Disamping itu dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia.


(43)

7. Perjanjian dari Aspek Larangannya

Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat seperti yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999.

C. Perancangan dan Analisa Kontrak

Pemahaman tentang hukum kontrak haruslah dapat dikuasai, karena dalam pembuatan kontrak kepentingan para pihak akan diakomodir dalam suatu perjanjian yang jelas mempunyai tujuan dan resiko yang tidak diinginkan dapat timbul dikemudian hari.

Penyusunan kontrak merupakan persoalan tentang perancangan dan analisa terhadap kepentingan hukum para pihak yang melakukan kesepakatan sehingga sangatlah diperlukan guna mencapai tujuan kesepakatan tersebut. Setiap kontrak mempunyai resiko yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan para pihak apabila suatu kontrak tidak disusun sesuai dengan kententuan dan tidak dilakukan analisa kontrak, karena nantinya akan mengikat para pihak di dalam perjanjian.

Ada yang mengatakan bahwa merancang kontrak itu tidak gampang, apalagi yang didraft itu kontrak yang bersifat komersil. Dan ada juga yang mengatakan bahwa bahasa kontrak itu sangat khas, berbelit-belit dan berulang ulang. Semuanya itu ada benarnya akan tetapi bukan berarti semua itu sama sekali


(44)

tidak mungkin dilakukan. Asal ada kemauan untuk itu, mestinya tidak ada yang tidak bisa dilakukan di dunia ini.30

Sedangkan untuk kontrak bisnis internasional harus pula merujuk kepada hukum kontrak internasional sebagaimana terdapat dalam UNIDROIT Principle Of International Commercial Contract (2004) dan UN Convention of the International Sales of Goods (Viennna Convention) atau Konvensi PBB tentang Kontrak Jual Beli Barang.

Dalam melakukan perancangan kontrak-kontrak dalam bisnis, secara teoritik harus memahami asas-asas, prinsip-prinsip dan sumber hukum dari kontrak menurut hukum posistif Indonesia seperti KUH Perdata dan perundangan-undangan yang berkaitan dengan substansi kontrak.

31

1. Kemahiran menulis dengan menggunakan bahasa hukum yang baik, benar, tepat dan jelas dengan tetap berpedoman pada tata bahasa Indonesia atau bahasa Inggris (plain English).

Dalam prakteknya perancangan suatu kontrak haruslah memahami teknik merancang format dan substansi kontrak.

Dalam merancang suatu kontrak membutuhkan penguasaan kemahiran/skill yang meliputi :

2. Kemahiran merancang struktur suatu kontrak sesuai dengan karakteristik dari masing-masing jenis kontrak, sehingga semua kepentingan dari para pihak beserta seluruh konsekuensi yuridis yang ditimbulkan dari kontrak tersebut

30

Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku KeEmpat, PT.citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hal.2.

31

Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan


(45)

dapat tertampung dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang sifatnya tidak dapat disimpangi (mandatory rules).

Disinilah dibutuhkan penguasaan pengetahuan teoritik hukum kontrak nasional dan internaional dan aspek bisnis dari jenis transaksi yang bersangkutan termasuk misalnya aspek-aspek manajerial, finansial dan perpajakan.

Terhadap perancangan dan analisa kontrak mempunyai peranan dalam menyusun suatu kontrak . Peranan, disebut juga manfaat dari posisi dan tujuan yang melakukan perancangan dan analisa. Perancangan (contract drafter) adalah suatu bentuk kegiatan melakukan persiapan pembuatan, penyusunan kontrak yang dimulai dari pengumpulan bahan-bahan hukum, penafsiran dan menuangkan keinginan para pihak dalam kontrak. Analisa, atau penelaahan, kajian, interprestasi, penafsiran terhadap suatu rancangan dengan melakukan pembedahan rancangan kontrak dengan melihat apakah terpenuhinya syarat-syarat syahnya kontrak, penerapan azas-azas hukum, ketentuan perundang-undangan yang terkait, keinginan dan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan perjanjian dalam kontrak.

Dalam penyusunan suatu kontrak, sebelum kontrak ditandatangani untuk disetujui oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, ada suatu langkah yang mesti dilakukan, yaitu menganalisa kontrak.

Dalam hal melakukan suatu analisa terhadap kontrak dapat dilakukan dalam dua posisi yang berbeda : ketika dalam posisi melakukan perancangan kontrak (contract drafter) dan ketika posisi dalam pihak yang menerima hasil rancangan


(46)

kontrak dari pihak yang melakukan contract drafter atau yang membuat rancangan kontrak.

D. Teori-teori dalam Hukum Kontrak

Dalam penelitian ini teori yang digunakan tentang hukum kontrak adalah teori Utility sebagai teori inti (grand theory) dan akan didukung oleh teori-teori lainnya (supporting theory).

a. Grand Theory (Teori Inti)

1. Teori Kepentingan (UtilitarianismeTheory) dari Jeremy Bentham.

Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasari pemikirannya pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianisme. Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the Morals and Legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Menurut Teory Utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada hukum.32 Dalam hal ini pendapat Bentham dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum.33

Peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum (kaedah hukum), dibuat oleh penguasa negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya

32

L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta 1981, hal. 168.

33

C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1983. hal.42.


(47)

dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara. Keistimewaan dari norma hukum justru terletak dalam sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya berupa ancaman hukuman.34

Bahwa undang-undang adalah keputusan kehendak dari satu pihak; perjanjian, keputusan kehendak dari dua pihak; dengan kata lain, bahwa orang terikat pada perjanjian berdasar atas kehendaknya sendiri, pada undang-undang terlepas dari kehendaknya.

35

Dikatakan Krabbe: “aldus moet ook van recht de heerscappij gezocht worden in de reactie van het rechtsgevoel, en ligt dus het gezag niet buiten maar in den mens”, kurang lebih artinya, ”demikian halnya dengan kekuasan hukum yang harus kami cari dari dalam reaksi perasaan hukum; jadi, kekuasaan hukum itu tidak terletak diluar manusia tetapi didalam manusia”. Hukum berdaulat yaitu diatas segala sesuatu, termasuk Negara. Oleh karena itu menurut Krabbe negara yang baik adalah negara hukum (rechtstaat), tiap tindakan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada hukum.

2. Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe

36

Teori ini didasarkan kepada pemikiran dari Scoott J. Burham yang mendasarkan dalam penyusunan suatu kontrak haruslah dimulai mendasari dengan pemikiran-pemikiran sebagai berikut:

Azas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perjanjian merupakan bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara otonom berhak untuk melakukan perjanjian dengan individu lain atau kelompok masyarakat lainnya.

3. Teori 3P

34

C.S.T. Kansil, Ibid. Hal. 86.

35

L.J.van Apeldoorn. Op.Cit., Hal. 168.

36


(48)

1. Predictable, dalam perancangan dan analisa kontrak seorang darfter harus dapat meramalkan atau melakukan prediksi mengenai kemungkinan-kemngkinan apa yang akan terjadi yang ada kaitannya dengan kontrak yang disusun.

2. Provider, yaitu siap-siap terhadap kemungkinan yang akan terjadi.

3. Protect of Law, perlindungan hukum terhadap kontrak yang telah dirancang

dan dianalisa sehingga dapat melindungi klien atau pelaku bisinis dari kemungkinan kemungkin terburuk dalam menjalankan bisnis.

b. Supporting Theory (Teori Pendukung)

Lebih dari seabad yang lalu (tahun 1861), ahli hukum Inggris yang masyur Sir Hendry Maine menerbitkan buku berjudul Ancient Law (hukum kuno). Dimana Maine mencoba menjelaskan bagaimana hukum berevolusi selama bertahun-tahun pada masyarakat lebih modern. Maine menunjukan bahwa pada masyarakat seperti itu hukum begerak dari satus ke kontrak. Maksudnya, hubungan hukum dalam masyarakat modern tidak tergantung secara khusus pada kelahiran atau kasta; hubungan hukum itu tergantung pada perjanjian sukarela.37

Hukum kontrak di Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata Bab Kedua yang mengatur tentang perikatan-perikaan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Pengertian kontrak dengan persetujuan adalah sama seperti terlihat yang didefinisikan pada pasal 1313 KUHPerdata. Hukum kontrak hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.

Sehingga kontrak adalah perangkat hukum yang umumnya berkenaan dengan perjanjian sukarela.

38

37

Lawrence F. Friedman, Amerrican Law An Introduction, Second Editon, Hukum Amerika Sebuah Pengantar (Penerjemah Wishnu Basuki), Penerbit PT.Tatanusa, Jakarta 2001, hal.195.

38


(49)

Sekalipun demikian mungkin kontrak adalah bagian yang kurang menonjol dari hukum yang hidup (living law) dibandingkan bidang lain yang berkembang berdasarkan hukum kontrak atau pemikiran tentang kontrak.39

Menurut Munir Fuady ada beberapa teori hukum tentang kontrak, yaitu:

Secara akademis, terdapat berbagai macam teori tentang kontrak, yang masing-masingnya mencoba menjelaskan berdasarkan pengelompokannya dan kriterinya masing-masing.

40

1. Teori-teori Berdasarkan Prestasi Kedua Belah Pihak

Teori-teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak, menurut Roscoe Pound, sebagaimana yang dikutip Munir Fuady terdapat berbagai teori kontrak:41

a. Teori Hasrat (Will Theory)

b. Teori Tawar Menawar (Bargaining Theory) c. Teory sama nilai (Equivalent Theory

d. Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theory)

a. Teori Hasrat (Will Theory). Dimana teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya hasrat (will atau intend) dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat tersebut. Menurut teori ini yang terpenting dalam suatu

39

Lawrence F. Friedman, Ibid. hal. 197.

40

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal.5.

41


(50)

kontrak bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, akan tetapi apa yang mereka inginkan.

b. Teori Tawar Menawar (Bargaining Theory). Teori ini merupakan perkembangan dari teori sama nilai (equivalent theory) dan sangat mendapat tempat dalam Negara-negara yang menganut system Common Law. Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang dinegosiasikan (tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para pihak.

c. Teory sama nilai (Equivalent Theory). Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent).

d. Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theory). Teori ini mengajarkan bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana.

2. Teori-teori berdasarkan Formasi Kontrak.

Dalam ilmu hukum ada empat teori yang mendasar dalam teori formasi kontrak, yaitu:

a. Teori kontrak defacto. Kontrak de facto (implied in-fact) dalah kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan tegas tetapi ada dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang sempurna.


(51)

b. Teori kontrak ekpresif. Bahwa setiap kontrak yang dinyatakan dengan tegas (ekpresif) oleh para pihak baik dengan tertulis ataupun secara lisan, sejauh memenuhi syarat-syarat syahnya kontrak, dianggap sebagai ikatan yang sempurna bagi para pihak.

c. Teori promissory estoppel. Disebut juga dengan detrimental reliance, dengan adanya persesuaian kehendak diantara pihak jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu ikatan kontrak. d. Teori kontrak quasi (pura-pura). Disebut juga quasi contract atau implied

in law, dalam hal tertentu apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat dianggap adanya kontrak diantara para pihak dengan berbagai konsekwensinya, sungguhpun dalam kenyataannya kontrak tersebut tidak pernah ada.


(52)

BAB IV

PERANAN PERANCANGAN DAN ANALISA KONTRAK DALAM KUH PERDATA

A. Pengaturan Perancangan dan Analisa Kontrak dalam KUH Perdata

Hukum kontrak yang ada di Indonesia diatur di dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri dari 18 bab dan 631 pasal. Yang dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Dan masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian.

Hal-hal yang diatur di dalam buku III KUH Perdata, meliputi hal-hal berikut ini :

1. Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1312 KUH Perdata)

2. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1352 KUH Perdata)

3. Hapusnya perikatan (Pasal 1381 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata)

4. Jual beli (Pasal 1457 KUH Perdata sampai dengan 1540 KUH Perdata) 5. Tukar menukar (Pasal 1541 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1546 KUH

Perdata)

6. Sewa menyewa (Pasal 1548 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1600 KUH Perdata)

7. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1617 KUH Perdata)


(53)

8. Persekutuan (Pasal 1618 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata)

9. Badan Hukum (Pasal 1653 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata)

10.Hibah (Pasal 1666 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1693 KUH Perdata) 11.Penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1739

KUH Perdata)

12.Pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1753 KUH Perdata)

13.Pinjam meminjam (Pasal 1754 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata)

14.Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1773 KUH Perdata)

15.Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1791 KUH Perdata)

16.Pemberian Kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata)

17.Penanggungan utang (Pasal 1820 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata)

18.Perdamaian (Pasal 1851 KUH Perdata sampai dengan Pasal KUH Perdata)

Dari pembagian pasal yang berkaitan dengan kontrak di dalam KUH Perdata di atas tidak disebutkan secara sistematis pasal berapa yang menjadi acuan bagi para pihak untuk dapat merancang suatu bentuk kontrak yang baik dan benar.


(54)

Namun di dalam pengaturan hukum kontrak yang telah dibahas sebelumnya, kontrak mengandung system terbuka (open system) yang artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang.

Hal tersebut di atas terlihat dari ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjajian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya’’.

Ketentuan di dalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut memberikan kebebasan bagi para pihak untuk dapat:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun

3. Menentuka isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya 4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan

Namun sistem pengaturan hukum kontrak yang bersifat sistem terbuka tersebut tidak lantas memberikan pengertian bagi para pihak untuk dapat melakukan segala bentuk perjanjian yang diinginkannya. Sebab kontrak atau perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dan memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat dinyatakan sah dan berlaku bagi para pihak didalamnya agar mentaati dan mematuhi isi dari kontrak tersebut sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata.


(55)

Syarat-syarat sahnya suatu kontrak juga sama dengan syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum 3. Adanya objek perjanjian

4. Adanya causa yang halal

Terhadap syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian sehingga jika tidak dipenuhi maka kontrak atau perjanjian itu dapat dibatalkan, yang artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Namun jika salah satu pihak tidak keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah.

Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian sehingga jika tidak terpenuhi maka kontrak atau perjanjian tersebut batal demi hukum, yang artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

B. Manfaat Bagi Para Pihak Melakukan Perancangan dan Analisa Kontrak

Terminologi perancangan dalam hukum kontrak disebut juga legal drafting, yaitu merancang atau membuat suatu konsep kontrak. Substansi suatu kontrak bisnis pada dasarnya tergantung pada isi dan substansi transaksi bisnis yang melatarbelakanginya. Menurut Niewenhius42

4

, sepanjang prestasi yang


(56)

diperjanjiakan bertimbal balik mengandaikan kesetaraan (posisi para pihak), maka apabila terjadi ketidakseimbangan, perhatian akan dititikberatkan pada kesetaraan yang terkait dengan cara terbentuknya kontrak dan tidak pada hasil akhir dari prestasi dimaksud. Karena itu orang dapat menarik kesimpulan bahwa dari substansinya, semakin banyak jenis transaksi yang dibuat orang dalam praktek bisnis dan perdagangan, semakin banyak pula dapat dijumpai jenis kontrak yang satu sama lain berbeda dari segi substansi dan jenis prestasi yang diaturnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan pula bahwa:

1. Tidak ada satu bentuk baku yang dapat dijadikan pegangan dalam merancang kontrak bisnis secara umum yang dapat digunakan setiap orang dalam mengadakan suatu transaksi bisnis. Keunikan dan kekhasan dari kontrak-kontrak yang dibuat untuk mendukung transaksi bisnis yang bersangkutan;

2. Substansi, sistimatika dan bentuk dari kontrak-kontrak bisnis yang akan dirancang akan sangat tergantung pada substansi dari kesepakatan-kesepakatan para pihak dalam transaksi bisnis yang melatarbelakanginya; 3. Dalam praktek seorang perancang kontrak sebaiknya tidak terpaku pada

bentuk dan/atau jenis kontrak bisnis yang sudah ada dan sering digunakan, melainkan harus bersikap terbuka dan kreatif untuk merancang kontrak-kontrak yang khusus dirancang untuk mengakomodasikan transaksi-transaksi bisnis yang sebelumnya ;

Namun demikian, apapun jenis, substansi atau objek dari transaksi bisnisnya, orang dapat pula melihat adanya gejala prilaku yang sama dalam arti


(57)

bahwa dalam transaksi-transaksi bisnis yang dibuat oleh para pihak itu selalu dapat dilihat adanya pola perilaku dan situasi umum yang sama yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Masing-masing pihak mengehendaki adanya kepastian dengan siapa ia mengadakan transaski bisnis yang bersangkutan;

2. Setiap pihak dalam suatu kontrak pada dasarnya merupakan pihak yang memiliki kepentingan, keuntungan dan tujuan bisnis (business interest, profit atau purposes) tertentu yang hendak diwujudkannya melalui perjanjain dengan pihak yang lainnya;

3. Kesepakatan (agreement) dapat dianggap tercapai apabila terdapat keyakinan pada masing-masing pihak bahwa melalui kontrak yang akan dibuat menjamin kepentingan, keuntungan dan/atau tujuan bisnisnya itu akan dapat dicapai secara optimal;

4. Keyakinan akan menimbulkan dimana terwujudnya perjanjian, masing masing pihak bersedia untuk memberikan janji-janji atau prestasi untuk kepentingan pihak lain secara sukarela dan tanpa ada paksaan atau tekanan apapun;

5. Masing-masing pihak menghendaki adanya jaminan bahwa pelaksanaan janji-janji yang dibuatnya untuk kepentingan pihak yang lain akan diimbangi oleh pelaksanaan janji-janji yang telah dibuat oleh pihak lain dan bahwa ia memiliki akses dan peluang untuk dapat menuntut pelaksanaan janji-janji itu dari pihak yang lain.

Hal-hal diatas yang sebenarnya membentuk pola umum dari kontrak yang akan dirancang sehingga para pihak dituntut untuk selalu menyadari bahwa


(58)

manfaat yang didapatkan dalam proses perancangan dan analisa suatu kontrak. Adapun manfaat yang diperoleh para pihak tersebut yaitu ;

1. Memberikan kepastian tentang identitas pihak-pihak yang dalam kenyataannya terlibat dalam perjanjian;

2. Memberikan kepastian dan ketegasan tentang hak dan kewajiban utama masing-masing pihak sesuai dengan inti kontrak atau perjanjian yang hendak diwujudkan para pihak;

3. Memberikan jaminan tentang keabsahan hukum (legal validity) dan kemungkinan pelaksanaan secara yuridis (legal enforceablility) dari kontrak yang dibuat;

4. Memberikan petunjuk tentang tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak yang terbit dari kontrak yang mereka adakan;

5. Memberikan jaminan kepada masing-masing pihak bahwa pelaksanaan janji-janji yang telah disepakati dalam kontrak yang bersangkutan akan menerbitkan hak untuk menuntut pelaksanaan janji-janji atau prestasi dari pihak yang lain yang mengingkari janjinya;

6. Menyediakan jalan yang dianggap terbaik bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau perbedaan pendapat yang mungkin terjadi ketika transaksi bisnis mulai dilaksanakan;

7. Memberikan jaminan bahwa janji-janji dan pelaksanaan janji-janji yang dimuat di dalam kontrak adalah hal-hal yang mungkin wajar, patut dan adil untuk dilaksanakan (fair and reasonable).


(59)

C. Teknik dalam Merancang Kontrak

Pada dasarnya dalam melakukan perancangan suatu kontrak terdapat beberapa unsur-unsusr pokok yang meliputi :

1. Bagian Pembukaan, yang memuat identias dari pihak-pihak serta penjelesan umum latar belakang kontrak yang diadakan diantara mereka; 2. Ketentuan-ketentuan pokok yang berisi pokok hubungan hukum serta hak

dan kewajiban utama para pihak yang terbit dari kesepakatan yang dibentuk oleh parap ihak dalam kontrak;

3. Ketentuan-ketentuan penunjang, yang memuat tata cara pelaksaan hak dan kewajiban para pihak sertsa hal-hal lain yang dianggap perlu untuk mendukung pelaksaan hak dan kewajiban para pihak;

4. Ketentuan-ketentuan tentang aspek formalitas, yang dianggap perlu mendapat perhatian demi keabsahan hukum dan kemungkinan pelaksaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak;

5. Bagian Penutup kontrak, yang mengakhiri batang tubuh kontrak dengan identias pihak-pihak dalam transaksi seta hal-hal yang dianggap perlu dimuat untuk memberikan keabsahan yuridis pada kontrak yang bersangkutan;

6. Lampiran-lampiran kontrak, yang mungkin dianggap perlu dibuat untuk memuat detil-detil teknis operasional yang berkenaan langsung dengan pelaksaan hak dan kewajiban utama para pihak tetapi yang dianggap tidak mungkin untuk tidak efisien untuk dimuat di dalam pasal-pasal kontrak;


(1)

2. Dalam merancang sebuah kontrak yang baik dan benar harus memenuhi syarat-syarat dalam perancangan kontrak, seperti syarat prosedural yang dibuat berdasarkan kesepakatan yang bebas dari kekhilafan, paksaan, baik secara fisik, mental, pengetahuan maupun ekonomi, dan terjadi bukan melalui tipuan atau memberikan kesan yang menyesatkan yang dapat menyebabkan orang terpengaruh atau khilaf untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya kontrak haruslah dibuat oleh orang yang cakap dan berwenang untuk itu serta diwujudkan melalui prosedur standar yang digariskan oleh undang-undang, yaitu memenuhi syarat subjektif dan obektif.

Sebuah kontrak yang baik harus jelas dan terperinci, menyangkut subjeknya, objeknya serta kewajiban para pihak beserta sanksi yang dibebankan terhadap para pihak, serta kejelasan cara dan prosedur pelaksanaan sanksi, serta tidak bertentangan dengan seluruh norma hukum yang terkait dengan kontrak. Dalam perancangan sebuah kontrak, mestinya harus dengan syarat-syarat tambahan yang berisikan klausul-klausul pengaman untuk kepentingan para pihak di dalamnya secara berlapis dan sedetail mungkin guna melindungi secara maksimum, sehingga istilah yang digunakanpun haruslah dari awal diberi penjelasan yang pasti, guna menghindari terjadinya multitafsir.

3. Sering kendala yang ditemui dalam melakukan peracangan dan analisa kontrak datangnya dari para pihak itu sendiri. Kecendrungan para pihak untuk memakai draf kontrak yang telah disusun atau disiapkan oleh pihak lain tidak ada peluang untuk melakukan analisa terhadap format dan


(2)

ketentuan-4. Dalam melakukan perancangan kontrak langkah-angkah yang harus dilakukan agar dapat mengantisipasi kontrak-kontrak yang dapat menjadi sumber konflik yaitu dengan cara mengakomodir kepentingan para pihak dengan memenuhi asas-asas hukum yang berlaku dalam penyusunan suatu kontrak. Perancangan kontrak dilakukan dengan memahami secara utuh apa para pihak. Untuk itu, harus digali informasi selengkap mungkin dari para pihak menyangkut latar belakang dan tujuan dari transaksi tersebut. Hal yang esensial untuk perlu diperhatikan dalam merancang dan menganalisa kontrak, agar nantinya dalam pelaksanaan kontrak dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan substansi kontrak juga harus dipahami.

B. Saran

1. Agar setiap para pihak dapat memperoleh bentuk kontrak yang baik dan benar maka dapat menggunakan peranan perancang kontrak dalam melakukan penyusunan kontrak yang bisa berasal dari Advokat, Konsultan Hukum, atau orang yang memahami hukum tentang kontrak.

2. Dalam penyusunan sebuah kontrak harus memperhatikan sayarat-syarat dalam perancangan kontrak, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang dan dibuat oleh orang yang cakap, berwenang dan professional.

3. Dalam melakukan perjanjian, pada tahap awal negosiasi agar menyiapkan draf kontrak yang sebelumnya telah dirancang dan dianaliasa dengan baik


(3)

oleh perancang kontrak. Sehingga jika sudah waktunya dapat dipergunakan dan memberikan kepastian hukum terhadap transaksi bisnis yang dilakukan.

4. Perancang kontrak dalam menyusun dan menganalisa kontrak harus menyiapkan langka-langkah antisipasi terhadap persoalan hukum yang bakal timbul terhadap perjanjian yang telah dituangkan dalam sebuah kontrak dengan melakukan perumuskan secara cermat, tepat dan benar terhadap format kontrak yang hendak dirancang serta ketelitian yang tinggi dalam merumuskan pasal-pasal kontrak.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir, Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,1982.

Abdul R. Saliman dkk, Hukum Bisnis untuk perusahaan Teori & Contoh kasus, Jakarta: Kencana, 2005.

Abdul R.Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Abdulrahman, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung 1979.

C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka Jakarta 1983.

Harahap, M. Yahya, Berbagai Bentuk Perjanjian, Jakarta: Surya Bakti, 2008

I.G.Ray Widjaya, Merancang Suatu Kontrak ( Contract Drafting ), Kesaint Blanc, Jakarta 2003.

L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta 1981.

Lawren M.Friedman, Amerrican Law An Introduction, Second Editon, HukumAmerika Sebuah Pengantar (Penerjemah Wishnu Basuki), Penerbit PT.Tatanusa, Jakarta 2001

Mahmud, Peter Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.


(5)

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, PT Citra Aditya, Bandung 1991.

Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Indonesia, PT.Pustaka LP3S, Jakarta 1998

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ke-Dua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 1999.

---, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung 2001.

---, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ke-Empat, PT.citra Aditya Bakti, Bandung 2002.

R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung 1987.

Saerodji, H Hari, Pokok-pokok Hukum Perdata, Aksara Baru, Jakarta 1980

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Mataram, 2002.

Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta,1985.

---, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung. 1986.

---, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-XXXIII, PT. Intermasa, Jakarta 2005.

Sudarsono, Kamus Hukum, PT.Rineka Cipta Jakarta 1992.


(6)

Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukmu Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Artikel dari Situs Internet

Peraturan Perundang-undangan

Subekti dan R.Tjitrosudibyo, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-XXI, Pradnya Paramita, Jakarta 1989.