diperbuat dan menyelesaikan dengan cara mencari solusi yang terbaik. Semua itu dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 8 Startegi Komunikasi Keluarga D
Kategori Komunikasi Konvergensi
Komunikasi Divergensi
Ayah-anak Startegi katalisator
Strategi katalisator Ibu-anak
Strategi katalosator Strategi katalisator
Dari tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa sepakat atau tidak sepakatnya pelaku komunikasi dalam keluarga keempat ini selalu menggunakan strategi katalisator,
yaitu dengan cara memberikan beberapa pandangan tentang sebab dan akibatnya apabila ingin melakukan suatu pekerjaan dan mengutarakan apa yang menjadi
harapan ayah, ibu dan D dapat direalisasikan oleh anggota keluarga lainnya tanpa harus ada paksaan dengan memberikan imbalan atau hukuman.
D. Gaya Kognitif dan Kecakapan Empatik Keluarga
Setiap individu memiliki cara tersendiri untuk berkomunikasi. Cara tersebut dapat mempengaruhinya dalam berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang
lain. Cara atau gaya yang dimiliki seseorang disebut gaya kognitif. Untuk mengetahui gaya yang dimiliki dalam setiap individu dalam keluarga ini peneliti
mengajukan beberapa pertanyaan kepada 4 keluarga tersebut, pertanyaan- pertanyaan itu antara lain: Apa yang anda ketahui tentang orang tua anda?
Bagaimana cara pandangnya? Keras, tertutup atau terbuka? Pada masa apa dan dalam hal apa sajakah orang tua anda keras, tertutup dan terbuka terhadap anda?
Dan hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut:
1. Keluarga pertama
Baik ayah dan ibu A selalu mendogma anak-anaknya dalam hal agama termasuk juga A pada saat A balita. Di masa kanak-kanak pun orang tua A masih
mendogma A dalam agama dan belajar. Berkembangnya pertumbuhan A menjadi remaja membuat orang tua A baik ayah dan ibu merubah cara pandanganya
menjadi demokratis, misalnya mengajak A bicara apa yang ia mau dalam hal sekolah. Dan di masa mahasiswa orang tua A menjadi lebih demokratis dan lebih
banyak mendengarkan apa yang A mau dalam segala hal, misalnya pendidikan dan pergaulan dengan alasan “sudah dewasa dan tahu apa yang harus dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan.” Penjabaran tentang gaya kognitif dan kecakapan
empatik keluarga pertama dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 9
Gaya Kognitif Keluarga A Perkembangan
Hubungan Tertutup dogmatis,
otoriter Terbuka empatik
Masa balita Dogmatis: agama
Masa anak-anak Dogmatis: agama dan belajar
Masa remaja Demokratis:
sekolah Masa mahasiswa
Demokratis: agama dan sekolah
Dari tabel 5 di atas dapat dikatakan bahwa terjadinya perubahan cara pandang orang tua A dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan yang terjadi
pada A sebagai anak. Masa balita yang selalu didogma dalam hal keagamaan, masa kanak-kanak yang masih harus didogma dalam hal keagamaan dan cara
belajar berangsur berubah menjadi demokratis pada masa remaja A dalam pendidikan dan cara belajar. dan cara pandang itu masih tetap sama sampai A
menginjak masa usia mahasiswa.
2. Keluarga kedua
Ayah yang mempunyai cara pandang keras membuat B tidak bisa mengutaran pendapatnya. Ayah lebih mendogma B tentang norma atau aturan-
aturan yang ada dalam keluarga di saat B balita, begitu juga saat B kanak-kanak dan remaja, Ayah B mendogma B khususnya dalam hal agama seperti sholat
dengan cara menghukum B jika tidak mengerjakan sholat dan mengaji, dengan alasan “karena sudah sekolah maka harus diajari agama.” Tetapi tidak dengan ibu
B semenjak B berkembang ke masa remaja ibu B menjadi lebih demokratis karena menurut ibu “B sudah belajar di pondok pesantren, jadi tinggal membimbing dan
mengarahkan saja.” Di usia mahasiswa cara pandang ayah B berangsur berubah dalam segala hal seperti pendidikan, agama dan norma. Penjabaran tentang gaya
kognitif dalam keluarga kedua dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 10
Gaya Kognitif Keluarga B Perkembangan
Hubungan Tertutup dogmatis,
otoriter Terbuka empatik
Masa balita Dogmatis: norma dan
agama Masa anak-anak
Dogmatis: agama dan norma
Masa remaja Dogmatis: belajar, agama
dan norma Masa mahasiswa
Demokratis: agama,
norma dan pergaulan Jika melihat pada tabel 6 di atas dapat dikatakan bahwa cara pandang orang
tua B khususnya ayah terhadap B adalah dogmatis pada masa balita, kanak-kanak dan remaja B. Setelah B duduk di bangku kuliah cara pandang orang tua B
berangsur berubah menjadi lebih demokratis. Ayah B menjadi demokratis apabila terjadi suatu kesalahpahaman di antara keduanya.
3. Keluarga ketiga
Keberadaan ayah C yang jarang di rumah membuat ibu bertanggung jawab atas keperluan, kebutuhan dan perhatian terhadap anak sepenuhnya. Jadi yang
selalu menemani anak dalam perkembangannya adalah ibu. Pada masa balita C ibu mempunyai cara pandang yang dogmatis dalam hal keagamaan seperti sholat,
mengaji dan berhemat uang karena menurut ibu C “orang Islam itu harus bisa sholat dan mengaji. Dan hemat itu pangkal kaya.” Begitu juga pada masa kanak-
kanak yang seharusnya masih masa-masa untuk bermain ibu mempunyai cara pandang otoriter dalam hal belajar karena “C itu bandel dan gak mau belajar dan
senangnya main.” Di masa remaja ayah dan ibu C mempunyai cara pandang yang otoriter dalam hal aturan waktu seperti batasan wilayah bermain anak dan waktu
anak bermain dengan alasan “C jika bermain tidak tahu waktu.” Di masa mahasiswa orang tua C memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang lebih
luas terhadap C dalam hal agama, pendidikan dan kebebasan bergaul. Dari hasil lapangan yang telah dijabarkan di atas gaya kognitif dan kecakapan empatik yang
ada pada diri orang tua terhadap C dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 11 Gaya Kognitif Keluarga C
Perkembangan hubungan Tertutup dogmatis,
otoriter Terbuka empatik
Masa balita Dogmatis: agama dan
berhemat uang Masa anak-anak
Otoriter: belajar Masa remaja
Otoriter: aturan waktu Demokratis:
agama, kebebasan bergaul
Masa mahasiswa Lazier:
agama, kebebasan
bergaul, pendidikan.
Dari tabel 7 di atas disebutkan bahwa orang tua C khususnya ibu empunyai cara pandang yang dogmatis terhadap C pada masa balita dan kanak-kanak.
Berkembang ke masa remaja orang tua C lebih bisa terbuka dalam hal agama dan kebebasan bergaul dan sedikit otoriter hanya dalam hal waktu. Setelah C
melanjutkan kuliahnya di Lombok cara pandang orang tua C mengalami perubahan yaitu menjadi tidak mau tahu apa yang terjadi pada diri C, karena
itulah C menjaga jarak dengan orang tuanya. 4.
Keluarga keempat Ayah dalam keluarga keempat ini mempunyai cara pandang yang dogmatis
apabila sudah menyangkut masalah agama seperti sholat, puasa dan sebagainya. Karena menurutnya “agama bukan untuk main-main, jadi harus benar-benar
menjalaninya.” Apa yang dikatakan ayah dan ibu harus diikuti sewaktu D masih balita. Di usia anak-anak, setelah D masuk sekolah dasar SD baik ayah maupun
ibu D merubah cara pandangnya menjadi terbuka, misalnya dalam hal belajar dan sekolah dengan alasan “seorang anak kalau belajar itu tidak bisa dipaksakan
karena masa kanak-kanak yang masih butuh bermain, jadi terserah anak mau bersekolah di SD yang disukai dan waktu belajar malam yang dia sukai.” Karena
masa remaja D di dalam pondok pesantren jadi cara pandang orang tua D kembali berubah menjadi otoriter dalam hal pergaulan dengan teman laki-laki, dengan
alasan “karena belum tau kehidupan di luar pesantren, takut salah langkah.” Tetapi di masa mahasiswa cara pandang orang tua baik ayah maupun ibunya
berangsur terbuka dalam segala hal seperti agama, belajar dan pergaulan denga teman laki-laki, dengan alasan “dia udah besar dan udah bisa memilah dan
memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik buat dirinya. Kami sebagai
orang tua hanya mengarahkan saja.” Dari hasil wawancara di lapangan, maka gaya kognitif individu dan kecakapan empatik dalam keluarga keempat dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 12 Gaya Kognitif Keluarga D
Perkembangan Hubungan
Tertutup dogmatis, otoriter
Terbuka empatik
Masa balita Dogmatis: agama
Masa anak-anak Dogmatis: agama
Demokratis: cara belajar dan pemilihan sekolah.
Masa remaja Otoriter: pergaulan
Demokratis: cara belajar dan pemilihan sekolah.
Masa mahasiswa Demokratis: agama, cara
belajar, pemilihan kampus dan jurusan serta pergaulan.
Dari tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa selama hubungan orang tua dan D dalam keluarga keempat ini ayah maupun ibu D mempunyai cara pandang
dogmatis pada masa balita dan anak-anak hanya dalam hal keagamaan dan otoriter pada masa remaja dalam hal pergaulan. Tapi cara pandangnya tersebut berangsur-
angsur berubah setelah anaknya beranjak dewasa, yaitu masa mahasiswa ketika mulai kuliah. Semua itu dikarena adanya saling keterbukaan dalam keluarga yang
selalu menceritakan apa kegiatan yang dilakukan di luar rumah, yang disukai dan tidak disukai dari masing-masing individu.
E. Perkembangan Hubungan Komunikasi Keluarga