Kesimpulan ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Setelah melihat dari uraian bab I sampai bab III, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Komik Abandon the Old in Tokyo merupakan komik karya Yoshihiro Tatsumi yang beraliran gekiga manga yang dramatis. Komik ini menggambarkan keadan sosial masyarakat Jepang pada zaman pasca Perang Dunia II tepatnya pada pertumbuhan ekonomi pesat tahun 1970. 2. Komik Abandon the Old in Tokyo mengambil setting di Tokyo pada tahun 1970 yaitu pada masa pertumbuhan ekonomi pesat Jepang. Saat itu Tokyo sebagai kota besar tumbuh pesat akibat industrialisasi yang membuat masyarakat desa berlomba-lomba ke Tokyo untuk mencari pekerjaan, sehingga membuat Tokyo berkembang secara tidak seimbang dan tidak terencana. 3. Komik Abandon the Old in Tokyo karya Yoshihiro Tatsumi merefleksikan kehidupan nyata pekerja Jepang pada zaman pertumbuhan ekonomi pesat 1970, yaitu meliputi : a. Interaksi pekerja dengan masyarakat semakin sedikit yang mengakibatkan pekerja dan masyarakat tidak lagi menjalani hubungan yang akrab. Universitas Sumatera Utara b. Hubungan pekerja dengan atasan terjalin hanya atas dasar keuntungan bagi kelompok yang dalam hal ini adalah perusahaan. c. Komunikasi yang akrab terjadi diantara pekerja yang memiliki jabatan yang sama. d. Interaksi pekerja dengan anggota keluarga semakin kecil karena kesibukan bekerja. Terutama hubungan pekerja dengan orangtua. Karena orangtua tidak lagi dianggap sebagai tanggungan anak, akhirnya orangtua banyak yang ditelantarkan. e. Keadaan keluarga kelas pekerja berubah dari ie menjadi kaku- kazoku dan kedudukan wanita semakin kuat sebagai seorang individu dan tidak lagi terikat dengan ie. 4. Melalui komik Abandon the Old in Tokyo bisa dilihat pemerintah Jepang hanya sibuk meningkatkan GNP negaranya demi mengembalikan nama baik Jepang setelah kalah Perang Dunia II. Namun, pemerintah lupa untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan. Pemerintah lupa bahwa rakyat membutuhkan jaminan sosial dari pemerintah. 5. Perubahan sistem ie keluarga dengan garis keturunan menjadi kaku kazoku keluarga inti yang ditetapkan pemerintah sebagai norma telah membawa dampak kepada masyarakat. Perubahan ie menjadi kaku kazoku membuat peranan nenekkakek menjadi tidak ada, karena orang tua tidak lagi memiliki hak untuk hidup dengan anak laki-laki sulungnya dan kakek atau nenek tidak lagi memiliki wewenang untuk mendidik cucunya, karena umumnya mendidik anak adalah tugas ibu dalam keluarga inti. Di dalam Universitas Sumatera Utara keluarga inti, prestise keluarga ditunjukkan dengan keadaan ekonomi keluarga, sehingga nilai mai hōmushugi “rumahku-isme” yaitu, mencukupi suatu keinginan untuk pertama-tama mendahulukan keluarga sendiri semakin kuat. 6. Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kelompok daripada individu. Pada masa pertumbuhan ekonomi pesat 1950-1980, perusahaan adalah salah satu tempat untuk menunjukkan fungsi seseorang di dalam kelompok. Pekerja bekerja di perusahaan bukan hanya untuk mendapatkan uang tetapi juga untuk mendapatkan pengakuan sebagai anggota satu kelompok. Karena itu, pekerja rela bekerja keras untuk meningkatkan nama baik kelompoknya. 7. Kesibukan bekerja membuat para pekerja lupa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya termasuk keluarga. Pekerja hanya memfokuskan diri berinteraksi dengan lingkungan kerja untuk diakui dalam satu kelompok yang tidak bisa menghalau rasa kesepian dan jenuh terhadap pekerjaannya. Apalagi bagi kaum buruh yang jarang menjalin komunikasi dengan rekan kerjanya. Karena rasa frustasi dari pekerjaan dan kurangnya komunikasi dengan sesama karena kesibukan kerja, pekerja akhirnya melampiaskan rasa frustasi dan rasa kesepian ke klub-klub malam dan perjudian. 8. Orangtua lanjut usia dan orang cacat semakin tertinggal karena tidak adanya undang-undang yang secara tegas melindungi mereka. Ditambah lagi, generasi yang menganggap orangtua bukanlah tanggungan keluarga Universitas Sumatera Utara semakin banyak. Anggapan itu didukung oleh konsep keluarga inti yang diterapkan oleh pemerintah dan perilaku konsumtif orang Jepang walaupun biaya hidup sangat mahal. Selain itu, tempat tinggal tidak memadai untuk menampung satu keluarga besar, sehingga orang tua yang tidak produktif dan menambah biaya pun, akhirnya cenderung ditelantarkan.

4.2 Saran