BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu kenyataan bahwa didalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpangan-penyimpangan
terhadap norma-norma pergaulan hidupnya, terutama yang dikenal sebagai norma hukum. Di mana dalam pergaulan manusia bersama, penyimpangan
norma hukum ini disebut kejahatan. Sebagai salah satu perbuatan yang menyimpang dari norma pergaulan hidup manusia, kejahatan merupakan
masalah sosial, yaitu masalah ditengah-tengah masyarakat, di mana si pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga.
Kejahatan merupakan gejala sosial, yang memperhatikan manusia pelakunya dalam kedudukannya di tengah-tengah masyarakat.
1
Indonesia sebagai Negara yang tengah membangun, yang mengalami perubahan-
perubahan sosial ekonomi, masalah kejahatan ini senantiasa harus memerlukan penanganan dengan mengacu pada konteks sosial yang lebih luas
dengan mempertimbangkan kenyataan pelaksanaan berfungsinya aparat dalam lingkungan sosial, ekonomi, politik, hukum dan teknologi yang semakin
kompleks. Kejahatan tidak terlepas dari proses-proses dan struktur-struktur sosial
ekonomi yang tengah berlangsung dan mengkordinasikan bentuk-bentuk sikap serta perilaku para warga masyarakat.
1
Djoko Prakoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, h. 137.
Sebagai contoh, peneliti mengutip berita dari salah satu media yang menceritakan mengenai penangkapan residivis setelah menjambret Ibu yang
sedang membeli jajanan gorengan di jalan Raden Saleh, Sukmajaya, Depok. Pelaku ditangkap, kemudian babak belur dihajar massa. Sekujur tubuhnya
babak belur setelah dikeroyok warga lantaran mencoba merampas dompet milik Tumiyem. Pelaku bernama Nasrul, baru keluar penjara enam bulan lalu
karena kasus pencurian. Menurut kapolsek Sukmajaya, pelaku pernah menjadi tahanan sebelumnya atas kasus yang sama “saat beraksi pelaku dalam
pengaruh mabuk. Pelaku melakukan aksinya dengan sepeda motor.
2
Dengan adanya kasus tersebut, seharusnya orang yang pernah dipenjara tidak lagi mengulangi perbuatan yang melanggar hukum. Menurut data
Statistik Indonesia 2014, pada tahun 2011, tindak pidana tindak kriminal yang terjadi di Indonesia sebanyak 347.605 kasus. Kemudian pada tahun
2012, turun sekitar 1,85 persen, tetapi terlihat naik pada tahun 2013 kemarin sebesar 0,27 persen.
3
Pada data tersebut presentase tindak kriminal pada tahun 2012 mengalami penurunan dan kenaikan tindak kriminal pada tahun 2013,
dampak yang terjadi pada masyarakat sangat bisa dirasakan dan dianggap merugikan. Tidak hanya itu jumlah tindak pidana yang terjadi di Indonesia
terbilang semakin tinggi dan meresahkan berbagai kalangan. Untuk menyikapi tindakan kriminal yang semakin tinggi, pihak
kepolisian sebagai keamanan negara memberlakukan sistem kepenjaraan
2
Diakses pada tanggal 20 April 2015 dari m.tribunnews.commetropolitan20141212residivis-kasus-pencurian-tertangkap-di-sukmajaya-
depok
3
Joko Ade Nursiyono, diakses pada tanggal 18 April dari http:regional.kompasiana.com20141024tindak-pidana-di-indonesia-masih-tinggi-ini-
penyebabnya-697771.html
untuk seseorang yang melanggar nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan harapan pelaku tindak kejahatan merasa jera dan tidak mengulangi
tindakannya tersebut. Namun realitanya, sistem penjara ini tidak membuat jera pada pelakunya, banyak dari mereka yang mengulangi tindak kejahatan yang
telah dilakukannya. Tidak hanya itu, sistem penjara dilaksanakan dengan prinsip balas dendam terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum,
dan juga penjagaannya yang ketat membuat terasing secara keseluruhan dari kehidupan masyarakat.
Bahwa penjara itu diadakan untuk memberikan jaminan keamanan kepada rakyat banyak, agar kalis terhindar dari gangguan kejahatan. “Jadi,
pengadaan lembaga kepenjaraan itu merupakan respon dinamis dari rakyat untuk menjamin keselamatan diri”.
4
Dapat disimpulkan bahwa penjara diadakan untuk mempertanggungjawabkan tindak kriminal yang telah
dilakukan. Penjara diadakan untuk menumbuhkan rasa aman dari gangguan kejahatan, serta agar narapidana dapat dengan tenang menjalankan hukuman
pidananya, bukan malah mengancam keselamatan diri terpidana. Selain itu tidak mudah untuk mengembalikan peran serta status seorang
narapidana di masyarakat seperti sedia kala. Karena stigma negatif yang melekat pada diri bekas narapidana tidaklah mudah untuk dihilangkan.
Dengan demikian maka berkembanglah sebuah sistem pemasyarakatan yang merupakan usaha untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial dengan memberikan
pembinaan terhadap pelanggar tindak kriminal.
4
Ahmad Taufik, Penjara untold stories Jakarta: 2010 h.182.
Dengan bergantinya konsep penjara menjadi pemasyarakatan, maka terbentuk Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Lembaga
Pemasyarakatan. Pengertian tentang pemasyarakatan dalam Undang-Undang tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat 1, yang menyatakan “Pemasyarakatan
adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan
bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.
5
Istilah pemasyarakatan diperkenalkan pertama kali oleh Sahardjo pada tahun 1963, Sahardjo yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman di dalam
pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa DR HC dari Universitas Indonesia, mengganti istilah penjara dengan “pemasyarakatan”,
dengan karakteristik sepuluh prinsip pokok yang semuanya bermuara pada suatu falsafah, narapidana bukanlah orang hukuman.
6
Istilah Lembaga Pemasyarakatan digunakan secara resmi sejak tanggal 27 April 1964
bersamaan dengan berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.
7
Fungsi lembaga pemasyarakatan itu sendiri adalah menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan WBP agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
8
Lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah naungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan
5
Undang-undang No.1 tentang Pemasyarakatan BAB I tentang ketentuan Umum
6
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, h. 25.
7
Ibid, h. 37
8
Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan BAB I tentang Ketentuan Umum pasal 3.
Hak Azasi Manusia Kemenkumham saat ini jumlahnya 439 Unit Pelayanan Teknis dengan total jumlah narapidana maupun tahanan yang berada di
dalamnya sebanyak 163.173 orang yang tersebar di 33 Provinsi di seluruh Indonesia
9
. Dari jumlah yang ada lembaga pemasyarakatan di Indonesia narapidana maupun tahanan rata-rata sudah melebihi kapasitas.
Untuk dapat melaksanakan sistem pemasyarakatan dibutuhkan keikutsertaan masyarakat dengan bekerjasama dalam pembinaan maupun
sikap menerima kembali di masyarakat setelah menjalani masa pidananya. Pada sistem pemasyarakatan terdapat tahap asimilasi, dimana proses
pendekatan yang dilakukan oleh suatu lembaga pemasyarakatan untuk mengenalkan kembali narapidana terhadap kehidupan masyarakat, dengan
cara membaurkan narapidana kedalam lingkungan masyarakat. Diperjelas lagi tentang asimilasi pada Undang-Undang Nomor 12 tahun
1995 tentang pemasyarakatan pada pasal 6 ayat 1 alinea ke 2, yang menyatakan bahwa “Pembinaan ekstramural yang dilakukan di Lapas disebut
asimilasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam
kehidupan bermasyarakat”. Maka berdasarkan Surat edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.
Kp 10. 1331tanggal 8 Februari 1965, telah ditetapkan pemasyarakatan sebagai proses dalam pembinaan narapidana dan dilaksanakan melalui empat
tahap
10
yaitu, pertama tahap keamanan maksimal sampai batas 13 dari masa
9
Data diperoleh dari pada hari Senin, 7 April 2015. Data jumlah narapidana dan tahanan selalu diperbarui setiap hari melalui pesan singkat dari setiap UPT di seluruh Indonesia.
10
Dipertegas dalam Pasal 7 ayat 1 dan Ayat 2 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
pidana yang sebenarnya. Pembinaan ini merupakan tahap awal pengenalan lingkungan yang dilakukan sejak diterimanya narapidana sekurang-kurangnya
13 dari masa pidana yang sebenarnya. Pembinaannya di dalam Lapas dengan tingkat pengamanannya maksimum. Tahap kedua yaitu Keamanan Menengah
sampai batas ½ dari masa pidana yang sebenarnya. Pembinaan tahap lanjutan lebih dari 13 sampai dengan ½ masa tahanan yang sebenarnya, dan dievaluasi
perkembangannya. Apabila
menurut penelitian
Tim Pengamat
Pemasyarakatan, narapidana menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin, dan patuh pada tata tertib yang berlaku maka kepada narapidana diberikan lebih
banyak kebebasan didalam lapas pengamanan medium. Tahap ketiga Keamanan Minimal sampai batas 23 dari masa pidana
yang sebenarnya. Diharapkan narapidana sudah menunjukkan kemajuan positif baik mental maupun spiritual serta keterampilan lainnya, dan yang
paling penting telah siap untuk berasimilasi dengan masyarakat. Tahap keempat integrasi dan selesainya 23 dari masa tahanan sampai habis masa
pidananya. Sebagai tahap terakhir diharapkan narapidana benar-benar siap kembali ke masyarakat menjelang bebas, atau Pembebasan Bersyarat PB
atau Cuti Menjelang Bebas CMB. Pada tahap asimilasi warga binaan diberikan pembinaan untuk bekal
membangun kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman pidananya. Dengan tujuan agar tidak mengulangi tindak pidana. Di Lembaga
Pemasyarakatan Terbuka Lapas Terbuka, sambil menunggu masa pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas. Didalam lapas terbuka pun
memiliki program-program pembinaan keterampilan yang disiapkan untuk warga binaan pemasyarakatan WBP.
Lapas Terbuka memiliki suatu keistimewaan sendiri dimana tidak terdapatnya aturan, keamanan ditekan hingga batas minimal dengan penjagaan
yang tidak terlalu ketat seperti Lapas pada umumnya. Hal ini diterapkan karena lapas terbuka diperuntukan bagi Narapidana yang telah menjalankan
setengah dari masa pidananya serta berkelakuan baik dengan pengawasan dan proses seleksi yang ketat dari Lapas tempat ia menjalani masa hukum pidana
sebelumnya. Hal ini dimaksudkan seiring dengan tujuan pendirian. Lapas Terbuka yaitu menjadi Lembaga asimilasi bagi Narapidana agar dapat
berintegrasi dan berbaur berasimilasi dengan masyarakat sebelum masa pidananya selesai.
Dalam rangka mempersiapkan narapidana kembali berintegrasi dengan masyarakat, maka dibentuklah LAPAS Terbuka. Pasal 38 ayat 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan meyebutkan bahwa LAPAS Terbuka
merupakan salah satu tempat untuk melaksanakan asimilasi. LAPAS Terbuka merupakan suatu institusi baru di lingkungan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keberadaan LAPAS Terbuka di Indonesia hanya ada 6 enam LAPAS Terbuka yaitu,
LAPAS Terbuka klas II B Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusa Kambangan, Mataram, dan Waikabubak. Pembentukan LAPAS Terbuka ini merupakan
implementasi dari Surat Keputusan Menteri Hukum dan Ham Republik Indonesia Nomor : M.03.PR.0703 Tahun 2003 Tertanggal 16 April 2003.
11
Upaya mengintegrasikan narapidana dengan masyarakat pada LAPAS Terbuka terlihat dengan berdekatannya lingkungan pembinaan dengan
lingkungan masyarakat tanpa adanya tembok atau jeruji pembatas sebagaimana LAPAS Tertutup atau Rumah Tahanan RUTAN. Di LAPAS
Terbuka tersebut narapidana berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat sekitarnya. Hal ini menunjukkan terjadinya suatu
perubahan dinamis dalam bidang hukum pidana menyangkut dengan perlakuan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan menuju bentuk
modern dalam sistem hukum pidana Indonesia.
12
Labeling yang melekat pada seoarang narapidana tidak mudah untuk dihilangkan, hal ini jelas dapat menyebabkan ketidakberfungsian sosial
seorang narapidana dapat terjadi. Sehingga seorang narapidana yang telah bebas atau keluar dari penjara tidak bisa menjalankan aktivitasnya secara
optimal seperti sedia kala karena adanya stigma negatif yang disandangnya. Oleh
karena itu,
peneliti memilih
penelitian di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Terbuka Jakarta atau yang biasa disebut Kampung
Asimilasi Gandul. Alasan peneliti memilih tempat penelitian disana karena Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Terbuka Jakarta merupakan salah satu
institusi di bawah Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan
11
Tholib, Pemberdayaan Lapas Terbuka Sebagai Wujud Pelaksanaan Community Based Corrections Di Indonesia, Dikutip dari http:www.ditjenpas.go.id, Diakses pada Tanggal 5
Oktober 2015
12
Hamid Awaludin, dalam kata sambutan peresmian LAPAS Terbuka Jakarta, Dikutip dari http:www. Kompas.co.idnews160506, Diakses pada Tanggal 5 Oktober 2015.
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang secara khusus melaksanakan pembinaan lanjutan terhadap narapidana pada tahap asimilasi.
Berdasarkan paparan permasalahan diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Peran Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Kelas II B Jakarta Dalam Proses Reintegrasi Sosial Warga
Binaan Pemasyarakatan WBP Perspektif Pekerja Sosial Koreksional” .
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah