Klasifikasi Penutupan Lahan Hutan Mangrove di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur, dengan Citra TerraSAR-X High Resolution

(1)

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara tropis dianugrahi sumberdaya alam yang berlimpah dan tersebar di semua propinsi seluruh Indonesia. Salah satu cara untuk melakukan inventarisasi sumberdaya alam yang cepat dan dengan biaya yang relatif murah adalah dengan menggunakan data citra satelit. Indonesia telah memanfaatkan citra penginderaan jauh dalam pemantauan sumber daya alam terutama citra optik sejak mulai diterapkannya teknologi remote sensing. Posisi Indonesia yang berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan citra yang bersih dari awan. Hujan yang terjadi hampir sepanjang tahun dan kebakaran hutan yang menimbulkan asap di musim kemarau menjadi kendala citra optik untuk menghasilkan citra yang baik.

Radio detecting and ranging (radar) telah memberikan alternatif untuk mengatasi keterbatasan informasi yang dapat diambil melalui data citra optik. Radar memiliki kemampuan untuk melakukan perekaman pada segala cuaca, baik pada siang atau malam hari, serta mampu mengatasi kendala tutupan awan. Teknologi pengolahan citra radar sebenarnya telah lama dikembangkan di negara lain, namun Indonesia dinilai terlambat dalam aplikasi penginderaan jauh satelit sistem radar. Disain awal sistem satelit radar sudah dikerjakan sejak tahun 1980-an d1980-an mulai beroperasi pada tahun 1990-1980-an. Radar generasi pertama ini dikembangkan di negara Kanada, Jepang dan Uni Eropa dengan menggunakan polarisasi tunggal. Sementara saat ini, satelit sistem radar sudah memasuki generasi ketiga yang memiliki empat polarisasi (full polarization). Sistem radar generasi ketiga mencakup sensor dengan berbagai frekuensi. Sistem tersebut sudah beroperasi sejak awal tahun 2002.

TerraSAR-X, sebuah satelit observasi bumi milik Jerman yang diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007 merupakan teknologi radar terbaru untuk pemetaan dengan panjang gelombang aktif X-band (panjang gelombang 31 mm,


(2)

frekuensi 9,6 GHz) yang dinyatakan mampu mengatasi tutupan awan. Produk tersebut ditawarkan untuk diujicoba di atas udara Indonesia. Sebagai imbalannya, pihak provider menawarkan penyediaan data spasial yang dibutuhkan oleh berbagai lembaga di Indonesia. Indonesia sudah lama menjadi tempat uji terlengkap berbagai sistem pemetaan radar yang pernah dikembangkan di dunia. Hal ini dikarenakan lokasi Indonesia berada di khatulistiwa serta ketertutupan awannya yang tinggi sehingga sesuai untuk uji radar yang ditargetkan dapat mengatasi awan. Oleh karena itu sudah saatnya pelaku pemetaan di Indonesia tak sekedar menjadi objek, tetapi juga sebagai subjek pemetaan dengan radar dan menyambut ujicoba yang ada sebagai peluang untuk membantu Indonesia dalam menyediakan data spasial.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan citra high resolution TerraSAR-X dalam mengklasifikasi penutupan lahan dan identifikasi spesies penyusun hutan mangrove.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan citra radar yang akan digunakan untuk meningkatkan akurasi pengambilan data pada daerah yang memiliki tingkat gangguan berupa awan yang tinggi.

2. Sebagai bahan pertimbangan untuk memilih metode klasifikasi penutupan lahan dengan hasil akurasi yang terbaik.

3. Sebagai komplemen dari citra optik untuk memonitoring tutupan lahan yang tidak bisa dilakukan oleh citra optik.


(3)

2.1 Radar (Radio Detection and Ranging)

Radar merupakan metode penginderaan jauh gelombang mikro aktif yang meliputi pencitraan pulsa energi gelombang mikro dari sensor ke target dan kemudian mengukur pulsa balik atau sinyal pantulan (backscatter). Pemanfaatan radar dikalangan militer antara lain untuk menentukan dan pendeteksian objek pada kondisi malam hari, tersamarkan atau tertutupi kamuflase dan dalam cuaca yang berawan serta untuk navigasi pesawat udara dan kapal laut, sedangkan radar untuk keperluan sipil dimulai tahun 1960-an (Lo 1996).

Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), radar merupakan suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan letak posisinya, prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek dan atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari asal gema ”echo” atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang.

Sistem penginderaan jauh dengan sistem radar (microwave remote sensing) ini sangat berbeda dengan sistem optik karena permukaan bumi yang diindera tidak menggunakan energi matahari tetapi menggunakan energi yang disuplai dari sensor sendiri (sensor aktif). Sistem optik sangat bergantung pada

scattering dan penyerapan yang disebabkan oleh klorofil, struktur daun, ataupun biomassa, sedangkan sensor dari sistem radar tergantung dari struktur kasar tajuk, kadar air vegetasi, sebaran ukuran bagian-bagian tanaman dan untuk panjang gelombang tinggi tergantung pada kondisi permukaan tanah (Jaya 2007).

Sifat sistem radar dipengaruhi oleh: (1) Panjang gelombang dan kemampuan daya tembusnya terhadap atmosfer dan permukaan tanah, dan (2) Sudut depresi antena merupakan salah satu aspek geometrik pada citra radar dan penyebab terjadinya efek backscatterradar, efek bayangan pada objek (Purwadhi 2001).


(4)

Daya tembus terhadap atmosfer paling baik pada panjang gelombang yang lebih besar karena tidak terpengaruh hambatan atmosfer, sedangkan daya tembus terhadap permukaan tanah tergantung panjang gelombang dan konstanta dielektrik objeknya. Daya tembus besar pada panjang gelombang lebih besar dan material penutup kurang dari 1/10 panjang gelombangnya (biasanya sekitar 2-3 meter), daya tembus kecil pada konstanta dielektrik tinggi (objek yang kelembabannya tinggi) (Daulay 2011).

Panjang gelombang radar lebih dari 3 cm hanya sedikit berpengaruh oleh awan, kabut tebal, asap dan kabut tipis, dan hanya panjang gelombang yang besar yang benar-benar mampu menembus hujan lebat. Pada panjang gelombang yang lebih kecil, pantulan radar oleh tetes-tetes air masih dapat berpengaruh sehingga memberikan faktor gangguan yang sangat tinggi. Panjang gelombang yang lebih besar akan menghasilkan informasi yang jauh lebih sedikit mengenai kekasaran permukaan vegetasi dibandingkan panjang gelombang yang lebih kecil, tetapi panjang gelombang yang lebih besar akan banyak memberikan informasi mengenai kondisi medan. Di bidang kehutanan, panjang gelombang yang kecil lebih disukai, sedangkan para ahli tanah dan geologi biasanya lebih menyukai panjang gelombang yang lebih besar, karena akan diperoleh lebih banyak informasi yang relevan (Howard 1996).

2.2 Parameter Sistem Radar

2.2.1 Panjang Gelombang

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal sistem radar adalah panjang gelombang. Riansyah (2008) menyatakan bahwa intensitas hambatan balik tergantung pada sifat kekasaran muka objek (surface ruoghness), daerah panjang gelombang mikro yang digunakan dan polarisasi yang diamati. Panjang gelombang sinyal radar menentukan bentangan yang terpencar oleh atmosfer. Daya tembus pulsa radar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu daya tembus terhadap atmosfer dan terhadap permukaan. Makin rendah panjang gelombang maka daya tembusnya semakin rendah, dan sebaliknya, semakin tinggi panjang gelombang maka daya tembusnya akan semakin tinggi pula. Kisaran panjang gelombang (λ) pada band radar ditunjukkan pada Tabel 1.


(5)

Tabel 1 Kisaran panjang gelombang (λ) pada saluran / band radar Saluran / Band Panjang gelombang (λ)

(mm)

Frekuensi (f) = Cλ-1

Megaherts (106putaran-detik-1)

Ka 7,5–11 40.000–26.500

K 11–16,7 26.500–18.000

K4 16,7–24 18.000–12.500

X 24–37,5 12.500–8.000

C 37,5–75 8.000–4.000

S 75–150 4.000–2.000

L 150–300 2.000–1.000

P 300–1.000 1.000–300

Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990) 2.2.2 RADARPolarimetry

RADAR Polarimetry (Polar : Polarisasi, Metry : Menghitung) adalah bidang ilmu untuk memproses dan menganalisa polarisasi dari sebuah bidang elektromagnetik (Kusumardana 2005).

Polarisasi merupakan sifat penting dari suatu gelombang elektromagnetik. Menurut Raimadoya (2007), komponen terprediksi gelombang ini mempunyai suatu karakteristik struktur geometrik yang menentukan sifat geometrinya. Ketika dilihat sepanjang arah perambatannya dan mengasumsikan sumbu horizontal dan vertikal merujuk pada suatu sistem koordinat yang spesifik (misalnya sumbu didefinisikan paralel terhadap antena RADAR), maka ujung dari vektor medan listrik mengikuti suatu pola beraturan. Jika panjang dan kecepatan rotasi vektor medan listrik masing-masing mewakili amplitudo dan frekuensi gelombang, maka polarisasi merujuk pada orientasi dan bentuk dari pola yang diikuti oleh vektor medan listrik (Gambar 1). Vektor gelombang listrik merupakan penciri dari jenis polarisasi yang bervariasi dalam ruang dan waktu (Bariguna 2008).

Gambar 1 Gelombang bidang elektromagnetik (Canada Center of Remote Sensing 2009).


(6)

RADAR dirancang untuk memancarkan radiasi gelombang mikro baik terpolarisasi horizontal maupun vertikal. Dengan cara serupa, antena menerima energi hamburan balik baik yang terpolarisasi horizontal atau vertikal. Simbol arah polarisasi pemancar dan antena (penerima) ditunjukkan oleh huruf H dan V untuk horizontal dan vertikal. Polarisasi HH dan VV merupakan rambatan sinyal RADAR yang dipancarkan serta diterima oleh sensor masing-masing secara horizontal dan vertikal pesawat. Polarisasi HV merupakan rambatan sinyal RADAR yang dipancarkan secara horizontal dan diterima secar vertikal relatif terhadap pesawat. Demikian berlaku sebaliknya untuk polarisasi VH (Gambar 2). Pencitraan radar yang dilakukan menggunakan berbagai kombinasi polarisasi dan panjang gelombang, dapat menghasilkan berbagai informasi yang komplementer bagi sasaran di permukaan bumi (Raimadoya 2007). Ada empat kemungkinan kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu HH, HV, VH, dan VV. Citra yang mempunyai keempat polarisasi ini disebut citra yang full polarization. Bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan, karena berbagai objek diubah polarisasi tenaga yang dipantulkannya dalam berbagai tingkatan.

Gambar 2 Ilustrasi gelombang hamburan balik. 2.3 Satelit TerraSAR-X

TerraSAR-X adalah sebuah satelit observasi bumi milik Jerman, merupakanjoint ventureyang dilakukan di bawah kemitraanpublic-privateantara Aerospace Center DLR Jerman dan EADS Astrium GmbH, pemegang hak eksploitasi komersial eksklusif yang dimiliki oleh penyedia layanan geo-informasi


(7)

Infoterra GmbH. TerraSAR-X diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007 di Boikonur Cosmodrome, Kazakhstan, dan telah beroperasi penuh sejak Januari 2008. Setelah peluncuran satelit kedua, TanDEM-X tahun 2010 awal, kenyataannya kedua satelit tersebut sebagai pasangan (Infoterra 2011). Satelit TerraSAR-X dapat dilihat pada Gambar 3, sedangkan sistem parameter dan orbitnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Bagian dari komponen citra TerraSAR-X sendiri dapat dilihat pada Gambar 4.

Produk TerraSAR-X terdiri dari beberapa tahap (infoterra.de), antara lain : 1. RaNSAR Radiometrically Corrected Images, untuk peningkatan

interpretasi objek topografi.

2. ORISAR Orthorectified Images, untuk menampilkan peningkatan ketepatan lokasi piksel berdasarkan integrasi eksternal berkualitas tinggi DEMs.

3. MCSAR Radar Mosaics, untuk perakitan gambar yang berdekatan menjadi satu sebagai Dataset yang harmonis.

4. ADMSAR Ascending-Descending Merges, untuk mengurangi efek samping yang tampak seperti bayangan danlayoversecara signifikan.


(8)

Tabel 2 Sistem parameter dari TerraSAR-X Sistem Parameter

Carrier rocket Dnepr rocket

Satellite mass 1230 kg

Satellite size 5 mheight by2,4 mdiameter

Type Low Earth Orbit

Radar carrier frequency 9,65 GHz

Radiated RF Power 2 kW

Nominal radar duty cycle ~18 % Incidence angle range for

stripmap/scanSAR

20º - 45ºfull performance(15º - 60º accessible)

Polarizations HH, VH, HV, VV

Antenna lenght 4,8 m

Nominal look direction right

Antenna width 0,7 m

Number of stripmap/scanSAR elevation beams

12 (full performance range) 123 (access range)

Number spotlight azimuth beams ca.249 Incidence angle range for spotlight

modes

20º - 55ºfull performance(15º - 60º accessible)

Pulse Repetition Frequency (PRF) 2,0 kHz–6,5 kHz

Range Bandwidth max.150 MHz (300 MHzexperimental) Sumber :Fritz and Eineder (2006)

Tabel 3 Orbit danattitudeparameter dari TerraSAR-X Orbit dan attitude parameter Nominal orbit height at the equator 514 km

Orbits/day 152/11

Revisit time (orbit repeat cycle) 11days

Inclination 97,44º

Ascending node equatorial crossing time 18:00 + 0,25h(local time) Attitude steering “Total Zero Doppler Steering” Sumber :Fritz dan Eineder (2006)


(9)

10 km

5-10 km 2.3.1 Mode Pencitraan

Instrumen waktu dan arah dari antena elektronik menurut Fritz dan Eineder (2006) dapat diprogram dengan kemungkinan berbagai kombinasi. Dari banyak kemungkinan teknis, empat mode pencitraan telah dirancang untuk mendukung berbagai aplikasi mulai dari pencitraan resolusi polarimetrik menengah hingga pencitraan resolusi tinggi. Karena antena yang pendek, sistem dioptimalkan untuk resolusi azimut yang lebih tinggi. Akibatnya,

Pulse Repetition Frequency (PRF) harus tinggi yang membatasi lebar maksimum petak lapangan yang dapat direkam.

Mode pencitraan berikut ini ditetapkan untuk perkembangan produk dasar: 1. Stripmap mode(SM) dalamsingleataudual polarization

2. High Resolution Spotlight mode(HS) dalamsingleataudual polarization

3. Spotlight mode(SL) dalamsingleataudual polarization

4. ScanSAR mode(SC) dalamsingle polarization

2.3.2 ModeSpotlight

Menurut Fritz dan Eineder (2006) mode spotlight menggunakan sistem kemudi phased array beam pada arah azimut untuk menambah waktu pencahayaan, yaitu ukuran synthetic aperture. Aperture yang terbesar dalam resolusi azimut yang lebih tinggi berpengaruh pada biaya ukuran scene azimut. Dalam kasus ekstrim dari mode spotlight, rekaman antena akan berhenti beroperasi pada scene dan panjang scene sesuai dengan panjang rekaman antena (Gambar 5).


(10)

BerdasarkanFritz dan Eineder (2006) rekaman antena X-Band pada mode spotlight tidak diprediksi untuk digunakan pada TerraSAR-X karena ukurannya yang kecil. Sebaliknya, dua varian sliding mode spotlight dirancang dengan nilai yang berbeda untuk resolusi dan ukuran scene azimut. Untuk identifikasi produk tersebut diberi nama "spotlight" dan "high resolution spotlight". Pencitraan spotlight ini hanya membutuhkan beberapa detik dan membutuhkan kemudi antena yang tepat secara simultan sebagai sensor yang melewati scene, sehingga sapuan area yang diinginkan akan membutuhkan sasaran dan waktu yang tepat. TerraSAR-X menawarkan fleksibilitas yang tinggi untuk citra penggunaan kawasan yang penting. Dalam elevasi, elevasi spotlight 123 dimaksudkan untuk menyesuaikan pusat scene sedikit demi sedikit sehingga luas yang diperlukan dapat ditempatkan di tengah-tengah scene. Pada azimut sekitar 125 beams dari satu set 249 beams digunakan bersama dalam satu data yang diperlukan untuk memperpanjang synthetic aperture. Proses pencitraan dimulai ketika global positioning system (GPS) dioperasikan, yaitu ketika satelit mencapai posisi sepanjang orbit yang dihitung dari koordinat pusat scene yang dibutuhkan pengguna. Dengan cara ini pengaruh kesalahan prediksi sepanjang jalur orbit pada lokasi produk akhir dapat dikompensasi.

Mode high resolution spotlight (HS) dirancang untuk resolusi azimut 1 meter dan mengakibatkan dalam sebuah scene azimut berukuran 5 km. Karakteristik Modehigh resolution spotlight(HS) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Parameterhigh resolution spotlight mode

Parameter Nilai

Scene extension 5 km (azimuth) x 10 km (ground range) Full performance incidence angle range 20º - 55º

Data access incidence angle range 15º - 60º

Number of elevation beams 95 (full performance) 123 (data access) Number of azimuth beams ca. 249

Azimuth steering angle + 0,75º

Azimuth resolution 1 m (single polarization) 2 m (dual polarization)

Ground range resolution 1,34 m–3,21 m (@ 55°..20°incidence angle)

Polarizations HH or VV (single)

HH/VV (dual) Sumber :Fritz dan Eineder (2006)


(11)

2.3.3 Resolusi Geometrik

Kisaran teoritis resolusi maksimum slant range TerraSAR-X menurut Fritz dan Eineder (2006) pada polarisasi tunggal adalah 0,89 meter yang didasarkan pada bandwidth kisaran 150 MHz jika tidak ada bobot spektral yang diterapkan. Untuk produk yang terdeteksi bobot spektral, resolusi maksimumnya dikurangi dengan bobot kisaran spektrum dengan Hamming window (koefisien 0,75) untuk menekansidelobedari fungsi point target response(PTR) hingga -20 dB. Hal ini menghasilkan resolusi slant range sebesar 1,0 meter. Bandwidth kisaran 150 MHz tidak dapat dicapai untuk semua incidence angle, tergantung pada parameter waktu yang sebenarnya, hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu instrumen. Jangkauan sorotan yang jauh dapat dioperasikan dengan mengurangi berbagai pengaturan bandwidth pada 100 MHz. Hal ini juga dapat menyebabkan berbagai pengaturan bandwidth yang berbeda dalam ScanSAR 4 sorotan.

Dalam teori menurut Fritz dan Eineder (2006), resolusi azimut pada mode

stripmap adalah setengah dari panjang antena (4,8 m / 2 = 2,4 m). Karena batas sampling merupakan sin (x)/x maka pembentukan spektrum Doppler selalu terjadi. Dalam prosesor, bandwidth dikurangi dan pembentukan spektral dilakukan untuk mengurangi ketidakteraturan yang disebabkan oleh aliasing

(peningkatan rasio ketidakteraturan sinyal azimut "SAAR") dan untuk memperbaiki bentuk PTR. Sebuah resolusi konstan sebesar 3 meter merupakan tujuan desain untuk semua produk stripmap polarisasi tunggal. Pemrosesan

bandwidth Doppler pada mode polarisasi tunggal dan polarisasi ganda masing-masing sekitar 2266 Hz dan 1066 Hz. Dalam mode polarisasi ganda PRF efektif per channel menurun dan resolusi efektif dari produk tersebut akan disesuaikan hingga 6 meter, yaitu setengah dari resolusi polarisasi tunggal. Strategi analog diterapkan pada dataspotlightpolarisasi ganda.

2.4Digital Number

Digital Number (DN) merupakan variasi intesitas suatu piksel, yang ditunjukkan oleh komposisi warna dari apa yang di tampilkan pada citra. Lebih lanjut Bariguna (2008) menjelaskan bahwa nilai intensitas mempengaruhi posisi


(12)

pada tiap lapisan RGB.Band dengan nilai intensitas pada DN yang paling tinggi, maka warnanya akan dominan dan posisinya berada pada lapisan Red. Demikian seterusnya untuk band dengan nilai intensitas yang semakin rendah secara berurutan akan menempati posisi lapisanGreendanBlue.

Digital Number (DN) juga dapat disebut sebagai salah satu bentuk output data statistik yang mengekspresikan kunci polarisasi (ITT Visual Information Solutions 2008). Kedua definisi DN tersebut saling berkaitan, karena secara statistik nilai intensitas menentukan nilai Coefisien Backscetter. Rumus yang menjelaskan hubungan antara keduanya adalah sebagai berikut :

= 10 log 10 ( )

Keterangan : σ adalahCoefisien backscatter(dB) I adalah intensitas dalam 16 bit

Besarnya nilai Coefisien Backscetter menunjukkan besarnya intensitas sinyal hamburan balik (Arifin 2007). Pada Horizontal Profile, nilai instensitas sinyal hamburan balik tersebut ekuivalen dengan nilai Digital Number (DN) (ITT Visual Information Solutions2008). Sehingga baik nilai intensitas hamburan balik pada Horizontal Profile maupun nilai DN, dapat digunakan untuk mempelajari karakteristik hamburan balik suatu objek. Suatu objek biasanya memiliki karakteristik hamburan balik yang khas untuk suatu polarisasi tertentu.

2.5SpeckleFilter

Interferensi acak yang ditimbulkan oleh penyinaran RADAR koheren dan hamburan balik mengakibatkan fluktuasi rata-rata sel resolusi meningkatkan intensitas acak yang tajam dari area yang gelap dan terang pada citra SAR. Intensitas acak yang tajam tersebut dinamakanspeckle.Specklemerupakan bentuk esensial dari noise yang dapat mendegradasi kualitas citra dan menyulitkan interpretasi visual dan digital suatu citra. Oleh karenanya sebelum dilakukan interpretasi dan analisis, speckleperlu direduksi. Reduksispeckledapat dilakukan melalui 2 cara yaitu pengolahan multi-look dan pemfilteran spasial (Raimadoya 2007). Piksel yang telah difilter akan menempati piksel asli dengan nilai baru hasil


(13)

perhitungan yang berdasarkan jarak dari pusat filter, faktor kabut, dan variasi lokal (ITT Visual Information Solutions2008).

FilterLeedan filterFrostmerupakan aplikasi pemfilteran spasial (adaptive filter) yang menggunakan standar deviasi untuk menghitung nilai baru sebuah pixel yang berada di sekitar kotak lokal (kesatuan pixel yang digunakan untuk memfilter citra digital). Berbeda dengan filter penghalus berfrekuensi rendah,

adaptive filter menjaga ketajaman dan detil citra ketika mereduksi noise (ITT Visual Information Solutions2008).

2.6 Penutupan Lahan

Tutupan lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (sitis), yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Hendayanti 2008).

Secara nasional, peta penutupan lahan/penggunaan lahan tertua adalah peta penggunaan lahan tahun 1969 yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan peta ini, penutupan lahan dibagi menjadi 14 tipe penggunaan lahan, pada skala 1:250000. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra Landsat dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa/lahan kering). Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan menggunakan 23 kelas (Baplan 2008).

Setiap tutupan lahan memiliki karakteristik spektral yang berbeda. Hal ini terjadi karena bagi material-material yang mnjadi target sensor, jumlah radiasi sinar matahari yang dipantulkan, diserap, atau bahkan diteruskan kembali akan bervariasi sesuai dengan beberapa panjang gelombang yang dipancarkan. Karakter istik dari setiap materi tersebut diantaranya :

a. Nilai pantulan dari target clear water (unsur air jernih/bersih) pada umumnya rendah (cenderung berwarna biru-gelap). Walaupun demikian, pantulan ini akan mencapai nilai maksimum pada akhir spektrum biru dan kemudian menurun sejalan dengan meningkatnya panjang gelombang. Air


(14)

jernih menyerap tenaga pada panjang gelombang kurang dari 0,6 µm (Prahasta 2008).

b. Turbid water (air keruh), kemungknan besar , mengandung endapan atau sedimen (biasanya pada layer bagian atas perairan yang bersangkutan) yang dapat meningkatkan nilai pantulan pada domain merah-akhir spektrum hingga kenampakannya bisa jadi kecoklatan (nilai pantulannya “lebih baik” dan kenampakannya lebih cerah). Sementara warna kenampakannya akan memperlihatkan suatu pergeseran yang mulus ke arah gelombang yang lebih panjang. Ada kalanya fakta (fenomena) pada air keruh tidak jauh berbeda dengan kondisi pada perairan dangkal (shallow water) yang bersih. Pada kasus ini, keberadaan klorofil alga (jika banyak terdapat di dalam perairan yang bersangkutan) lebih banyak menyerap radiasi gelombang pada domain biru dan memantulkan yang hijau. Oleh karena itu kehadiran alga dalam shallow water akan menyebabkan perairan yang bersangkutan berwarna kehijauan (kadang juga berwarna biru-hijau atau cyan).

c. Secara umum, pada wilayah perairan, radiasi elektromagnetikvisible yang lebih panjang dan near-infrared lebih banyak diserap daripada radiasi elektromagnetik visible yang panjang gelombangnya lebih pendek. Oleh karena itu, wilayah perairan sering juga Nampak berwarna kebiruan atau kehijau-biruan karena pantulan yang lebih kuat dari gelombang yang lebih pendek tadi. Walaupun demikian, tubuh air akan Nampak lebih gelap jika menggunakan band-band merah (visiblepaling kanan [lebih panjang]) atau

near-infrared.

d. Beberapa faktor yang mempengaruhi pantulan tanah ialah kandungan kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung), Kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik (Prahasta 2008). Adanya kelembaban di tanah akan mengurangi pantulanya. Pengaruh ini terjadi paling besar pada spektrum 1,4 µm, 1,9 µm dan 2,7 µm. Kandungan kelembaban tanah berhubungan kuat dengan tekstur tanah. Misalnya pada tanah berpasir dengan tekstur kasar menghasilkan kandungan kelembaban tanah rendah dan pantulanya relatif


(15)

tinggi. Dengan tidak adanya kandungan air tanah akan bertekstur kasar dan akan tampak lebih gelap pada tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang memperkecil pantulan tanah yaitu kekasaran permukaan dan kandungan bahan organik (Lillesand dan Kiefer 1990 ).

e. Vegetasi memilikispectral signature yang unik dan memungkinkan untuk membedakan tipe-tipe penutupan lahan pada iage near-infrared. Pantulanya akan bernilai rendah pada spektrum biru dan merah. Hal ini terjadi karena terjadi penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis (Prahasta 2008). Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau. Hal ini dipengaruhi oleh pigmen daun pada tumbuhan. Klorofil misalnya, banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat antara 0,45 µm – 0,65 µm. Apabila terjadi gangguan pada tumbuhan dan mengakibatkan penurunan produksi klorofil, maka serapan klorofil pada spektrum merah dan biru akan berkurang. Hal ini akan mengakibatkan warna untuk tumbuhan tersebut menjadi kuning (gabungan antara hijau dan merah karena pantulan pada spektrum merah bertambah) . Setelah panjang gelombang 1,3 µm, tenaga yang datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit yang ditransmisikan. Penurunan pantulan pada daun akan terjadi pada panjang gelombang 1,4 µm, 1,9 µm dan 2,7 µm karena air yang terdapat pada daun pada panjang gelombang ini kuat sekali serapannya. Sehingga pada panjang gelombang ini sering disebut spektrum penyerap air (Lillesand dan Kiefer 1990).

2.7 Klasifikasi Penutupan Lahan

Klasifikasi merupakan upaya ekstraksi informasi dari data penginderaan jauh. Klasifikasi dilakukan untuk mengelompokkan atau mengkelaskan data ke dalam kelompok yang memiliki karakteristik yang homogen (Barus 1997). Klasifikasi penutupan lahan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu digital dan visual. Kalsifikasi tutupan lahan menggunakan metode digital memiliki beberapa keterbatasan seperti adanya bayangan topografi dan topografi yang menghadap ke arah sensor. Pada objek-objek yang berada pada bayangan topografi dan topografi yang menghadap arah sensor cenderung terjadi kesalahan klasifikasi tutupan


(16)

lahan. Hal ini disebabkan karena nilai digital pada daerah bayangan topografi dan topografi arah sensor terkadang tidak sesuai dengan nlai digital tutupan lahan yang seharusnya.

Penafsiran tutupan lahan secara visual menggunakan elemen interpretasi tertentu seperti warna, tekstur, bentuk, pola, asosiasi dan situs. Berbeda dengan klasifikasi secara digital, penafsiran tutupan lahan secara visual bersifat kualitatif, sehingga perlu dilakukan proses kuantifikasi. Proses kuantifikasi ini penting karena perhatian penafsir pada apa yang terdapat pada citra hampir selalu disertai dengan memperhatikan dimana kedudukan objek yang diamati tersebut di lapangan dan bagaimana bentangan arealnya (Lillesand dan Kiefer 1990).

Ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil penafsiran visual, yaitu ragam jenis tutupan lahan, keberadaan alat bantu, dan penafsir. Ragam jenis tutupan lahan dapat dikategorikan tetap dikarenakan pada suatu wilayah ragam jenis tutupan lahan cenderung tetap, sementara penafsir pada umumnya memiliki kemampuan yang berbeda pada setiap individu. Keberadaan manual sebagai alat bantu penafsiran visual menjadi penting karena penafsir yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang berbeda. Kualitas hasil penafsiran tutupan lahan kemudian ditentukan oleh kualitas alat bantu penafsiran, dalam hal ini manual penafsiran tutupan lahan (Salman 2011).

Klasifikasi penutupan lahan secara digital menggunakan elemen piksel sebagai interpretsi yang dilakukan oleh komputer. Klasifikasi digital dapat dilakukan secara terbimbing dan tidak terbimbing. Klasifikasi terbimbing merupakan teknik umum yang menggunakan informasi yang berasal dari beberapa area yang diketahui identitasnya untuk mengklasifikasikan piksel yang tidak diketahui pada citra. Sedangkan klasifikasi tak terbimbing merupakan teknik otomatis yang mencari kelompok natural atau klaster dari piksel-piksel berdasarkan kecerahannya pada beberapa band(ITT Visual Information Solutions

2008).

2.8 Hutan Mangrove

Perkataan mangrove berasal dari kombinasi antara istilah dari bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macne 1968 dalam Kusmana 1995).


(17)

Menurut bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di laut, atau setiap individu jenis tumbuhan yang berasosiasi dengannya. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk setiap individu tumbuhan yang tumbuh di laut, dan kata mangal untuk menunjukkan komunitas tumbuhan yang terdiri atas jenis-jenis mangrove.

Kata mangrove menurut FAO (1982) sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Dengan demikian hutan mangrove adalah hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut.

Nybakken (1982) menyebutkan hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suat varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Lebih lanjut dikatakan bakau adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.

Menurut Undang-Undang no 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan mangrove terdiri dari dua kata, yaitu hutan dan mangrove. Hutan adalah suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Arti kata mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang dan surut, tetapi dapat juga tumbuh pada pantai karang, dataran koral mati yang di atasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur (Bappeda Sidoarjo 2008).

2.9 Keragaman Mangrove dan Kondisi Mangrove di Sidoarjo

Keberadaan mangrove di Pesisir Kabupaten Sidoarjo menarik untuk dikaji. Baik menarik dari aspek kelimpahan jenis maupun model zonasinya. Berdasarkan data dari Bappeda Sidoarjo, sepanjang garis pantai dan arah daratan zonasi mangrove sangat sulit untuk ditentukan. Hal ini karena sepanjang garis pantai terdapat berbagai jenis yang berbeda-beda antar lokasi (desa sepanjang garis


(18)

pantai). Demikian pula ke arah daratan zonasi mangrove sulit untuk dilakukan pengelompokan.

Berdasarkan data pengamatan yang dilakukan Bappeda Sidoarjo tahun 2010 dari plot yang terletak di Dusun Bromo pada Muara sungai Kepitingan diketahui terdapat kurang lebih 19 spesies mangrove tegakan yaitu; Acrosticum speciosum, Aegiceras flororidum, Avicenia marina, Avicenia lanata, Avicenia officianalis, Avicenia alba, Excocaria agallocha, Nypa fruticans, Rhizophora mucronata, Soneratia alba, Soneratia caseolaris, Xylocarpus molucensis, Calotropis gigantea, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Morinda citrifolia, Passiflora foetida, Sesuvium portulacastrumdanTerminalia catappa.

Avicennia alba merupakan mangrove yang dominan pada kawasan tersebut, hal ini ditunjukkan dari nilai Dominasi relatif yang tertinggi dibanding dengan jenis mangrove yang ada lainnya. Dengan demikian mangroveAvicennia alba merupakan jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan mengkontrol komunitas pada kawasan tersebut. Avicennia Alba dan Sonneratia Alba

menunjukkan sebaran dengan frekuensi tertinggi pada akawasan tersebut.

Avicennia Albajuga merupakan mangorove yang paling adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat dibanding dengan mangrove lainnya.

Hasil perhitungan luasan hutan mangrove berdasarkan data Bappeda Sidoarjo menggunakan citra satelit Spot rekaman september 2010 adalah sebagaimana tabel berikut berikut.

Tabel 5 Luas hutan mangrove di Kabupaten Sidoarjo

Kecamatan Luas Hutan Mangrove (Ha)

Buduran Candi Jabon Porong Sedati Sidoarjo Tanggulangin Waru 68,844 136,240 1.006,722 15,461 472,690 221,575 10,838 53,875 Total 1.986,245

Sumber : Bappeda Sidoarjo (2010)

Data dari Bappeda Sidoarjo juga menyebutkan bahwa ancaman terbesar komunitas hutan mangrove di pesisir Kabupaten Sidoarjo adalah berupa


(19)

perubahan fungsi hutan mangrove menjadi tambak yang sebelumnya dilakukan penebangan vegetasi/kayu mangrove. Ancaman ke depan terkait dengan lahan hutan mangrove adalah perkembangan kawasan yang membutuhkan lahan sebagai tempat beraktifitas seperti industri, pergudangan, perdagangan, dan permukiman. Kondisi ini akan semakin meningkat dengan ditetapkannya kawasan timur Kecamatan Sedati sebagai kawasan strategis yang pada akhirnya akan merubah kondisi lingkungan setempat.

Penebangan vegetasi mangrove oleh masyarakat masih sering dijumpai mengingat kayu mangrove mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik. Sebagian kelompok masyarakat sudah memahani peran dan fungsi hutan mangrove bagi kelangsungan ekosistem dipesisir. Hal ini ditunjukkan dengan kesadaran untuk penanaman mangrove secara swadaya.


(20)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Kegiatan pengolahan dan analisis dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Perangkat Keras (Hardware) dan Perangkat Lunak (Software)

HardwaredanSoftwareyang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Seperangkatnotebookyang terdapatSoftware:

- PolSARprov4.2.

- ENVI4.7

- ERDAS IMAGINE9.1

- Microsoft WorddanExel2010

- Google Earth Prov5.0.1

b. Kamera digital Kodak C143Easyshare

c. GPS Garmin Oregon 550 3.3 Data

Data utama yang digunakan pada penelitian ini adalah :

a. Citra TerraSAR-Xdual polarizationmodehigh resolution Spotlight

rekaman Desember 2007 (sumber : Departemen ITSL, IPB).

b. Citra Quickbird yang terdapat pada google earth rekaman Juli 2010 (sumber :google earth)

Data pendukung lainnya :

a. Peta digital tutupan lahan daerah pesisir Kabupaten Sidoarjo tahun 2010 (sumber : Bappeda Sidoarjo).


(21)

b. Peta sebaran mangrove Kabupaten Sidoarjo tahun 2010 (sumber : Bappeda Sidoarjo).

c. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sidoarjo tahun 2011 (sumber : Bappeda Sidoarjo).


(22)

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.


(23)

Tampilan citra dual polarization dari TerraSAR-X masing-masing polarisasi HH dan VV dapat dilihat menggunakan software ENVI 4.7 dalam bentuk tiga jendela grup (Gambar 7), yaitu Image Window, Scroll Window dan

Zoom (4x) Window.

a c

Gambar 7 [a]Image window,[c]scroll window dan [b] zoom (4x) window pada citra polarisasi HH.

Gambar 8 Citra hasilcroppingarea penelitian pada polarisasi HH. b


(24)

a c

Gambar 9 [a]Image window,[c]scroll window dan [b] zoom (4x) window pada citra polarisasi VV.

Gambar 10 Citra hasilcroppingarea penelitian pada polarisasi VV. 3.4 Metode Pengolahan Data

Tahapan penelitian dimulai dengan pengolahan awal citra yang berupa proses ekstraksi, cropping dan reduksi speckle. Kemudian dilakukan proses analisis citra secara visual dan digital. Hasil verifikasi digital kemudian diperiksa


(25)

akurasinya dengan membandingkan hasil analisis visual menggunakan bantuan hasil ground check dan perbandingan citra Quickbird dari google earth. Setelah itu dilakukan proses stratified classification pada penutupan lahan hutan mangrove. Tahapan penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 12.

3.4.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing)

3.4.1.1 Ekstraksi Pada Citra Terrasar-X High Resolution dan Proses Cropping

Citra TerraSAR-X harus diekstraksi terlebih dahulu agar dapat diproses lebih lanjut. Proses ekstraksi ini menggunakan bantuansoftwarePolSARpro v4.2. Sebelum dilakukan proses ekstraksi, data citra TerraSAR-X harus di-import

terlebih dahulu ke dalam software. Setelah data masuk kemudian memilih menu

read header yang terdapat pada menu PolSARpro. Pada saat proses ekstraksi, harus dipilih opsi full resolution.Keluaran dari hasil ekstraksi berupa file dengan format *.bin dan citra RGB dengan tampilan (|VV|-|HH-VV|-|HH|). Hasil ekstraksi tersebut merupakan proses ekstraksi keseluruhan area pencitraan satelit.

File ekstraksi pada wilayah yang diinginkan diperoleh dengan cara memasukkan batas kolom piksel dan batas baris piksel pada area yang diinginkan. Proses ini sama halnya dengan melakukan cropping pada citra yang telah terkoreksi. Hal ini bertujuan untuk lebih memfokuskan perhatian ke area penelitian juga untuk mereduksi volume data citra, agar mudah dalam proses di komputer.

3.4.1.2 ReduksiSpeckle

Reduksi specklepada penelitian ini dilakukan denganadaptive filter yaitu

Lee danFrost. Filter ini digunakan untuk mereduksispeckle pada citra polarisasi HH dan polarisasi VV citra TerraSAR-X. Wilayah pemfilteran lokal (local region filter) pada proses filterisasi Lee dan Frost dilakukan pada jendela 3x3 (Gambar 11). Ukuran jendela ini menunjukkan ukuran arah pergerakan piksel menurut 8 arah mata angin, yang berada di sekitar piksel yang diamati (noise). Praktek pemfilteran sebenarnya dapat dilakukan secara berulang untuk meningkatkan ukuran jendela / wilayah pemfilteran lokal. Namun hal tersebut tidak dilakukan


(26)

pada penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk menjaga variasi nilai DN pada piksel di wilayah pemfilteran lokal yang dirumuskan sebagai berikut :

= [ ( , − ) ]/ ( − 1)

Keterangan :

n = ukuran kernel (ITT Visual Information Solution 2008)

Gambar 11 Kernel ukuran 3x3 pada prosesfiltering.

Filter Lee menggunakan distribusi statistik pada nilai DN di wilayah pemfilteran l untuk mengestimasi piksel mana yang akan menjadi pusat perhatian (noise). Speckle pada pencitraan radar dapat dirumuskan sebagai perkalian noise

dengan nilai rata-rata satu. Rumus standar deviasinoiseadalah sebagai berikut:

= √ = = ( )

PemfilteranLeemenggunakan asumsi bahwa rata-rata dan variasi piksel di wilayah yang diamati sama dengan rata-rata dan variasi lokal dari semua piksel yang berada di wilayah pemfilteran lokal yang dipilih. Perhitungan pemfilteran

Leeadalah sebagai berikut :

= [ ] + [ − ]

Keterangan :

K =normalization constant

Filter Frost merupakan filter kabut yang secara eksponensial lingkaran simetrik menggunakan lokal statistik. Lokal statistik berfungsi untuk memindahkan jendela filter yang menyesuaikan dengan respon filter terhadap pulsa. Rumus DN output hasil pemfilteranFrostadalah sebagai berikut :

= | |

X1 X2 X3 Y1

Y2

Y3


(27)

= { | | = | |}/ ( × )

dimana,

= 4 Ι̅

Keterangan :

K =normalization constant

Ī =local mean

=local variance

=image coefficient of variation value

= √

| | = | − | + | − |

X, Y =posisi koordinat piksel ke-i terhadap piksel tujuan (pusat kernel)

X0, Y0 =piksel tujuan (pusat kernel)

n =ukuran kernel (Lopeset al.1990) 3.4.2 Analisis Citra

3.4.2.1 Analisis Citra Secara Visual (Visual Image Interpretation)

Klasifikasi visual atau kualitatif merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra, dengan cara mengenalinya atas dasar karakteristik spasial, spektral, dan temporal. Unsur-unsur interpretasi yang digunakan yaitu:

a. Tone dan warna

Tone (derajat keabu-abuan / grayscale) dan warna adalah elemen dasar dari sebuah objek. Variasi tone/ warna sangat bergantung pada karakteristik dari setiap objek, karena warna merupakan hasil reflektansi, transmisi dan atau radiasi panjang gelombang yang dihasilkan dari objek yang bersangkutan. Tone atau warna sangat bergantung pada panjang gelombang atau band yang digunakan saat perekaman. Tingkat kecerahan dari objek sangat bergantung pada sifat dasar dari objek yang bersangkutan. Tone pada citra radar dapat didefinisikan sebagai intensitas rata-rata dari sinyal backscatter. Backscatter yang tinggi akan menghasilkan kecerahan yang tinggi (tone terang), sebaliknya backscatter yang rendah akan menghasilkan tingkat kecerahan yang rendah (tone gelap). Intensitas


(28)

tersebut dipengaruhi oleh karakteristik obyek, diantaranya berupa kekasaran permukaan, complex dielectric constant, kelerengan dan arah obyek. Selain itu untuk citra radar dipengaruhi juga oleh sistem sensor radar yang digunakan. b. Tekstur

Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Tekstur merupakan hasil gabungan dari unsur bentuk, ukuran, pola dan rona obyek. Tekstur sering dinyatakan dengan kasar, sedang atau halus. Tekstur kasar umumnya dibentuk oleh rona dengan variasi tinggi (belang-belang) dimana terjadi perubahan tone yang besar, sedangkan tekstur halus terbentuk dari variasi yang relatif kecil. c. Pola

Pola adalah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu merupakan karakteristik dari banyak obyek alamiah atau bangunan dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsiran untuk mengenali obyek yang bersangkutan. Pola yang digunakan pada interpretasi visual umumnya mengacu pada tata ruang atau tata letak objek dalam suatu ruang. Pola sebaran objek dengan jarak yang teratur, tone yang sama akan menghasilkan tampilan pola yang berbeda dengan objek yang tersebar secara acak (random) dan tone yang relatif berbeda.

d. Lokasi

Lokasi adalah letak obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain. Lokasi sangat berguna untuk membantu pengenalan obyek.

e. Asosiasi

Asosiasi dapat diartikan sebagau keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Karena keterkaitan inilah, maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain.

f. Bentuk

Bentuk ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas, sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya. Secara umum bentuk sebuah objek mengacu pada bentuk-bentuk


(29)

umum bagian luar (eksternal), struktur, konfigurasi atau garis besar dari individu objek. Bentuk-bentuk umum yang digunakan adalah variasi bentuk polygon dan atau garis, seperti segi empat panjang, segitiga, lingkaran, garis lurus, garis melengkung, dan sebagainya. Bentuk-bentuk objek buatan manusia umumnya lebih teratur dibandingkan dengan bentukbentuk alam. Pada citra radar, bentuk objek merupakan hasil rekaman dari posisi miring (oblique/side looking), jarak

slantdari radar. g. Ukuran

Ukuran adalah atribut obyek yang merupakan fungsi dari skala, oleh sebab itu dalam interpretasi citra harus selalu memperhatikan skala yang digunakan. Ukuran suatu objek atau yang tampak dalam citra atau foto sangat bergantung pada skala, resolusi dan ukuran objek yang sebenarnya ada di alam.

h. Bayangan

Pada citra radar, bayangan topografi adalah bagian yang tidak ada informasi backscatter. Bayangan itu juga berguna untuk meningkatkan atau mengidentifikasi topografi dan bentang alam, khususnya dalam citra radar. Bayangan pada radar sangat terkait dengan sudut miring dari radiasi gelombang mikro yang dipancarkan sistem sensor dan bukan oleh geometri dari iluminasi matahari.

Unsur interpretasi berdasarkan tingkat kerumitan dibedakan menjadi empat tingkat yaitu :

a. Kunci interpretasi primer, yaitu : tone dan warna.

b. Kunci interpretasi sekunder, yaitu : bentuk, ukuran, dan tekstur. c. Kunci interpretasi tersier, yaitu : pola dan bayangan.

d. Kunci interpretasi lebih tinggi, yaitu : lokasi atau asosiasi.

Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal dalam mengidentifikasi pola sebaran, penentuan jumlah kelas tutupan lahan dan macam kelas tutupan lahan yang ada di daerah penelitian.

3.4.2.2 Pengolahan Citra Digital (Image Processing)


(30)

klasifikasi citra. Berdasarkan tekniknya, klasifikasi dapat dibedakan menjadi klasifikasi terbimbing dan tidak terbimbing. Pada klasifikasi t e r b i m b i n g , pengelompokkan piksel ke dalam suatu kelas yang telah ditetapkan dilakukan oleh interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan (brightness) maupun warna dari piksel yang bersangkutan. Pada klasifikasi tidk terbimbing, pengelompokkan dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan nilai kecerahan (brightness value atau digital number) contoh yang diambil sebagai contoh (region of interest).

3.4.2.2.1 Klasifikasi Citra

Metode yang digunakan dalam klasifikasi ini adalah metode klasifikasi terbimbing dan tidak terbimbing. Metode klasifikasi terbimbing terdiri dari metode maximum likelihood, mahalanobis distance, minimum distance, parallelepiped dan Support Vector Machine (SVM). Untuk metode klasifikasi tidak terbimbing digunakan metode k-means. Kelima metode tersebut kemudian dicari nilai akurasinya untuk dapat dipilih suatu metode dengan nilai akurasi terbaik.

a. PembuatanRegion of Interest

Pembuatan region of interest (ROI) atau pengelompokan piksel-piksel pada setiap obyek dilakukan untuk mengambil informasi statistik kelas-kelas tutupan lahan. Pengambilan informasi statistik pada citra TerraSAR-X dilakukan dengan cara menentukan semua area contoh tiap kelas tutupan lahan secara manual dengan bantuan citra optik Quickbird pada google earth.. Informasi statistik dari setiap tutupan lahan ini digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi. Informasi yang diambil adalah nilai rata- rata, simpangan baku, nilai digital minimum, dan maksimum, serta matriks kovarian untuk setiap kelas tutupan lahan. Kegiatan pembuatan ROI ini hanya dilakukan pada metode klasifikasi terbimbing.

b. Analisis Separabilitas

Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang menunjukkan keterpisahan statistik antar kelas penutupan lahan, apakah suatu kelas layak untuk digabung atau tidak berdasarkan kriteria tingkat keterpisahan. Kelas yang


(31)

digunakan untuk analisis separabilitas ini merupakan hasil ROI pada metode klasifikasi terbimbing dan hasil kelas yang dibentuk pada klasifikasi tidak terbimbing. Metode yang digunakan untuk analisis ini adalah metode

transformed divergence.Kriteria tingkat keterpisahan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kriteria tingkat keterpisahan metodetransformed divergence

Nilai Transformasi keterpisahan Keterangan

2 Sempurna (excellent)

1,900–1,999 Sangat baik (good)

1,700–1,899 Baik (fair)

1,600–1,699 Cukup baik (poor)

< 1,600 Tidak terpisahkan (inseparable) Sumber : Jaya (2009) disesuaikan dengan software ENVI 4.7

3.4.2.2.2 Akurasi Hasil Klasifikasi

Salah satu cara untuk mengevaluasi ketepatan hasil klasifikasi adalah dengan melakukan evaluasi akurasi yaitu dengan membuat matriks kesalahan (error matrix). Matriks kesalahan adalah matriks bujur sangkar yang berfungsi untuk melihat penyimpangan klasifikasi yaitu berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas. Idealnya semua elemen yang bukan diagonal dalam matrik tersebut harus bernilai nol yang artinya tidak ada penyimpangan dalam matriks (Lillesand and Kiefer 1990).

Persentase ketepatan hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat dari nilai

User’s Accuracy, Producer’s Accuracy, Overall Accuracy dan Kappa Accuracy. Kappa Accuracy merupakan suatu ukuran yang paling banyak digunakan karena mempertimbangkan semua elemen dalam matriks kesalahan sehingga dinyatakan dengan rumus :

(K) = ∑ − ∑

− ∑ × 100%

= × 100%

= × 100%


(32)

dimana :

N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan R = Jumlah baris atau lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas) Xii = Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X+i = Jumlah piksel dalam kolom ke-i

Xi+ = Jumlah piksel dalam baris ke-i 3.4.3 Ekstraksi Hutan mangrove

3.4.3.1 Klasifikasi Hutan Mangrove

Estimasi spesies kawasan mangrove dilakukan menggunakan metode klasifikasi yang memiliki nilaioverall accuracy paling tinggi. Kawasan mangrove ini merupakan area yang didapat dari hasil penafsiran secara visual dan telah di

crop pada objek-objek lainnya untuk meningkatkan besarnya akurasi. Sehingga dengan menerapkan sistem stratified classification dapat mengurangi terjadinya kesalahan klasifikasi karena menghilangkan objek-objek lain.

a. PembuatanRegion of Interest

Pembuatan region of interest (ROI) pengelompokan piksel-piksel pada setiap obyek mangrove dilakukan untuk mengambil informasi statistik kelas-kelas tutupan lahan. Pengambilan informasi statistik pada citra TerraSAR-X dilakukan dengan cara menentukan semua areal contoh tiap kelas mangrove secara manual.

b. Analisis Separabilitas

Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang menunjukkan keterpisahan statistik antar kelas mangrove, apakah suatu kelas layak untuk digabung atau tidak berdasarkan kriteria tingkat keterpisahan. Metode yang digunakan untuk analisis ini adalah metode transformed divergence. Kriteria tingkat keterpisahan dapat dilihat pada Tabel 6.

3.4.3.2 Analisis Akurasi Klasifikasi Hutan Mangrove

Hasil dari klasifikasi kelas-kelas mangrove kemudian dievaluasi ketepatan hasil klasifikasinya. Salah satu cara untuk mengevaluasi ketepatan hasil klasifikasi adalah dengan melakukan evaluasi akurasi yaitu dengan membuat matriks kesalahan (error matrix) seperti yang telah dilakukan pada analisis akurasi penutupan lahan. Matriks kesalahan adalah matriks bujur sangkar yang berfungsi untuk melihat penyimpangan klasifikasi yaitu berupa kelebihan jumlah piksel dari


(33)

kelas yang lain atau kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas. Idealnya semua elemen yang bukan diagonal dalam matrik tersebut harus bernilai nol yang artinya tidak ada penyimpangan dalam matriks (Lillesand and Kiefer 1990).

Persentase ketepatan hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat dari nilai User’s Accuracy, Producer’s Accuracy, Overall Accuracy dan Kappa Accuracy. Kappa Accuracy merupakan suatu ukuran yang paling banyak digunakan karena mempertimbangkan semua elemen dalam matriks kesalahan sehingga dinyatakan dengan rumus :

(K) = ∑ − ∑

− ∑ × 100%

= × 100%

= × 100%

= ∑ × 100%

dimana :

N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan R = Jumlah baris atau lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas) Xii = Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X+i = Jumlah piksel dalam kolom ke-i

Xi+ = Jumlah piksel dalam baris ke-i 3.4.4 Pemeriksaan Lapangan (Ground Check)

Kegiatan pengecekan lapangan dilaksanakan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan atau kondisi lapangan secara nyata sebagai pelengkap informasi dan pembanding bagi analisis selanjutnya. Pengecekan lapangan yang dilakukan adalah dengan mengambil titik pada obyek-obyek yang telah ditentukan pada identifikasi awal. Tujuannya untuk mencocokkan tutupan lahan yang telah diidentifikasi di citra secara visual dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Pengambilan titik untuk pengamatan lapangan diutamakan pada daerah yang memiliki aksesibilitas yang baik, memiliki kenampakan yang berbeda dari


(34)

kenampakan umumnya dan mewakili contoh ketersebaran penutupan lahan pada daerah tersebut. Selain itu, pengecekan lapangan yang berupa pengkelasan spesies-spesies mangrove diperlukan pada proses ekstraksi hutan mangrove. Pengecekan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kelas mangrove di lapangan berdasarkan spesies penyusunnya dan dibandingkan dengan tampilan citra TerraSAR-X yang dapat mengkelaskan spesies mangrove tersebut.


(35)

3.4.5 Diagram Alir Penelitian

Gambar 12 Diagram alir metode penelitian. Mulai

Metode Klasifikasi Terbaik Pembuatan Tampilan Citra

RGB (|VV|-|HH-VV|-|HH|)

Ekstraksi Citra Pemotongan citra (cropping)

Klasifikasi Visual Data lapangan

(Ground Check)

Analisis Akurasi/Accuracy Assesment

Selesai

Row Data TerraSAR-X Citra Quickbird

(Google Earth)

Klasifikasi Digital

1.Supervised Classification:

- Maximum likelihood - Mahalanobis distance - Minimum distance - Parallelepiped

- Support Vector Machine (SVM)

2.Unsupervised Classification:

- K-means

Subset Citra TerraSAR-X (|VV|-|HH-VV|-|HH|)

Peta Penutupan Lahan

Klasifikasi Penutupan Lahan Data lapangan

(Ground Check)

Klasifikasi Mangrove

Analisis Akurasi/Accuracy Assesment

Analisis Separabilitas Kelas Penutupan Lahan :

- Tambak - Rumput - Tanah Kosong - Sungai

- Vegetasi Mangrove

Kelas Mangrove : - Avicennia sp.

- Xylocarpus sp.danRhhizophora sp. - Hibiscus tiliaceus

-Semak dan rerumputan

Citra Hasil Filter Terbaik ReduksiSpeckle: 1.J.S. LeeFilter 2.FrostFilter

Klasifikasi Hutan Mangrove


(36)

4.1 Lokasi Geografis

Lokasi penelitian terletak di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Kondisi umum lokasi tersebut berdasarkan letak geografis, luas wilayah, topografi, tanah dan klimatologi adalah sebagai berikut :

Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu daerah penyangga (buffer zone) Kota Surabaya yang terletak antara 112º 5’ dan 112º 9’ Bujur Timur dan antara 7º 3’ dan 7º 5’ Lintang Selatan. Batas wilayah Kabupaten Sidoarjo adalah:

 Bagian Utara : Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik

 Bagian Selatan : Kabupaten Pasuruan

 Bagian Barat : Kabupaten Mojokerto

 Bagian Timur : Selat Madura

Lokasi penelitian terletak di Desa Sawohan Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo. Koordinat lokasi penelitian tersebut adalah 7º 26’ 31,09” - 7º 27’ 13,03” Lintang Selatan dan 112º 44’ 57,25” - 112º 45’ 59,59” Bujur Timur. Batas wilayah Desa Sawohan adalah :

 Bagian Utara : Desa Damarsari, Desa Pepe dan Desa Kalangnyar

 Bagian Selatan : Desa Gebang dan Kedung Peluk

 Bagian Barat : Desa Kemiri, Desa Sidokumpul, Desa Pucanganom dan Desa Sekardangan

 Bagian Timur : Selat Madura 4.2 Luas Wilayah

Kabupaten Sidoarjo merupakan kabupaten dengan laus wilayah terkecil di Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan pemetaan tahun 2005 luas wilayah Kabupaten Sidoarjo 71.424,25 Ha. Wilayah Sidoarjo merupakan daerah Delta yang subur, karena diapit kali Surabaya dan Kali Porong serta lokasinya cukup strategis


(37)

karena dilalui jalan arteri primer Surabaya Malang, jalan Surabaya -Banyuwangi dan Surabaya - Madiun.

4.3 Topografi

Ketinggian tempat Kabupaten Sidoarjo dari permukaan laut adalah :

 0 - 3 meter merupakan daerah pantai dan pertambakan yang berair asin/payau berada di sebelah Timur seluas 15.539 Ha atau 29,99 %.

 4 - 10 meter merupakan daerah bagian tengah sekitar jalan protokol yang berair tawar seluas 25.889 Ha atau 40,81 %.

 10 - 25 meter terletak di sebelah Barat seluas 18.524 Ha atau 29,20 %. 4.4 Tanah

Struktur tanah di Sidoarjo terdiri atas tanah alluvial kelabu seluas 6.236 Ha, Assosiasi alluvial kelabu dan alluvial coklat seluas 4.970 Ha, alluvial hidromart seluas 29.346 Ha, dan grumosol kelabu tua seluas 870 Ha.

4.5 Klimatologi

Kabupaten Sidoarjo beriklim tropis dan mengenal 2 musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau berkisar antara Bulan Mei sampai September dan musim penghujan di Bulan Oktober sampai April. Suhu udara berkisar antara 20 – 35 derajat celcius.


(38)

5.1 Ekstraksi Citra TerraSAR-XDual Polarization

Citra RGB terbaik idealnya mampu memberikan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang dikaji secara lengkap. Oleh karena itu citra RGB terbaik sudah selayaknya mampu menampilkan objek yang sebanyak-banyaknya. Citra hasil ekstraksi dengan susunan pada band blue: HH-VV,green: VV dan red: HH sudah dapat menampilkan objek yang berwarna untuk proses identifikasi penutupan lahan. Mata manusia cenderung lebih mudah membedakan objek yang berwarna daripada objek dengan tingkat keabuan (rona). Warna yang ditampilkan dari citra RGB |HH|-|VV|-|HH-VV| merupakan warna palsu yang digunakan untuk membedakan beberapa objek yang berbeda. Dari tampilan citra pada Gambar 13 terlihat bahwa objek tambak dan air cenderung berwarna hijau, vegetasi berwarna merah muda, tanah kosong berwarna biru muda dan rumput berwarna kuning.

Gambar 13 Citra hasil ekstraksi dengan susunan RGB |HH|-|VV|-|HH-VV|. 5.2 ReduksiSpeckle


(39)

belum dapat memperlihatkan karakteristik objek apapun. Kecuali pada objek sungai dan tambak yang masih dapat diidentifikasi secara visual berdasarkan bentuknnya, sedangkan untuk objek lainnya belum dapat diidentifikasi. Hal ini disebabkan oleh mata manusia yang sulit mengidentifikasi objek menggunakan perbedaan rona pada citra polarisasi tunggal (citra gray scale). Apalagi dengan adanya speckle akibat interferensi acak pada sel resolusi citra tersebut akan semakin mempersulit proses identifikasi. Oleh karena itu perlu dilakukan proses penajaman citra (enhancement image). Pada penelitian ini digunakan metodeJ.S. LeedanFrostdalam proses spasial filter.

a b

Gambar 14Scroll windowcitra polarisasi HH terfilter :

Frost[a] danLee[b].

a b

Gambar 15Scroll windowcitra polarisasi VV terfilter :


(40)

Adanyaspeckle dapat menyebabkan piksel-piksel yang terdapat pada citra tidak dapat menampikan pola spektral yang sebenarnya dari suatu objek. Oleh karena itu, speckle perlu direduksi dengan melakukan proses pemfilteran. Dalam penelitian ini digunakan proses pemfilteran LeedanFrostpada citra TerraSAR-X

dual polarization dengan jendela filter 3x3. Pemilihan jendela filter 3x3 memiliki pengertian bahwanoise yang berupa speckle pada wilayah yang diamati (interest site) pada citra akan direduksi pada luas wilayah pemfilteran sebesar 9 piksel. Dalam penelitian ini, kawasan mangrove dijadikan sebagai wilayah yang diamati (interest site) pada citra. Luas pemfilteran tersebut diduga cukup sesuai dengan luasan kawasan mangrove di lokasi penelitian. Hal ini diharapkan mampu menonjolkan keberadaan dan perbedaan objek mangrove dibandingkan objek lainnya pada citra. Hasil tampilan objek mangrove yang dapat diidentifikasi dari obyek lainnya akan mempermudah proses ekstraksi kawasan mangrove pada citra yang telah dilakukan proses filter.

Pada citra hasil pemfilteran, objek-objek yang nampak dalam citra terfilter

Lee pada polarisasi HH maupun VV terlihat lebih tajam dibandingakan dengan obyek yang nampak dalam citra terfilter Frost (Gambar 15). Citra terfilter Lee

juga tetap mempertahankan tingkat kecerahan pada citra aslinya. Sedangkan objek-objek yang nampak dalam citra terfilter Frost pada polarisasi HH maupun VV terlihat lebih cerah dibandingkan dengan obyek yang nampak dalam citra terfilter Lee (Gambar 14). Namun tingkat ketajaman objek-objek pada citra terfilter Frost masih berada di bawah tingkat ketajaman objek-objek pada citra terfilterLee.

FilterFrostmenganggap bahwa piksel-piksel yang berada di pinggir objek dan menjadi batas dengan objek lainnya sebagai speckle. Tampilan pada Zoom

(4x) Window menunjukkan hasil pemfilteran Frost yang serupa dengan proses generalisasi objek. Efek dari filter Frost menghilangkan objek yang memiliki luasan kecil pada citra polarisasi. Sedangkan pada filter Lee,piksel yang dianggap sebagaispeckleadalah piksel yang memiliki nilai intensitas sangat tinggi dari area terang dan nilai intensitas sangat rendah dari area gelap. Zoom (4x) Window


(41)

objek. Efek dari filterLee justru akan memperjelas tampilan objek yang memiliki luasan sempit pada citra polarisasi.

Dalam mengamati kawasan mangrove, luasan tajuk yang nampak pada citra akan membantu dalam proses identifikasi jenis spesies mangrove tersebut. Luasan tajuk yang nampak per pohon tersebut memiliki luasan yang sempit, yaitu diduga ditampilkan dengan bentuk bulat yang tidak beraturan. Dengan demikian proses pengolahan citra selanjutnya akan menggunakan citra polarisasi HH dan VV yang terfilterLee.

5.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Citra TerraSAR-X

5.3.1 Penafsiran Visual Penutupan Lahan

Suatu objek di permukaan bumi pada citra satelit dapat dikenali secara visual dengan mengetahui karakteristik atau atribut masing-masing objek. Karakteristik objek pada citra disebut elemen interpretasi citra. Elemen yang digunakan yaitu tone (warna), bentuk, ukuran, tekstur, pola, site (lokasi), dan asosiasi. Penafsiran visual dilakukan pada citra TerraSAR-X pada perekaman tahun 2007 di Desa Sawohan dengan luasan 247,4 Ha dengan bantuan citra Quickbird yang terdapat pada google earth. Proses klasifikasi visual ini menggunakan klasifikasi manual pada software ENVI v4.7.

Dalam melakukan penafsiran citra secara visual, terutama proses digitasi poligon, tingkat kemampuan menafsir citra tergantung kepada kemampuan mengidentifikasikan perubahan elemen interpretasi sebagai parameter citra yang dipengaruhi oleh perbedaan spektral setiap objek. Salman (2001) menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil penafsiran visual, yaitu ragam jenis tutupan lahan, keberadaan alat bantu, dan penafsir. Ragam jenis tutupan lahan dapat dikategorikan tetap dikarenakan pada suatu wilayah ragam jenis tutupan lahan cenderung tetap. Desa Sawohan memiliki ragam jenis tutupan lahan yang tidak terlalu banyak, yaitu berupa tambak dan mangrove sebagai penutupan lahan yang dominan pada daerah tersebut. Sementara penafsir pada umumnya memiliki kemampuan yang berbeda pada tiap individu. Keberadaan manual sebagai alat bantu penafsiran visual menjadi penting ketika penafsir yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang berbeda. Kualitas hasil penafsiran tutupan lahan


(42)

kemudian ditentukan oleh kualitas alat bantu penafsiran, dalam hal ini manual penafsiran tutupan lahan.

Hasil penafsiran visual menghasilkan 5 jenis tutupan lahan, yaitu: padang rumput, tanah terbuka, sungai, vegetasi mangrove, dan tambak. Hasil penafsiran visual dapat dilihat pada gambar 16.

Gambar 16 Peta hasil penafsiran visual citra TerraSAR-Xhigh resolutiondi Kabupaten Sidoarjo.

Kelas interpretasi badan air merupakan seluruh kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, dan padang lamun (lumpur pantai) (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa badan air yang terdapat di lapangan hanya berupa sungai, yaitu sungai Bluru. Sungai pada citra RGB |HH|-|VV|-|HH-VV| memiliki kenampakan warna hijau atau hijau gelap mendekati hitam, bentuknya berkelak-kelok cenderung tidak teratur dengan ukuran kecil memanjang dengan tekstur halus.

Tambak memiliki warna hajau atau hijau gelap mendekati hitam, dimana warna ini sama seperti pada objek sungai, namun berbeda dalam hal bentuk. Tambak memiliki bentuk kotak atau persegi dengan pola yang lebih teratur dan berkelompok. Persamaan warna (tone) pada objek sungai dan tambak disebabkan karena kedua objek sama-sama terdiri atas air sebagai media penyusunnya, sehingga pada wahana penerima (receiver) dikenali sebagai objek yang sama dan mempunyai nilaidigital numberyang mirip.


(43)

Kelas interpretasi hutan mangrove merupakan seluruh kenampakan hutan bakau, nipah dan nibung (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa hutan mangrove terdapat di lapangan berupa tegakan pohon mangrove di pinggir sungai dan galangan tambak yang bercampur dengan pohon lain sebagai pelindung. Secara umum kawasan mangrove memiliki warna ungu, merah muda hingga merah keputih-putihan dan merah kekuning-kuningan. Bentuknya adalah poligon tidak beraturan dengan ukuran kecil mengelompok dan bertekstur kasar.

Kelas interpretasi lahan terbuka merupakan seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) dan lahan terbuka bekas kebakaran (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa lahan terbuka yang terdapat di lapangan berupa area galangan tambak yang tidak bervegetasi dan area tambak yang telah mengering sehingga akan tampak pada citra sebagai suatu area tanah kosong. Tutupan lahan terbuka umumnya memiliki penampakan warna biru hingga biru muda dengan bentuk poligon yang tidak beraturan dan pola yang menyebar.

Kelas interpretasi padang rumput merupakan kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput kadang dengan sedikit semak atau pohon (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa padang rumput di lapangan terdapat pada area tambak yang sudah tidak dipakai lagi dan dibiarkan, sehingga ditumbuhi oleh rumput liar. Selain itu pada galangan tambak juga ditumbuhi oleh rumput-rumput pendek yang diselingi dengan pohon mangrove. Tutupan lahan rumput-rumput ini umumnya memiliki penampakan warna kuning hingga kuning keputihan dengan bentuk poligon tidak beraturan dan pola yang menyebar.

Dari hasil penafsiran visual tersebut diperoleh luasan masing-masing tutupan lahan pada daerah penelitian yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Luasan hasil interpretasi visual tutupan lahan

Jenis tutupan lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Padang rumput 15,3 6,2

Tanah terbuka 7,93 3,2

Sungai 11,8 4,8

Vegetasi mangrove 76,5 30,9

Tambak 135,9 54,9


(44)

Data luasan penutupan lahan Desa Sawohan pada Tabel 6 merupakan hasil dari digitasi poligon pada citra TerraSAR-X. Hasilnya menunjukkan bahwa tambak merupakan objek yang terluas dalam penutupan lahan pada area penelitian ini dengan luas total 135,9 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa 54,9 % dari 247,4 Ha keseluruhan luas area penelitian merupakan tambak. Sementara hutan mangrove yang masuk ke dalam kelas area bervegetasi dengan luasan 76,5 Ha atau sebesar 30,9 % dari luas total area penelitian. Area bervegetasi ini selain terdiri dari mangrove juga terdapat semak belukar yang tingginya mencapai 5 meter dan campuran vegetasi mangrove atau pohon besar dengan rerumputan pendek. Sementara untuk rumput yang terdapat pada galangan tambak maupun yang tumbuh di tengah-tengah tambak mempunyai luasan 15,3 Ha atau sebesar 6,2 %. Sungai Bluru dan tanah kosong yang tidak ditumbuhi vegetasi apapun masing-masing hanya mempunyai luasan sebesar 11,8 Ha dan 7,9 Ha. Beberapa tutupan lahan yang telah diamati di lapangan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Beberapa pengamatan penutupan lahan di lapangan No Penutupan

lahan

Tampilan pada citra TerraSAR-X

Pengamatan di lapangan 1 Tanah kosong


(45)

3 Tambak

4 Vegetasi mangrove dominasi

Avicennia sp.

5 Vegetasi mangrove dominasi

Rhizophora sp.

6 Vegetasi mangrove dominasi

Hibiscus tiliaceus


(46)

7 Vegetasi mangrove dominasi

Xylocarpus sp.

8 Rumput

5.3.2 Klasifikasi Digital Citra TerraSAR-X

5.3.2.1 Analisis Digital

Analisis digital digunakan untuk memperoleh informasi mengenai besarnya kisaran nilai digital (digital number/DN) dari masing-masing kelas tutupan lahan. Dalam konteks ini kelas-kelas tersebut adalah region of interest

yang telah ditentukan dari masing-masing kelas. Dengan diketahuinya besaran kisaran nilai digital number tersebut maka akan diketahui karakteristis spektral dari setiap kelas tutupan lahan terhadap band yang dimiliki oleh suatu sensor satelit. Karakteristik spektral setiap kelas dari citra TerraSAR-X dapat dilihat pada Gambar 17.


(47)

a b

Gambar 17 Histogram masing-masing kelas pada polarisasi HH [a] dan VV [b]. Berdasarkan pada gambar 16, nilai digital numberpada polarisasi HH dan VV dapat membedakan kepekaan terhadap obyek vegetasi dengan obyek yang lain. Nilaidigital numberobyek vegetasi pada polarisasi HH atau VV mempunyai selang nilai yang panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pada polarisasi HH maupun VV obyek vegetasi mempunyai karakteristik spektral yang sangat bervariasi karena vegetasi tersebut tersusun atas spesies vegetasi yang sangat bervariasi pula. Namun dari nilai digital numberyang bervariasi ini, frekuensinya mengumpul ke suatu nilai. Hal ini dapat menjelaskan nilai digital number pada vegetasi yang dominan pada area tersebut. Tampak pada gambar di atas bahwa pada polarisasi HH mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada suatu nilaidigital numbertertentu dibandingkan dengan polarisasi VV.

Pada obyek rumput terlihat nilai digital number antara polarisasi HH dan VV sangat kontras. Rumput pada polarisasi HH nilai digital numbernya menjulur ke kiri yang menyatakan nilainya mengumpul di angka yang rendah, sehingga pada citra tampak lebih gelap. Sedangkan rumput pada band VV nilai digital numbernya mengumpul di angka yang tinggi, sehingga pada citra tampak lebih terang. Selang nilai digital numberpada polarisasi HH juga terlihat lebih panjang dibandingkan dengan polarisasi VV. Pada obyek tanah kosong nilai digital numberjuga kontras antara band HH dan VV, namun tidak begitu mencolok. Hal ini dikarenakan frekuensinya lebih rendah bila dibanding dengan obyek rumput. Pada polarisasi HH nilainya cenderung menjulur ke kanan dengan nilai frekuensi


(48)

yang hampir merata. Sedangkan pada polarisasi VV cenderung ke kiri dengan nilai frekuensinya sedikit mengumpul di suatu nilai. Pada objek sungai dan tambak mempunyai bentuk histogram yang hampir sama. Sehingga dari visual terlihat tidak ada perbedaan antara polarisasi HH dan polarisasi VV. Namun perbedaan objek tersebut antar polarisasi dapat dilihat lebih detail dari nilai statistiknya. Nilai statistik setiap kelas tutupan lahan ditampilkan pada tabel 9. Tabel 9 Nilai DN hasil analisis statistik setiap kelas tutupan lahan

Kelas Polarisasi DN Min DN Max DN Mean Std dev

Tambak HH 7 129 37,0 13,1

VV 4 121 35,9 13,4

Rumput HH 21 330 110,2 44,45

VV 62 647 243,1 82,5

Tanah HH 33 533 177,6 81,9

VV 11 295 67,6 35,2

Sungai HH 8 145 38,1 13,9

VV 5 176 34,0 12,2

Mangrove HH 14 921 187,4 83,5

VV 20 830 179,6 81,7

Pada band HH terlihat perbedaan yang sangat kontras antara nilai digital number rata-rata obyek yang bervegetasi dan tidak. Obyek yang bervegatasi menunjukkan nilai digital number rata-rata yang tinggi. Sedangkan objek yang tidak bervegetasi menunjukkan nilai rata-rata digital number yang cenderung lebih rendah. Namun hal ini berbeda pada objek tanah kosong, nilai digital number pada polarisasi HH ini cenderung lebih tinggi, yaitu mencapai 180 dan menyerupai nilai digital number pada objek vegetasi. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai standar deviasinya yang tinggi yaitu 91,4. Sedangkan pada objek yang tidak bervegetasi lainnya, yaitu pada objek tambak dan sungai mempunyai nilai

digital numberyang cenderung lebih rendah dan nilainya di bawah 50.

Pada band VV perbedaan nilai digital number antara obyek yang bervegetasi dan tidak bervegetasi tidak begitu kontras. Pada areal yang bervegetasi nilai digital number rata-ratanya mencapai 212,0. Sementara untuk obyek tanah, nilaidigital number rata-ratanya lebih besar dibanding dengan obyek rumput, yaitu sebesar 179,2, sedangkan untuk obyek rumput sebesar 82,5. Pada obyek tambak dan sungai nilaidigital numberrata-ratanya masing-masing sebesar 51,5 dan 93,9.


(49)

5.3.2.2 Analisis Separabilitas

Analisis separabilitas ini merupakan analisis dalam klasifikasi untuk mengetahui tingkat atau daya keterpisahan bagi semua pasangan kelas yang disajikan dalam bentuk matriks. Tujuan dari analisis separabilitas ini adalah untuk membuat kelas-kelas penutupan lahan yang benar-benar terpisahkan satu dengan yang lain. Semakin besar nilai keterpisahan antar kelas berarti semakin baik hasil klasifikasi tersebut dan setiap kelas dapat dibedakan dengan jelas. Evaluasi separabilitas dari 5 kelas penutupan lahan dari hasil penafsiran secara visual pada citra TerraSAR-X menggunakan metode transformed divergence dapat dilihat dalam tabel 10.

Tabel 10 Nilai separabilitastransformed divergencepada citra TerraSAR-X

Kelas Tambak Rumput Tanah Sungai Mangrove

Tambak - 1,999 1,939 0,011* 1,877

Rumput 1,999 - 1,999 1,999 1,619

Tanah 1,939 1,999 - 1,963 1,803

Sungai 0,011* 1,999 1,923 - 1,890

Mangrove 1,877 1,619 1,803 1,890

-Pengelompokan piksel pada citra TerraSAR-X ke dalam 5 kelas penutupan lahan yang berbeda pada kombinasi band HH dan VV dengan metode

transformed divergence memberikan nilai separabilitas yang berkisar dari 0 sampai 2,0. Hal ini menunjukkan seberapa baik keterpisahan antara pasangan kelas penutupan lahan. Nilai yang lebih besar dari 1,9 menunjukkan bahwa pasangan kelas penutupan lahan terpisah dengan sangat baik.

Nilai keterpisahan untuk kelas penutupan lahan tambak dan sungai bernilai sangat kecil, yaitu sebesar 0,011. Hal itu berarti kedua obyek tersebut sulit untuk dipisahkan karena sifat medianya yang sama yaitu air. Akan tetapi jika diinterpretasi secara visual menggunakan kunci interpretasi pola dan bentuk kedua objek tersebut dapat dibedakan dengan jelas. Sungai yang mempunyai pola berliku-liku tidak teratur dan memanjang sedangkan tambak mempunyai pola yang lebih teratur dan berbentuk segi empat.

Nilai keterpisahan untuk kelas penutupan lahan berupa rumput dan mangrove juga menunjukkan nilai yang kecil, yaitu sebesar 1,619. Nilai keterpisahan yang paling besar pada kedua metode tersebut ditunjukkan pada


(50)

kelas penutupan lahan rumput dengan tambak, tanah terbuka dan sungai, yaitu sebesar 1,999. Hal itu menunjukkan kedua obyek tersebut dapat dibedakan dengan sangat baik.

Secara umum, urutan pasangan kelas yang dimulai dari tidak dapat dipisahkan hingga dapat dipisahkan dengan sangat baik adalah tambak-sungai, rumput-mangrove, sungai-mangrove, tambak-mangrove, tambak-rumput, tanah-mangrove, rumput-sungai, tanah-sungai, tambak-tanah dan rumput-tanah. Rata-rata nilai keterpisahan kelas penutupan lahan pada metode metode Transformed Divergencesebesar 1,710. Hal tersebut dikarenakan beberapa kelas tutupan lahan yang kurang dapat dipisahkan dengan baik, terutama kelas tutupan lahan tambak dengan sungai dan rumput dengan mangrove.

5.3.2.3 Metode Klasifikasi Terbimbing Citra TerraSAR-X

Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses pengelompokan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Berdasarkan teknik pendekatannya klasifikasi kuantitatif dibedakan atas klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan terbimbing (supervised classification). Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised). Beberapa model klasifikasi terbimbing diterapkan untuk mencari nilai akurasi yang paling tinggi dengan menggunakan data dari hasil penafsiran visual pada citra TerraSAR-X sebagai data acuannya. Diantaranya adalah metode klasifikasi

maximum likelihood, mahalanobis distance, minimum distance, parallelepiped

dan Support Vector Machine (SVM). Besarnya nilai overall accuracy dan koefisien kappa pada masing-masing model terdapat dalam tabel 11.

Tabel 11 Nilaioverall accuracydan koefisien kappa setiap model Metode klasifikasi terbimbing Overall accuracy

(%)

Koefisien kappa

Maximum likelihood 71,10 0,4963

Mahalanobis distance 68,39 0,4927

Minimum distance 73,74 0,5352

Parallelepiped 70,69 0.4560

Support Vector Machine(SVM) 77,93* 0,5885*

Evaluasi keakuratan hasil penafsiran visual tutupan lahan digunakan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan


(1)

MetodeSupport Vector Machine


(2)

Lampiran 6 NilaiDigital NumberMasing-Masing Kelas Mangrove pada Citra Sintetik |VV|-|HH-VV|-|HH|

Avicennia alba

Xylocarpus molucensisdanRhizophora mucronata


(3)

(4)

Lampiran 7 Tabel Nilai Separabilitas Masing-Masing Kelas Mangrove pada MetodeTransformed DivergencedanJeffries-Matusita

Lampiran 8Confution MatrixKelas Mangrove pada Metode KlasifikasiSupport Vector Machine


(5)

RINGKASAN

RUDI EKO SETYAWAN. Klasifikasi Penutupan Lahan Hutan Mangrove di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur, dengan Citra TerraSAR-X High Resolution. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH dan MUHAMMAD BUCE SALEH.

Indonesia telah memanfaatkan citra penginderaan jauh dalam pemantauan sumber daya alam terutama citra optik sejak mulai diterapkannya teknologi remote sensing. Posisi Indonesia yang berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan citra yang bersih dari awan. Sistem penginderaan jauh aktif (radio detecting and ranging/Radar) telah memberikan alternatif untuk mengatasi keterbatasan informasi yang dapat diambil melalui data citra optik.

TerraSAR-X, sebuah satelit observasi bumi milik Jerman yang diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007 di Boikonur Cosmodrome, Kazakhstan, yang menggunakan teknologi radar terbaru untuk pemetaan dengan panjang gelombang aktif X-band (panjang gelombang 31 mm, frekuensi 9,6 GHz) yang dinyatakan mampu mengatasi tutupan awan. Sejak diluncurkan, Satelit TerraSAR-X telah beroperasi penuh mulai bulan Januari 2008.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan citra High ResolutionTerraSAR-X untuk klasifikasi penutupan lahan dan identifikasi spesies penyusun hutan mangrove. Citra yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari citra utama TerraSAR-X dengan polarisasi HH dan VV yang telah dilakukan proses ekstraksi untuk mendapatkan susunan RGB |HH|-|VV|-|HH-VV|. Sedangkan citra pendukung lainnya adalah citra Quickbird, peta sebaran mangrove Kabupaten Sidoarjo dan peta administrasi Kabupaten Sidoarjo.

Metode klasifikasi yang digunakan untuk mengkelaskan jenis penutupan lahan adalah metode klasifikasi terbimbing dan metode klasifikasi tak terbimbing dengan acuan hasil dari penafsiran citra secara visual. Kemudian metode klasifikasi dengan hasil terbaik digunakan untuk proses klasifikasi penutupan lahan hutan mangrove. Dengan menerapkan metode stratified classification seperti ini, diharapkan dapat mampu mengurangi kesalahan pada saat proses klasifikasi. Hal ini dikarenakan objek-objek selain hutan mangrove telah dihilangkan.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat akurasi hasil klasifikasi terbimbing dengan metode Support Vector Machine (SVM) pada citra TerraSAR-X adalah metode klasifikasi terbaik dengan nilai akurasi keseluruhan sebesar 77,93 % dan akurasi kappa sebesar 58,85 %. Nilai akurasi pada klasifikasi hutan mangrove menggunakan metode SVM dan teknik klasifikasi bertahap adalah sebesar 90,74 % dan akurasi kappa sebesar 84,30 %. Citra RGB dengan susunan [HH VV -(HH-VV)] daridual polarization HH dan VV dapat menghasilkan 3 kelas spesies penyusun mangrove, yaitu kelas Avicennia alba, Xylocarpus molucensis dan Rhizophora mucronata, kelasHibiscus tiliaceus, dan kelas semak dan rumput. Kata kunci : TerraSAR-X, klasifikasi hutan mangrove,two stage classification


(6)

SUMMARY

RUDI EKO SETYAWAN. Mangrove Forest Land Cover Classification in Buduran District, Sidoarjo Regency, East Java Province, with The TerraSAR-X High Resolution Image. Supervised by NINING PUSPANINGSIH and MUHAMMAD BUCE SALEH.

Indonesia actually has used remote sensing imagery in monitoring natural resources especially the optical image since apllied remote sensing technology. Indonesia’s position in the tropicscause the area always cover with clouds in most of the year. This condition affects the ability of an optical image to produce a clear image. Active remote sensing systems (radio detecting and ranging/Radar) has provided an alternative to overcome the limitations of the information than can be taken through an optical image data.

TerraSAR-X, an earth observation satellite owned by Germany which was launched on June 15, 2007 at Boikonur Cosmodrome, Kazakhstan, is the latest radar technology for mapping the active wavelength X-band (wavelength 31 mm, frquency 9,6 GHz), which stated able to overcome the cloud cover. Since its launch, satellite TerraSAR-X has been in full operation starting in January 2008. The purpose of this research was to test the ability of high resolution image of TerraSAR-X for land cover classification and identification of constituent species of mangrove forests. Imagery used in this reseach consisted of the main image TerraSAR-X with HH and VV polarization that has made the extraction process to obtain the composition of RGB |HH|-|VV|-|HH-VV|. While the other supporting image are Quickbird image, distribution mangrove map of Sidoarjo regency and Sidoarjo regency administration map.

The method used for classification of land cover types to make a class is supervised classification method and unsupervised classification method by reference to the results of the visual image interpretation. Then with the best classification method used for land cover classification process of mangrove forests. By appying the stratified classification method, it is expected to be able to reduce errors during the classification process. This is because the other objects than mangrove forests have been eliminated.

The results showed the accuracy of the supervised classification by the method of Support Vector Machine (SVM) in the image of TerraSAR-X is the best method of classification with the overall accuracy of 77,93 % and kappa accuracy by 58,85 %. The value of mangrove forests on the classification accuracy using SVM and applying the two stage classification amounted to 90,74 % and kappa accuracy by 84,30 %. RGB image of the arrangement [HH VV -(HH-VV)] of the dual polarization HH and VV can produce a 3 class contituent species of mangroves, that is Avicennia alba, Rhizophora mucronata and Xylocarpus molucensis class, Hibiscus tiliaceus class and shrubs and grasses class.