Analisis Harga Pokok Produksi dan Penjualan Minyak Akar Wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat

(1)

BARAT

Oleh

INTANIA SUDARWATI

H24070054

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Penjualann Minyak Akar Wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Di bawah bimbingan HETI MULYATI dan ALIM SETIAWAN.

Harga pokok produksi digunakan untuk menghitung besarnya biaya yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk. Selama ini baik petani maupun penyuling belum melakukan perhitungan harga pokok produksi maupun harga pokok penjualan. Petani maupun penyuling hanya melakukan pencatatan biaya produksi secara sederhana dan umumnya tidak memperhitungkan biaya overhead. Dengan memperhitungkan biaya overhead baik petani dan penyuling dapat mengetahui biaya yang lebih spesifik untuk menghasilkan minyak akar wangi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis kondisi rantai pasokan minyak akar wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, (2) Menghitung dan menganalisis harga pokok produksi dan harga pokok penjualan akar wangi, (3) Menghitung dan menganalisis harga pokok produksi dan harga pokok penjualan minyak akar wangi, (4) Menghitung dan menganalisis nilai tambah minyak akar wangi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi langsung, dan wawancara mendalam dengan alat kelengkapan berupa kuesioner. Pengambilan sampel dilakukan secara probability sampling yaitu

stratified random sampling, serta secara non probability sampling yaitu

purposive sampling, dan snowball sampling. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 16.0, dan MicrosoftExcel 2007.

Anggota rantai pasokan minyak akar wangi terdiri dari petani akar wangi, pengumpul akar wangi, penyuling akar wangi, pengumpul minyak akar wangi, dan eksportir. Berdasarkan perhitungan harga pokok produksi akar wangi yang telah dilakukan. Rata-rata harga pokok produksi akar wangi di Kecamatan Samarang adalah Rp 1.144,42 per kg akar wangi. Rata-rata harga pokok produksi akar wangi di Kecamatan Bayongbong adalah Rp 1.137,04 per kg akar wangi. Rata-rata harga pokok produksi akar wangi di Kecamatan Cilawu adalah Rp 1.177,94 per kg akar wangi. Rata-Rata harga pokok produksi akar wangi di Kecamatan Leles adalah Rp 1.336,67 per kg akar wangi. Harga pokok penjualan akar wangi yang didapatkan adalah sama dengan harga pokok produksi akar wangi. Rata-rata harga pokok penjualan akar wangi di Kecamatan Samarang adalah Rp 1.144,42 per kg akar wangi. Rata-rata harga pokok penjualan akar wangi di Kecamatan Bayongbong adalah Rp 1.137,04 per kg akar wangi. Rata-rata harga pokok penjualan akar wangi di Kecamatan Cilawu adalah Rp 1.177,94 per kg akar wangi. Rata-Rata harga pokok penjualan akar wangi Kecamatan Leles adalah Rp 1.336,67 per kg akar wangi.

Bedasarkan perhitungan harga pokok produksi dan penjualan yang telah dilakukan dilakukan. Rata-rata harga pokok produksi minyak akar wangi mutu tinggi saat musim hujan adalah Rp 830.194,87 per kg minyak akar wangi. Rata-rata harga pokok produksi minyak akar wangi mutu rendah saat musim hujan adalah Rp 738.970,67 per kg minyak akar wangi. Rata-rata harga pokok produksi minyak akar wangi mutu tinggi saat musim kemarau adalah Rp 489.365,61 per kg


(3)

adalah Rp 766.177,28 per kg minyak akar wangi. Rata-rata harga pokok penjualan minyak akar wangi mutu rendah saat musim hujan Rp 772.093,36 per kg minyak akar wangi. Rata-rata harga pokok penjualan minyak akar wangi mutu tinggi saat musim kemarau adalah Rp 472.480,02 per kg minyak akar wangi. Rata-rata harga pokok penjualan minyak akar wangi mutu rendah saat musim kemarau adalah Rp 475.683,13 per kg minyak akar wangi.Rata-rata nilai tambah minyak akar wangi mutu tinggi saat musim hujan adalah Rp 792,86 per kg akar wangi. Rata-rata nilai tambah minyak akar wangi mutu rendah saat musim hujan Rp 864,94 per kg akar wangi. Rata-rata nilai tambah minyak akar wangi mutu tinggi saat musim kemarau adalah Rp 2.626,10 per kg akar wangi. Rata-rata nilai tambah minyak akar wangi mutu rendah saat musim kemarau adalah Rp 2.602,11 per kg akar wangi.


(4)

BARAT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA EKONOMI

pada Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

INTANIA SUDARWATI

H24070054

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

Nama : Intania Sudarwati NIM : H24070054

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Heti Mulyati, S.TP, MT) (Alim Setiawan S, S.TP, M,Si) NIP. 19770812 200501 2 001 NIP. 19820227 200912 1 001

Mengetahui Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc) NIP. 19610123 198601 1 002


(6)

iii 

 

Penulis lahir di Bogor, pada tanggal 19 Februari 1989 dari pasangan Sudrajat dan Idjah Hadidjah. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Pertiwi IV Bogor pada tahun 1993-1995 dan melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) Negeri Bangka III pada tahun 1995-2001. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Bogor pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Penulis memiliki beberapa prestasi sejak kecil. Prestasi yang pernah diraih penulis yaitu juara dua basket putri dalam acara Tunas Harapan Cup tahun 2007, juara 2 basket putri dalam acara SMUN 3 Sukabumi cup tahun 2007, juara 3

entepreneur competition pada tahun 2010, dan juara 3 basket putri dalam acara Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2011.

Selama masa perkuliahan, penulis ikut berpartisipasi dalam Organisasi Mahasiswa Music Agricultural Expression (MAX) tahun 2007-2008, Community of Art and Sport (COAST) 2008-2011, dan Marketing Club tahun 2010. Penulis juga cukup aktif di berbagai kepanitiaan, yaitu panitia Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Ekonomi dan Manajemen, Masa Perkenalan Departemen (MPD) Manajemen tahun 2009, IPB Art Contest 2010, dan Liga Basket Mahasiswa Divisi II Jawa Barat 2010. Penulis mengikuti kegiatan magang di Pegadaian tahun 2010 danPT. Asuransi Mitsui Sumitomo Insurance Group (MSIG) Indonesia tahun 2010. Penulis juga menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Manajemen Produksi Operasi dan Manajemen Keuangan tahun 2011.


(7)

iv 

 

Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Harga Pokok Produksi dan Penjualan Minyak Akar Wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini membahas mengenai rantai pasokan minyak akar wangi, harga pokok produksi, harga pokok penjualan dan nilai tambah minyak akar wangi. Harga pokok produksi merupakan hal yang penting, hal ini dikarenakan harga pokok produksi merupakan salah satu biaya rantai pasokan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau referensi yang berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan penulis. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, khususnya Manajemen Produksi dan Operasi serta Manajemen Keuangan.

Bogor,Agustus 2011


(8)

 

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan nikmat-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis, terutama dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Heti Mulyati, S.TP, MT, dan Bapak Alim Setiawan S, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis.

2. Kedua orang tua tercinta, Bapak dan Mama atas segala cinta, kasih sayang, perhatian, nasehat, pengorbanan, dukungan, doa, dan segalanya. Serta kakak tersayang Herdi dan Aji yang selalu memberi motivasi dan menjadi teman untuk berdiskusi.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS selaku dosen penguji skripsi yang bersedia meluangkan waktunya menjadi penguji dalam ujian sidang.

4. Bapak H. Ede, Bapak H. Abdullah dan seluruh petani dan penyuling minyak akar wangi di Kabupaten Garut, mengizinkan dan bersedia meluangkan waktu dan partisipasinya selama proses penelitian.

5. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Departemen Manajemen, FEM IPB. 6. Teman-teman satu bimbingan (Izni Sorfina, Mursaliena Noor Laela, Reni Mei

Farida, Irma Oktavia, Agung Cahya Nugraha, dan Nola) yang tak pernah lelah memberikan motivasi. Persahabatan, kebersamaan dan kerjasamanya tidak akan terlupakan selama proses bimbingan dan penyusunan skripsi ini. 7. Roni Jayawinangun, S.E yang telah merelakan waktunya untuk membimbing

dan mengarahkan penulis selama di Garut dalam melakukan penelitian. 8. Nindy Abdiella yang telah memberikan semangat, nasehat, doa, dan bantuan.

Terimakasih telah menemani disaat susah dan senang, selalu menghibur di saat sedih, dan berbagi di saat bahagia.

9. Tante Djenny, Om Effendy dan Nadia. Terimakasih telah memberikan motivasi, kasih sayang, perhatian dan telah menjadi teman diskusi.

10. Sahabat-sahabat ku Putri, Anne, dan Mutia yang memberikan dukungan, semangat, dan keceriaan.


(9)

vi 

 

memaklumi ketika penulis penelitian di Garut dan tidak bisa mengikuti pertandingan.

13. Teman-teman kosan di Harmoniatas kebersamaannya selama ini.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih atas semua kebaikan yang telah diberikan dan membantu penulis dalam meneyelesaikan skripsi ini.


(10)

vii 

 

RNGKASAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Rantai Pasokan dan Manajemen Rantai Pasokan ... 4

2.2. Biaya dan Klasifikasi Biaya ... 5

2.3. Harga Pokok Produksi ... 8

2.4. Activity Based Costing ... 9

2.5. Full Costing ... 10

2.6. Variable Costing ... 10

2.7. Nilai Tambah ... 10

2.8. Penelitian Terdahulu ... 11

III. METODE PENELITIAN ... 14

3.1. Kerangka Pemikiran ... 14

3.2. Tahapan Penelitian ... 15

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

3.4. Jenis dan Sumber Data ... 18

3.5. Jumlah Sampel dan Metode Pengambilan Samplel ... 19

3.6. Pengolahan dan Analisis Data ... 20

3.6.1 Analisis Deskriptip ... 20

3.6.2 Metode Job Costing ... 20

3.6.3 Metode Hayami ... 21


(11)

viii 

 

4.1.2 Aktivitas Pengumpul Akar Wangi ... 29

4.1.3 Aktivitas Penyuling Akar wangi ... 30

4.1.4 Aktivitas Pengumpul Minyak Akar Wangi ... 32

4.1.5 Sumber Daya Rantai Pasokan ... 33

4.2. Harga Pokok Produksi dan Penjualan Akar Wangi ... 33

4.2.1 Harga Pokok Produksi Akar Wangi ... 33

4.2.2 Harga Pokok Penjualan Akar Wangi ... 36

4.3. Harga Pokok Produksi dan Penjualan Minyak akar wangi ... 38

4.3.1 Harga Pokok Produksi Minyak Akar Wangi ... 38

4.3.2 Harga Pokok Penjualan Minyak Akar Wangi ... 43

4.4. Analisis Nilai Tambah ... 46

4.5. Impikasi Manajerial ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

A. Kesimpulan ... 49

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(12)

ix 

 

No Halaman

1. Jenis data dan sumber data ... 19

2. Jumlah responden identifikasi rantai pasok akar wangi ... 20

3. Jumlah responden analisis harga pokok produksi dan penjualan akar wangi dan minyak akar wangi, serta nilai tambah ... 20

4. Prosedur perhitungan nilai tambah dengan metode hayami ... 22

5. Perhitungan harga pokok produksi akar wangi petani A5001 ... 35

6. Rata-rata harga pokok produksi akar wangi per wilayah ... 36

7. Harga pokok penjualan akar wangi petani A5001 ... 37

8. Rata-rata harga pokok penjualan akar wangi per wilayah ... 37

9. Estimasi harga jual akar wangi ... 38

10.Harga pokok produksi minyak akar wangi A6001 saat musim hujan ... 40

11.Harga pokok produksi minyak akar wangi A6001saat musim kemarau... 42

12.Rata-rata harga pokok produksi minyak akar wangi bersdasarkan mutu saat musim hujan ... 42

13.Rata-rata harga pokok produksi minyak akar wangi bersdasarkan mutu saat musim kemarau ... 43

14.Harga pokok penjualan minyak akar wangi A6001 saat musim hujan ... 44

15.Harga pokok penjualan minyak akar wangi A6001 saat musim kemarau .. 44

16.Rata-rata harga pokok penjualan minyak akar wangi berdasarkan mutu .... 45

17.Estimasi harga jual minyak akar wangi ... 45

18.Nilai tambah minyak akar wangi A6001 ... 46

19.Rata-rata nilai tambah minyak akar wangi... 47


(13)

 

No Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 15

2. Tahapan penelitian ... 17

3. Pola aliran rantai pasokan minyak akar wangi ... 24

4. Lama usaha budi daya ... 27

5. Luas lahan budidaya ... 27


(14)

xi 

 

No Halaman

1. Perhitungan harga pokok produksi akar wangi ... 54 2. Perhitungan harga pokok penjualan akar wangi ... 66 3. Perhitungan harga pokok produksi minyak akar wangi musim hujan ... 73 4. Perhitungan harga pokok produksi minyak akar wangi musim kemarau .... 80 5. Perhitungan harga pokok penjualan minyak akar wangi musim hujan ... 87 6. Perhitungan harga pokok penjualan minyak akar wangi musim kemarau ... 91 7. Perhitungan nilai tambah minyak akar wangi musim hujan ... 95 8. Perhitungan nilai tambah minyak akar wangi musim kemarau ... 101


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Biaya menurut Mulyadi (2005), merupakan pengorbanan sumber ekonomi yang telah terjadi atau yang mungkin akan terjadi untuk tujuan tertentu dan dihitung dalam satuan uang. Pengorbanan sumber ekonomi untuk tujuan tertentu ini disebut dengan istilah harga pokok (cost). Istilah harga pokok juga digunakan untuk menunjukkan pengorbanan sumber ekonomi dalam pengolahan bahan baku menjadi suatu produk. Perhitungan harga pokok bermanfaat untuk menentukan harga jual suatu produk, memberikan informasi besarnya laba yang diterima, serta merencanakan alokasi dana yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk. Harga pokok dapat diklasifikasikan menjadi harga pokok produksi dan harga pokok penjualan. Kuswadi (2005), mendefinisikan harga pokok produksi sebagai semua biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang atau jasa selama periode bersangkutan. Dengan kata lain, bahwa harga pokok produksi merupakan biaya untuk memperoleh barang jadi yang siap dijual. Harga pokok penjualan menurut Hongren dan Harrison (2007), merupakan harga pokok persediaan yang dijual oleh perusahaan kepada pelanggan.

Akar wangi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang dapat diolah menjadi minyak akar wangi. Petani akar wangi melakukan berbagai aktivitas seperti penanaman bibit, pemupukan, penyiangan dan pemanenan untuk menghasilkan akar wangi. Berbagai aktivitas ini menyebabkan timbulnya biaya operasional berupa biaya bibit akar wangi, biaya pupuk, transportasi, pajak, dan tenaga kerja. Petani akar wangi umumnya hanya melakukan pencatatan yang sederhana dan belum melakukan perhitungan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan. Penyuling minyak akar wangi melakukan aktivitas penyulingan untuk menghasilkan minyak akar wangi. Aktivitas ini juga menimbulkan biaya operasional yaitu biaya akar wangi, biaya bahan bakar, telepon, penyusutan, tenaga kerja, dan listrik. Penyuling umumnya melakukan pencatatan yang sederhana dan belum memperhitungkan biaya penyusutan. Selain itu, penyuling juga belum melakukan perhitungan harga pokok produksi dan penjualan.


(16)

Penyulingan minyak akar wangi merupakan proses ekstraksi minyak akar wangi dari tanaman akar wangi yang lebih tinggi nilai tambahnya. Untuk mengetahui besar nilai tambah minyak akar wangi dari akar wangi, maka perlu dilakukan analisis nilai tambah sehingga dapat diketahui apakah usaha tersebut memberikan keuntungan.

1.2. Perumusan Masalah

Harga pokok produksi digunakan untuk menghitung besarnya biaya yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk. Selama ini baik petani maupun penyuling belum melakukan perhitungan harga pokok produksi maupun harga pokok penjualan. Petani maupun penyuling hanya melakukan pencatatan biaya produksi secara sederhana dan umumnya tidak memperhitungkan biaya overhead. Apabila biaya overhead diketahui, maka petani dan penyuling dapat mengetahui biaya yang lebih spesifik untuk menghasilkan minyak akar wangi. Berdasarkan kondisi itulah, rumusan masalah penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah kondisi rantai pasokan minyak akar wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat?

2. Bagaimana harga pokok produksi dan harga pokok penjualan akar wangi? 3. Bagaimanakah harga pokok produksi dan harga pokok penjualan minyak

akar wangi?

4. Bagaimanakah nilai tambah minyak akar wangi? 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis kondisi rantai pasokan minyak akar wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

2. Menghitung dan menganalisis harga pokok produksi dan harga pokok penjualan akar wangi.

3. Menghitung dan menganalisis harga pokok produksi dan harga pokok penjualan minyak akar wangi.


(17)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi pelaku usaha, hasil penelitian ini dapat membantu mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam rantai pasokan, serta memberi solusi untuk permasalahan tersebut.

2. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menjadi informasi mengenai aplikasi manajemen rantai pasokan, perhitungan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan akar wangi dan minyak akar wangi, dan analisis nilai tambah minyak akar wangi serta dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan membahas mengenai rantai pasokan yang terjadi serta mengidentifikasi harga pokok produksi dan harga pokok penjualan akar wangi dan minyak akar wangi, serta nilai tambah penyuling minyak akar wangi. Perhitungan nilai tambah pada petani tidak dilakukan karena tidak terjadi pengolahan sehingga hanya terdapat keuntungan bukan nilai tambah.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rantai Pasokan dan Manajemen Rantai Pasokan

Menurut Pujawan (2005), rantai pasokan merupakan jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai. Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi pemasok, pabrik, distributor, toko, ritel, dan perusahaan pendukung seperti logistik. Sedangkang menurut Indrajit dan Pranoto (2002), rantai pasokan adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya.

Manajemen rantai pasokan (supply chain management) adalah integrasi aktivitas pengadaan bahan dan pelayanan, pengubahan menjadi barang setengah jadi dan produk akhir, serta pengiriman ke pelanggan. Seluruh aktivitas ini mencakup aktivitas pembelian dan pengalihdayaan (outsourcing) ditambah fungsi lain yang penting bagi hubungan antara pemasok dan distributor (Heizer dan Render, 2010). Sedangkan menurut Lee dan Whang dalam Anatan dan Ellitan (2008), manajemen rantai pasokan sebagai integrasi proses bisnis dari pengguna akhir melalui pemasok yang memberikan produk, jasa, informasi, dan bahkan peningkatan nilai untuk konsumen dan karyawan.

Menurut Anatan dan Elliatan (2008), aplikasi manajemen rantai pasokan pada dasarnya memiliki tiga tujuan utama yaitu penurunan biaya (cost reduction), penurunan modal (capital reduction), dan perbaikan pelayanan (service improvement). Menurut Siagian (2005), ruang lingkup manajemen rantai pasokan (MRP) meliputi:

1. Rantai pasokan mencakup seluruh kegiatan arus dan transformasi barang mulai dari bahan mentah, sampai penyaluran ke tangan konsumen termasuk aliran informasinya. Bahan baku dan aliran informasi adalah rangkaian dari rantai pasokan.

2. Rantai pasokan sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi.


(19)

2.2. Biaya dan Klasifikasi Biaya

Biaya menurut Hansen dan Mowen (2006) adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau masa datang bagi organisasi. Dikatakan ekuivalen kas karena sumber nonkas dapat diubah menjadi barang atau jasa yang diinginkan. Sedangkan menurut Mulyadi (2005) biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang mungkin akan terjadi untuk tujuan tertentu.

Klasifikasi biaya atau penggolongan biaya menurut Bustami dan Nurlela (2006) adalah suatu poses pengelompokan biaya secara sistematis atas keseluruhan elemen biaya yang ada ke dalam golongan-golongan tertentu yang lebih ringkas untuk dapat memberikan informasi yang lebih ringkas dan penting. Klasifikasi biaya yang umum digunakan adalah biaya dalam hubungan dengan produk, volume produksi, departemen dan pusat biaya, periode akuntansi, dan pengambilan keputusan.

1. Biaya dalam hubungan dengan produk.

Biaya dalam hubungan dengan produk dapat dikelompokkan menjadi biaya produksi dan biaya non produksi.

a. Biaya produksi

Biaya produksi adalah biaya yang digunakan dalam proses produksi yang terdiri dari :

1) Biaya bahan baku langsung

Biaya bahan baku langsung adalah bahan baku yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari produk selesai dan dapat ditelusuri langsung kepada produk selesai. Contohnya adalah kayu dalam pembuatan mebel, kain dalam pembuatan pakaian, minyak mentah dalam pembuatan bensin, dan tepung dalam pembuatan kue.

2) Tenaga kerja tidak langsung

Tenaga kerja tidak langsung adalah tenaga kerja yang digunakan dalam merubah atau mengkonversi bahan baku menjadi produk


(20)

selesai dan dapat ditelusuri secara langsung ke produk selesai. Contohnya adalah upah koki kue dan operator mesin.

3) Biaya overhead pabrik

Biaya overhead pabrik adalah biaya selain bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung tetapi membantu dalam merubah bahan menjadi produk selesai. Contohnya adalah vanili, garam, pewangi pada kue. Contoh lainnya adalah listrik, sewa pabrik, pajak, asuransi pabrik, dan penyusutan pabrik.

b. Biaya non produksi

Biaya non produksi adalah biaya yang tidak berhubungan dengan proses produksi. Biaya ini dikelompokkan menjadi :

1) Beban pemasaran

Beban pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan apabila produk selesai dan siap dipasarkan ketangan konsumen. Contohnya adalah beban iklan, promosi, pengiriman barang, dan komisi penjualan. 2) Beban administrasi

Beban administrasi adalah biaya yang dikeluarkan dalam hubungan dengan kegiatan penentuan kebijakan, pengarahan, pengawasan kegiatan perusahaan secara keseluruhan agar dapat berjalan secara efektif dan efisien. Contohnya adalah gaji administrasi kantor, biaya alat-alat tulis, sewa kantor, dan biaya piutang tak tertagih. 3) Beban keuangan

Beban keuangan adalah biaya yang muncul dalam melaksanakan fungsi-fungsi keuangan. Contohnya adalah beban bunga.

2. Biaya dalam hubungan dengan volume produksi

Biaya yang berhubungan dengan volume atau perilaku biaya dapat dikelompokkan menjadi elemen :

a. Biaya variabel

Biaya variabel adalah biaya yang berubah sebanding dengan perubahan volume produksi dalam rentang relevan, tetapi secara per-unit tetap. Contohnya adalah perlengkapan, bahan bakar, dan upah lembur.


(21)

b. Biaya tetap

Biaya yang bersifat tetap dalam rentang relevan tertentu, tetapi secara per-unit berubah. Contohnya adalah gaji supervisor, asuransi property, gaji satpam, dan sewa.

c. Biaya semi

Biaya semi adalah biaya didalamnya mengandung unsur tetap dan mengandung unsur variabel. Biaya semi ini dapat dikelompokkan dalam dua elemen biaya yaitu :

1). Biaya semivariabel

Biaya semivariabel adalah biaya yang didalamnya mengandung unsur tetap dan memperlihatkan karakter tetap dan variabel. Contohnya adalah biaya listrik dan telepon.

2). Biaya semitetap

Biaya tetap adalah biaya yang berubah dan volume secara bertahap. Contohnya adalah gaji penyelia.

3. Biaya dalam hubungan dengan departemen dan pusat biaya a. Biaya langsung departemen

Biaya langsung departemen adalah biaya yang dapat ditelusuri langsung ke departemen bersangkutan. Contohnya adalah gaji mandor pabrik yang digunakan oleh departemen bersangkutan.

b. Biaya tidak langsung departemen

Biaya tidak langsung departemen adalah biaya yang tidak dapat ditelusuri secara langsung ke departemen bersangkutan. Contohnya adalah biaya penyusutan dan biaya asuransi.

4. Biaya dalam hubungan dengan periode waktu

Dalam hubungannya dengan periode waktu, biaya dapat dikelompokkan menjadi:

a. Biaya pengeluaran modal

Biaya pengeluaran modal adalah biaya yang dikeluarkan untuk memberikan manfaat di masa depan dan dalam jangka waktu yang panjang dan dilaporkan sebagai aktiva. Contohnya adalah pembelian mesin dan peralatan.


(22)

b. Biaya pengeluaran pendapatan

Biaya pengeluaran pendapatan adalah biaya yang memberikan manfaat untuk periode sekarang dan dilaporkan sebagai beban. Contohnya adalah penyusutan.

5. Biaya dalam hubungan dengan pengambilan keputusan

Biaya dalam rangka pengambilan keputusan dapat dikelompokkan menjadi :

a. Biaya relevan

Biaya relevan adalah biaya masa akan datang yang berbeda dalam beberapa alternatif yang berbeda.

b. Biaya tidak relevan

Biaya tidak relevan adalah biaya yang dikeluarkan tetapi tidak mempengaruhi keputusan apapun.

2.3. Harga Pokok Produksi

Harga pokok produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang atau jasa selama periode bersangkutan. Dengan kata lain, bahwa harga pokok produksi merupakan biaya untuk memperoleh barang jadi yang siap dijual (Kuswadi, 2005). Jadi, perhitungan harga pokok produksi adalah menghitung besarnya biaya atas pemakaian sumber ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa. Tujuan dilakukannya perhitungan harga pokok produksi adalah sebagai berikut :

a. Menentukan harga jual suatu produk

b. Menetapkan efisien atau tidaknya suatu perusahaan c. Menentukan kebijakan dalam penjualan

d. Pedoman dalam pembelian alat-alat perlengkapan.

Menurut Kuswadi (2005), penetapan harga pokok produksi yang benar sangat penting bagi perusahaan dalam menjalankan usahanya. Terdapat dua kemungkinan yang akan ditemui jika perusahaan tidak teliti dalam melakukan perhitungan harga pokok produksi, yaitu :

a. Harga pokok yang diperhitungkan terlalu rendah

Rendahnya harga pokok yang ditetapkan dapat merugikan perusahaan itu sendiri karena harga pokok yang rendah akan menyebabkan harga jualnya


(23)

pun menjadi rendah. Walaupun perusahaan dapat menjual produknya dengan cepat karena harga jualnya terlalu rendah, akan tetapi dapat merugikan perusahaan karena keuntungan yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi produk tersebut. b. Harga pokok yang diperhitungkan terlalu tinggi

Kondisi ini dapat juga menimbulkan masalah bagi perusahaan karena harga pokok yang tinggi akan menyebabkan harga jual produk di pasar menjadi mahal. Sehingga sulit bagi perusahaan dalam memasarkan produknya dan kalah dalam bersaing dengan perusahaan lain. Konsumen akan lebih memilih produk serupa yang harganya lebih murah dengan kualitas sama.

2.4. Activity Based Costing

Menurut mulyadi (2001), Activity based costing (ABC) pada dasarnya merupakan metode penentuan biaya produksi yang ditujukan untuk menyajikan biaya produk secara cermat bagi kepentingan manajemen, dengan mengukur secara cermat konsumsi sumber daya dalam setiap aktivitas yang digunakan untuk menghasilkan produk. Jika full costing dan variabel costing menitik beratkan penentuan biaya produk hanya pada fase produksi saja, Activity Based Costing

(ABC) menitik beratkan penentuan biaya produk di semua fase pembuatan produk, sejak fase desain dan pengembangan produk, fase produksi, sampai dengan penyerahan kepada konsumen.

Menurut Mulyadi (2001), terdapat beberapa manfaat dari ABC system

diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Menyediakan informasi yang akurat mengenai aktivitas yang digunakan perusahaan dalam menghasilkan produk bagi pelanggan

b. Menyediakan informasi biaya untuk memantau implementasi rencana pengurangan biaya

c. Menyediakan secara akurat dan multidimensi biaya produk yang dihasilkan.

d. Menyediakan fasilitas untuk menyusun anggaran berbasis aktivitas dengan cepat.


(24)

2.5. Full Costing

Full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi ke dalam harga pokok produksi. Harga pokok produk yang dihitung dengan pendekatan full costing terdiri dari unsur harga pokok produksi (biaya tenaga kerja langsung, biaya bahan baju, biaya

overhead pabrik variabel, dan biaya overhead tetap) ditambah dengan biaya nonproduksi (biaya pemasaran, biaya administrasi dan umum) (Mulyadi, 2005).

2.6. Variable Costing

Variable Costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi berprilaku variabel ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri dari bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik variabel (Mulyadi, 2005).

2.7. Nilai Tambah

Pada proses distribusi komoditas pertanian terjadi arus yang mengalir dari hulu ke hilir, yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Komoditas pertanian mendapat perlakuan-perlakuan seperti pengolahan, pengawetan, dan pemindahan untuk menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah. Ada dua cara untuk menghitung nilai tambah yaitu dengan cara menghitung nilai tambah selama proses pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses pemasaran ( Sudiyono dalam Subarkah, 2009).

Pengertian nilai tambah adalah selisih antara komoditas yang mendapatkan perlakuan pada tahap tertentu dengan nilai yang dikeluarkan selama proses berlangsung. Tujuan nilai tambah adalah untuk mengukur balas jasa yang diterima pelaku bisnis dan kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh sistem komoditas. Nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen yang dapat dinyatakan secara fungsi sebagai berikut (Sudiyono dalam Subarkah, 2009).

Nilai Tambah = f { K, B, T, U, H, h, L }... ( 1) Keterangan:

K = Kapasitas produksi h = Harga bahan baku


(25)

B = Bahan baku yang digunakan

L = Nilai input lain (nilai dan semua korbanan yang terjadi selama perlakuan untuk menam- bah nilai)

T = Tenaga kerja yang digunakan U = Upah tenaga kerja proses H = Harga output

2.8. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Harga pokok produksi dan harga pokok penjualan adalah :

1. Tania (2010) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi Roti dengan Metode Process Costing dan Pengaruhnya terhadap Harga Jual (Studi Kasus UKM Edie’s Bakery, Bogor)”. Penelitian ini menunjukkan perhitungan harga pokok produksi berdasarkan metode perusahaan mempunyai hasil harga poko produksi yang sama untuk setiap jenis topping yaitu sebesar Rp. 641,42. Sedangkan berdasarkan perhitungan harga pokok produksi dengan metode process costing menunjukan bahwa harga pokok produksi setiap jenis topping

berbeda-beda. Harga pokok produksi roti dengan topping cokelat adalah sebesar Rp 805,32, roti dengan topping keju adalah sebesar Rp 1.151,47, roti dengan topping sosis adalah sebesar Rp 534,16, roti dengan topping

abon sebesar Rp 555,32, dan roti dengan topping cocktail sebesar Rp 583,36. Harga jual yang diterapkan berdasarkan metode perusahaan juga sama untuk setiap jenis roti kecil yang diproduksi yaitu sebesar Rp 1.200,00. sedangkan berdasarkan metode cost plus menunjukkan harga jual untuk setiap jenis topping berbeda-beda. Hal ini dikarenakan konsumsi yang berbeda dari segi penggunaan bahan baku roti tersebut. Harga jual untuk roti dengan topping cokelat adalah sebesar Rp 1.300,00, roti dengan topping keju adalah sebesar Rp 1.800,00, roti dengan topping

sosis adalah sebesar Rp 900,00, roti dengan topping abon sebesar Rp 900,00, dan roti dengan topping sebesar Rp 950,00.

2. Winarto (2010) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu (Studi kasus UKM Hunter, Depok)”.


(26)

Penelitian ini menunjukkan bahwa perhitungan HPP per unit dengan metode ABC menghasilkan biaya sebesar Rp 92.617,67, lebih tinggi daripada metode yang digunakan perusahaan yang bernilai Rp 89.234,00 untuk model sepatu pria. Begitu juga dengan model sepatu wanitanya, dimana hasil yang diperoleh dengan metode perusahaan sebesar Rp 69.984,00 dan berdasarkan perhitungan metode ABC diperoleh Rp 73.833,87. Sehingga selisih dari hasil perhitungan HPP antara metode ABC dengan metode yang digunakan perusahaan adalah sebesar 3,79% untuk sepatu model pria dan 5,50% untuk sepatu model wanitanya.

3. Mulyati, Setiawan dan Rusli (2009) melakukan penelitian dengan judul Rancang Bangun Sistem Manajemen Rantai Pasokan Dan Risiko Minyak Akar Wangi Berbasis IKM Di Indonesia. Tujuan khusus dari penelitian tersebut dibagi menjadi tiga tahapan berdasarkan tahun penelitian. Tujuan tahun pertama adalah 1) mengkaji potensi pengembangan minyak atsiri umumnya dan minyak akar wangi khususnya, 2) menganalisis rantai pasokan dan risiko minyak akar wangi, dan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman IKM minyak akar wangi di Indonesia. Indonesia tercatat sebagai negara eksportir terbesar untuk komoditi minyak akar wangi. Minyak akar wangi Indonesia memiliki keunggulan komparatif paling baik dibandingkan negara lainnya. Sentra produksi akar wangi di Indonesia berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat yang mampu mengekspor hampir 90 persen minyak akar wangi. Para petani dan penyuling minyak akar wangi tersebar di empat kecamatan yaitu Samarang, Bayongbong, Cilawu, dan Leles. Anggota primer rantai pasokan minyak akar wangi terdiri dari petani akar wangi sebagai pemasok bahan baku, pengumpul akar wangi, penyuling akar wangi, pengumpul minyak akar wangi, dan eksportir minyak akar wangi.

4. Alamsyah (2007) melakukan penelitian dengan judul Analisis Nilai Tambah dan Pendapatan Usaha industri “Kemplang” Rumah Tangga Berbahan Sagu dan Ikan. Penelitian ini menunjukkan pendapatan industri kemplang sebesar Rp 979.535,39 per bulan. Harga pokok kemplang ikan sarden sebesar Rp 8.116,58. Harga pokok kemplang ikan kakap sebesar


(27)

Rp 10.380,85 per kg. Nilai tambah kemplang ikan sarden Rp 583,60 per kg dan ikan kakap Rp 6.795,83 per kg.


(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Minyak akar wangi atau yang dikenal dengan istilah java vetiver oil

merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang potensial untuk dikembangkan. Permintaan minyak akar wangi yang meningkat membuat semakin terbukanya pasar ekspor. Akan tetapi peningkatan permintaan minyak akar wangi tentunya perlu diimbangi dengan peningkatan produktivitas dan mutu agar dapat bersaing dengan produsen minyak akar wangi dari negara lain. Pengelolaan rantai pasokan yang baik merupakan salah satu cara agar tercapainya peningkatan mutu dan produktivitas minyak akar wangi. Selain itu dapat membangun kerjasama melalui penciptaan jaringan kerja (network) yang terkoordinasi dalam penyediaan minyak akar wangi. Demi tercapainya peningkatan mutu dan produktivitas minyak akar wangi, perlu diintegrasikan aliran material, finansial, serta aliran informasi dalam pengelolaan rantai pasokan. Oleh karena itulah, identifikasi rantai pasokan minyak akar wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat perlu dilakukan.

Harga pokok produksi merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari rantai pasokan. Hal tersebut karena harga pokok produksi secara tidak langsung merupakan bagian dari biaya rantai pasokan. Harga pokok produksi sangat penting dilakukan, karena dapat diketahui secara spesifik biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk. Selain itu, dengan mengetahui harga pokok produksi, dapat membandingkan dengan pendapatan yang diterima. Selama ini, baik petani maupun penyuling belum melakukan perhitugan harga pokok produksi. Perhitungan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan ini bermanfaat untuk petani dan penyuling mengetahui biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan akar wangi maupun akar wangi.

Proses rantai pasokan minyak akar wangi berawal dari petani dan berakhir pada eksportir. Akar wangi yang disuling menghasilkan minyak akar wangi yang memiliki nilai tambah. Namun perhitungan nilai tambah minyak akar wangi belum dilakukan sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rantai pasokan minyak akar wangi yang terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengetahui harga pokok produksi dan penjualan akar wangi dan minyak akar


(29)

wangi, serta dapat diketahui nilai tambah yang diterima penyuling minyak akar wangi. Kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran 3.2. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian mencakup langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian. Tahapan penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu:

1. Tahap pertama :

Tahap pertama merupakan tahap pra penelitian. Diawali dengan pemilihan topik dan judul penelitian yaitu “Perhitungan Harga Pokok Produksi dan Penjualan Akar Wangi dan Minyak Akar Wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat”. Selanjutnya menentukan rumusan masalah dan tujuan penelitian.


(30)

Setelah mengidentifikasi rumusan masalah dan tujuan penelitian disusunlah rancangan kebutuhan data yang meliputi identifikasi data yang diperlukan untuk penelitian. Data yang dibutuhkan berupa data primer dan sekunder. Selain itu dilakukan identifikasi alat analisis yang akan digunakan yaitu analisis deskriptif, job costing dan metode hayami.

2. Tahap kedua:

Tahap kedua mencakup pengumpulan data, input data dan pengolahan data. Pengumpulan data dilakukan dengan secara primer dan sekunder. Pengumpulan data primer didapatkan melalui observasi dan wawancara dengan alat kelengkapan berupa kuesioner. Sedangkan pengumpulan data sekunder didapatkan melalui studi literatur, jurnal, data Dinas Perkebunan Kabupaten Garut, Jawa Barat dan data Dinas Perindustrian Perdagangan dan Perkoperasian Garut, Jawa Barat. Pengolahan dan analisis data untuk identifikasi rantai pasokan minyak akar wangi menggunakan analisis deskriptif dengan software Statistical Package for the Social Sciences

(SPSS) versi 6.0. Harga pokok produksi dan penjualan akarr wangi menggunakan analisis job costing dengan software Microsoft Excell 2007. Sedangkan nilai tambah minyak akar wangi menggunakan metode hayami dengan software Microsoft Excell 2007.

3. Tahap ketiga :

Tahap ketiga merupakan tahapan terakhir berupa pembahasan, kesimpulan dan saran mengenai indentifikasi rantai pasokan minyak akar wangi, harga pokok produksi dan penjualan akar wangi dan minyak akar wangi, serta analisis nilai tambah minyak akar wangi.


(31)

Gambar 2. Tahapan penelitian 3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Garut, Jawa Barat khusunya di Kecamatan Samarang, Bayongbong, Cilawu dan Leles. Pemilihan lokasi ini


(32)

dilakukan secara sengaja (purposive) karena lokasi tersebut merupakan sentra produksi minyak akar wangi. Penelitian dilaksanakan bulan Maret - Juli 2011. 3.4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung dari petani akar wangi, pengumpul akar wangi, penyuling minyak akar wangi, dan pengumpul minyak akar wangi sebagai sumber data. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara. Wawancara menggunakan alat kelengkapan berupa kuesioner. Kuesioner dibagi menjadi dua jenis, yaitu kuesioner untuk mengidentifikasi rantai pasokan minyak akar wangi serta kuesioner untuk perhitungan harga pokok produksi dan penjualan minyak akar wangi.

Kuesioner identifikasi rantai pasokan minyak akar wangi ditujukan kepada petani akar wangi, penyuling minyak akar wangi, pengumpul akar wangi, dan pengumpul minyak akar wangi. Kuesioner berisi daftar pertanyaan mengenai identitas usaha, aspek budidaya dan pasca panen, aspek pemasaran, aspek keuangan, dan aspek kemitraan. Kuesioner untuk perhitungan harga pokok produksi dan penjualan minyak akar wangi ditujukan kepada petani akar wangi dan penyuling minyak akar wangi. Kuesioner untuk petani berisi daftar pertanyaan mengenai biaya bibit, pupuk, tenaga kerja, pajak lahan pertanian, dan transportasi pengontrolan. Kuesioner untuk penyuling berisi daftar pertanyaan mengenai biaya akar wangi, bahan bakar, penyusutan bangunan, penyusutan ketel, penyusutan boiler, pajak bangunan, listrik, tenaga kerja dan telepon.

Data sekunder adalah data yang tersusun dalam dokumen-dokumen tertulis. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang mendukung dan relevan terhadap penelitian ini, seperti buku, jurnal maupun hasil penelitian terdahulu. Selain itu, terdapat data sekunder yang diperoleh dari Dinas Perindustrian Perdagangan dan Perkoperasian Garut, Jawa Barat berupa perkembangan nilai ekspor minyak akar wangi. Dinas Perkebunan Garut, Jawa Barat yaitu berupa perkembangan luas lahan areal perkebunan akar wangi, jumlah penyuling minyak akar wangi, dan jumlah petani akar wangi. Kebutuhan data, jenis data, metode pengumpulan data, sumber data, dan analisis data dapat dilihat pada Tabel 1.


(33)

Tabel 1. Jenis data dan sumber data

No Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data

1. Menganalisis rantai pasokan minyak akar wangi

Primer dan Sekunder

Petani akar wangi, pengumpul akar wangi, penyuling akar wangi, pengumpumpul minyak, akademisi

2. Menghitung dan menganalisis harga pokok produksi dan harga pokok penjualan akar wangi

Primer Petani akar wangi

3. Menghitung dan menganalisis harga pokok produksi dan harga pokok penjualan minyak akar wangi

Primer Penyuling minyak akar wangi

4. Menghitung dan menganalisis nilai tambah minyak akar wangi

Primer Penyuling minyak akar wangi

3.5. Jumlah Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dari populasi pelaku industri akar wangi dilakukan secara probability sampling dan nonprobability sampling. Teknik yang dilakukan dalam probability sampling adalah stratified random sampling dimana sampel terlebih dahulu diklasifikasikan menjadi petani akar wangi, pengumpul akar wangi, penyuling minyak akar wangi, dan pengumpul minyak akar wangi berdasarkan wilayah. Pengambilan sampel selanjutnya dilakukan secara

nonprobability sampling yaitu purposive sampling dan snowball sampling. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rantai pasokan minyak akar wangi, harga pokok produksi dan penjualan akar wangi dan minyak akar wangi, serta nilai tambah minyak akar wangi yang didasarkan juga kepada lokasi, status usaha dan keberlangsungan usaha. Oleh sebab itu, dilakukan pengambilan sampel dengan cara purposive sampling dengan responden H. Ede Kadarusman selaku ketua koperasi Usaha Rakyat (USAR) dan merupakan ketua Dewan Atsiri Jawa Barat. Setelah itu, dilakukan pengambilan sampel dengan cara snowball sampling

berdasarkan rekomendasi H. Ede Kadarusman untuk keterwakilan setiap wilayah. Selanjutnya, responden dari setiap wilayah akan memberikan rekomendasi untuk responden selanjutnya. Hasil responden untuk identifikasi rantai pasok minyak akar wangi dapat dilihat pada Tabel 2.


(34)

Tabel 2. Jumlah responden identifikasi rantai pasokan minyak akar wangi

No Kecamatan Petani

(orang)

Penyuling (orang)

Pengumpul Akar Wangi

(orang)

Pengumpul Minyak Akar Wangi

(orang)

1 Samarang 10 5 2 -

2 Bayongbong 7 4 1 1

3 Cilawu 7 2 - -

4 Leles 1 1 - -

5 Garut Kota - - - 1

Total 25 12 3 2

Tabel 3. Jumlah responden untuk perhitungan harga pokok produksi dan penjualan akar wangi dan minyak akar wangi, serta nilai tambah Samarang

(orang)

Bayongbong (orang)

Cilawu (orang)

Leles (orang)

Total (orang)

Petani 10 7 7 1 25

Penyuling 6 5 3 1 15

3.6. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 16.0 dan Microsoft Excel 2007. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut :

3.6.1 Analisis deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Analisis data secara deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik responden, dan keadaan umum rantai pasok minyak akar wangi. Analisis data disajikan dalam bentuk charts.

3.6.2 Metode Job Costing

Harga pokok produksi akar wangi dihitung menggunakan metode job costing, yaitu berdasarkan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini dilakukan karena belum adanya pencatatan yang tersusun secara terstruktur dan lengkap sehingga dilakukan perhitungan berdasarkan satu kali pekerjaan. Rumus Harga Pokok Produksi (HPPo) secara umum adalah (Bustami dan Nurlela, 2006):

HPPo = BBL + TKL + BOP ... (2) Ket :

HPPo = Harga pokok Produksi BBL = Bahan baku langsung TKL = Tenaga kerja langsung


(35)

BOP = Biaya overhead

Sedangkan rumus perhitungan harga pokok penjualan (HPPe) secara umum adalah (Hongren dkk, 2005):

HPPe= P1 + HPPo - P2 ... (3) Ket :

HPe = Harga pokok penjualan HPPo = Harga pokok produksi P1 = Persediaan awal barang jadi P2 = Persediaan akhir barang jadi 3.6.3 Metode Hayami

Analisis nilai tambah minyak akar wangi dihitung menggunakan metode hayami. Berikut ini merupakan prosedur perhitungan nilai tambah dengan metode hayami (Sudiyono dalam Subarkah, 2009).


(36)

Tabel 4. Prosedur perhitungan nilai tambah menggunakan metode hayami

No Variabel Nilai

Output, Input, dan Harga

1 Output (kg) (1)

2 Bahan Baku (kg) (2)

3 Tenaga Kerja Langsung (HOK) (3)

4 Faktor Konversi (4) = (1)/(2)

5 Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) (5) = (3)/(2)

6 Harga Output (Rp/kg) (6)

7 Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) (7) Penerimaan dan Keuntungan

8 Harga Bahan Baku (Rp/kg) (8)

9 Harga input lain seperti bahan bakar dan peralatan (Rp/kg)

(9)

10 Nilai Output (Rp/kg) (10) = (4) x (6)

11 a. Nilai Tambah (Rp/kg) (11a) = (10) – (8) – (9) b. Rasio Nilai Tambah (%) (11b) = (11a)/ (10) x 100 12 a. Pendapatan tenaga kerja langsung (Rp/kg) (12a) = (5) x (7)

b. Tingkat Keuntungan (%) (12b) = (13a) / (10) x 100

13 a. Keuntungan (Rp/kg) (13a) = (11a) – (12a)

b. Tingkat Keuntungan (%) (13b) = (13a) / (10) x 100 Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

14 Marjin (Rp/kg) (14) = (10) – (8)

a. Pendapatan tenaga kerja langsung (%) (14a) = (12a) / (14) x 100 b. Sumbangan input lain (%) (14b) = (9) / (14) x 100 c. Keuntungan perusahaan (%) (14c) = (13a) / (14) x 100


(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas mengenai gambaran umum rantai pasokan minyak akar wangi. Bab ini akan membahas pula perhitungan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan untuk komoditas akar wangi dan minyak akar wangi serta nilai tambah akar wangi menjadi minyak akar wangi.

3.3. Identifikasi Rantai Pasokan Minyak Akar Wangi

Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides) termasuk famili Graminieae

atau rumput-rumputan. Karakteristik tanaman akar wangi adalah memiliki bau yang sangat wangi, berumpun lebat, akar tinggal bercabang banyak berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Tangkai daun tersembul dari akar tinggal yang dapat mencapai 2 meter. Daun akar wangi berwarna kelabu, tampak kaku, panjangnya mencapai 100 cm dan tidak mengandung minyak. Daun akar wangi banyak digunakan sebagai bahan baku kerajinan. Bunganya berwarna hijau atau ungu pada pucuk tangkai daun (www.ditjenbun.deptan.go.id, 2009)

Pola pertanaman akar wangi pada umumnya monokultur dan tumpang sari. Tanaman akar wangi akan tumbuh baik pada ketinggian antara 700‐1600 meter di atas permukaan laut. Curah hujan yang cocok berkisar antara 1500-2500 mm setiap tahun, dengan suhu lingkungan 17-27°C, dengan derajat keasaman tanah (pH) sekitar 6-7. Tanaman akar wangi membutuhkan sinar matahari yang cukup. (www.ditjenbun.deptan.go.id, 2009)

Tanah yang baik untuk pertumbuhan akar wangi adalah tanah yang tidak padat (gembur) atau tanah yang berpasir seperti tanah yang mengandung abu vulkanik. Pada tanah yang demikian akar wangi akan tumbuh dengan baik dan mudah dicabut pada waktu panen sehingga tidak meninggalkan sisa‐sisa akar di dalam tanah.

Akar wangi merupakan tanaman yang tidak berhama penyakit, sehingga tidak membutuhkan obat tanaman. Hama yang sering ada berupa hama hidup yaitu “kuuk” atau beberapa binatang hutan seperti ayam alas dan babi hutan yang merusak tanaman.

Waktu penanaman akar wangi dapat dilakukan setiap saat, sepanjang tahun, namun waktu penanaman yang terbaik adalah pada awal musim hujan.


(38)

Pemanenan akar wangi dapat dilakukan setelah tanaman berumur 8 (delapan) bulan pada musim kemarau. Namun sebagian besar petani akar wangi memanen setelah tanaman berumur 12 (dua belas) bulan. Hasil akar yang optimum dengan mutu minyak yang baik dihasilkan oleh akar wangi yang berumur lebih dari 15 (lima belas) bulan. Cara panen akar wangi adalah dengan mencangkul tanah di sekeliling rumpun tanaman agar longgar sehingga semua akar bisa diambil dan tidak ada yang putus (www.ditjenbun.deptan.go.id, 2009).

Anggota utama rantai pasokan minyak akar wangi terdiri dari petani akar wangi sebagai pemasok bahan baku, pengumpul akar wangi, penyuling akar wangi, pengumpul minyak akar wangi, dan eksportir minyak akar wangi. Setiap anggota rantai pasokan melakukan aktivitas berhubungan dengan kegiatan operasional untuk menghasilkan minyak akar wangi yang berkualitas.

Menurut Pujawan (2005), pada suatu rantai pasokan biasanya ada tiga macam aliran yang harus dikelola. Pertama, aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream). Kedua, aliran uang (finansial) yang mengalir dari hilir ke hulu. Ketiga adalah aliran informasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir atau sebaliknya Gambar 3. menyajikan pola aliran dalam rantai pasokan minyak akar wangi

Cakupan rantai pasok minyak akar wangi Indonesia


(39)

Aliran rantai pasokan minyak akar wangi dimulai dari petani sebagai penghasil akar wangi atau bahan baku minyak akar wangi. Seluruh hasil panen dari petani akan dibeli oleh penyuling dan pengumpul akar wangi. Pengumpul akar wangi akan menjual kembali akar wangi ke penyuling. Harga jual akar wangi dari petani berkisar antara Rp 2.000,00 sampai Rp 3.000,00 per kg. Faktor kualitas dan kuantitas akar wangi akan menentukan harga akar wangi. Kualitas akar wangi juga dipengaruhi oleh cuaca. Apabila kondisi cuaca buruk, maka akar wangi yang dijual di bawah harga standar yaitu mencapai Rp 1.200,00 per kg. Harga akar wangi di tingkat petani cenderung turun ketika panen raya yaitu bulan Juli - Agustus.

Mekanisme pembelian akar wangi oleh penyuling atau pengumpul dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, petani langsung mengantarkan akar wangi ke penyuling atau pengumpul akar wangi. Kedua, penyuling membeli langsung akar wangi yang masih berada di lahan ketika mendekati masa panen. Umumya petani langsung mengantarkan akar wangi ke penyuling atau pengumpul akar wangi. Alat transportasi yang digunakan oleh petani untuk mengantarkan akar wangi kepada penyuling dengan menggunakan truk. Penyuling akan melakukan penyulingan untuk menghasilkan minyak akar wangi yang dijual langsung ke pengumpul minyak akar wangi atau eksportir. Eksportir paling banyak berada di Bogor dan Jakarta. Eksportir mengekspor minyak akar wangi ke beberapa negara yaitu Jepang, Singapura, Inggris, USA, Swiss, Italia, Jerman, Hongkong, dan India. Harga beli oleh pengumpul atau eksportir minyak akar wangi sebesar Rp 1.000.000,00–1.400.000,00 per kg bergantung pada kualitas yang dihasilkan. Semakin baik kualitas minyak akar wangi, maka semakin mahal harga minyak akar wangi tersebut.

Aliran finansial pada rantai pasokan minyak akar wangi terjadi dari eksportir minyak akar wangi, pengumpul minyak atau langsung ke penyuling, pengumpul akar wangi atau langsung ke petani dan petani akar wangi. Sistem pembayaran eksportir, penyuling atau pengumpul minyak akar wangi adalah tunai ketika minyak diterima. Penyuling seringkali mendapat bantuan dana berupa pinjaman modal dari eksportir maupun pengumpul minyak sebelum melakukan penyulingan. Penyuling yang mendapatkan bantuan dana dari eksportir melakukan


(40)

pembayaran berupa minyak akar wangi. Setelah minyak akar wangi terkumpul selama kurang lebih sepuluh hari. Sebagian penyuling juga memberikan pinjaman modal kepada petani untuk melakukan budidaya akar wangi. Setelah panen, petani tersebut harus menjual akar wangi ke penyuling tersebut dan dibeli dengan harga yang berlaku.

Sistem komunikasi sudah terintegrasi dengan baik antara anggota primer dalam rantai pasokan akar wangi. Aliran informasi terjadi pada pengekspor minyak akar wangi, pengumpul minyak atau langsung ke penyuling lalu ke pengumpul akar wangi atau langsung ke petani, dan petani akar wangi atau sebaliknya. Komunikasi penyuling dengan pengumpul minyak atau dengan eksportir menggunakan telepon. Komunikasi antara penyuling dan petani adalah secara tatap muka. Komunikasi antara penyuling dengan petani akar wangi akar wangi untuk mengetahui harga akar wangi, tanggal panen, dan kapasitas pengiriman akar wangi kepada penyuling.

4.1.1 Aktivitas Petani Akar Wangi

Petani akar wangi di Kabupaten Garut tersebar di 5 (lima) kecamatan Bayongbong, Samarang, Cilawu, Leles, dan Pasir Wangi. Petani dapat di klasifikasikan sebagai petani mandiri dan petani yang tergabung dalam kelompok tani. Sebesar 72 persen petani telah tergabung dalam kelompok tani dan 28 persen merupakan petani mandiri. Kelompok tani merupakan kumpulan petani yang tergabung dalam sebuah kelompok yang diketuai oleh seorang penyuling. Sedangkan petani mandiri adalah petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani. Penyuling berperan sebagai pemberi modal dan pembina teknik budidaya bagi anggotanya. Anggota kelompok tani menyediakan sarana produksi tanaman seperti pupuk, bibit, dan tenaga kerja. Kesepakatan umum antara petani dan penyuling adalah petani harus menjual hasilnya kepada pemberi modal (penyuling). Namun ada beberapa penyuling yang memberi kebebasan kepada anggotanya untuk menjual hasil panen kepada penyuling atau pengumpul lain, dengan ketentuan petani dapat membayar pinjaman modal yang diberikan.

Tanaman akar wangi berasal dari India, Birma dan Srilangka. Pertanian akar wangi di Garut dimulai pada tahun 1918. Para petani umumnya mewarisi kegiatan pertanian secara turun-menurun. Lama waktu menjalani usaha pertanian


(41)

akar wangi akan disajikan dalam Gambar 4. Selain itu luas lahan yang dimiliki akan disajikan Galam gambar 5.

Gambar 4. Lama Usaha Budidaya (data diolah)

Gambar 5. Lahan Budidaya (data diolah)

Berdasarkan Gambar 4. lama usaha budidaya yang dijalani umumnya adalah 10-30 tahun. Hal ini mengindikasikan petani telah mimiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup mengenai akar wangi. Gambar 5.merepresentasikan petani akar wangi sebagian besar memiliki luas lahan pertanian akar wangi sebesar 5-10 hektar. Status kepemilikan adalah milik sendiri (88%), sewa (4%), serta milik sendiri dan sewa (8%). Hasil rata-rata produksi akar wangi 10-21 ton per hektar.

Pola budidaya tanaman akar wangi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sistem monokultur dan tumpang sari. Sebanyak 16 persen petani melakukan sistem monokultur dan sebanyak 84 persen petani melakukan sistem tumpang sari dengan tanaman seperti kol, tomat, kentang, kubis, cabai, dan singkong. Hal ini mengindikasikan pendapatan petani juga berasal dari hasil pertanian lainnya.

Budidaya akar wangi dimulai dengan pembibitan, pencangkulan, penanaman, penyiangan, pemberian pupuk dan panen. Bibit akar wangi diperoleh dengan cara memisahkan daun dan akar, setelah itu diambil bonggol akarnya untuk ditanam. Permasalahan yang sering muncul adalah ketersediaan bibit yang

12%

40% 32%

12%4%

< 10 tahun 10 - 20 tahun 20 - 30 tahun 30 - 40 tahun > 40 tahun

40%

36%

24% <5 Ha

5 - 10 Ha >10 Ha


(42)

tidak konsisten dan mutu bibit tidak sesuai yang diharapkan. Permasalahan lain yang muncul adalah cuaca yang tidak menentu yang mengakibatkan rendemen berkurang terutama saat curah hujan tinggi.

Berdasarkan hasil survey, 12 persen petani tidak melakukan pemupukan. Hal tersebut dikarenakan tidak sesuainya harga beli dan biaya operasional yang dikeluarkan. Petani akar wangi berpendapat lebih bagus jika tidak diberi pupuk untuk sistem tanam monokultur. Sedangkan 88 persen melakukan pemupukan untuk petani akar wangi dengan sistem tanam tumpang sari. Pemupukan diutamakan untuk tanaman tumpangnya daripada tanaman akar wangi. Petani menggunakan pupuk organik dan anorganik. Jenis pupuk anorganik yang digunakan adalah ZA, TSP, NPK, KCL, kecuali pupuk UREA. Sedangkan pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang.

Petani umumnya menjual akar wangi langsung kepada penyuling atau kepada pengumpul akar wangi yang berada di daerah sekitarnya. Akan tetapi, terdapat pula petani yang berperan sebagai penyuling sehingga hasil akar wangi langsung disuling sendiri atau disebut sebagai “petani-penyuling”. Petani umumnya menyuling bahan baku di tempat penyulingan milik pengusaha penyuling dengan ketentuan bahwa produk yang dihasilkan dijual ke pemilik alat suling. Selain itu terdapat pula petani yang menyuling di tempat penyulingan milik pengusaha penyuling dengan sistem sewa dan menjual minyak akar wangi langsung ke pengumpul minyak akar wangi berskala besar.

Adanya kerjasama antara petani dan penyuling atau dengan pengumpul menjadikan pemasaran akar wangi tidak mempunyai kendala yang signifikan. Umumnya semua hasil panen pasti terserap pasar baik kualitasnya rendah maupun tinggi. Harga akar wangi saat ini cenderung menurun akibat cuaca yang tidak menentu sehingga kualitas tidak sebagus musim kemarau. Semua akar wangi dijual dengan berat basah, harga akar wangi basah berkisar antara Rp 1.200,00– 3.000,00 per kg berat basah. Namun, sebagian besar petani menjual pada harga Rp 2.000,00 per kg.

Pada umumnya modal petani adalah modal sendiri atau modal pinjaman dari saudara. Sedangkan untuk modal lainnya yaitu modal sendiri dan penyuling,


(43)

modal sendiri dan eksportir, serta modal sendiri dan perbankan. Persentase sumber modal pertanian akar wangi disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Sumber modal pertanian akar wangi (data diolah)

Investasi dalam budidaya akar wangi per hektar selama satu periode penanaman kurang dari Rp 25.000.000,00. Permodalan sering kali menjadi kendala yang dihadapi oleh petani karena lamanya masa tanam. Hal ini menyebabkan petani menjual akar wangi dengan sistem ijon saat tanaman berumur 8 bulan dan siap dipanen setelah berumur 12 bulan. Fasilitas kredit dari lembaga keuangan tidak dimanfaatkan petani karena persyaratan dirasa memberatkan dan berbelit-belit dalam prosedur peminjaman. Oleh karena itu diharapkan peran pemerintah dalam bantuan permodalan atau meringankan persyaratan pinjaman bagi petani akar wangi.

4.1.2 Aktivitas Pengumpul Akar Wangi

Pengumpul akar wangi membeli akar wangi langsung dari petani setelah panen atau membeli dengan sistem ijon. Tidak ada kelompok pengumpul seperti hal nya kelompok tani, jumlah pengumpul tidak banyak untuk setiap wilayah, hanya ada satu atau dua pengumpul dalam satu wilayah desa atau kecamatan. Hal ini menyebabkan pengumpul bekerja sendiri dan cenderung bersaing antar pengumpul. Pengumpul akan menjual akar wangi kepada penyuling atau pengumpul lain yang melakukan penyulingan. Pengumpul mendapat modal dari penyuling untuk mencari akar wangi dan menjualnya kembali ke penyuling. Para pengumpul terkadang mencari akar wangi sampai ke luar wilayah untuk memenuhi kekurangan pasokan akar wangi. Pengumpul akar wangi terkadang juga melakukan penyulingan sendiri dengan menyewa alat suling kepada penyuling dan membayarnya berupa minyak akar wangi kasar. Biaya sewa untuk melakukan penyulingan rata-rata adalah Rp 1.500.000,00.

76% 12%

12%

pribadi

pribadi dan saudara lainnya


(44)

Pengumpul akar wangi mampu mengumpulkan 4-5 ton akar wangi per hari dengan harga Rp 2.000,00-3.000,00. Sistem pemesanan dilakukan secara langsung dengan mekanisme bayar cash and carry. Kendala yang dialami pengumpul adalah ketersediaan akar wangi yang tidak konsisten dan mutu yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

4.1.3 Aktivitas Penyuling Akar Wangi

Penyuling akar wangi tersebar di 4 (empat) kecamatan yaitu Samarang, Bayongbong, Cilawu, dan Leles. Sebanyak 75 persen penyuling bergabung dalam koperasi USAR (Usaha Rakyat) yang baru berdiri tahun 2010 dan 25 persen lainnya tidak bergabung dalam koperasi Usaha Rakyat (USAR). Sebagian besar penyuling bertindak sebagai petani yang disebut petani-penyuling. Penyuling yang tidak menanam akar wangi memperoleh akar wangi dengan membeli langsung dari petani/kelompok tani dan pengumpul akar wangi. Penyuling umumnya diberi pinjaman modal oleh eksportir atau pengumpul minyak dengan syarat mereka harus membayar pinjaman modal dengan minyak. Pengiriman minyak dilakukan setelah minyak terkumpul selama 10 hari dengan jumlah rata-rata sebanyak 40 kg. Namun, pada musim kemarau penyuling dapat memproduksi minyak lebih banyak dengan jumlah 50 kg selama satu minggu. Tahun 2010 rendemen menurun karena cuaca yang tidak mendukung yaitu curah hujan yang tinggi selama setahun terakhir mengakibatkan kualitas akar menurun.

Produk minyak akar wangi yang dihasilkan berupa minyak akar wangi kasar. Penyulingan dilakukan dengan menggunakan sistem kukus dan sistem

boiler atau sistem uap terpisah sebesar. Hanya sedikit yang masih menggunakan sistem rebus. Bahan bakar yang digunakan saat ini didominasi oleh minyak solar dan oli bekas. Akan tetapi terdapat penyuingan yang menggunakan bahan bakar kayu. Minyak akar wangi dengan menggunakan sistem uap memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan sistem kukus

Pemakaian solar lebih ramah lingkungan namun lebih mahal jika dibandingkan dengan oli bekas. Kenaikan harga minyak tanah membuat biaya operasional meningkat. Selain itu kelangkaan bahan bakar menyebabkan penyulingan minyak akar wangi tidak kontinu. Hal ini menyebabkan banyak usaha penyulingan yang tidak berproduksi karena biaya operasional tidak tertutup


(45)

oleh harga jual minyak. Hal tersebut juga berdampak pada hasil panen akar wangi yang tidak diolah, sehingga para petani membakar hasil panen mereka. Permasalahan lain penyuling diharuskan membeli BBM dengan harga industri besar.

Mutu minyak akar wangi ditentukan oleh suhu dan tekanan yang digunakan. Tekanan yang baik untuk penyulingan akar wangi adalah 3 bar dengan suhu sekitar 140-160°C pada sistem kukus. Tekanan yang rendah membuat mutu minyak lebih bagus jika dibandingkan dengan tekanan tinggi, karena dapat menyebabkan minyak menjadi gosong. Harga bahan bakar yang tinggi membuat penyuling menaikkan tekanan pada 5 bar dengan tujuan penghematan bahan bakar. Apabila menggunakan sistem uap terpisah atau boiler suhu dijaga pada 120°C dengan tekanan 2-3 bar selama 20 jam.

Proses penyulingan berlangsung selama 10 jam pengukusan dan 2 (dua) jam untuk memasukan dan membongkar akar wangi dalam tungku. Total untuk satu kali proses penyulingan membutuhkan waktu kurang lebih 12 jam. Berdasarkan hal tersebut, maksimal satu alat suling mampu menyuling sebanyak dua kali sehari. Kapasitas tungku per penyulingan sebesar 1,2-2 ton. Rendemen yang dihasilkan sebesar 4-8 kg per satu suling dalam kondisi akar wangi yang bagus. Saat ini rendemen rata-rata yang dihasilkan adalah 0,4-0,5 persen. Hasil minyak akar wangi kemudian dijual ke pengumpul minyak akar wangi atau langsung dijual ke eksportir.

Proses penyiapan penyulingan akar wangi dimulai dengan pembersihan dan pencucian akar wangi untuk menghilangkan tanah yang menempel pada akar wangi. Tanah yang ikut terbawa dalam proses penyulingan dapat menurunkan rendemen dan mutu minyak akar wangi. Setelah itu dilakukan pengeringan dengan cara dijemur 12 jam di bawah sinar matahari langsung atau pada kadar air 15 persen sampai 25 persen dengan tujuan menguapkan sebagian air dalam bahan, sehingga proses penyulingan lebih mudah dan singkat. Sebelum penyulingan sebaiknya akar wangi dirajang terlebih dahulu untuk memudahkan penguapan akar wangi. Akar wangi yang sudah dikeringkan dan dirajang dimasukkan dalam ketel yang tertutup rapat.


(46)

Sebagian besar penyuling tidak menerapkan penyulingan dengan ketentuan yang baku (good manufacturing process). Pencucian akar wangi hanya dilakukan apabila musim hujan dan terlalu bayak tanah yang menempel. Penjemuran hanya dilakukan pada pagi hari dan tidak ada proses perajangan. Semua itu dilakukan untuk mempercepat proses produksi dan menghemat biaya operasional. Pemisahan air dan minyak menggunakan kertas saring yang tidak tembus air. Sehingga ketika disaring air akan berada di atas dan minyak mengalir ke dalam wadah penampungan.

Penjualan produk minyak akar wangi mempunyai beberapa keragaman. Penyuling dengan modal besar dapat menjual minyak akar wangi kepada pengumpul atau eksportir yang memberi harga yang lebih menguntungkan. Hal tersebut tidak berlaku bagi sebagian besar penyuling yang kesulitan modal. Mereka bergantung pada pinjaman modal dari pengumpul atau eksportir sehingga harus mengembalikan pinjaman modal tersebut berupa minyak hasil sulingan mereka. Kasus yang terjadi di Garut yaitu terdapat satu pengumpul yang dominan sehingga hampir seluruh penyuling memiliki hubungan keterkaitan dengan pedagang pengumpul tersebut. Konsekuensi dari hal tersebut adalah harga minyak akar wangi dibeli oleh pedagang yang bersangkutan dengan harga relatif lebih murah dari harga yang berlaku.

4.1.4 Aktivitas Pengumpul Minyak Akar Wangi

Pengumpul minyak di daerah Garut tidak banyak yaitu dua pengumpul. Salah satunya adalah pengumpul minyak akar wangi yang merupakan perwakilan eksportir PT. Djasula Wangi Jakarta. Pengumpul minyak mampu mengumpulkan 100-400 kg minyak akar wangi dalam satu minggu pada saat panen raya (Juli-Agustus). Sedangkan saat musim paceklik hanya mampu mengumpulkan 200 kg dalam waktu 10 hari. Minyak yang terkumpul tersebut langsung dikirim ke eksportir yang berada di luar wilayah Garut yaitu Jakarta dan Bogor. Harga ekspor minyak tidak diketahui secara pasti oleh para pengumpul, mereka hanya menerima harga yang diterapkan eksportir.


(47)

4.1.5 Sumber Daya Rantai Pasokan 1. Sumber Daya Fisik

Sumber daya fisik rantai pasokan minyak akar wangi meliputi, lahan pertanian, sarana dan prasarana penyulingan. Sarana dan prasarana penyulingan harus mendapat perhatian khusus. Umur ekonomis dari alat suling (ketel) adalah sekitar 10-15 tahun.

2. Sumber Daya Teknologi

Penyulingan akar wangi Garut masih menggunakan sisitem kukus, masih sangat sedikit yang menggunakan sistem uap terpisah (boiler). Bantuan peralatan yang diberikan belum dapat digunakan secara optimal karena kendala operasional. Kendala yang dihadapi yaitu kapasitas mesin yang masih kurang, belum ada operator yang ahli tentang mesin tersebut, dan mesin masih banyak kendala teknis. Perbedaan tipis keuntungan antara proses penyulingan uap terpisah dengan proses kukus membuat penyuling masih menggunakan sistem kukus.

3. Sumber Daya Manusia

Proses penyulingan melibatkan 2 (dua) sampai 5 (lima) orang tenaga kerja dalam 1 (satu) kali penyulingan.

4. Sumber Daya Permodalan

Pembiayaan pada pertanian akar wangi cukup sulit didapat dari perbankan. Syarat yang rumit dan adanya agunan membuat petani menggunakan modal sendiri atau meminjam ke saudara, pengumpul atau penyuling. Petani lebih nyaman membayar pinjaman dengan hasil panen mereka. Hal serupa juga terjadi pada penyuling, syarat perbankan menuntut kepastian hasil dari penyuling sedangkan rendemen tidak dapat ditentukan secara pasti. Oleh karena itu penyuling juga lebih memilih modal pinjaman dari pengumpul minyak atau eksportir dan membayar pinjaman berupa minyak.

4.2. Harga Pokok Produksi dan Penjualan Akar Wangi 4.2.1 Harga Pokok Produksi (HPPo) Akar Wangi

Perhitungan harga pokok produksi akar wangi dilakukan untuk mengidentifikasi secara rinci biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan akar


(48)

wangi dengan luas garapan sebesar satu hektar. Rincian Biaya-biaya yang diperhitungkan dalam harga pokok produksi akar wangi adalah :

1. Biaya bahan baku langsung

Bahan baku langsung akar wangi adalah bibit akar wangi. Bibit akar wangi didapat melalui hasil panen akar wangi sebelumnya. Akan tetapi untuk mengetahui harga pokok produksi akar wangi secara keseluruhan maka harga bibit akar wangi tetap diperhitungkan. Bibit akar wangi memiliki kisaran harga Rp 1.500,00-3.000,00 per kg. Hal ini bergantung dari kualitas bibit akar wangi.

2. Tenaga kerja langsung

Tenaga kerja langsung yang dipekerjakan untuk menghasilkan akar wangi adalah buruh tani. Sistem pembayaran tenaga kerja ada dua, yaitu sistem harian dan sistem borongan. Upah sistem harian berkisar antara Rp 10.000,00-35.000,00 per orang bergantung pada jarak dekat atau jauhnya rumah buruh tani dan jenis kelamin. Upah sistem borongan menggunakan dasar perhitungan banyaknya bibit akar wangi yang akan ditanam, luas areal yang akan disiangi, dan banyaknya akar wangi yang dapat dipanen setiap buruh.

3. Biaya overhead

Biaya overhead adalah biaya selain bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung tetapi membantu dalam merubah bahan baku menjadi produk selesai. Biaya overhead dalam produksi akar wangi adalah pupuk, transportasi, pajak dan sewa lahan. Biaya transportasi dalam perhitungan adalah biaya pengontrolan lahan.

Pengkodean dilakukan untuk membedakan setiap petani, kode untuk petani adalah A5001-A5025. Kode A5001 adalah petani ke-1, A5002 adalah petani ke-2, dan seterusnya hingga petani ke-25. Tabel 5. menunjukkan salah satu perhitungan harga pokok produksi akar wangi, yaitu petani dengan kode A5001. Kode petani untuk Kecamatan Samarang adalah A5001, A5002, A5003, A5004, A5009, A5016, A5017, A5018, A5024, dan A5025. Kode petani untuk Kecamatan Bayongbong adalah A5005, A5006, A5007, A5010, A5014, A5020, dan A5021. Kode petani untuk Kecamatan Cilawu adalah A5011, A5012, A5013,


(49)

A5015, A5019, A5022, dan A5023. Kode petani untuk Kecamatan Leles adalah A5008.

Tabel 5. Contoh perhitungan harga pokok produksi akar wangi petani A5001

No Jenis Biaya Harga per

Unit (Rp)

Unit Satuan Jumlah (Rp)

1 Biaya bahan baku (BBL)

Biaya bibit 3.000,00 2.000,00 Kg 6.000.000,00

JUMLAH BBL 6.000.000,00

2 Biaya tenaga kerja langsung (TKL)

Pencangkulan 500,00 700,00 Tumbak 350.000,00

Pembibitan 200,00 2.000,00 Kg 400.000,00

Pemupukan 300,00 1.000,00 Kg 300.000,00

Penyiangan 1 3.500,00 700,00 Tumbak 2.450.000,00

Penyiangan 2 3.500,00 700,00 Tumbak 2.450.000,00

Penyiangan 3 3.500,00 700,00 Tumbak 2.450.000,00

Pemanenan 400,00 18.000,00 Kg 7.200.000,00

JUMLAH TKL 15.600.000

3 Biaya overhead (BOP)

Pupuk 2.000,00 1.000,00 Kg 2.000.000,00

Pajak 100.000,00 1,00 Tahun 100.000,00

Transportasi 300.000,00 300.000,00

JUMLAH BOP 2.400.000,00

HPP 24.000.000,00

Produksi Kg 18.000,00

HPP per kg 1.333,33

Berdasarkan Tabel 5. dapat dilihat sistem pembayaran tenaga kerja adalah sistem borongan. Pembayaran pencangkulan dan penyiangan didasarkan pada luas garapan yaitu 700 tumbak. Sedangkan pembayaran pembibitan, pemupukan, dan pemanenan didasarkan pada banyaknya bibit yang ditanam, pupuk yang diberikan, serta akar wangi yang dihasilkan saat panen. Kebutuhan akar wangi untuk menghasilakan 1 kg minyak akar wangi adalah 300-400 kg akar wangi. Kondisi ini berlaku saat penyulingan menghasilkan minyak sebanyak 3-6 kg. Harga pokok produksi akar wangi pada petani A5001 bernilai cukup tinggi yaitu sebesar Rp 1.333,33 per kg. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu tingginya biaya pupuk yang dikeluarkan dan biaya tenaga kerja selama satu periode musim tanam.

Harga pokok produksi akar wangi dikelompokkan per wilayah. Hal ini bertujuan untuk melihat penyebaran harga pokok produksi yang terjadi. Tabel 6. menunjukkan rata-rata harga pokok produksi akar wangi per wilayah. Perhitungan


(50)

harga pokok produksi akar wangi secara keseluruhan dapat dilihat dalam Lampiran 1.

Tabel 6. Rata-rata harga pokok produksi akar wangi per wilayah

No Kecamatan Rata-rata Harga Pokok Produksi (Rp/kg)

1 Samarang 1.144,42

2 Bayongbong 1.137,04

3 Cilawu 1.177,94

4 Leles 1.336,67

Berdasarkan Tabel 6. harga pokok produksi Kecamatan Samarang, Bayongbong dan Cilawu berada di kisaran harga Rp 1.100,00 per kg. Sedangkan untuk Kecamatan Leles memiliki rata-rata harga pokok produksi akar wangi yang lebih tinggi yaitu sebesar. Rp 1.336,67 per kg. Harga pokok produksi di Kecamatan Leles lebih tinggi disebabkan biaya penyiangan yang tinggi. Penyiangan pada umumnya dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu periode tanam. Penyiangan di Kecamatan Leles dilakukan sebanyak empat kali dalam satu periode tanam. Hal ini terkait dengan kualitas akar wangi yang dihasilkan berdasarkan wilayah. Kecamatan Leles pada umumnya menghasilkan akar wangi dengan kualitas dua dan tiga. Wilayah yang menghasilakan akar wangi kualitas satu adalah Pasir Wangi dan Cikurai. Sedangkan kualitas dua dihasilkan wilayah Samarang, Leles, dan Bayongbong. Perbedaan kualitas berdasarkan wilayah inilah yang menyebabkan dilakukannya penyiangan sebanyak empat kali di Kecamatan Leles untuk menghasilkan akar wangi yang lebih baik.

4.2.2 Harga Pokok Penjualan (HPPe) Akar Wangi

Harga pokok penjualan dilakukan dengan menghitung persediaan awal ditambah harga pokok produksi dan dikurangi persediaan akhir. Harga pokok penjualan menunjukkan biaya keseluruhan yang telah dikeluarkan, yaitu mencakup biaya persediaan dan harga pokok produksi. Harga pokok penjualan dapat menjadi dasar harga penjualan produk dengan menambahkan estimasi laba yang ingin diperoleh. Perhitungan harga pokok penjualan menggunakan metode

job costing, yaitu berdasarkan pekerjaan. Akar wangi yang dihasilkan langsung dijual atau disuling. Hal ini menyebabkan nilai persediaan awal dan persediaan akhir bernilai nol. Tabel 7. menunjukkan salah satu perhitungan harga pokok penjualan akar wangi pada petani A5001. Sedangkan seluruh perhitungan harga pokok penjualan akar wangi dapat dilihat pada Lampiran 2.


(51)

Tabel 7. Contoh perhitungan harga pokok penjualan akar wangi petani A5001

No Jenis Biaya Harga per

Unit (Rp)

Unit Satuan Jumlah (Rp)

1 Persediaan awal 0,00 0,00 Kg 0,00

2 HPP 1.333,33 18.000,00 Kg 24.000.000,00

3 Barang siap dijual 24.000.000,00

4 Persediaan akhir 0,00 0,00 Kg 0,00

5 Harga pokok penjualan 24.000.000,00

6 Jumlah akar wangi 18.000,00 Kg

7 Harga pokok penjualan /

kg

1.333,33

Tabel 7. menunjukkan harga pokok penjualan (HPPe) akar wangi petani A5001 bernilai Rp 1.333,33 per kg. Jika dilihat dalam Tabel 7. tidak terdapat persediaan awal maupun persediaan akhir akar wangi. Hal ini menyebabkan harga pokok penjualan bernilai sama dengan harga pokok produksi yaitu sebesar Rp 1.333,33 per kg. Akar wangi yang telah dipanen umumnya langsung dijual kepada penyuling maupun ke pengumpul akar wangi, atau akar wangi langsung disuling menjadi minyak. Hal ini menyebabkan tidak terdapat persediaan awal maupun persediaan akhir. Nilai harga pokok penjualan sama dengan harga pokok produksi, maka rata-rata harga pokok penjualan akar wangi per wilayah akan bernilai sama dengan harga pokok produksi. Rata-rata harga pokok penjualan akar wangi per wilayah dapat dilihat dalam Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata harga pokok penjualan per wilayah

No Kecamatan Rata-Rata Harga Pokok Produksi (Rp/kg)

1 Samarang 1.144,42

2 Bayongbong 1.137,04

3 Cilawu 1.177,94

4 Leles 1.336,67

Harga pokok penjualan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan harga penjualan. Harga penjualan ditentukan dengan menambahkan estimasi profit yang ingin didapat. Tabel 9. menunjukkan rata-rata harga penjualan per wilayah dengan estimasi profit sebesar 10%, 30%, 80%, 100%, 120%, 150%, dan 200% dari harga pokok.


(1)

2 Bahan baku Kg 2.000,00 3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 12.500,00 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.333,33 9 Harga input lain Rp/kg 529,29

10 Nilai output Rp/kg 4.400,00

11 Nilai tambah Rp/kg 2.537,38

12 Rasio nilai tambah % 57,67

Penyuling minyak A5002 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 1.700,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,005

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,007

6 Harga output Rp/kg 1.000.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 10.000,00 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.282,43 9 Harga input lain Rp/kg 556,11 10 Nilai output Rp/kg 4.705,88 11 Nilai tambah Rp/kg 2.867,34 12 Rasio nilai tambah % 60,93

Penyuling minyak A5003 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 1.500,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,005

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,008

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 12.500,00 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.071,71 9 Harga input lain Rp/kg 494,48 10 Nilai output Rp/kg 5.866,67


(2)

Penyuling minyak A5004 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00 2 Bahan baku Kg 2.000,00 3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00 7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 10.416,67 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.075,00 9 Harga input lain Rp/kg 273,20 10 Nilai output Rp/kg 4.400,00 11 Nilai tambah Rp/kg 3.051,80 12 Rasio nilai tambah % 69,36 Penyuling minyak A5005 (mutu tinggi)

No Variabel Satuan Nilai

1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 2.000,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,01

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 22.916,67 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.116,13 9 Harga input lain Rp/kg 405,16

10 Nilai output Rp/kg 4.400,00

11 Nilai tambah Rp/kg 2.878,71

12 Rasio nilai tambah % 65,43 Penyuling minyak A5006 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 2.000,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 12.500,00 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.146,00 9 Harga input lain Rp/kg 479,03 10 Nilai output Rp/kg 4.400,00 11 Nilai tambah Rp/kg 2.774,97 12 Rasio nilai tambah % 63,07


(3)

1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 2.000,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.150.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 12.500,00 8 Harga bahan baku Rp/kg 958,13 9 Harga input lain Rp/kg 698,96

10 Nilai output Rp/kg 4.600,00

11 Nilai tambah Rp/kg 2.942,91 12 Rasio nilai tambah % 63,98 Penyuling minyak A5008 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 2.000,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 8.333,33 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.336,67 9 Harga input lain Rp/kg 203,78 10 Nilai output Rp/kg 4.400,00 11 Nilai tambah Rp/kg 2.859,55 12 Rasio nilai tambah % 64,99 Penyuling minyak A5009 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00 2 Bahan baku Kg 2.000,00 3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00 7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam - 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.476,47 9 Harga input lain Rp/kg 753,75 10 Nilai output Rp/kg 4.400,00 11 Nilai tambah Rp/kg 2.169,78


(4)

Penyuling minyak A5010 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 2.000,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.000.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam - 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.535,75 9 Harga input lain Rp/kg 750,00 10 Nilai output Rp/kg 4.000,00 11 Nilai tambah Rp/kg 1.714,25 12 Rasio nilai tambah % 42,86 Penyuling minyak A5011 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 2.000,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.000.000,00 7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam - 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.094,29 9 Harga input lain Rp/kg 750,00 10 Nilai output Rp/kg 4.000,00 11 Nilai tambah Rp/kg 2.155,71 12 Rasio nilai tambah % 53,89 Penyuling minyak A5012 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai

1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 2.000,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam - 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.349,75 9 Harga input lain Rp/kg 750,00

10 Nilai output Rp/kg 4.400,00

11 Nilai tambah Rp/kg 2.300,25


(5)

2 Bahan baku Kg 2.000,00 3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 10.000,00 8 Harga bahan baku Rp/kg 1.349,75 9 Harga input lain Rp/kg 328,97 10 Nilai output Rp/kg 4.400,00 11 Nilai tambah Rp/kg 2.721,28 12 Rasio nilai tambah % 61,85 Penyuling minyak A5014 (mutu rendah)

No Variabel Satuan Nilai

1 Output Kg/prod 8,00

2 Bahan baku Kg 2.000,00

3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,004

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,006

6 Harga output Rp/kg 1.000.000,00

7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 10.416,67 8 Harga bahan baku Rp/kg 2.000,00 9 Harga input lain Rp/kg 513,79 10 Nilai output Rp/kg 4.000,00 11 Nilai tambah Rp/kg 1.486,21 12 Rasio nilai tambah % 37,16 Penyuling minyak A5015 (mutu tinggi)

No Variabel Satuan Nilai 1 Output Kg/prod 8,00 2 Bahan baku Kg 1.800,00 3 Tenaga kerja langsung Jam/prod 12,00

4 Faktor konversi 0,0044

5 Koefisien tenaga kerja Jam/kg 0,0067

6 Harga output Rp/kg 1.100.000,00 7 Upah tenaga kerja langsung Rp/jam 12.500,00 8 Harga bahan baku Rp/kg 2.000,00 9 Harga input lain Rp/kg 521,48 10 Nilai output Rp/kg 4.888,89 11 Nilai tambah Rp/kg 2.367,41 12 Rasio nilai tambah % 48,42


(6)

Rata-rata nilai tambah berdasarkan mutu (musim kemarau)

Mutu Tinggi Mutu Rendah

Kode Penyuling Nilai Tambah (Rp/kg) Kode Penyuling Nilai Tambah (Rp/kg)

A6001 2.537,38 A6002 2.867,34

A6005 2.878,71 A6003 4.300,48

A6013 2.721,28 A6004 3.051,80

A0615 2.367,41 A6006 2.774,97

A6007 2.942,91

A6008 2.859,55

A6009 2.169,78

A6010 1.714,25

A6011 2.155,71

A6012 2.300,25

A6014 1.486,21