Analisis Manajemen Risiko Operasional Budidaya Tanaman Akar Wangi Pada Rantai Pasokan Minyak Akar Wangi Di Kabupaten Garut

(1)

ANALISIS MANAJEMEN RISIKO OPERASIONAL

BUDIDAYA TANAMAN AKAR WANGI PADA RANTAI

PASOKAN MINYAK AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT

Oleh

NOLA NOVIAWATI

H24097086

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

RINGKASAN

NOLA NOVIAWATI. H24097086. Analisis Manajemen Risiko Operasional

Budidaya Tanaman Akar Wangi Pada Rantai Pasokan Minyak Akar Wangi Di Kabupaten Garut. Di bawah bimbingan H. MUSA HUBEIS dan ALIM SETIAWAN S.

Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010, persentase sektor pertanian memberikan kontribusi 15,34 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Dari banyak sektor yang menyerap tenaga kerja, pertanian masih memberikan kontribusi yang paling besar dengan persentase 35,86 persen pada tahun 2011. Minyak akar wangi merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang memiliki pangsa pasar tingkat dunia. Petani sebagai pemasok bahan baku akar wangi, memiliki peran yang sangat penting di hulu. Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji mekanisme rantai pasokan Industri Kecil Menengah (IKM) minyak akar wangi di Kabupaten Garut; (2) menganalisis manajemen risiko operasional dalam budidaya akar wangi sebagai bagian rantai pasokan minyak akar wangi.

Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen, literatur, hasil penelitian terdahulu, jurnal, internet, Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Perkebunan Garut, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Garut. Pengolahan data dilakukan dengan software Excel 2007 dan

software Statistical Package for Sosial Science (SPSS 16.0). Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk memperoleh gambaran mengenai rantai pasokan minyak akar wangi dan risiko operasional yang terjadi pada budidaya akar wangi. Risiko operasional yang dikaji dalam penelitian ini mencakup risiko yang ada dalam input, proses dan output. Penilaian risiko menggunakan teknik Multi-Expert Multi Criteria Decision Macing (ME-MCDM) dengan agregasi penilaian menggunakan teknik

Ordered Weighted Averaging (OWA). Rekomendasi pengelolaan risiko menggunakan basis aturan untuk menerjemahkan hasil penilaian risiko.

Anggota primer rantai pasokan akar wangi di Kabupaten Garut terdiri dari petani yang memasok bahan baku akar wangi, pengumpul akar wangi, penyuling minyak akar wangi, pengumpul minyak akar wangi, dan eksportir minyak akar wangi. Hasil perhitungan agregasi menunjukkan bahwa tingkat risiko operasional pada budidaya akar wangi adalah tinggi. Risiko yang berada di input bernilai sedang, risiko proses bernilai tinggi dan risiko output bernilai tinggi. Basis aturan digunakan untuk menerjemahkan hasil penilaian risiko.


(3)

ANALISIS MANAJEMEN RISIKO OPERASIONAL

BUDIDAYA TANAMAN AKAR WANGI PADA RANTAI

PASOKAN MINYAK AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA EKONOMI

pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

NOLA NOVIAWATI

H24097086

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

Judul Skripsi : Analisis Manajemen Risiko Operasional Budidaya Tanaman Akar Wangi Pada Rantai Pasokan Minyak Akar Wangi Di Kabupaten Garut

Nama : Nola Noviawati

NIM : H24097086

Menyetujui,

Tanggal Lulus :

Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA

NIP 19550626 198003 1 002

Pembimbing II

Alim Setiawan S, S.TP,M.Si

NIP 19820227 200912 1001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang, pada tanggal 20 November 1988. Penulis adalah anak pertama dari pasangan Tafrizal dan Ernawati. Penulis merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Penulis menyelesaikan studi di Taman Kanak-Kanak (TK) Al-Ikhsan pada tahun 1993-1994, Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kota Batu 1 pada tahun 1994-2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTP) 9 Bogor pada tahun 2000-2003, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bogor pada tahun 2003-2006. Penulis lulus dari SMA Negeri 7 Bogor sebagai siswa berprestasi Tahun Pelajaran 2005/2006 (Angkatan ke 13) dari program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Tahun 2006 penulis di terima di Program Diploma, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan bidang keahlian Perencanaan dan Pengendalian Produksi Manufaktur/Jasa (PPMJ). Tahun 2009 penulis lulus dengan mendapat prestasi akademik sebagai lulusan terbaik pada Program Keahlian PPMJ, kemudian melanjutkan studi di Program Sarjana Alih Jenis Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul ‖Analisis Manajemen Risiko Operasional Budidaya Tanaman Akar Wangi Pada Rantai Pasokan Minyak Akar Wangi Di Kabupaten Garut‖ sebagai

syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini mengungkapkan pentingnya integrasi harus dicapai untuk seluruh mata rantai pengadaan produk minyak akar wangi, mulai dari hulu sampai hilir. Dalam hal ini, petani sebagai pemasok bahan baku akar wangi, memiliki peran sangat penting di hulu. Untuk itu, para petani harus memasok bahan baku bermutu dan berkesinambungan, agar komoditas minyak akar wangi dari Garut dapat memberikan keunggulan kompetitif, namun akar wangi dihadapkan pada berbagai risiko, diantaranya risiko operasional dalam budidaya akar wangi.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2012

Penulis


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ketika menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil, maka mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS,Dipl.Ing,DEA dan Bapak Alim Setiawan S, S.TP, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, membagi ilmu, motivasi dan pengarahannya.

2. Bapak Dr. Ir. Muhammad Syamsun, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan sarannya.

3. Ibu Heti Mulyati, S.TP, MT sebagai pembimbing awal yang telah memberikan bimbingan, saran dan motivasi, serta pengarahannya.

4. Kedua orang tua yang telah memberikan doa dan motivasi untuk terus bersemangat dalam mencapai cita-cita.

5. Ketua Departemen Manajemen dan seluruh dosen Program Sarjana Alih Jenis Manajemen, FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat.

6. Staf Program Sarjana Alih Jenis Manajemen atas bantuan selama menyelesaikan perkuliahan.

7. Bapak H. Ede Kadarusman dan Bapak H. Abdullah S. Rasadi yang banyak membantu selama penelitian tentang akar wangi di Kabupaten Garut.

8. Rekan-rekan seperjuangan selama penelitian di Kabupaten Garut, yaitu Reni, Izni, Lina, Intan, Irma, Agung dan Kak Roni yang merasakan suka duka selama penelitian.

9. Sahabat-sahabatku, Novi, Eka, Ebi, Firsty, Najib, Rozi, Rangga, Hendra, Teh Yulay, Ipal yang telah memberikan semangat dan dorongan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

10. Sahabat-sahabat terbaik di Program Sarjana Alih Jenis Manajemen Angkatan 7 yang memberikan persahabatan yang indah.


(8)

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya, khususnya yang terkait dengan manajemen risiko operasional dalam rantai pasok. Terima kasih.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Rantai Pasok dan Manajemen Rantai Pasok ... 6

2.1.1 Area Cakupan Manajemen Rantai Pasok ... 8

2.1.2 Pemain Utama dalam Manajemen Rantai Pasokan ... 9

2.2. Definisi Risiko dan Jenis Risiko ... 10

2.2.1 Risiko Operasional ... 12

2.2.2 Proses Manajemen Risiko ... 13

2.3. Penelitian Terdahulu ... 14

III. METODE PENELITIAN ... 18

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 18

3.2. Tahapan Penelitian ... 20

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.4. Pengumpulan Data ... 22

3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Gambaran Umum Rantai Pasok Minyak Akar Wangi ... 29

4.1.1 Potensi Pengembangan Minyak Akar Wangi di Indonesia ... 29

4.1.2 Karakteristik Tanaman Akar Wangi ... 30

4.1.3 Identifikasi Rantai Pasokan Minyak Akar Wangi ... 31

4.1.4 Aktivitas Petani Akar Wangi ... 35


(10)

4.1.5 Aktivitas Pengumpul Akar Wangi ... 40

4.1.6 Aktivitas Penyuling Minyak Akar Wangi ... 40

4.1.7 Aktivitas Pengumpul Minyak Akar Wangi ... 43

4.2. Manajemen Risiko Operasional dalam Budidaya Akar Wangi ... 44

4.2.1 Identifikasi Risiko Operasional Budidaya Akar Wangi 44 4.2.2 Pemetaan Risiko Operasional Budidaya Akar Wangi ... 47

4.2.3 Penilaian Risiko Operasional Budidaya Akar Wangi ... 52

4.2.4 Rekomendasi Pengelolaan Risiko Menggunakan Basis Aturan ... 55

4.3. Implikasi Manajerial ... 58

KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

1. Kesimpulan ... 59

2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

LAMPIRAN ... 62


(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Produk domestik bruto atas dasar harga berlaku menurut

lapangan usaha (miliar rupiah) ... 1

2. Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama pada tahun 2011 ... 2

3. Lima bagian utama dalam sebuah perusahaan manufaktur yang terkait dengan fungsi-fungsi utama rantai pasok ... 9

4. Jumlah responden penelitian ... 23

5. Luas areal dan produksi minyak akar wangi di Kabupaten Garut ... 29

6. Standar mutu minyak akar wangi menurut SNI 06-2386-2006 ... 42

7. Standar mutu minyak akar wangi menurut ISO 4716 : 2002 ... 43

8. Skala penilaian risiko ... 47

9. Hasil agregasi penilaian risiko pada peubah penentu risiko ... 48

10. Negasi bobot untuk kriteria ... 52

11. Perhitungan nilai risiko dari setiap faktor ... 53


(12)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Simplikasi model rantai pasok dan tiga macam aliran yang dikelola 8

2. Alur kerangka pemikiran penelitian ... 19

3. Tahapan penelitian ... 21

4. Diagram pemetaan risiko menurut Djohanputro ... 26

5. Tanaman akar wangi ... 30

6. Pola aliran rantai pasokan minyak akar wangi ... 33

7. Sistem budidaya akar wangi ... 45

8. Diagram pemetaan risiko operasional budidaya akar wangi... 49

9. Pohon keputusan analisis risiko operasional budidaya akar wangi ... 54


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Kuesioner A.1 : identifikasi rantai pasokan untuk petani akar

wangi ... 63 2. Kuesioner A.2: identifikasi rantai pasokan untuk penyuling akar

wangi ... 71 3. Kuesioner A.3 : identifikasi rantai pasokan untuk pengumpul

bahan baku akar wangi ... 78 4. Kuesioner A.4 : identifikasi rantai pasokan untuk pengumpul

minyak akar wangi ... 83 5. Kuesioner 5 : identifikasi risiko budidaya akar wangi untuk

petani akar wangi ... 88 6. Hasil penilaian petani ahli terhadap risiko operasional... 91 7. Perhitungan manual penilaian risiko operasional ... 93 8. Perhitungan penilaian risiko menggunakan software Excel 2007 96


(14)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional. Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2006 sampai dengan 2010 dari sektor pertanian masih mengalami pertumbuhan. Persentase sektor pertanian selama lima (5) tahun terakhir (2006-2010) terhadap PDB, rata-rata memberikan kontribusi sebesar 14,36%. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tahun 2010, persentase sektor pertanian memberikan kontribusi 15,34% dari total PDB.

Tabel 1. Produk domestik bruto atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha (miliar rupiah)

Lapangan

Usaha 2006 2007 2008 2009 2010

Pertanian 433.223,4 541.931,5 716.656,2 857.241,4 985.143,6 Pertambangan 366.520,8 440.609,6 541.334,3 591.912,7 716.391,2 Industri 919.539,3 1.068.653,9 1.376.441,7 1.477.674,3 1.594.330,4 Listrik, Gas

dan Air Bersih 30.354,8 34.723,8 40.888,6 47.165,9 50.042,2 Konstruksi 251.132,3 304.996,8 419.711,9 555.201,4 660.967,5 Perdagangan 501.542,4 592.304,1 691.487,5 744.122,2 881.108,5 Transportasi,

Pergudangan, Komunikasi

231.523,5 264.263,3 312.190,2 352.423,4 417.466,0 Keuangan 269.121,4 305.213,5 368.129,7 404.013,4 462.788,8 Jasa-jasa 336,258.9 398.196,7 481.848,3 574.116,5 654.680,0 Produk

Domestik Bruto

3.339.216,8 3.950.893,2 4.948.688,4 5.603.871,2 6.422.918,2

Sumber : BPS, 2011

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia memang tidak terlalu besar namun pertanian masih merupakan sektor yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dari banyak sektor yang menyerap tenaga kerja, pertanian masih memberikan kontribusi yang paling besar (35,86%) pada tahun 2011. Ada 39,3 juta penduduk Indonesia yang memenuhi kebutuhan hidupnya dari sektor pertanian (Tabel 2).


(15)

Tabel 2. Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama pada tahun 2011 (juta orang)

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 (Diolahkembali) *Data sampai bulan Agustus

Pertumbuhan sektor pertanian akan mendorong pembangunan sektor agroindustri. Salah satu sektor agroindustri yang berkembang saat ini adalah minyak atsiri. Minyak atsiri memberikan kontribusi sebesar US $ 89,3 juta pada pemantauan ekspor 31 kelompok hasil industri (Kemenperin, 2011). Salah satu jenis minyak atsiri yang masih memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan adalah minyak akar wangi. Minyak akar wangi merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang memiliki pangsa pasar tingkat dunia. Minyak ini banyak digunakan sebagai bahan baku parfum, kosmetik dan bahan pewangi sabun (Guenther, 1990). Permintaan pasar dunia terhadap minyak yang dikenal dengan vetiver oil ini diperkirakan 100 ton/tahun. Negara eksportir vetiver oil utama untuk pasar dunia adalah Haiti. Indonesia berperan dalam memenuhi permintaan pasar sebanyak 20-30 ton/tahun (Rusli, 2010). Sentra produksi minyak akar wangi di Indonesia berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Minyak akar wangi telah menjadi salah satu Industri Kecil Menengah (IKM) yang sedang berkembang di Garut.

IKM minyak akar wangi yang sedang berkembang di Kabupaten Garut membuat para petani banyak mengusahakan tanaman akar wangi di wilayah Lapangan Pekerjaan Utama 2011* (orang) Persentase (%)

Pertanian 39.328.915 35,86

Pertambangan 1.465.376 1,34

Industri 14.542.081 13,26

Listrik, gas dan air 239.636 0,22

Bangunan 6.339.811 5,78

Perdagangan 23.396.537 21,33

Angkutan, pergudangan dan komunikasi 5.078.822 4,63

Keuangan 2.633.362 2,40

Jasa kemasyarakatan 16.645.859 15,18


(16)

tersebut. Selain di Kabupaten Garut, sentra tanaman akar wangi berada di Sukabumi, Bandung, Sumedang, Kuningan, Wonosobo, Purwokerto, dan sebagian wilayah Sumatera Utara (Rusli, 2010). Luas area perkebunan tanaman akar wangi di Kabupaten Garut mencapai 2.400 ha dan tersebar di beberapa Kecamatan. Nilai ekonomis tanaman akar wangi terletak pada akarnya yaitu sebagai bahan baku penghasil minyak atsiri. Mutu dan kuantitas minyak akar wangi bergantung dari keadaan tanaman akar wangi itu sendiri dan cara pembudidayaan yang dilakukan oleh petani.

Pengelolaan rantai pasok akar wangi sebagai salah satu komoditi ekspor harus dilakukan secara baik agar pemenuhan permintaan terhadap minyak akar wangi yang berkualitas dapat dicapai. Menurut Marimin dan Nurul (2010), manajemen rantai pasok merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien. Produk yang dihasilkan harus dapat didistribusikan dengan kuantitas, tempat dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya, serta memuaskan pelanggan. Upaya pengelolaan rantai pasok minyak akar wangi harus memiliki kerjasama perdagangan di antara lima stakeholder yang terlibat, yaitu petani sebagai produsen bahan baku, penyuling sebagai pengolah minyak akar wangi, koperasi atau badan swasta sebagai penampung minyak akar wangi dari penyuling, eksportir yang membeli minyak akar wangi dari koperasi atau badan swasta yang kemudian akan menjualnya kepada pemakai akhir diluar negeri (Indrawanto, 2009).

Integrasi harus dicapai untuk seluruh mata rantai pengadaan produk minyak akar wangi, mulai dari hulu sampai hilir. Petani sebagai pemasok bahan baku akar wangi, memiliki peran yang sangat penting di hulu. Para petani harus memasok bahan baku yang bermutu dan berkesinambungan agar komoditas minyak akar wangi dari Garut dapat memberikan keunggulan yang kompetitif. Untuk memenuhi pasokan bahan baku yang bermutu dan berkesinambungan, para petani akar wangi dihadapkan pada berbagai risiko. Risiko merupakan ketidakpastian. Ketidakpastian ini terjadi karena kurangnya atau tidak


(17)

tersedianya informasi yang menyangkut apa yang akan terjadi (Kountur, 2004). Salah satu risiko yang dihadapi oleh petani akar wangi adalah risiko operasional dalam budidaya akar wangi. Saat ini, budidaya tanaman akar wangi di Kabupaten Garut masih dilaksanakan secara tradisional dan dipanen pada umur yang relatif muda. Mutu bahan baku yang rendah dapat menyebabkan rendahnya rendemen dan mutu minyak akar wangi yang dihasilkan.

Petani sebagai pemasok bahan baku harus menyediakan akar wangi yang berkualitas dan berkesinambungan agar para pengusaha di bidang minyak akar wangi bisa memenuhi permintaan konsumen. Dalam suatu rantai pasok, jika suatu pelaku mengalami masalah dalam rantai pasok maka akan berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung kepada mitra dalam jaringan rantai pasoknya. Begitupun dengan risiko akibat dari permasalahan tersebut, sehingga terjadi interaksi antar risiko yang menyebabkan kerugian secara menyeluruh dalam jaringan pasokan (Marimin dan Nurul, 2010). Risiko operasional dalam budidaya akar wangi sangat penting untuk dianalisis agar risiko penurunan kuantitas dan mutu dari bahan baku akar wangi sebagai penghasil minyak atsiri dapat dikurangi.

1.2. Perumusan Masalah

Petani sebagai pemasok bahan baku akar wangi, memiliki peranan yang sangat penting di hulu. Budidaya tanaman akar wangi yang masih dilaksanakan secara tradisional menyebabkan mutu bahan baku yang rendah. Hal ini sangat berpengaruh kepada kuantitas dan mutu rendemen minyak atsiri yang dihasilkan. Analisis risiko operasional sangat diperlukan untuk mengidentifikasi, mengukur dan mengendalikan risiko operasional dalam budidaya tanaman akar wangi.

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana mekanisme rantai pasokan IKM minyak akar wangi di Kabupaten Garut ?

2. Bagaimana manajemen risiko operasional dalam budidaya akar wangi sebagai bagian dari rantai pasokan minyak akar wangi ?


(18)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengkaji mekanisme rantai pasokan IKM minyak akar wangi di Kabupaten Garut.

2. Menganalisis manajemen risiko operasional dalam budidaya akar wangi sebagai bagian rantai pasokan minyak akar wangi.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terfokus pada pengkajian mekanisme rantai pasokan minyak akar wangi di Garut mulai dari Petani, Pengumpul Bahan Baku, Penyuling, dan Pengumpul Minyak yang berada di wilayah Kecamatan Samarang, Bayongbong, Cilawu dan Leles, disamping analisis manajemen risiko operasional dalam budidaya akar wangi oleh petani.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rantai Pasok dan Manajemen Rantai Pasok

Rantai pasok adalah jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan mengantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Perusahaan-perusahaan tersebut biasanya termasuk pemasok, pabrik, distributor, toko, atau ritel dan perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistik (Pujawan, 2005). Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), rantai pasok adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Konsep rantai pasok merupakan konsep baru dalam melihat persoalan logistik. Dalam konsep ini, masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas yang terbentang sangat panjang sejak dari bahan dasar sampai barang jadi yang dipakai konsumen akhir, yang merupakan mata rantai penyediaan barang.

Manajemen rantai pasokan adalah pengintegrasian aktivitas pengadaan bahan dan layanan, pengubahan menjadi barang setengah jadi dan produk akhir, serta pengiriman ke pelanggan. Seluruh aktivitas ini mencakup pembelian dan

outsourcing, ditambah fungsi lain yang penting bagi hubungan antara pemasok dengan distributor (Heizer dan Barry, 2005). Manajemen rantai pasokan tidak hanya berorientasi pada urusan internal sebuah perusahaan, melainkan juga urusan eksternal yang menyangkut hubungan perusahaan-perusahaan partner. Perusahaan-perusahaan yang berada pada suatu rantai pasok, intinya ingin memuaskan konsumen akhir yang sama, yaitu bekerjasama untuk membuat produk murah, mengirimkannya tepat waktu dan dengan mutu bagus. Hanya dengan kerjasama antara unsur-unsur pada rantai pasok tujuan tersebut akan dicapai. Oleh karena itu, cukup tepat kalau banyak orang mengatakan bahwa persaingan dewasa ini bukan lagi antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tetapi antara rantai pasok yang satu dengan rantai pasok yang lain. Semangat kolaborasi dan koordinasi pada rantai pasok tidak mesti (dan tidak boleh) mengorbankan kepentingan tiap individu perusahaan. Manajemen rantai


(20)

pasokan yang baik dapat meningkatkan kemampuan bersaing bagi rantai pasok secara keseluruhan, namun tidak menyebabkan satu pihak berkorban dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan pengertian, kepercayaan, dan aturan main yang jelas (Pujawan, 2005).

Menurut Marimin dan Nurul (2010), manajemen rantai pasok merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien. Produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas, tempat dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya, serta memuaskan pelanggan. Manajemen rantai pasokan bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif, minimalisasi biaya dari transportasi dan distribusi sampai inventori bahan baku, bahan dalam proses, serta barang jadi.

Pada suatu rantai pasok biasanya ada tiga (3) macam aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu ke hilir. Contohnya adalah bahan baku yang dikirim dari pemasok ke pabrik. Setelah produk selesai diproduksi, dikirim ke distributor, lalu ke pengecer atau ritel, kemudian ke pemakai akhir. Yang kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu. Yang ketiga adalah aliran informasi yang terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya. Informasi tentang persediaan produk yang masih ada di masing-masing supermarket sering dibutuhkan oleh distributor maupun pabrik. Informasi tentang ketersediaan kapasitas produksi yang dimiliki oleh pemasok juga sering dibutuhkan oleh pabrik. Informasi tentang status pengiriman bahan baku sering dibutuhkan oleh perusahaan yang mengirim maupun yang akan menerima. Perusahaan pengapalan harus membagi informasi seperti ini supaya pihak-pihak yang berkepentingan bisa memonitor untuk kepentingan perencanaan yang lebih akurat (Pujawan, 2005). Gambar 1 memberikan ilustrasi konseptual sebuah rantai pasok.


(21)

Finansial : invoice danterm pembayaran

Material : bahan baku, komponen dan produk jadi Informasi : kapasitas, status pengiriman dan quotation

Finansial : pembayaran

Material : retur, recycle dan repair

Informasi : order dan ramalan

2.1.1 Area Cakupan Manajemen Rantai Pasok

Menurut Pujawan (2005), semua kegiatan yang terkait dengan aliran material, informasi dan uang di sepanjang rantai pasok adalah kegiatan-kegiatan dalam cakupan manajemen rantai pasok. Apabila mengacu pada sebuah perusahaan manufaktur, kegiatan-kegiatan utama yang masuk dalam klasifikasi manajemen rantai pasok adalah :

a. Kegiatan merancang produk baru b. Kegiatan mendapatkan bahan baku

c. Kegiatan merencanakan produksi dan pengendalian d. Kegiatan melakukan produksi

e. Kegiatan melakukan pengiriman/distribusi

Kelima (5) klasifikasi tersebut biasanya tercermin dalam bentuk pembagian departemen atau divisi pada perusahaan manufaktur. Pembagian tersebut sering dinamakan functional division karena mereka dikelompokkan sesuai dengan fungsinya. Umumnya sebuah perusahaan manufaktur akan memiliki bagian pengembangan produk, bagian pembelian atau bagian pengadaan, bagian produksi, bagian perencanaan produksi, dan bagian pengiriman atau distribusi barang jadi. Tabel 3 menguraikan lebih lanjut beberapa contoh kegiatan yang biasanya dilakukan oleh masing-masing bagian.

Manufacturer Ritel/Toko

Supplier

Tier 2

Supplier

Tier 1

Distributor

Gambar 1. Simplikasi model rantai pasok dan tiga macam aliran yang dikelola (Pujawan, 2005)


(22)

Tabel 3. Lima bagian utama dalam sebuah perusahaan manufaktur yang terkait dengan fungsi - fungsi utama rantai pasok

Bagian Cakupan kegiatan antara lain

Pengembangan Produk Melakukan riset pasar, merancang produk baru dan melibatkan pemasok dalam perancangan produk baru

Pengadaan Memilih pemasok, mengevaluasi kinerja pemasok, melakukan pembelian bahan baku dan komponen, memonitor risiko pasokan, membina dan memelihara hubungan dengan pemasok.

Perencanaan dan Pengendalian Perencanaan kebutuhan, peramalan permintaan, perencanaan kapasitas, perencanaan produksi dan persediaan.

Operasi/Produksi Eksekusi produksi, pengendalian kualitas

Pengiriman/Distribusi Perencanaan jaringan distribusi, penjadwalan pengiriman, mencari dan memelihara hubungan dengan perusahaan jasa pengiriman dan memonitor service level di tiap pusat distribusi.

Sumber : Pujawan, 2005

2.1.2 Pemain Utama dalam Manajemen Rantai Pasokan

Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu :

a. Rantai 1 : Suppliers (pemasok)

Jaringan bermula disini, yang merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama, di mana mata rantai penyaluran barang akan di mulai. Bahan pertama berbentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan dagangan, subassemblies, suku cadang, dan sebagainya. Sumber pertama ini dinamakan pemasok.

b. Rantai 1-2 : Suppliers Manufacturer

Rantai pertama dihubungkan dengan rantai kedua, yaitu

manufacturer atau plants atau assembler atau fabricator atau bentuk lain yang melakukan pekerjaan membuat, memfabrikasi, merakit, mengkonversikan, ataupun menyelesaikan barang (finishing).

c. Rantai 1-2-3 : Suppliers Manufacturer Distribution

Barang sudah jadi yang dihasilkan oleh manufacturer sudah mulai harus disalurkan kepada pelanggan. Walaupun tersedia banyak cara untuk


(23)

penyaluran barang ke pelanggan, yang umum adalah melalui distributor dan ini biasanya ditempuh oleh sebagian besar supply chain. Barang dari pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau

wholesaler atau pedagang besar dalam jumlah besar dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada

retailers atau pengecer.

d. Rantai 1-2-3-4 : Suppliers Manufacturer Distribution Retail Outlets

Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang sebelum disalurkan lagi ke pihak pengecer. Sekali lagi di sini ada kesempatan untuk memperoleh penghematan dalam bentuk jumlah inventories dan biaya gudang, dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari gudang manufacturer

maupun ke toko pengecer (retail outlets).

e. Rantai 1-2-3-4-5 : Suppliers Manufacturer Distribution Retail Outlets Customer

Dari rak-raknya, para pengecer atau retailers ini menawarkan barangnya langsung kepada para pelanggan atau pembeli atau pengguna barang tersebut. Yang termasuk outlets adalah toko, warung, toko serba ada, pasar swalayan, toko koperasi, mal, club stores, dan sebagainya. Walaupun secara fisiknya dapat dikatakan bahwa ini merupakan mata rantai yang terakhir, sebetulnya masih ada satu mata rantai lagi, yaitu dari pembeli (yang mendatangi retail outlet tadi) ke real customers atau real user, karena pembeli belum tentu pengguna sesungguhnya. Mata rantai pasokan baru betul-betul berhenti setelah barang bersangkutan tiba di pemakai langsung (pemakai yang sebenarnya) barang atau jasa dimaksud.

2.2. Definisi Risiko dan Jenis Risiko

Risiko merupakan suatu keadaan yang tidak pasti yang dihadapi seseorang atau perusahaan yang dapat memberikan dampak merugikan


(24)

(Kountur, 2004). Menurut Djohanputro (2008), risiko diartikan sebagai ketidakpastian yang telah diketahui tingkat probabilitas kejadiannya. Pengertian lain dan sering digunakan oleh kebanyakan orang, risiko adalah ketidakpastian yang bisa dikuantitaskan yang dapat menyebabkan kerugian atau kehilangan. Risiko juga dapat diartikan penyebaran atau penyimpangan dari target, sasaran, atau harapan.

Menurut Marimin dan Nurul (2010), Risiko rantai pasok dapat didefinisikan sebagai kerugian yang dikaji dari sisi kemungkinan terjadinya, sisi kemungkinan penyebabnya, dan sisi akibatnya dalam rantai pasok sebuah perusahaan dan lingkungannya. Dalam suatu rantai pasok, jika satu pelaku mengalami masalah rantai pasok maka akan berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung kepada mitra dalam jaringan rantai pasoknya. Begitupun dengan risiko akibat dari permasalahan tersebut, sehingga terjadi interaksi antar risiko yang menyebabkan kerugian secara menyeluruh dalam rantai pasokan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian risiko rantai pasok agar dapat terhindar dari akibat berkelanjutan yang terjadi pada setiap titik dalam jaringan pasokan dengan cara melakukan analisis risiko.

Menurut Djohanputro (2008), risiko dapat dikategorikan ke dalam risiko murni dan risiko spekulatif. Risiko murni merupakan risiko yang dapat mengakibatkan kerugian pada perusahaan, tetapi tidak ada kemungkinan menguntungkan. Sedangkan risiko spekulatif adalah risiko yang dapat mengakibatkan dua (2) kemungkinan, merugikan atau menguntungkan perusahaan. Cara lain mengklasifikasi risiko adalah mengategorikan ke dalam risiko sistematik dan risiko spesifik. Risiko sistematik disebut risiko yang tidak dapat didiversifikasi. Ciri dari risiko sistematik adalah tidak dapat dihilangkan atau dikurangi dengan cara penggabungan berbagai risiko. Sedangkan risiko spesifik atau risiko yang dapat didiversifikasi dapat dihilangkan melalui proses penggabungan.


(25)

Menurut Kountur (2004), Risiko dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu :

1. Sudut pandang manajer perusahaan

Bagi para manajer perusahaan atau orang-orang yang berkecimpung di dunia bisnis, risiko sering dibedakan ke dalam dua (2) kelompok, yaitu :

a. Risiko spekulatif

Risiko spekulatif adalah risiko yang dihadapi perusahaan yang dapat memberikan dua (2) kemungkinan, yakni kemungkinan merugikan dan menguntungkan.

b. Risiko murni

Risiko murni adalah risiko dimana tidak ada kemungkinan yang menguntungkan dan yang ada hanya kemungkinan yang merugikan. 2. Sumber penyebab risiko

Dari sumber penyebabnya, risiko secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua (2) kelompok besar, yaitu :

a. Risiko keuangan

Risiko keuangan adalah risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi dan keuangan, seperti perubahan harga, tingkat bunga dan mata uang.

b. Risiko operasional

Risiko operasional adalah semua risiko yang tidak masuk pada kelompok risiko keuangan. Risiko operasional disebabkan oleh faktor manusia, alam dan teknologi.

2.2.1.Risiko Operasional

Risiko operasional adalah potensi penyimpangan dari hasil yang diharapkan karena tidak berfungsinya suatu sistem, SDM, teknologi, atau faktor lain (Djohanputro, 2008). Risiko operasional bisa terjadi pada dua (2) tingkatan, yaitu teknis dan organisasi. Pada tataran teknis, risiko operasional bisa terjadi apabila sistem informasi, kesalahan mencatat, informasi yang tidak memadai, dan pengukuran risiko tidak akurat dan tidak memadai. Pada tataran organisasi,


(26)

risiko operasional muncul dikarenakan sistem pemantauan dan pelaporan, sistem dan prosedur, serta kebijakan tidak berjalan sebagaimana seharusnya.

Menurut Muslich (2007), Risiko operasional merupakan kerugian finansial yang disebabkan oleh kegagalan proses internal perusahaan, kesalahan sumber daya manusia (SDM), kegagalan sistem, kerugian yang disebabkan kejadian dari luar perusahaan, serta kerugian karena pelanggaran peraturan dan hukum yang berlaku. Kerugian risiko operasional terjadi tidak saja pada lembaga keuangan bank dan bukan bank, tetapi juga terjadi pada perusahaan industri, perdagangan, pertambangan dan semua perusahaan dalam sektor ekonomi lainnya.

Risiko operasional merupakan risiko yang umumnya bersumber dari masalah internal perusahaan, dimana risiko ini terjadi disebabkan oleh lemahnya sistem kontrol manajemen yang dilakukan oleh pihak internal perusahaan (Fahmi, 2010). Contoh risiko operasional adalah risiko pada komputer akibat terserang virus, kerusakan maintenance pabrik, kecelakaan kerja, kesalahan dalam pencatatan pembukuan secara manual, kesalahan pembelian barang dan tidak ada kesepakatan bahwa barang yang dibeli dapat ditukar kembali, dan lain sebagainya.

2.2.2.Proses Manajemen Risiko

Menurut Halikas et al dalam Marimin dan Nurul (2010), proses manajemen risiko yang umum terjadi pada suatu perusahaan terdiri dari empat (4) kegiatan utama, yaitu identifikasi risiko, pengkajian risiko, pengambilan keputusan dan implementasi pada kegiatan manajemen risiko dan pengawasan risiko.

1. Identifikasi risiko

Fokus utama dari identifikasi risiko adalah mengenali ketidakpastian yang akan terjadi agar dapat mengendalikan risiko secara proaktif. Risiko yang bersifat potensial harus diidentifikasi, jika tidak akan menyebabkan kesalahan arah dalam proses manajemen risiko rantai pasok dan menimbulkan tidak tepatnya atau tidak sesuainya strategi pengendalian


(27)

risiko tersebut, sehingga menyebabkan kerugian yang besar. Salah satu aspek penting dalam identifikasi risiko adalah mendaftar risiko yang mungkin terjadi sebanyak mungkin. Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam identifikasi risiko, antara lain brainstorming, survei, wawancara, informasi historis, kelompok kerja, dan lain-lain.

2. Pengkajian risiko

Setiap risiko yang sudah diidentifikasi dilakukan pengkajian, meliputi pengukuran risiko rantai pasok secara kuantitatif dan kualitatif, yaitu mengukur besarnya dampak kerugian yang mungkin muncul baik kerugian sosial atau ekonomi dan probabilitas terjadinya risiko tersebut. Dua metode utama untuk mengukur risiko rantai pasok adalah metode pengukuran risiko berdasarkan pendapat pakar dan metode pengukuran risiko secara statistik. 3. Keputusan dan Implementasi Tindakan Manajemen Risiko

Tahap ini adalah tahap memilih metode manajemen yang akan digunakan untuk mencegah atau mengurangi risiko yang akan terjadi, baik secara parsial atau menyeluruh, sehingga mampu meminimalkan dampak terhadap pengoperasian rantai pasok.

4. Pengawasan Risiko

Status sebuah risiko dapat berubah-ubah sesuai kondisi, sehingga faktor-faktor risiko harus dimonitor untuk mengetahui keefektifan respon yang telah dipilih dan mengidentifikasi adanya risiko yang baru maupun berubah dari kemungkinan dan konsekuensinya. Ketika suatu risiko terjadi, maka respon yang dipilih akan sesuai dan diimplementasikan secara efektif.

2.3. Penelitian Terdahulu

Santoso (2005) meneliti Rekayasa Model Manajemen Risiko Untuk Pengembangan Agroindustri Buah-Buahan Secara Berkelanjutan. Penelitian ini difokuskan pada rancang bangun sistem penunjang keputusan (SPK) manajemen risiko untuk pengembangan agroindustri berkelanjutan. Model analisis risiko pengadaan bahan baku, proses pengolahan dan pemasaran serta agregasi nilai risikonya secara berjenjang menggunakan fuzzy non-numeric


(28)

multi criteria multi person decision making, dengan penilaian pakar secara independen. Model kelayakan usaha menggunakan metode analisis finansial dengan sumber pembiayaan konvensional dan pembiayaan syariah. Analisis risiko finansial menggunakan koefisien variasi, analisis sensitivitas dan teknik simulasi risiko. Model manajemen risiko menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP), sedangkan rancangan pengendalian menggunakan metode

Interpretative Structural Modeling (ISM)

Hasil validasi SPK M-RISK dengan studi kasus agroindustri mangga yang dilakukan di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur menunjukkan bahwa sari buah merupakan produk agroindustri mangga dengan prioritas tertinggi untuk dikembangkan dan prioritas berikutnya konsentrat. Pengembangan agroindustri mangga mempunyai risiko sedang. Risiko tertinggi dalam pengembangan agroindustri mangga terdapat pada aspek penggadaan bahan baku, sedangkan aspek pengolahan dan pemasaran mempunyai risiko sedang. Hasil analisis kelayakan dengan skenario mempertimbangkan risiko menunjukkan pembiayaan syariah relatif lebih dapat mengelola risiko untuk pengembangan usaha agroindustri mangga dibandingkan dengan skema pembiayaan konvensional.

Hadiguna (2010) meneliti Perancangan Sistem Penunjang Keputusan Rantai Pasok dan Penilaian Risiko Mutu Pada Agroindustri Minyak Sawit Kasar. Penelitian bertujuan merumuskan cara penilaian risiko operasional, merumuskan model matematik manajemen panen-angkut-olah dan menghasilkan rancang bangun Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System) yang berfungsi untuk pengelolaan risiko penurunan mutu dan optimasi rantai pasok minyak sawit kasar. Penelitian ini menggunakan berbagai teknik antara lain penilaian risiko mutu menggunakan teknik Non-Numeric Multi-Expert Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) dengan agregasi penilaian menggunakan teknik Ordered Weighted Averaging (OWA). Rekomendasi pengelolaan risiko menggunakan rule base. Prakiraan Tandan


(29)

Buah Segar (TBS) dan penjualan minyak sawit kasar menggunakan teknik

Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA).

Penelitian ini menghasilkan sebuah sistem penunjang keputusan yang berguna membantu pengambil keputusan dalam pengelolaan rantai pasok dan penilaian risiko mutu minyak sawit kasar. Pengelolaan risiko mutu setiap unit rantai pasok adalah penanganan di kebun adalah meminimumkan waktu angkut, mengevaluasi jumlah trip dan menjamin ketersediaan truk. Penanganan di pabrik adalah menjaga akurasi proses sortasi tandan buah segar dan menjamin penumpukan di loading ramp tidak memicu kerusakan tandan buah segar. Penanganan di pelabuhan adalah meningkatkan pengawasan pemuatan dan pembongkaran minyak sawit kasar dan perawatan tangki timbun dengan baik.

Santoso dan Marimin (2001) melakukan penelitian mengenai Penentuan Produk Olahan Apel Unggulan Menggunakan Teknik Fuzzy Non Numeric Dan Analisis Struktur Serta Pola Pembinaan Kelembagaannya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan produk agroindustri berbasis apel unggulan di Malang, Jawa Timur dengan menggunakan pendekatan fuzzy non numeric,

memberikan rekomendasi kelembagaan yang mendukung pengembangan agroindustri olahan apel unggulan dengan menganalisis struktur dan pola pembinaannya. Hasil penelitian menunjukkan pemilihan produk olahan apel unggulan di Malang, Jawa Timur dengan pendekatan fuzzy non numeric

menghasilkan dodol apel sebagai produk unggulan dengan kategori tinggi (T), sari buah dan keripik apel terkategori sedang (M), sedang produk lainnya terkategori rendah (R). Struktur kelembagaan pengembangan agroindustri olahan apel unggulan dengan teknik ISM menunjukkan elemen pengusaha kecil dan menengah merupakan elemen kunci, dan bersama elemen koperasi dan perguruan tinggi tergolong sektor IV yang memilki power driver sangat besar dan tingkat ketergantungan yang relatif kecil.

Lestari (2009) melakukan penelitian mengenai Manajemen Risiko Dalam Usaha Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei), studi kasus di PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Penelitian ini


(30)

bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber risiko operasional dan risiko pasar yang dihadapi oleh PT. Suri Tani Pemuka, menganalisis tingkat dan dampak risiko yang disebabkan oleh sumber-sumber risiko pada kegiatan pembenihan udang Vannamei terhadap PT. Suri Tani Pemuka, dan menganalisis strategi penanganan risiko yang dilakukan oleh PT. Suri Tani untuk mengendalikan risiko dalam kegiatan pembenihan udang Vannamei.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sumber-sumber risiko yang ada di PT. Suri Tani Pemuka dalam kegiatan pembenihan udang vannamei dapat diklasifikasikan ke dalam empat (4) kuadran risiko berdasarkan tingkat kemungkinan terjdinya dan dampak yang ditimbulkan oleh risiko tersebut. Sumber risiko yang dianggap oleh PT. Suri Tani Pemuka memiliki kemungkinan terjadinya besar dan dampak yang ditimbulkan jika risiko tersebut terjadi juga besar adalah risiko timbulnya penyakit dan risiko yang terjadi akibat tingginya tingkat mortalitas benih udang vannamei.


(31)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Tanaman akar wangi merupakan komoditi unggulan yang sedang berkembang di Kabupaten Garut. Pengembangan budidaya akar wangi menjadi salah satu alternatif dalam pembangunan sektor pertanian di wilayah tersebut. Nilai ekonomis tanaman akar wangi terletak pada akarnya yaitu sebagai bahan baku penghasil minyak atsiri. Minyak akar wangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang masih memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan, karena merupakan komoditi ekspor Indonesia yang memiliki pangsa pasar tingkat dunia. Mutu dan kuantitas minyak akar wangi bergantung dari keadaan tanaman akar wangi itu sendiri dan cara pembudidayaan yang dilakukan oleh petani.

Pengelolaan rantai pasok minyak akar wangi harus memiliki kerjasama perdagangan di antara lima stakeholder yang terlibat, yaitu petani sebagai produsen bahan baku, penyuling sebagai pengolah minyak akar wangi, koperasi atau badan swasta sebagai penampung minyak akar wangi dari penyuling, eksportir yang membeli minyak akar wangi dari koperasi atau badan swasta yang kemudian akan menjualnya kepada pemakai akhir diluar negeri (Indrawanto, 2009).

Integrasi harus dicapai untuk seluruh mata rantai pengadaan produk minyak akar wangi, mulai dari hulu sampai hilir. Petani sebagai pemasok bahan baku akar wangi, memiliki peran yang sangat penting di hulu. Untuk memenuhi pasokan bahan baku bermutu dan berkesinambungan maka, para petani akar wangi dihadapkan pada berbagai risiko. Salah satu risiko yang dihadapi oleh petani akar wangi adalah risiko operasional dalam budidaya akar wangi. Risiko operasional yang dikaji dalam penelitian ini mencakup risiko yang berada dalam input, proses dan output. Risiko dalam budidaya akar wangi sangat penting untuk dianalisis agar risiko penurunan kuantitas dan mutu dari bahan baku akar wangi sebagai penghasil minyak atsiri dapat diminimalisir. Dengan


(32)

begitu petani dapat memasok bahan baku bermutu dan berkesinambungan, sehingga komoditas minyak akar wangi dari Garut dapat memberikan keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para petani yang mengembangkan komoditi tersebut. Alur kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian

Pengembangan budidaya akar wangi

Manajemen risiko operasional pada budidaya akar wangi

Input Output

Pengembangan komoditi minyak akar wangi

Pangsa pasar tingkat dunia

Pengelolaan rantai pasokan minyak akar wangi

Peran petani sebagai pemasok bahan baku

Proses

Keunggulan Kompetitif

Peningkatan kesejahteraan petani


(33)

3.2. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari :

1. Mempelajari berbagai studi pustaka untuk memahami pustaka yang berhubungan dengan manajemen rantai pasokan dan manajemen risiko operasional.

2. Membuat proposal penelitian untuk mengetahui latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian dan merancang pengumpulan data penelitian.

3. Pengajuan ijin penelitian ke Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) Kabupaten Garut.

4. Pencarian data sekunder ke Dinas Perkebunan dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Garut.

5. Wawancara kepada Ketua sentra akar wangi untuk mendapatkan gambaran secara umum rantai pasokan akar wangi dan mengetahui kondisi geografis obyek penelitian.

6. Wawancara dengan anggota rantai pasokan akar wangi, yaitu petani, pengumpul bahan baku, penyuling, dan pengumpul minyak akar wangi. 7. Wawancara dengan petani akar wangi untuk mengidentifikasi risiko

operasional pada budidaya akar wangi. Risiko yang diidentifikasi meliputi risiko yang yang berada dalam input, proses dan output.

8. Wawancara dengan petani ahli dalam budidaya akar wangi untuk melakukan penilaian risiko.

9. Pengolahan data primer dan sekunder untuk mengkaji mekanisme rantai pasokan minyak akar wangi di Garut dengan analisis deskriptif.

10. Pengolahan data primer untuk menganalisis manajemen risiko operasional (identifikasi risiko, pemetaan risiko, penilaian risiko dan rekomendasi pengelolaan risiko) secara deskriptif.


(34)

Gambar 3. Tahapan penelitian

P

ra

P

en

eli

ti

an

Studi pustaka

Ijin dan penjajakan penelitian Proposal penelitian

Mulai

Rancangan Pengumpulan Data

Kesimpulan dan Saran

Selesai Analisis rantai

pasokan akar wangi

Penilaian risiko operasional (ME-MCDM dengan

agregasi OWA) Identifikasi rantai

pasok dengan wawancara

Input data identifikasi rantai

pasok

Analisis deskriptif

Analisis risiko operasional budidaya

akar wangi

Identifikasi risiko operasional pada petani akar wangi

Rekomendasi pengelolaan risiko dengan basis aturan

Pengelolaan risiko dengan peta risiko

Analisis deskriptif risiko


(35)

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Garut yang tersebar di empat Kecamatan yaitu Samarang, Bayongbong, Cilawu dan Leles. Penelitian dilakukan kepada petani akar wangi, pengumpul akar wangi, penyuling minyak akar wangi, dan pengumpul minyak akar wangi. Penelitian berlangsung dari bulan Mei sampai Oktober 2011.

3.4. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara dan pengisian kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen, literatur, hasil penelitian terdahulu, jurnal, internet, BPS, Dinas Perkebunan Garut, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Garut.

Metode pengumpulan data terdiri dari :

1. Pengamatan langsung obyek penelitian untuk memahami kondisi rantai pasok yang sebenarnya.

2. Wawancara dan diskusi dengan petani, pengumpul akar, penyuling dan pengumpul minyak akar wangi untuk mengidentifikasi rantai pasok minyak akar wangi.

3. Penyebaran kuesioner yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait dengan topik penelitian, yaitu petani, pengumpul akar, penyuling dan pengumpul minyak akar wangi. Ada dua (2) jenis kuesioner yang disebar, yaitu kuesioner untuk mengetahui model rantai pasokan IKM akar wangi dan kuesioner risiko operasional petani akar wangi.

4. Mencari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan perkembangan minyak akar wangi dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi dan Dinas Perkebunan Kabupaten Garut.


(36)

Populasi penelitian ini pelaku industri minyak akar wangi di Kabupaten Garut yang dikelompokkan ke dalam empat (4) kelompok, yaitu petani, penyuling, pengumpul akar wangi dan pengumpul minyak akar wangi. Pengambilan sampel non probability sampling dilakukan secara purposive sampling dengan sampel kriteria pengambilan contoh mengetahui dan terlibat dalam aliran komoditas, finansial dan informasi yang terjadi dalam rantai pasokan minyak akar wangi.

Karakteristik contoh disesuaikan dengan kriteria pelaku usaha, yaitu mempertimbangkan lokasi usaha, status usaha dan keberlanjutan usaha petani, pengumpul akar, penyuling dan pengumpul minyak akar wangi. Jumlah responden yang dikumpulkan terdiri dari 25 petani, tiga (3) pengumpul akar, 12 penyuling dan dua (2) pengumpul minyak akar wangi (Tabel 4). Responden untuk penilaian risiko operasional berasal dari 25 orang petani untuk mengidentifikasi risiko operasional dan tiga (3) orang petani yang ahli dalam budidaya akar wangi, serta memiliki pengaruh terhadap kelompok-kelompoknya taninya.

Tabel 4. Jumlah responden penelitian

No Kecamatan

Responden untuk identifikasi rantai pasok Responden untuk analisis risiko operasional

Petani Penyuling Pengumpul akar wangi

Pengumpul minyak akar

wangi

Petani (identifikasi

risiko)

Petani ahli (penilaian risiko)

1. Samarang 10 5 2 - 10 1

2. Bayongbong 7 4 1 1 7 1

3. Cilawu 7 2 - - 7 1

4. Leles 1 1 - - 1 -

5. Garut Kota - - - 1 - -


(37)

Kuesioner digunakan untuk mengidentifikasi rantai pasokan minyak akar wangi dan risiko operasional pada petani. Kuesioner berisi daftar pertanyaan yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait topik penelitian, yaitu petani akar wangi, pengumpul akar wangi, penyuling minyak akar wangi dan pengumpul minyak akar wangi. Informasi yang digali dari anggota rantai pasokan adalah : a. Kuesioner A.1 untuk petani akar wangi

Kuesioner berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan identitas responden, identitas usaha, aspek budaya dan pasca panen, aspek pemasaran, aspek keuangan dan kemitraan. Kuesioner dapat dilihat di Lampiran 1. b. Kuesioner A.2 untuk penyuling akar wangi

Kuesioner berisi pertanyaan yang berhubungan dengan identitas responden, identitas usaha, aspek penyulingan akar wangi, aspek pemasaran, aspek keuangan, dan aspek tenaga kerja. Kuesioner dapat dilihat di Lampiran 2. c. Kuesioner A.3 untuk pengumpul bahan baku akar wangi

Kuesioner berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan identitas responden, identitas usaha, aspek pemasaran, aspek keuangan dan kemitraan. Kuesioner dapat dilihat di Lampiran 3.

d. Kuesioner A.4 untuk pengumpul minyak akar wangi

Kuesioner berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan identitas responden, identitas usaha, aspek pemasaran, aspek keuangan dan kemitraan. Kuesioner dapat dilihat di Lampiran 4.

e. Kuesioner A.5 untuk mengidentifikasi risiko budidaya akar wangi untuk petani akar wangi.

Kuesioner berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan identifikasi risiko operasional yang mencakup risiko yang berada dalam input, proses dan output. Kuesioner dapat dilihat di Lampiran 5.

f. Kuesioner 6 untuk penilaian risiko operasional oleh petani ahli

Kuesioner berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan risiko operasional yang telah teridentifikasi, sehingga dapat dinilai oleh petani. Kuesioner dapat dilihat di Lampiran 6.


(38)

3.5. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Excel 2007 dan Statistical Package for Sosial Science (SPSS) 16.0. Bentuk analisis data yang digunakan adalah :

1. Analisis Deskriptif

Analisis ini merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat dan hubungan antarfenomena yang diselidiki. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini, sehingga dapat diperoleh gambaran karakteristik responden, aspek-aspek yang terkait dengan rantai pasokan dan risiko operasional yang terjadi pada budidaya akar wangi. Identifikasi risiko operasional dibatasi pada risiko input, proses dan output.

2. Diagram pemetaan risiko

Sebelum menangani risiko, hal yang dapat dilakukan adalah memetakan risiko. Pada prinsipnya, pemetaan risiko merupakan penyusunan risiko berdasarkan kelompok-kelompok tertentu, sehingga manajemen dapat mengidentifikasi karakter dari masing-masing risiko dan menetapkan tindakan yang sesuai terhadap masing-masing risiko (Djohanputro, 2008).

Risiko selalu terkait dengan dua (2) dimensi, pemetaan yang paling tepat juga menggunakan dua (2) dimensi yang sama. Kedua dimensi yang dimaksud adalah peluang terjadinya risiko dan dampaknya bila risiko tersebut terjadi. Dimensi pertama adalah peluang, menyatakan tingkat kemungkinan suatu risiko akan terjadi. Semakin tinggi kemungkinan suatu risiko terjadi, semakin perlu mendapat perhatian dan sebaliknya. Dimensi kedua berupa dampak, merupakan tingkat kegawatan atau biaya yang terjadi jika risiko tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Semakin tinggi dampak


(39)

suatu risiko, semakin perlu mendapat perhatian khusus dan sebaliknya. Diagram pemetaan risiko dapat dilihat pada Gambar 4.

Risiko II Risiko I

Risiko berbahaya Yang jarang terjadi

Mengancam pencapaian Tujuan perusahaan

Risiko IV Risiko III

Risiko tidak Berbahaya

Risiko yang terjadi secara rutin

3. Pengukuran Risiko

Data historis untuk mengukur risiko secara kuantitatif tidak tersedia, maka pengukuran risiko dilakukan secara kualitatif. Pengukuran risiko mengacu pada dua (2) ukuran yaitu, frekuensi dan dampak. Frekuensi mengacu pada seberapa besar kemungkinan risiko akan terjadi. Sedangkan dampak atau akibat merupakan ukuran mengenai berapa besar akibat yang ditimbulkan bila risiko tersebut benar-benar terjadi (Djohanputro, 2008).

Menurut Kountur (2004), dalam kondisi yang sangat ekstrem, dimana sulit untuk membuat perhitungan dalam bentuk persentasi, dimungkinkan untuk mengunakan skala. Kemungkinan dapat diukur dengan lima (5) skala, yaitu dari skala 1 yang menunjukkan kemungkinan sangat kecil sampai dengan skala 5 yang menunjukkan sangat mungkin. Untuk mengukur dampak atau konsekuensi dari suatu risiko, dalam kondisi tertentu diperkenankan menggunakan skala. Dampak dapat diukur mengunakan lima (5) skala, yaitu skala 1 yang menunjukkan konsekuensi sangat kecil sampai skala 5 yang menunjukkan konsekuensi sangat besar.

Tinggi

Sedang

Rendah

Dampak

Rendah Sedang Tinggi

Gambar 4. Diagram pemetaan risiko menurut Djohanputro (2008) Peluang


(40)

Menurut Hadiguna (2010), Multi-Expert Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) merupakan proses pengambilan keputusan yang melibatkan penilaian atau pendapat berbagai pihak atau ahli yang didasarkan pada kriteria jamak. Pada ME-MCDM akan ditemui sebuah proses penting, yaitu agregasi rating dan preferensi, serta penggabungan pendapat dari setiap ahli, sehingga penyelesaian yang dihasilkan adalah yang paling diterima oleh kelompok secara keseluruhan. Ordered Weighted Averaging (OWA) merupakan merupakan salah satu teknik agregasi pengambilan keputusan berkelompok untuk menentukan nilai gabungan dari seluruh hasil penilaian para ahli (Hadiguna, 2010).

Tahapan yang dilakukan dalam menghitung penilaian risiko operasional budidaya akar wangi adalah sebagai berikut :

1. Menghitung nilai risiko dari setiap faktor untuk setiap ahli pada semua peubah risiko. Menggunakan rumus perhitungan Yager dalam Hadiguna (2010), yaitu :

Pik = Minj [Neg (I(qj) v Pik (qj)]………(1)

Dimana

Pik = nilai agregasi risiko dari penilai

I (qj) = nilai kemungkinan terjadinya risiko

Neg I (qj) = nilai negasi I (qj)

Pik (qj) = nilai tingkat dampak risiko dari pendapat penilai

V = notasi maksimum

2. Menurut Yager dalam Hadiguna (2010), menentukan bobot penilai atau ahli menggunakan rumus :

Q(k) = Sb(k)

b(k) = Int [1 + k* (q-1)/r]……….(2)

Dimana

Q(k) = bobot rataan penilai pada skala k. q = jumlah skala penilaian risiko


(41)

3. Menentukan nilai gabungan dari seluruh nilai para ahli dengan menggunakan metode OWA menurut Yager dalam Hadiguna (2010) dengan rumus :

Pi = Max j=1...r [Q(j) Λ Bj]……….……….(3)

Dimana

Pi = agregasi pendapat gabungan ahli

Qj = bobot kelompok penilai/ahli

Bj = pengurutan nilai dari besar ke kecil

4. Proses perhitungan dari tahap ke-1 sampai ke-3 dilakukan secara berulang sampai diperoleh nilai agregasi total sebagai nilai risiko operasional budidaya akar wangi.

4. Rekomendasi pengelolaan risiko menggunakan basis aturan.

Rekomendasi pengelolaan risiko menggunakan basis aturan untuk menerjemahkan hasil penilaian risiko. Kumpulan alternatif rekomendasi dirumuskan untuk tidak saling meniadakan tetapi saling memperkuat. Pendekatan ini lebih praktis dilakukan dalam praktik manajemen rantai pasok karena bersifat operasional. Mekanisme inferensi yang digunakan if


(42)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Rantai Pasok Minyak Akar Wangi

4.1.1 Potensi Pengembangan Minyak Akar Wangi di Indonesia

Minyak akar wangi merupakan produk industri kecil berbasis sumber daya lokal yang berorientasi pasar ekspor. Sebelum perang dunia I, pulau Jawa mengekspor akar wangi kering dalam jumlah besar ke negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis dan Inggris. Saat itu ekspor ditujukan untuk kegiatan penyulingan atau sebagai pengharum ruangan, laci dan koper pakaian (Guenther, 1990). Saat ini sentra produksi akar wangi terbesar di Indonesia berada di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Budi daya akar wangi di Kabupaten Garut didasarkan pada keputusan Bupati Kabupaten Garut Nomor : 520/SK.196-HUK/96 tanggal 6 Agustus 1996, yang diantaranya menetapkan luas areal perkebunan akar wangi dan pengembangannya oleh masyarakat seluas 2.400 Ha. Areal perkebunan tersebut tersebar di Kecamatan Cilawu 240 Ha, Bayongbong 210 Ha, Samarang 1.100 Ha, Pasirwangi 100 Ha, Tarogong Kaler 200 Ha dan Leles 550 Ha. Pada tahun 2010, Kabupaten Garut dapat memproduksi 73,60 ton minyak akar wangi dari 2.400 Ha areal yang telah digarap. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas areal dan produksi minyak akar wangi di Kabupaten Garut

Kecamatan Luas Lahan (Ha) Hasil (Ton)

Cilawu 240 6,5

Bayongbong 210 6

Samarang 1.100 35

Pasirwangi 100 3,3

Tarogong Kaler 200 5

Leles 550 17,8

Jumlah 2.400 73,6

Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Garut, 2010 (Diolah kembali)

Menurut Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Perkoperasian Kabupaten Garut (2010), komoditas minyak akar wangi yang dapat di ekspor mencapai 25.750 kg dengan nilai US $ 1.416.250. Negara tujuan ekspor adalah Jepang,


(43)

Singapura, Inggris, Amerika, Swiss, Italia, Jerman, Hongkong dan India. Peluang ekspor untuk pemasaran minyak akar wangi masih cukup terbuka khususnya ekspor untuk kawasan Asia Selatan dan Asia Timur, Eropa Timur dan Amerika Selatan. Hal ini dikarenakan negara pesaing yang mengembangkan komoditas yang sama hanya negara Haiti dan Borbon.

4.1.2 Karakteristik Tanaman Akar Wangi

Tanaman akar wangi (vetiveria zizaniodes) merupakan tanaman yang berasal dari India, Birma dan Srilangka. Akar wangi termasuk famili

Gramineae atau rumput-rumputan. Komoditas tanaman akar wangi (Gambar 5) terletak pada akarnya yang mengandung minyak atsiri berwujud kental dengan bau yang sangat wangi dan tahan lama.

c. Akar wangi yang siap disuling

Gambar 5. Tanaman akar wangi

Ciri-ciri tanaman akar wangi menurut Ditjenbun (2011) adalah : a. Memiliki bau akar yang sangat wangi

b. Tumbuh merumpun lebat

b. Tumpang sari a. Monokultur


(44)

c. Akar tinggal bercabang banyak berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua

d. Tangkai daun tersembul dari akar tinggal sampai mencapai 200 cm.

e. Daun akar wangi berwarna kelabu, tampak kaku, panjangnya mencapai 100 cm dan tidak mengandung minyak.

Akar wangi akan tumbuh dengan baik pada ketinggian 500-1.500 meter di atas permukaan laut (dpl). Tanah yang baik bagi pertumbuhan akar wangi adalah tanah yang tidak padat (gembur) atau tanah berpasir yang mengandung abu vulkanik. Tanah tersebut akan membuat tanaman tumbuh dengan baik dan mudah dicabut pada waktu panen, sehingga tidak meninggalkan sisa-sisa akar di dalam tanah. Toleran tumbuh di lingkungan dengan suhu 17-27ºC, curah hujan 1.500-2.500 mm per tahun, sinar matahari yang cukup dan lahan terbuka atau tidak terlindung oleh tanaman lain(Ditjenbun, 2011). Pola penanaman akar wangi di wilayah Kabupaten Garut umumnya ditanam dengan sistem monokultur atau tumpang sari.

Selain sebagai penghasil minyak atsiri, tanaman akar wangi memiliki banyak manfaat lainnya, yaitu :

a. Akar wangi dapat dijadikan kerajinan seperti taplak meja, tas, lampion, tudung saji, tutup kulkas, boneka, sarung bantal, hingga sekat ruangan. b. Bila dibiarkan tumbuh, akar wangi dapat dijadikan pengontrol erosi. c. Daun akar wangi dapat dijadikan pengusir serangga.

4.1.3 Identifikasi Rantai Pasokan Minyak Akar Wangi

Rantai pasokan minyak akar wangi merupakan rantai keterkaitan suatu kegiatan usaha yang dimulai dari kegiatan pembudidayaan akar wangi oleh petani sampai dengan konsumen industri. Konsumen industri dalam rantai pasok minyak akar wangi adalah industri parfum, kosmetik, sabun, dan lain-lain. Rangkaian kegiatan produktif tersebut membentuk rantai nilai industri. Cakupan rantai pasokan minyak akar wangi di Indonesia berakhir sampai pengekspor, karena konsumen industri merupakan negara tujuan ekspor. Anggota primer rantai pasokan minyak akar wangi terdiri dari petani yang


(45)

memasok bahan baku akar wangi, pengumpul akar, penyuling minyak akar wangi, pengumpul minyak akar wangi, dan eksportir minyak akar wangi. Aktivitas-aktivitas operasional yang dilakukan setiap anggota bertujuan untuk menghasilkan minyak akar wangi yang berkualitas sehingga memiliki daya saing di pasar luar negeri.

Ada tiga (3) macam aliran yang harus dikelola pada rantai pasokan minyak akar wangi. Menurut Pujawan (2005), pada suatu rantai pasok biasanya ada tiga macam aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu ke hilir. Kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu. Ketiga adalah aliran informasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya. Pola aliran rantai pasokan minyak akar wangi dapat dilihat pada Gambar 6.

Aliran barang dimulai dari aliran bahan baku akar wangi dari petani sampai minyak akar wangi yang digunakan oleh konsumen industri. Petani berperan penting di hulu dalam menghasilkan bahan baku akar wangi yang bermutu. Akar wangi yang siap panen di beli oleh pengumpul akar atau penyuling yang berada di daerah sekitar. Petani yang tergabung dalam suatu kelompok tani binaan pengumpul akar atau penyuling biasanya langsung memasok akar wangi kepadanya. Pengumpul yang mengumpulkan akar wangi akan menjualnya lagi ke penyuling. Harga akar wangi ditentukan oleh pengumpul atau penyuling berdasarkan mutunya. Kisaran harga yang diterima petani Rp 2.000 - Rp 3.000 per kg. Ketika terjadi musim hujan, harga akar wangi cenderung turun, karena penyuling menghindari masalah seperti timbangan akar wangi yang lebih berat dan kadar air yang tinggi pada akar wangi. Harga akar wangi juga turun ketika terjadi panen raya. Dalam menjual akar wanginya, petani menjualnya dengan sistem timbang bayar atau beli langsung di lahan dengan sistem kebun. Saat ini para petani lebih suka menjual akar wanginya dengan sistem kebun.


(46)

Penyuling akar wangi Pengumpul minyak akar wangi

1

3

2 2 2 2

3

Keterangan:

Penyedia sarana produksi untuk petani

2 Petani akar wangi

5 7

3 Pengumpul akar wangi

4 5

6 Pengekspor minyak akar wangi

7 Konsumen Luar Negeri Aliran barang Aliran finansial

Aliran informasi

1

4 6

Cakupan rantai pasok minyak akar wangi

Indonesia

Gambar 6. Pola aliran rantai pasokan minyak akar wangi

Alat transportasi yang digunakan petani untuk mendistribusikan akar wanginya menggunakan truk atau motor jika berada di wilayah yang sulit dijangkau. Bahan baku yang diolah oleh penyuling menghasilkan minyak atsiri yang akan didistribusikan kepada pengumpul minyak akar wangi atau langsung ke eksportir. Harga minyak akar wangi saat ini berkisar antara Rp 1.000.000 -Rp 1.400.000, tergantung dari mutunya. Terkadang eksportir tidak menerima penjualan dari penyuling dalam jumlah sedikit, sehingga penyuling harus mengumpulkan dulu hasil produksinya baru dikirim ke eksportir. Eksportir menerima minyak yang dijual oleh penyuling minimal sebanyak 40 kg dalam sekali pengiriman. Peran pengumpul minyak sangat diperlukan untuk mengumpulkan minyak akar wangi dari penyuling. Selanjutnya, minyak akar wangi yang telah terkumpul oleh pengumpul di jual kepada eksportir. Minyak akar wangi yang telah terkumpul oleh eksportir akan dikirim ke konsumen industri yang ada di luar negeri. Negara tujuan ekspor minyak akar wangi diantaranya Jepang, Singapura, Inggris, Amerika, Swiss, Italia, Jerman, Hongkong dan India.


(47)

Aliran finansial berasal dari konsumen industri yang membeli minyak dari eksportir minyak akar wangi. Penyuling menerima pembayaran atas minyak akar wangi yang telah dikirim ke pengumpul minyak akar wangi atau eksportir. Pengumpul minyak atau eksportir terkadang juga memberikan bantuan modal kepada penyuling. Harga yang diterima penyuling jika mendapatkan bantuan modal biasanya tidak sebesar jika dijual secara umum. Petani mendapatkan bayaran dari pengumpul bahan baku atau penyuling secara langsung. Jika petani mengalami kesulitan modal dalam budidaya akar wangi, penyuling akan memberikan bantuan modal untuk pemeliharaan atau memberikan bantuan berupa pupuk. Petani yang mendapatkan bantuan modal secara tidak langsung harus menjual hasil panennya kepada pemilik modal.

Aliran informasi diantara anggota rantai pasokan minyak akar wangi sudah terintegrasi cukup baik. Aliran informasi berasal dari konsumen industri ke pengekspor minyak akar wangi, eksportir ke pengumpul minyak akar wangi atau langsung ke penyuling, penyuling ke pengumpul akar wangi atau langsung ke petani, pengumpul akar wangi ke petani atau sebaliknya. Aliran informasi yang baik harus tersedia dalam dua arah. Aliran informasi yang terjadi disetiap anggota rantai pasok secara umum berhubungan dengan jumlah pemesanan, harga, jadwal pengiriman, sistem pembayaran, harga yang berlaku, kemampuan anggota dalam menyediakan produk, dan lain-lain. Komunikasi antara eksportir dengan penyuling atau pengumpul minyak dilakukan melalui telepon untuk mengetahui harga yang berlaku dan tanggal pengiriman. Penyuling juga mendiskusikan kendala-kendala yang dihadapi dalam memasok akar wangi. Kendala-kendala seperti kurangnya modal atau mutu rendemen yang buruk akibat bahan baku yang rusak karena cuaca. Komunikasi antara petani akar wangi dengan penyuling berhubungan dengan tanggal panen, harga yang berlaku, kapasitas pengiriman, kendala-kendala yang dihadapi dan lain-lain. Petani yang memiliki kelompok tani mendiskusikan pola budidaya yang baik, bantuan modal, penggunaan pupuk atau bibit agar petani dapat memasok bahan baku bermutu. Diskusi-diskusi tersebut dilakukan secara informal.


(48)

4.1.4 Aktivitas Petani Akar Wangi

Budidaya akar wangi banyak diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Garut, karena sangat potensial untuk terus dikembangkan. Petani akar wangi di wilayah Kabupaten Garut tersebar di Kecamatan Cilawu, Bayongbong, Samarang, Pasirwangi, Tarogong Kaler dan Leles. Ada 1.538 sebagai pemilik lahan, 59.812 tenaga kerja dan 35 kelompok tani yang terlibat dalam kegiatan pengembangan akar wangi (Dinas Perkebunan, 2010). Kelompok tani biasanya diketuai oleh seorang penyuling. Penyuling tersebut akan memberikan binaan kepada kelompok taninya dalam berbudiya dan memberikan bantuan modal. Petani yang tergabung dalam kelompok tani harus menjual akar wanginya kepada penyuling tersebut sebagai pemilik modal. Namun, tidak semua petani terlibat dalam kelompok tani. Ada petani yang menanam secara individu dan menjualnya akar wanginya secara bebas ke pengumpul akar wangi atau penyuling sesuai harga yang disepakati.

Budidaya akar wangi merupakan usaha turun temurun warga Garut. Para petani di Garut mulai menanam komoditas ini sekitar tahun 1918 dan kini telah menjadi salah satu usaha yang menjadi tumpuan hidup sebagian warga Garut. Luas lahan yang dimiliki oleh petani sangat bervariasi dari mulai di bawah satu (1) Ha sampai 25 Ha. Kepemilikan lahan budidaya akar wangi dalam bentuk sewa atau milik sendiri. Tanah yang disewa untuk lahan akar wangi berasal dari tanah carik desa.

Sebagian besar petani di Garut hanya menyediakan bahan baku yang di jual kepada pengumpul akar wangi atau penyuling. Namun, ada pula petani yang menyuling sendiri akar wanginya dengan menyewa kepada penyuling dan menjual akar wanginya dalam bentuk sulingan ke pemilik penyulingan. Para petani yang bermodal besar biasanya memiliki tempat penyulingan sendiri. Petani yang memiliki penyulingan sendiri disebut petani penyuling. Para petani penyuling tersebut tidak hanya memiliki lahan pribadi untuk ditanam akar wangi namun juga memiliki kelompok tani untuk mempermudah pasokan bahan baku akar wangi untuk proses penyulingan. Petani yang bertindak


(49)

sebagai penyuling biasanya sangat memperhatikan Good Agriculture Product

(GAP) dalam melakukan budidaya karena sangat menjaga mutu dan kuantitas dari rendemen minyak atsiri yang dihasilkan.

Penanaman akar wangi dapat dilakukan dengan sistem monokultur atau tumpang sari dengan sayuran. Sebagian besar petani akar wangi di Garut menanam dengan sistem tumpang sari. Ada dua (2) keuntungan yang didapat petani dari sistem tumpang sari. Pertama tidak perlu menunggu sampai 12 bulan untuk mendapatkan penghasilan dari akar wangi, karena rataan sayuran yang ditanam sudah dapat dipanen pada usia 3-4 bulan. Selain itu, sisa pupuk serta limbah sayuran dapat mengembalikan kesuburan tanah yang dikuras oleh akar wangi. Tanaman yang biasa ditumpangsarikan oleh petani adalah kol, tomat, kentang, kubis, cabai dan singkong.

Budidaya akar wangi dengan teknologi tepat guna dimulai dari pencangkulan lahan, pemberian pupuk dan penanaman bibit pada bulan pertama. Lahan untuk menanam akar wangi harus bersih dari gulma. Tanah yang sudah dicangkul dilubangi dan diberikan pupuk. Ada dua (2) macam pupuk yang dapat digunakan, yaitu pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik adalah pupuk kandang, sedangkan pupuk anorganik yang digunakan adalah jenis pupuk ZA, TSP, KCL dan MPK kecuali UREA. Pupuk UREA sangat dihindari oleh petani, karena dapat menyebabkan rendemen minyak menurun walaupun tanaman terlihat tumbuh dengan baik. Pada bulan pertama pupuk yang diberikan adalah pupuk kandang/kompos. Petani hanya membeli bibit akar wangi ketika pertama kali akan menanam akar wangi. Setelah itu tidak perlu membeli kembali, karena penanaman bibit berasal dari bonggol akar wangi yang telah dipanen sebelumnya. Petani tidak akan kekurangan bonggol sebagai bibit, jika berasal dari panen sebelumnya, kecuali jika petani akan memperluas lahan budidaya akar wanginya. Bibit tanaman yang dipergunakan para petani di Garut merupakan bibit tanaman yang berasal dari tanaman tidak berbunga. Untuk satu (1) Ha lahan yang akan ditanam dibutuhkan sekitar 2.000 kg bibit dengan jarak tanaman 0,5 m – 0,75 m. Namun, karena kondisi lahan


(50)

yang berbeda-beda, terkadang penanamannya sering dilakukan dengan jarak yang tidak teratur.

Proses selanjutnya dilakukan pengemburan dan pemupukan pada bulan ketiga. Pemupukan pada bulan ketiga mengunakan pupuk anorganik. Hanya petani binaan dari kelompok tani yang dapat melakukan pemupukan secara teratur. Hal ini dikarenakan para petani terkendala dengan permodalan. Untuk melakukan pemupukan sesuai dengan teknologi yang tepat guna, para petani yang tidak memiliki modal dapat meminjam kepada penyuling. Tidak semua petani menerapkan hal tersebut, mereka biasanya hanya melakukan pemupukan sekali pada musim tanam. Petani yang hanya menanam akar wangi sebagai usaha sampingan tidak secara khusus memberikan pupuk kepada tanaman akar wangi. Mereka mengutamakan pemupukan untuk tanaman tumpang sarinya. Menurut petani, akar wangi akan tetap tumbuh dengan baik, walaupun tidak dipupuk. Namun, untuk menghasilkan rendemen minyak dengan mutu dan kuantitas yang baik pemupukan perlu dilakukan.

Tanaman akar wangi harus sering dilakukan penyiangan untuk menghilangkan tanaman penganggu yang mengurangi nutrisi bagi akar. Penyiangan akan berpengaruh pada jumlah rendemen minyak dan dapat meningkatkan hasil sampai 10%. Penyiangan dapat dilakukan pada bulan kelima. Semakin sering dilakukan penyiangan, maka hasilnya akan semakin baik. Penyiangan yang dilakukan oleh petani dapat dilakukan 3-4 kali pada satu periode musim tanam. Akar wangi dapat dipanen pada usia minimal 12 bulan untuk mendapatkan rendemen minyak yang baik. Namun, jika menginginkan jumlah rendemen minyak yang maksimum dapat dilakukan panen setelah 14 bulan. Kadangkala para petani tidak dapat menunggu pada usia minimal 12 bulan akibat terdesak berbagai macam kebutuhan, yaitu memanen pada usia delapan (8) bulan atau menjualnya kepada penyuling dengan sistem kebun. Penyuling yang membeli akar wangi dengan sistem kebun akan menunggu pada usia panen minimal untuk mendapatkan rendemen minyak yang baik.


(1)

Lampiran 6. Hasil penilaian Petani ahli terhadap Risiko Operasional

Faktor Peubah penentu

Penilaian petani ahli

Frekuensi Dampak

1 2 3 1 2 3

1 Input

Petani kurang memahami cara penanaman yang baik

R SR R S R S

Petani tidak menerapkan

budidaya yang sesuai dengan GAP

T T T T S T

Petani kurang terampil dalam memelihara tanaman akar wangi

R SR R S R R

Kekurangan pasokan bibit tanaman akar wangi

R SR R S S R

Kekurangan pupuk R SR S S S S

Informasi budidaya yang baik masih kurang

T T S T T S

Mutu bibit buruk SR SR R S S S

Kekurangan peralatan dalam budidaya

SR SR R S S S

2 Proses

Kelalaian pemberian

pupuk R SR S S S S

Kelalaian dalam pemeliharaan (penyiangan)

T R R T T ST

Kelalaian saat panen S S S T T S

Cuaca S S S T T T

3 Output Memanen lebih dini T T S T T T

Keterangan :

ST : Sangat Tinggi T : Tinggi

S : Sedang R : Rendah SR : Sangat rendah

No Faktor Frekuensi

Ahli 1 Ahli 2 Ahli 3

1 Input R R S

2 Proses S R S


(2)

Lampiran 6. Hasil penilaian Petani ahli terhadap Risiko Operasional

Faktor Peubah penentu

Penilaian petani ahli

Frekuensi Dampak

1 2 3 1 2 3

1 Input

Petani kurang memahami cara penanaman yang baik

R SR R S R S

Petani tidak menerapkan

budidaya yang sesuai dengan GAP

T T T T S T

Petani kurang terampil dalam memelihara tanaman akar wangi

R SR R S R R

Kekurangan pasokan bibit tanaman akar wangi

R SR R S S R

Kekurangan pupuk R SR S S S S

Informasi budidaya yang baik masih kurang

T T S T T S

Mutu bibit buruk SR SR R S S S

Kekurangan peralatan dalam budidaya

SR SR R S S S

2 Proses

Kelalaian pemberian

pupuk R SR S S S S

Kelalaian dalam pemeliharaan (penyiangan)

T R R T T ST

Kelalaian saat panen S S S T T S

Cuaca S S S T T T

3 Output Memanen lebih dini T T S T T T

Keterangan :

ST : Sangat Tinggi T : Tinggi

S : Sedang R : Rendah SR : Sangat rendah

No Faktor Frekuensi

Ahli 1 Ahli 2 Ahli 3

1 Input R R S

2 Proses S R S


(3)

Lampiran 7. Perhitungan manual penilaian Risiko Operasional 1. Perhitungan agregasi risiko operasional

Tahap pertama

Menghitung nilai risiko dari setiap faktor untuk setiap ahli pada semua peubah risiko. Menggunakan rumus perhitungan Yager dalam Hadiguna (2010), yaitu :

Pik = Minj [Neg (I(qj) v Pik (qj)]………(1)

Dimana

Pik = nilai agregasi risiko dari setiap ahli

I (qj) = nilai kemungkinan terjadinya risiko

Neg I (qj) = nilai negasi I (qj)

Pik (qj) = nilai tingkat dampak risiko dari pendapat penilai

V = notasi maksimum

Neg (ST) = SR Neg (T) = R Neg (S) = S Neg (R) = T Neg (SR) = ST

Pinput1 = Min [Neg (R) V S, Neg (T) V T, Neg (R) V S, Neg(R) V S, Neg (R) V S, Neg (T) V

T, Neg (SR) V S, Neg(SR) VS]

= Min [T V S, R V T, T V S, T V S, T V S, R V T, ST V S, ST V S] = Min [T, T, T, T, T, T, ST, ST] = T

Pinput2 = Min [Neg (SR) V R, Neg (T) V S, Neg (SR) V R, Neg(SR) V S, Neg (SR) V S, Neg

(T) V T, Neg (SR) V S, Neg(SR) VS]

= Min [ST V R, R V S, ST V R, ST V S, ST V S, R V T, ST V S, ST V S] = Min [ST, S, ST, ST, ST, T, ST, ST] = S

Pinput3 = Min [Neg (R) V S, Neg (T) V T, Neg (R) V R, Neg(R) V R, Neg (S) V S, Neg (S) V

S, Neg (R) V S, Neg(R) V S]

= Min [T V S, R V T, T V R, T V R, S V S, S V S, T V S, T V S] = Min [T, T, T, T, S, S, T, T] = S

Pproses1 = Min [Neg (R) V S, Neg (T) V T, Neg (S) V T, Neg (S) V T]

= Min [T V S, R V T, S V T, S V T] = Min [T, T, T, T] = T


(4)

Lanjutan Lampiran 7.

Pproses2 = Min [Neg (SR) V S, Neg (R) V T, Neg (S) V T, Neg (S) V T]

= Min [ST V S, T V T, S V T, S V T] = Min [ST, T, T, T] = T

Pproses3 = Min [Neg (S) V S, Neg (R) V ST, Neg (S) V S, Neg (S) V T]

= Min [S V S, T V ST, S V S, S V T] = Min [S, ST, S, T] = S

Poutput1 = Min [Neg (T) V T,]

= Min [R V T] = Min [T] = T

Poutput2 = Min [Neg (T) V T,]

= Min [R V T] = Min [T] = T

Poutput3 = Min [Neg (S) V T,]

= Min [S V T] = Min [T] = T

Tahap kedua

Menentukan bobot penilai atau ahli dengan rumus menurut Yager dalam Hadiguna (2010) : Q(k) = Sb(k)

b(k) = Int [1 + k* (q-1)/r]……….(2)

Dimana

Q(k) = bobot rataan penilai pada skala k q = jumlah skala penilaian risiko r = jumlah penilai/ahli

Q(1) = Int [1 + 1*4/3] = 2 = R

Q(2) = Int [1 + 2*4/3] = 4 = T

Q(3) = Int [1 + 3*4/3] = 5 = ST

Tahap ketiga

Menentukan nilai gabungan dari seluruh nilai para ahli dengan menggunakan metode OWA menurut Yager dalam Hadiguna (2010) dengan rumus :


(5)

Lanjutan Lampiran 7. Dimana

Pi = agregasi pendapat gabungan ahli

Qj = bobot kelompok penilai/ahli

Bj = Pengurutan nilai dari besar ke kecil

P input = Max [(R Λ T), (T Λ S), (ST Λ S] = Max [R, S, S] = S

P proses = Max [(R Λ T), (T Λ T), (ST Λ S] = Max [R, T, S] = T

P output = Max [(R Λ T), (T Λ T), (ST Λ T] = Max [R, T, T] = T

Tahap keempat mencari total agregasi risiko operasional

Faktor Agregasi pakar

Input S

Proses T

Output T

Pf1 = Min [Neg (R) V S , Neg (S) V T , Neg (T) V T ]

= Min [ T V S, S V T, R V T ] = Min [T, T, T] = T

Pf2 = Min [Neg (R) V S , Neg (R) V T, Neg (T) V T ]

= Min [ T V S , T V T , R V T] = Min [T, T, T] = T

Pf3 = Min [Neg (S) V S, Neg (S) V T , Neg (S) V T ]

= Min [ S V S, S V T , S V T] = Min [S, T, T] = S

PF = Max [(R Λ T), (T Λ T), (ST Λ S]

= Max [R, T, S] = T

Hasil agregasi menunjukkan nilai risiko operasional budidaya akar wangi bernilai risiko tinggi.

No Faktor Frekuensi

Pakar 1 Pakar 2 Pakar 3

1 Input R R S

2 Proses S R S


(6)