Ststus Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang

(1)

STATUS NUTRISI LANSIA

DI KELURAHAN SEMPAKATA

KECAMATAN MEDAN SELAYANG

SKRIPSI

OLEH

ELLI NOVA BR SITEPU 101101101

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Status Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang” dengan baik.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini, sabagai berikut:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU, 2. Erniyati S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan USU,

3. Evi Karota Bukit S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Keperawatan USU,

4. Ikhsannudin S.Kp, MNS, Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan USU,

5. Rosina Tarigan S.Kp, M.Kep, Sp.KMB, CWCC selaku pembimbing yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, bimbingan maupun saran serta dukungan dalam proses pembuatan skripsi ini,

6. Wardiyah Daulay S.Kep, Ns, M.Kep selaku penguji I yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini,

7. Yessi Ariani S.Kep, Ns, M.Kep selaku penguji II yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini,

8. Reni Asmara Ariga, S.Kp, MARS selaku Dosen Pembimbing Akademik,

9. Bapak dan Ibu Dosen beserta staf Fakultas Keperawatan USU yang telah

memberikan bekal ilmu dan bimbingan selama peneliti dalam pendidikan, 10. Drs. Hasan Basri, MM selaku Pembina Utama Muda Kepala Badan Penelitian

dan Pengembangan Kota Medan yang telah memberikan rekomendasi penelitian,

11. Zulfakhri Ahmadi, S.Sos selaku Camat Medan Selayang yang telah memberi izin penelitian,

12. Enoh. P Tavip, S.Sos, Msi selaku Lurah Sempakata yang telah memberi izin penelitian,


(4)

13. Orang tua saya M. Sitepu dan B. Br Perangin-angin, abang saya Helroy Sitepu dan Averiyus Sitepu, kakak saya Ersovia Br Sitepu dan Ice Tresnawaty Br Sinaga dan adik saya Elda Fitria Br Sitepu serta keluarga besar saya yang telah memberikan kasih sayang tanpa batas, dukungan moril maupun materil dan senantiasa memberikan doa yang tulus untuk saya,

14. Teman-teman spesialku Priskilla Br Meliala, Diana Margaretha Kaban, Yuni Helvi Tarigan, Ida V Siburian, Liani Br Ginting, Kak Martha Siahaan S.Kep, Ns, Kak Gita Elisa Berliana Ginting S.Kep Ns, Marsella Br Ginting, Yuni Febe Dian Marpaung, Widya Sitanggang, Desvin Zendrato dan Kalvin Wasaru Lombu yang telah banyak memberikan dukungan, semangat dan masukan kepada peneliti,

15. Teman- teman mahasiswi S1 Keperawatan USU angkatan 2010 yang telah

memberikan semangat dan masukan kepada saya untuk menyelesaikan proposal ini.

Penilis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, maka dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2014

Peneliti

         


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... vii

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix

Abstrak ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan Masalah ... 5

3. Tujuan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

1. Definisi Lansia ... 7

2. Perubahan pada Lansia yang Mempengaruhi Status Nutrisi... 7

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Nutrisi Lansia ... 10

4. Kebutuhan Zat Gizi Lansia ... 11

4.1 kalori ... 11

4.2 karbohidrat dan serat ... 12

4.3 protein ... 12

4.4 lemak ... 13

4.5 cairan ... 13

5. Malnutrisi pada Lansia ... 14

5.1 penyebab malnutrisi ... 14

5.2 dampak malnutrisi ... 16

6. Status Nutrisi ... 16

6.1 pengukuran status nutrisi lansia ... 16

6.1.1 antropometri ... 17

6.1.2 pemeriksaan biokimia ... 19

6.1.3 pemeriksaan klinis ... 20

6.1.4 penilaian dietetik ... 21

6.2 penilaian status nutrisi ... 22

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN ... 28

1. Kerangka Konseptual ... 28

2. Defenisi Operasional ... 28

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 29

1. Desain Penelitian ... 29

2. Populasi dan Sampel ... 29


(6)

2.2 sampel ... 29

2.3 Teknik sampling ... 30

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4. Pertimbangan Etik ... 30

5. Instrumen Penelitian ... 32

6. Validitas dan Reabilitas Penelitian... 35

7. Pengumpulan Data ... 35

8. Analisis Data ... 36

BAB V Hasil dan Pembahasan ... 38

1. Hasil Penelitian ... 38

1.1 Karakteristik Responden ... 38

1.2 Status Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang ... 40

2. Pembahasan ... 41

BAB VI Kesimpulan dan Saran ... 46

1. Kesimpulan ... 46

2. Saran ... 46

Daftar Pustaka Lampiran-lampiran

1. Lembar Penjelasan Penelitian

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden 3. Instrumen Penelitian

4. Jadwal Tentatif Penelitian 5. Taksasi Dana

6. Daftar Riwayat Hidup

7. Letter of Testimony

8. Terjemahan Instrumen 9. Reliabilitas

10.Master data

11.Distribusi Frekuensi

12.SPSS Frequencies 13.Ethical Clearance 14.Surat Survei awal

15.Surat Rekomendasi Penelitian 16.Surat Keterangan Izin Penelitian

17.Surat Keterangan Izin dan Survei Awal Penelitian 18.Surat Izin Pengambilan Data

19.Surat Rekomendasi Penelitian 20.Surat Keterangan Izin Penelitian

21.Surat Keterangan Izin Penelitian (Pengumpulan data) 22.Surat Keterangan Selesai Penelitian

23.Surat Pernyataan Keaslian Terjemahan


(7)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1 Kerangka Konsep Status Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang ... 28


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Lansia Berdasarkan Indeks Massa

Tubuh (Depkes RI, 2005) ... 17

Tabel 3.1 Tabel Defenisi Operasional Status Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang... 28

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Lansia di Kelurahan

Sempakata Kecamatan Medan Selayang... 39

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Status Nutrisi Lansia di Kelurahan


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pengukuran tinggi lutut lansia dengan posisi (a) duduk dan


(10)

Judul : Ststus Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan

Medan Selayang

Nama Mahasiswa : Elli Nova Br Sitepu

NIM : 101101101

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2014

ABSTRAK

Malnutrisi merupakan satu dari sekian banyak permasalahan yang terjadi pada lanjut usia (lansia). Tingginya prevalensi malnutrisi pada lansia serta banyaknya dampak yang ditimbulkan membuat penilaian status nutrisi menjadi penting untuk dilakukan sebagai langkah awal untuk mempertahankan atau memperbaiki status nutrisi lansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan jumlah sampel 57 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik consecutive sampling dengan kriteria lansia berusia 65 tahun keatas, kooperatif dan dapat berkomunikasi serta berbahasa Indonesia. Hasil diperoleh bahwa 68,4 % lansia berstatus nutrisi normal dan 31,6% lansia mengalami malnutrisi. Status nutrisi lansia dipengaruhi oleh nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) lansia, kemampuan untuk beraktivitas dan kondisi stres/penyakit akut yang diderita lansia selama tiga bulan terakhir. Perawat komunitas diharapkan mampu menjadi fasilitator dan penemu kasus bagi masyarakat sehingga upaya meningkatkan kesejahteraan yang baik dapat terwujud melalui upaya promotif, preventif, kuratif serta rehabilitasi yang tepat dan optimal.

Kata kunci: status nutrisi, lansia

                 


(11)

Title : Nutrition Status of The Elderly In Sempakata Village Medan Selayang District

Writter : Elli Nova Br. Sitepu 

Major : Bachelor of Nursing  

Year : 2014 

 

ABSTRACT 

Malnutrition is one of numerous problems happening to the elderly. High prevalence of malnutrition in the elderly and with plenty of impacts caused make grading nutrition status crucial to undergo as an initial step to maintain or improve nutrition status of the elderly. This research aimed to figure out nutrition status of the elderly in Sempakata village Medan Selayang district. The research design used was descriptive involving 57 people. Data collection was carried out by consecutive sampling technique with the criterions of elderly aged at least 65 years of old, cooperative, able to communicate in Bahasa Indonesia. Result obtained was that 68.4% elderly were categorized normal and 31.6% elderly was categorized having malnutrition issue. Nutrition status of the elderly was caused by Body Mass Index (BMI) of the elderly ability to stay active and terminally chronic stress/illness condition suffered by the elderly for the past the months. Community nurses is hoped to be able to become facilitator and case discoverer to society in order to improve ideal welfare through promotional, preventive and curative approaches as well as appropriate and optimal rehabilitation. 

 

Key words: Nutrition status, the elderly 

                 


(12)

Judul : Ststus Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan

Medan Selayang

Nama Mahasiswa : Elli Nova Br Sitepu

NIM : 101101101

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2014

ABSTRAK

Malnutrisi merupakan satu dari sekian banyak permasalahan yang terjadi pada lanjut usia (lansia). Tingginya prevalensi malnutrisi pada lansia serta banyaknya dampak yang ditimbulkan membuat penilaian status nutrisi menjadi penting untuk dilakukan sebagai langkah awal untuk mempertahankan atau memperbaiki status nutrisi lansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan jumlah sampel 57 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik consecutive sampling dengan kriteria lansia berusia 65 tahun keatas, kooperatif dan dapat berkomunikasi serta berbahasa Indonesia. Hasil diperoleh bahwa 68,4 % lansia berstatus nutrisi normal dan 31,6% lansia mengalami malnutrisi. Status nutrisi lansia dipengaruhi oleh nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) lansia, kemampuan untuk beraktivitas dan kondisi stres/penyakit akut yang diderita lansia selama tiga bulan terakhir. Perawat komunitas diharapkan mampu menjadi fasilitator dan penemu kasus bagi masyarakat sehingga upaya meningkatkan kesejahteraan yang baik dapat terwujud melalui upaya promotif, preventif, kuratif serta rehabilitasi yang tepat dan optimal.

Kata kunci: status nutrisi, lansia

                 


(13)

Title : Nutrition Status of The Elderly In Sempakata Village Medan Selayang District

Writter : Elli Nova Br. Sitepu 

Major : Bachelor of Nursing  

Year : 2014 

 

ABSTRACT 

Malnutrition is one of numerous problems happening to the elderly. High prevalence of malnutrition in the elderly and with plenty of impacts caused make grading nutrition status crucial to undergo as an initial step to maintain or improve nutrition status of the elderly. This research aimed to figure out nutrition status of the elderly in Sempakata village Medan Selayang district. The research design used was descriptive involving 57 people. Data collection was carried out by consecutive sampling technique with the criterions of elderly aged at least 65 years of old, cooperative, able to communicate in Bahasa Indonesia. Result obtained was that 68.4% elderly were categorized normal and 31.6% elderly was categorized having malnutrition issue. Nutrition status of the elderly was caused by Body Mass Index (BMI) of the elderly ability to stay active and terminally chronic stress/illness condition suffered by the elderly for the past the months. Community nurses is hoped to be able to become facilitator and case discoverer to society in order to improve ideal welfare through promotional, preventive and curative approaches as well as appropriate and optimal rehabilitation. 

 

Key words: Nutrition status, the elderly 

                 


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Keberhasilan bidang kesehatan di Indonesia berdampak pada penurunan angka kelahiran, penurunan kematian bayi dan peningkatan usia harapan hidup (Nati, 2013). Suyono mengatakan pada tahun 1970-an usia harapan penduduk Indonesia hanya sekitar 45-50 tahun (Prawiro, 2012). Tahun 2011 United Nations Development Programme (UNDP) mencatat usia harapan hidup penduduk Indonesia telah mencapai 69,4 tahun sedangkan CIA World Factbook mencatat 70,7 tahun (Prawiro, 2012).

Peningkatan usia harapan hidup akan berdampak pada peningkatan jumlah populasi lanjut usia (lansia). Undang-undang No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Darmojo, 2000). Prawiro (2012) menyatakan pada tahun 1970-an diperkirakan jumlah penduduk lansia hanya sekitar 2 juta, sedangkan pada tahun 1990-an meningkat hampir 6 kali lipat menjadi sekitar 11,3 juta atau 6,4% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada tahun 2000 jumlah lansia telah mencapai angka 15,3 juta atau 7,4% dari total jumlah penduduk Indonesia (Prawiro, 2012). Peningkatan ini terus terjadi hingga tahun 2010 jumlah penduduk lansia mencapai angka sekitar 24 juta atau 10% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia (Prawiro, 2012).

Masyarakat umumnya mempersepsikan kelemahan dan kerapuhan sebagai kondisi yang normal pada lansia (Suryaningsih, 2012). Kelemahan dan kerapuhan bisa saja merupakan suatu kondisi atau tanda adanya gangguan nutrisi. Kebutuhan


(15)

akan nutrisi yang baik merupakan kebutuhan dasar bagi kesehatan setiap manusia (Suryaningsih, 2012). Hal ini disebabkan karena nutrisi mampu mempengaruhi fungsi fisis dan kognitif, vitalitas, kualitas hidup secara keseluruhan dan panjangnya kehidupan sehingga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan di sepanjang kehidupan (Sari, 2009).

Seiring bertambahnya usia, akan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan. Perubahan itu meliputi perubahan fisik, sosial ekonomi dan psikososial. Perubahan fisik pada tubuh akan berdampak pada fungsi dan respon tubuh. Skates & Anthony (2012) menyatakan perubahan fisik seperti sarcopenia (penurunan massa otot), penurunan kemampuan indra pengecap dan penghidu sering terjadi pada lansia. Perubahan sosial ekonomi maupun psikososial yang sering terjadi seperti perubahan pendapatan, transportasi dan peraturan hidup dapat memicu isolasi sosial (Skates & Anthony, 2012). Perpaduan antara perubahan fisik, sosial ekonomi dan psikososial akan mempengaruhi status nutrisi lansia (Skates & Anthony, 2012).

Status nutrisi merupakan keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi/nutrisi (Supariasa, 2002). Ketidakseimbangan intake

nutrisi dengan kebutuhan tubuh akan mempengaruhi status nutrisi. Ketidakseimbangan itu bisa disebut malnutrisi. Setiati & Dinda (2010) menyatakan malnutrisi merupakan suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein energi dan nutrien lain yang dibutuhkan oleh tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh.


(16)

Malnutrisi dapat terjadi pada semua lansia. Konsultan Geriatri dari FKUI DR Dr Siti Setiati SpPD menyatakan bahwa malnutrisi merupakan satu dari sekian banyak permasalahan yang terjadi pada lanjut usia (Suryaningsih, 2012). Watson (2003) menyatakan malnutrisi energi protein merupakan kondisi yang paling banyak dialami lansia. Banyak penelitian yang sudah mendukung pernyataan Watson, salah satu diantaranya adalah Rianto (2004) dalam penelitiannya menggunakan MNA (Mini Nutritional Assessment) untuk menilai status nutrisi lansia melaporkan bahwa dari 74 lansia di masing-masing tempat yaitu Panti Werdha Pucang Gading dan RW III Kelurahan Barusari Kecamatan Semarang Selatan angka kejadian malnutrisi di panti sebesar 43,2% sedangkan di non panti sebesar 1.4%, dan angka kejadian resiko malnutrisi di panti sebesar 48,6% sedangkan di non panti sebesar 9,5%. Malnutrisi yang terjadi pada lansia disebabkan oleh intake kalori dan protein yang kurang dari kebutuhan tubuh.

Malnutrisi energi protein pada lansia bisa jadi merupakan kondisi yang diperparah oleh dampak suatu penyakit yang diderita lansia dan jika tidak terdiagnosis dan diintervensi akan menimbulkan dampak yang merugikan lansia (Skates & Anthony, 2012). Status nutrisi yang buruk seperti malnutrisi energi protein berhubungan dengan perubahan imunitas, penyembuhan luka yang terganggu, penurunan status fungsional, peningkatan penggunaan fasilitas kesehatan dan peningkatan angka mortalitas (Martono, 2000 dalam Hardini, 2005). Schneider et al., ( 2004 dalam Skates & Anthony, 2012) mengkaitkan malnutrisi energi protein berhubungan dengan kelemahan fisik dan kehilangan massa otot yang sering memicu kejadian jatuh dan fraktur sebagai dampaknya.


(17)

Hampir setengah dari semua pasien lansia dengan fraktur pinggul terdeteksi malnutrisi dan lebih parah lagi pasien dengan malnutrisi tiga kali lebih beresiko mengalami infeksi (Schneider et al., 2004 dalam Skates & Anthony, 2012).

Setiati & Laksmi (2010) melaporkan kejadian jatuh terjadi pada sekitar 30% orang berusia 65 tahun keatas setiap tahunnya dan 40% sampai 50% dari mereka yang berusia 80 tahun keatas. Setiati & Laksmi (2010) menyatakan sepertiga dari mereka yang berusia 65 tahun keatas dan tinggal dirumah (komunitas) mengalami satu kali jatuh setiap tahun dan sekitar 1 dari 40 orang yang jatuh tersebut memerlukan perawatan dirumah sakit. Hanya sekitar setengah dari pasien lansia yang dirawat akibat jatuh akan hidup setahun kemudian (Setiati & Laksmi, 2010). Selain itu, di panti werda sekitar 50% penghuninya mengalami satu kali jatuh setiap tahunya; setengah dari jumlah tersebut mengalami jatuh berulang, 10 sampai dengan 25 % mengalami komplikasi serius (Setiati & Laksmi, 2010). Selanjutnya, Setiati menyatakan jatuh mengakibatkan dua per tiga kematian karena kecelakaan (accidental deaths).

Selain jatuh, fraktur dan infeksi masih ada beberapa dampak yang mungkin akan timbul akibat malnutrisi diantaranya adalah yang terjadi di komunitas seperti: penurunan fungsi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan aktivitas sehari-hari (Ödlund Olin, Koochek, Ljungqvist & Cederholm, 2005 dalam Skates & Anthony, 2012). Untuk perawatan dirumah, malnutrisi energi protein dikaitkan dengan ulkus dekubitus (Horn et al., 2004 dalam Skates & Anthony, 2012), infeksi (Hudgens, Langkamp-Henken, Stechmiller, Herrlinger-Garcia, & Nieves, 2004 dalam Skates & Anthony, 2012).


(18)

Tingginya prevalensi malnutrisi pada lansia serta banyaknya dampak yang ditimbulkan membuat penilaian status nutrisi menjadi penting untuk dilakukan dengan rutin karena menilai status nutrisi lansia adalah langkah awal untuk mempertahankan atau memperbaiki status nutrisi lansia. European Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN) merekomendasikan Mini Nutritional Assessment (MNA) untuk menilai status gizi lansia terutama bagi pasiendi rumah sakit, home-care setting, lansia di panti (Kondrup et al., 2003 dalam Dewi, 2011).

Skates & Anthony (2012) menyatakan Mini Nutritional Assessment (MNA)

merupakan alat pengkajian paling baik yang direkomendasikan oleh organisasi internasional untuk menilai status nutrisi pada lansia yang berusia 65 tahun keatas karena hasilnya cepat didapat, mudah digunakan dan gratis. MNA dapat digunakan untuk menilai lansia yang malnutrisi atau beresiko malnutrisi pada semua praktik keperawatan termasuk keperawatan komunitas.

Berdasarkan uraian mengenai malnutrisi dan dampak yang ditimbulkan diatas peneliti tertarik melakukan penelitian tentang status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimana status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang”


(19)

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengidentifikasi status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Bagi praktek keperawatan

Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan di bidang keperawatan gerontik serta memberikan informasi tentang status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang Medan khususnya Puskesmas

di wilayah Kecamatan Medan Selayang sehingga MNA (Mini Nutritional

Assessment) dapat digunakan untuk menilai status nutrisi lansia. 2. Bagi penelitian keperawatan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan pengembangan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan status nutrisi lansia.

3. Bagi pendidikan keperawatan

Mini Nutritional Assessment dapat digunakan untuk melakukan penilaian status nutrisi pada lansia di berbagai tempat seperti di komunitas, rumah sakit ataupun institusi seperti panti jompo atau werdha.

         


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Defenisi Lansia

Undang-undang No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Darmojo,

2000). WHO mengelompokkan lansia menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) usia

pertengahan (middle age) yaitu usia 45-59 tahun, (2) lansia (elderly) yaitu usia 60-74 tahun, (3) lansia tua (old) yaitu usia 75-90 tahun dan (4) usia sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Fatmah, 2010). Depkes (2006, dalam Fatmah, 2010) memberi batasan lansia menjadi tiga yaitu: (1) Virilitas (prasenium) yaitu usia 55-59 tahun, (2) usia lanjut dini (senescen) yaitu usia 60-64 tahun dan (3) lansia yang beresiko tinggi untuk menderita panyakit degeneratif yaitu usia diatas usia 65 tahun.

2. Perubahan pada Lansia yang Mempengaruhi Status Nutrisi

Proses menua pada lansia mengakibatkan banyak perubahan, antara lain perubahan struktur dan fungsi tubuh, kemampuan kognitif dan kesehatan mental. Salah satu diantaranya adalah perubahan anatomis dan fisiologis pada saluran pencernaan yang akan berdampak terhadap kemampuan kerja sistem pencernaan dan akan mempengaruhi status nutrisi lansia (Oktariyani, 2012).

Seiring bertambahnya usia, secara alami fungsi fisiologis tubuh lansia akan menurun termasuk fungsi yang berkaitan dengan sistem pencernaan. Sistem pencernaan tidak hanya melibatkan saluran pencernaan dari mulut hingga rectum, namun ada beberapa organ penting yang dapat membantu sistem pencernaan.


(21)

Perubahan pada saluran pencernaan dimulai dari mulut hingga rectum sedangkan organ lain berupa hati dan pankreas.

Rongga mulut berfungsi sebagai tempat untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih kecil yaitu bolus. Untuk dapat berfungsi dengan optimal, rongga mulut harus dalam kondisi yang optimal pula. Akibat penuaan, rongga mulut akan mengalami perubahan struktur. Perubahan itu biasanya meliputi gigi, gusi dan ludah. Arisman (2010) menyatakan perubahan yang dapat terjadi pada rongga mulut antara lain penurunan sekresi saliva hingga 75%. Hal ini akan membuat mukosa pada rongga mulut akan mongering sehingga mungkin akan terjadi penurunan cita rasa pada makanan yang dikonsumsi (Arisman, 2010). Selain penurunan sekresi saliva, kehilangan indra pengecapan, penurunan ketajaman pengecapan, dan kerusakan indra penciuman dapat terjadi pada lansia (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Akibat yang mungkin ditumbulkan dari kondisi tersebut adalah kurangnya ketertarikan lansia pada makanan atau anoreksia (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Selain itu, Adriani & Wirjatmadi (2012) menyatakan penyakit periodental yang terjadi pada 80% lansia dan kehilangan gigi mengakibatkan kesulitan makan dan terbatasnya pilihan menu makanan.

Esophagus berfungsi mendorong makanan yang masuk ke rongga mulut untuk kemudian diproses oleh lambung. Proses pendorongan makanan dari rongga mulut ke lambung memerlukan gerakan yang disebut peristaltik. Seiring bertambahnya usia, esophagus dapat mengalami pengerasan. Pengerasan yang umumnya terjadi pada sfingter bagian bawah mengakibatkan esogafus akan sukar berkontraksi (Arisman, 2010). Kondisi ini lama kelamaan akan menyebabkan


(22)

esofagus melebar (presby esophagus) sehingga berdampak pada pengosongan lambung yang menjadi lebih lambat dan tidak jarang berlanjut sebagai hernia hiatal (Arisman,2010 ).

Setelah berhasil melewati esofagus, bolus akan masuk ke lambung untuk kemudian diproses sehingga bolus yang masuk ke saluran cerna berikutnya dapat diserap dengan baik. Lambung umumnya berfungsi sebagai pensekresi, sebab banyak enzim yang akan dikeluarkan ketika bolus masuk ke lambung. Seiring bertambahnya usia, lambung bagian atas akan menipis (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Penipisan ini akan mempengaruhi sekresi asam klorida (HCL), pepsin dan empedu yang berdampak pada penyerapan kandungan kalsium, zat besi, seng, protein, lemak dan vitamin yang larut lemak (Adriani & Wirjatmadi, 2012).

Setelah mengalami proses sekresi di lambung, bolus akan memasuki usus. Usus berfungsi sebagai penyerap nutrisi yang terkandung di bolus. Atrofi mukosa usus halus akan menurunkan jumlah vili dan luas permukaannya (Fatmah, 2010). Akibatnya absorpsi terhadap nutrisi menurun dan akan menimbulkan masalah nutrisi pada lansia. Selain usus halus, usus besar pun akan mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan kelokan-kelokan pembuluh darah yang dapat menyebabkan berkurangnya motilitas usus (Fatmah, 2010). Motilitas usus berfungsi mendorong sisa makanan kedalam rectum. Namun, akibat dari penurunan motilitas usus, penyerapan air dan elektrolit lain akan meningkat sehingga akan menyebabkan feses menjadi lebih keras dan resiko untuk konstipasi juga akan meningkat (Fatmah, 2010). Selain kelemahan peristaltik kolon untuk mengosongkan rektum, kelemahan pada dinding abdomen juga akan


(23)

meningkatkan resiko konstipasi sebab proses defekasi dibantu oleh kontraksi dinding abdomen (Fatmah, 2010).

Pankreas merupakan organ yang berfungsi untuk mensekresi beberapa enzim. Enzim- enzim yang dihasilkan berfungsi untuk proses pencernaan. Penuaan berdampak pada penurunan enzim amilase, tripsin, dan lipase yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Fatmah, 2010). Akibatnya sering terjadi gangguan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh sebab karbohidrat, protein dan lemak merupakan penghasil kalori.

Hati, selain berperan dalam proses metebolisme karbohidrat, protein, dan lemak juga berperan besar dalam proses detoksifikai, sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi bilirubin dan sebagainya (Fatmah, 2010). Seiring pertambahan usia, secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat atrofi pada sebagian besar selnya yang membuat sel tersebut menjadi jaringan fibrosa. Hal ini akan menyebabkan perubahan fungsi hati dalam berbagai aspek terutama dalam metabolisme obat-obatan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Nutrisi pada Lansia

Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi seseorang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebab ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi lansia. Kebutuhan nutrisi lansia dipengaruhi oleh banyak faktor. Fatmah (2010) menyatakan ada empat faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi pada lansia, yaitu usia, jenis kelamin, lingkungan dan aktivitas tubuh.


(24)

Faktor pertama adalah usia. Pertambahan usia menyebabkan kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral meningkat karena ketiganya berfungsi sebagai anioksidan untuk melindungi tubuh dari radikal bebas. Jenis kelamin sebagai faktor kedua juga penting untuk diperhatikan sebab perbedaan tingkat aktivitas fisik menyebabkan kebutuhan kalori lansia pria lebih banyak daripada lansia wanita. Faktor lingkungan juga penting diperhatikan sebab perubahan lingkungan sosial seperti perubahan kondisi ekonomi karena pensiun dan kehilangan pasangan hidup dapat membuat lansia merasa terisolasi dari kehidupan sosial dan mengalami depresi. Akibatnya, banyak lansia kehilangan nafsu makan yang berdampak pada penurunan status nutrisi lansia. Faktor selanjutnya adalah aktivitas fisik. Pertambahan usia membuat seseorang untuk membatasi aktvitas fisik karena penurunan kemampuan kemampuan fisik terjadi secara alamiah. Lansia yang aktivitas fisiknya menurun, asupan energinya harus dikurangi untuk mencapai keseimbangan energi dan mencegah terjadinya obesitas, karena salah satu faktor yang menentukan berat badan adalah keseimbangan antara masukan energi dengan keluaran energi.

4. Kebutuhan Zat Gizi Lansia

4.1 Kalori

Perbedaan aktivitas fisik antara lansia dengan dewasa muda, dan penurunan laju metabolik mengakibatkan kebutuhan energi pada lansia lebih rendah (Barasi, 2009). Berbagai hasil penelitan menunjukkan kecepatan metabolisme


(25)

pada orang-orang berusia lanjut mengalami penurunan sekitar 15-20% (Fatmah, 2010).

Penurunan kebutuhan kalori pada lansia adalah sekitar 5% pada usia 40-49 dan 10% pada usia 50-59 dan 60-69. Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lansia pria (>60 tahun ) ialah 2200 kalori sedangkan pada lansia wanita ialah 1850 kalori (Fatmah, 2010)

4.2 Karbohidrat dan Serat

Untuk menjalankan fungsinya seperti bernapas, berkontraksi untuk jantung dan otot, serta menjalankan berbagai aktivitas seperti olahraga dan bekerja, tubuh memerlukan energi. Energi dihasilkan dari proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber utama penghasil energi. Setiap konsumsi 1 gram karbohidrat akan menghasilkan energi sebesar 4 kkal (Fatmah, 2010).

Miller (2004, dalam Oktariyani, 2012) menyatakan bahwa serat merupakan komponen penting dalam makanan yang memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Fungsi serat antara lain adalah mencegah penyakit jantung koroner, kanker kolon, diabetes melitus, penyakit divertikular dan menghindari kegemukan (Fatmah, 2010).

4.3 Protein

Protein merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh untuk membangun dan memelihara sel. Setiap konsumsi 1 gram protein mengsilkan 4 kkal. Seiring bertambahnya usia, kemampuan sel lansia untuk mencerna protein jauh lebih


(26)

menurun dari orang dewasa muda. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi sel yang tidak dapat dihindari.

Pakar gizi menyarankan kebutuhan akan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut. Oleh sebab itu kebutuhan protein lansia dipenuhi dari yang yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan, dan protein hewani lainnya (Fatmah, 2010).

4.4 Lemak

Lemak adalah penyumbang energi terbesardi bandingkan energi lain seperti karbohidrat dan protein, sebab lemak menghasilkan 9 kkal setiap konsumsi 1 gramnya. Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E, K. Lemak di kategorikan menjadi dua, yaitu lemah jenuh dan tidak jenuh.

Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan akan meningkatkan kadaar kolesterol dan trigliserida dalam darah yang berbahaya bagi kesehatan.Sedangkan konsumsi lemak tak jenuh contohnya minyak kedelai, minyak zaitun dan minyak ikan yang mengandung omega 3 dapat menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida dan dapat mencegah pembekuan darah oleh trombosit yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah (Fatmah, 2010)

4.5 Cairan

Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air atau cairan. Oleh sebab itu cairan sangat dibutuhkan tubuh (Fatmah, 2010). Asupan air pada lansia harus diperhatikan karena omoreseptor kurang sensitif, sehingga seringkali mereka mereka tidak merasa haus (Fatmah, 2010).


(27)

Konsumsi 1500-2000ml (6-8 gelas) per hari diperlukan untuk menjaga hidrasi (Miller, 2004 dalam Fatmah 2010 ). Kositzke (1990) menyatakan bahwa lansia membutuhkan cairan sekitar 1.500 ml/hari dalam kondisi yang normal (Watson 2003).

5. Malnutrisi pada Lansia

Setiati & Dinda (2009) menyatakan malnutrisi merupakan keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein energi dan nutrien lain yang dapat mengganggu fungsi tubuh. Malnutrisi pada lansia dapat berupa obesitas, malnutrisi energi protein dan defisiensi vitamin dan mineral (Setiati & Dinda, 2009). Watson (2003) menyatakan malnutrisi energi/protein merupakan kondisi yang paling banyak dialami lansia.

Malnutrisi Energi Protein (MEP) adalah kondisi dimana energi dan atau protein yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan metabolisme. MEP bisa terjadi karena buruknya asupan protein atau kalori, meningkatnya kebutuhan metabolik bila terdapat penyakit atau trauma, atau bahkan meningkatnya kehilangan zat gizi Sari (2009).

5.1 Penyebab malnutrisi energi protein

Darmojo (2000) menyatakan kekurangan nutrisi pada lansia disebabkan oleh sebab-sebab yang bersifat primer dan sekunder. Penyebab yang bersifat primer antara lain: ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indera, gangguan mental, kemiskinan dan iatrogenik. Sedangkan penyebab yang bersifat sekunder adalah:


(28)

gangguan nafsu makan/selera makan, gangguan mengunyah, malabsorbsi, obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme.

Ketidaktahuan dapat dibawa sejak masa kanak-kanak atau karena terbatasnya tingkat pendidikan. Isolasi sosial yang terjadi pada lansia yang hidup sendiri menyebabkan lansia kehilangan gairah hidup dan tidak ada keinginan untuk masak. Gangguan fisik seperti hemiparesis/hemiplagia, artritis dan gangguan penglihatan menyebabkan keterbatasan lansia untuk menyaipkan makanan. Ganggaun mental seperti demensia dan depresi menyebabkan lansia lupa apakah sudah makan atau belum dan menurunkan minatnya untuk makan sedangkan kondisi iatrogenik merupakan kondisi yang dapat terjadi pada lansia yang mendapat diet lambung untuk jangka lama, sehingga terjadi kekurangan vitamin C (Darmojo, 2000).

Gangguan selera makan, gangguan mengunyah dan malabsorbsi terjadi karena penurunan fungsi alat-alat pencernaan dan panca indera, penyakit berat tertentu; paska operasi, iskemik dinding perut dan sensitifitas yang meningkat terhadap bahan makanan tertentu seperti “lombok”, santan, lemak dan tepung bergluten seperti ketan. Padahal kebutuhan akan nutrisi meningkat pada lansia yang mengalami keseimbangan nitrogen negatif dan katabolisme protein akibat tirah baring untuk jangka waktu yang lama dan hipertermia (Darmojo, 2000).

Rianto (2004) dalam penelitiannya melaporkan bahwa dari 74 lansia di masing-masing tempat yaitu Panti Werdha Pucang Gading dan RW III Kelurahan Barusari Kecamatan Semarang Selatan angka kejadian malnutrisi di panti sebesar 43,2% sedangkan di non panti sebesar 1.4%, dan angka kejadian resiko


(29)

malnutrisi di panti sebesar 48,6% sedangkan di non panti sebesar 9,5%. Malnutrisi yang terjadi pada lansia disebabkan oleh intake kalori dan protein yang kurang dari kebutuhan tubuh.

5.2 Dampak Malnutrisi

Ketidakadekuatan diet yang mengandung protein, karbohidrat dan lemak menyebabkan hati dan otot memecahkan protein menjadi glukosa untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh dan hal ini akan terus berlangsung jika kebutuhan akan protein, karbohidrat dan lemak tidak tercukupi (Watson, 2003). Kondisi ini akan memicu terjadinya pemecahan protein yang terus menerus di jaringan dan berimplikasi pada nilai indeks massa tubuh (IMT) lansia. Watson (2003) menyatakan lansia yang mengalami malnutrisi beresiko tinggi untuk jatuh atau terbatas dalam mobilisasi sehingga membuat lansia rentan untuk cedera atau mengalami luka tekan.

6. Status Nutrisi

Rospond (2008) menyatakan nutrisi adalah jumlah keseluruhan proses yang terlibat dengan asupan dan penggunaan bahan-bahan makanan. Status nutrisi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi/nutrisi (Supariasa, 2002).

5.1Pengukuran Status Nutrisi Lansia

Depkes (2003 dalam Oktariyani, 2012) menyatakan untuk hasil yang akurat pengukuran status nutrisi lansia sebaiknya menggunakan lebih dari satu


(30)

parameter. Akronim ABCD dapat digunakan sebagai parameter untuk pengkajian nutrisi pada semua rentang usia termasuk lansia.

5.1.1 Antropometri

Antropomteri adalah serangkaian teknik pengukuran dimensi kerangka tubuh manusia secara kuantitatif. Seiring bertambahnya usia, lansia akan mengalami perubahan komposisi tubuh yang akan mempengaruhi pengukuran antropometri yaitu meliputi berat badan, tinggi badan, massa otot, lemak tubuh, kandungan cairan tubuh dan massa tulang (Fatmah, 2010).

Berbagai cara pengukuran antropometri dapat digunakan untuk menentukan status nutrisi, namun cara yang paling sederhana dan banyak digunakan adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan kuadrat dalam meter.

IMT= berat badan (kg) tinggi badan (m)²

Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Lansia Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (Depkes RI, 2005)

IMT Status Gizi

<18,5 kg/m² Gizi kurang

18,5-25 kg/m² Gizi normal

>25 kg/m² Gizi lebih

Sumber: Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut. Jakarta: EGC

Pengukuran tinggi badan lansia sangat sulit dilakukan mengingat adanya perubahan komposisi tubuh seperti perubahan tinggi badan dan masalah postur tubuh seperti kifosos atau skoliosis sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak. Hal ini akan mengurangi keakuratan nilai IMT. Oleh karena itu, pengukuran tinggi badan dapat diprediksi dengan mengkonversi tinggi lutut.


(31)

Ting prediktor bertamban tungkai, t Tinggi lut mengestim berdiri (Fa Ting pisau men yang terbu ditempatk dilakukan membentu proksimal ketelitian (a) Ga

ggi lutut d tinggi bad nhya usia ti tetapi sanga tut erat kaita masi tinggi

atmah, 2010 ggi lutut diu nempel pada

uat dari ka kan dalam

pada kaki uk sudut 90 dari tulang 0,1 cm (Fat

)

ambar 2. 1 P

direkomend an pada se dak berpen at berpenga annya deng badan pada 0). ukur denga a sudut 90º. ayu. Cara m

posisi du kiri subjek 0º. Alat uku g patela. Pe tmah, 2010) Pengukuran P dasikan ole eseorang ya ngaruh terha aruh terhad gan tinggi ba a subjek den

an kaliper b Alat yang mengukur ti uduk atau k antara tul

urnya ditem embacaan s ). (b) tinggi lutut Posisi berbar eh WHO ang berusia adap tulang dap tulang adan, sehin ngan gangg berisi mista digunakan inggi lutut berbaring lang tibia d mpatkan dia skala dilaku

t lansia deng ring (b).

untuk dig a ± 60 tahu

panjang se belakang ( gga sering d guan spinal ar pengukur adalah alat adalah subj , selanjutn dengan tula antara tumi ukan pada a

gan posisi d

gunakan se un sebab p eperti lengan

(Fatmah, 2 digunakan u

atau tidak

ran dengan ukur tinggi bjek yang d nya penguk ang paha de

it sampai b alat ukur de

duduk (a). ebagai proses n dan 2010). untuk dapat mata i lutut diukur kuran engan bagian engan


(32)

Menurut Fatmah (2010) ada beberapa model prediksi tinggi lutut salah satu diantaranya adalah model yang dikembangkan oleh Fatmah (2008) yang merumuskan sebagai berikut:

5.1.2 Pemeriksaan Biokimia

Pemeriksaan biokimia mencerminkan secara baik kadar nutrisi dalam jaringan maupun semua kelainan metabolisme penggunaan nutrisi. Pemeriksaan ini biasanya dilihat dari pemeriksaan kadar darah yakni protein serum, albumin serum dan globulin, transferin hemoglobin, vitamin A serum, karoten serta vitamin C dan pemeriksaan urin yakni kreatinin, tiamin, ribovlavin, niasin dan yodium (Brunner & Suddarth, 2002).

Protein yang kaya akan protein disebut juga dengan hemoglobin. Hemoglobin ini memiliki afinitas atau daya gabung terhadap oksigen dan oksigen tersebut membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein pada malnutrisi berat (Syahrul, 2013)

Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam mengkaji status protein visceral. Serum transferin ini dihitung dengan menggunakan kapasitas total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Blackburn dalam Arisman, 2004).

Transferin serum = ( 8 x TIBC ) – 43

Indikator yang tak kalah pentingnya dalam menilai status nutrisi dan sintesa protein adalah nilai dari serum albumin. Kadar albumin rendah sering terjadi pada

TB pria = 56, 343 + 2,102 tinggi lutut TB wanita = 62,682 + 1,889 tinggi lutut


(33)

keadaan infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi kerja dari hepar, ginjal, dan saluran pencernaan. Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal, tubuh memperoleh nitrogen melalui makanan dan kemudian dikeluarkan melalui urin.

Seseorang beresiko mengalami malnutrisi protein terjadi jika nilai keseimbangan nitrogen yang negatif terjadi secara terus menerus. Dikatakan keseimbangan nitrogen dalam tubuh negatif jika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari (Nurachmah, 2001 dalam Syahrul, 2013).

5.1.3 Pemeriksaan Klinis

Pada pemeriksaan ini terdapat dua jenis kategori untuk mengetahui status gizi pada lansia, diantaranya adalah :

a. Pemeriksaan fisik

Berbagai kelaianan akibat kurang gizi dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain kehilangan lemak subkutan, ulkus dekubitus karena kekurangan protein dan energi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka yang lambat karena defisiensi seng dan vitamin C.

Manifestasi klinis lain yang sering dijumpai pada lansia adalah gangguan keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi. Dehidrasi pada lansia dapat berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume urin, penurunan tekanan darah, mual, muntah, dan gagal ginjal akut (Darmojo, 2010 dalam Syahrul, 2013).


(34)

b. Pemeriksaan Fungsional

Gangguan fungsi pada kemampuan untuk menyiapkan makanan dan makan secara mandiri dapat menganggu asupan makan seorang lansia. Seorang lansia yang dapat bergerak bebas di dalam rumah akan banyak menyiapkan makanan sesuai dengan yang diinginkannya sedangkan lansia yang menderita stroke, misalnya, tidak dapat bergerak bebas untuk menyiapkan makanan sesuai seleranya sehingga hanya bergantung kepada orang lain untuk makan. Fungsi kognitif dan psikologis juga menentukan status gizi lansia. Sebagian besar kehilangan berat badan pada lansia disebabkan karena depresi (Darmojo, 2010 dalam Syahrul, 2013).

5.1.4 Penilaian Dietetik

Keseimbangan antara kebutuhan dan laju metabolisme membuat kecukupan asupan makanan harus memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan dan juga frekuensi nya. Biro et al. (2002) dalam Fatmah (2010) mendefinisikan penilaian dieteik merupakan suatu penilaian yang menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi makanan.

Setiati & Dinda (2009) menyatakan ada 4 cara untuk mendapatkan informasi tentang asupan makanan:

a. Food record

Dalam waktu 7 hari klien diminta untuk mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi. Cara ini merupakan cara yang paling akurat dan praktis untuk mengumpulkan data namun, pasien harus kooperatif.


(35)

b. Food frequency questionnaire

Merupakan cara untuk mendapatkan/menilai perilaku makan klien selama satu bulan terakhir dengan menanyakan frekuensi, jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi dalam 1 minggu terakhir dengan bantuan food model sebagai panduan klien untuk membantu ingatannya.

Selanjutnya, data yang diperoleh dalam ukuran rumah tangga (URT), dikonversikan dalam ukuran gram menggunakan daftar bahan makanan penukar

dan dianalisis dengan program nutrisurvey 2005. Dibandingkan dengan

sebelumnya, cara ini kurang akurat dan lebih rumit.

c. 24-hour recall

Merupakan cara mendapatkan data dengan mengingat semua makanan yang dikonsumsi dalam 24 jam. Cara ini kurang akurat jika diterapkan pada lansia sebab biasanya lansia mangalami keterbatasan daya ingat, dipengaruhi oleh variasi makanan dari hari ke hari dan tergantung pada keterampilan penanya. d. Riwayat diet

Untuk mendapatkan data dari riwayat diet, diperlukan keterampilan khusus oleh dietisien. Untuk klien yang dirawat di rumah sakit pengkajian asupan makanan tidak hanya ditanyakan sebelum paien dirawat, tetapi juga selama klien dalam perawatan ( Setiati & Dinda, 2009)

5.2 Penilaian Status Nutrisi

The Mini Nutritional Assessment (MNA) merupakan sebuah alat pengkajian nutrisi yang khusus di desain dan divalidasi untuk mengidentifikasi PCM (Protein calorie malnutrition) pada lansia yang berusia diatas 65 tahun (Skates & Anthony,


(36)

2012). MNA telah dikembangkan sejak tahun 1990-an, dan seiring berjalannya waktu berkembang menjadi tiga tahap, yaitu (1) versi original MNA (didesain sebagai full MNA atau versi 1) yang berisi 18 pertanyaan di tahun 1990-an, (2)

MNA tahap kedua yang diinkorporasi sebuah formulir pengkajian pendek (yang disebut MNA-SF atau versi kedua) yang terdiri dari 18 pertanyaan pada full MNA

pada tahun 2001 dan (3) Tahun 2009 MNA-SF atau versi kedua direvisi menjadi

newest MNA-SF atau versi ketiga. The newest MNA-SF merupakan formulir penilaian yang berdiri sendiri dengan enam pertanyaan pada MNA-SF ditambah sebuah pilihan jika berat badan tidak tersedia.

Full MNA terdiri dari 18 pertanyaan yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh ahli dan partisipasi dari lansia di Amerika Serikat dan Eropa yang bekerjasama dengan Nestle Research Center untuk menyediakan alat yang sederhana dan reliabel untuk mengkaji status nutrisi lansia 65 tahun keatas (Guigoz, Vellas & Garry, 1994 dalam Skates & Anthony, 2012). Full MNA

menggunakan 30 pertanyaan yang dapat mengklasifikasikan klien menjadi status gizi normal, beresiko malnutrisi dan malnutrisi. Full MNA sudah divalidasi di rumah sakit, komunitas dan perawatan dengan jangka panjang. Full MNA menjadi penting dalam pengkajian lansia secara komprehensif sebab ada komponen Mini Mental State Examination (MMSE) untuk mengidentifikasi Skala Depresi Lansia dan Katz Basic Activities Daily Living Scale (Vellas et all, 1999 dalam Skates & Anthony, 2012).

MNA-SF atau versi kedua dikembangkan untuk menghemat waktu dalam proses skrining nutrisi. Rubenstein et.al (2001) membagi menjadi sebuah format


(37)

pendek dari full MNA yang terdiri dari 6 pertanyaan dari full MNA dengan korelasi terkuat dari skor full MNA. MNA-SF disebut juga MNA 2 langkah. MNA-SF

membagi klien menjadi status gizi normal atau beresiko malnutrisi dan mengeliminasi klien dengan status nutrisi normal untuk melengkapi full MNA.

Jika skor di MNA-SF mengindikasikan beresiko malnutrisi, maka 12 pertanyaan

pada full MNA harus dilengkapi untuk mengidentifikasi apakah termasuk

malnutrisi. (Skates & Anthony, 2012).

Selanjutnya, sebuah study mengembangkan tiga poin penting untuk mengetahui status nutrisi yang disebut dengan newest MNA-SF yang digunakan untuk mengidentifikasi klien dengan malnutrisi versus resiko malnutrisi versus status nutrisi normal tanpa perlu mengisi lengkap full MNA (Kaisar et al., 2009 dalam Skates & Anthony, 2012). Alat ini mampu mengidentifikasi status nutrisi lansia kurang dari 5 menit. Format baru ini terdiri dari sebuah pilihan untuk mensubstitusi lingkar betis ketika IMT tidak tersedia pada pasien yang tidak bisa ditimbang berat badannya.

Kemudahan penggunaan dan validasi sebagai alat yang berdiri sendiri, saat ini newest MNA-SF diharapkan mampu digunakan secara luas untuk menilai status nutrisi. Newest MNA-SF dilengkapi oleh saran intervensi setelah status nutrisi lansia didapatkan. Intervensi ini diharapkan mampu membantu lansia untuk mempertahankan atau meningkatkan status nutrisinya (Nestle Nutrition Institute, 2009).


(38)

Intervensi yang disarankan adalah:

a. Apabila status nutrisi yang didapat normal, yaitu skor 12-14 maka intervensi yang dapat disarankan adalah jika ada penyakit akut, lansia yang di komunitas perlu melakukan skrining ulang sedangkan untuk yang tinggal di panti. Skrining ulang dilakukan per tiga bulan.

b. Apabila status nutrisi yang didapat beresiko malnutrisi, yaitu skor 8-11 maka intervensi dipertimbangkan berdasarkan kehilangan berat badan. Intervensi yang disarankan yaitu:

b.1 tidak ada kehilangan berat badan

Jika tidak ada kehilangan berat badan maka intervesnsi yang dapat dilakukan adalah memantau berat badan secara intensif dan skrining ulang stiap tiga bulan.

b.2 kehilangan berat badan

Jika ada kehilangan berat badan maka intervensi berupa tindakan yang dapat dilakukan adalah (1) dukungan nutrisi, yaitu peningkatan diet dan pemberian suplemen oral (400 kkal/day), (2) monitoring berat badan secara intensif dan (3) pengkajian nutrisi lebih lanjut.

c. Apabila status nutrisi yang didapatkan malnutrisi, yaitu 0-7 maka intervensi yang dilakukan berupa tindakan. Tindakan yang daat dilakukan yaitu (1) dukungan nutrisi, yaitu peningkatan diet dan pemberian suplemen oral (400-600 kkal/hari), (2) monitoring berat badan secara intensif dan (3) pengkajian nutrisi lebih lanjut.


(39)

Formulir MNA terdiri dari 7 pertanyaan tetapi 1 merupakan pertanyaan pengganti jika BMI tidak dapat diukur. Total skor dalam formulir Mini Nutritional Assessment (MNA) adalah 14 dan skor ini dapat dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu: jika skor 0-7 maka lansia dikategorikan malnutrisi, jika skor 8-11 maka lansia dikategorikan beresiko malnutrisi dan jika skor 12-14 maka lansia dikategorikan nutrisi baik.

Pertanyaan pertama adalah apakah lansia mengalami penurunan asupan makanan selama tiga bulan terakhir dikarenakan kehilangan selera makan, masalah pencernaan, kesulitan mengunyah atau menelan? Jika lansia menjawab iya mengalami penurunan asupan makanan berat/parah maka skornya 0, jika lansia menjawab iya mengalami penurunan asupan yang sedang maka skornya 1 dan jika lansia menjawab tidak mengalami penurunan asupan maka skornya 2.

Pertanyaan kedua adalah apakah lansia kehilangan berat badan selama 3 bulan terakhir? Jika lansia menjawab kehilangan berat badan lebih dari 3 kilogram maka skornya 0, jika lansia menjawab tidak tahu maka skornya 1, jika kehilangan berat badan antara 1-3 kilogram maka skornya 2 dan jika lansia menjawab tidak kehilangan berat badan maka skornya 3.

Pertanyaan ketiga menanyakan pergerakan atau aktivitas lansia. Bagaimana pergerakan atau aktivitas anda sehari-hari? Jika lansia menjawab hanya ditempat tidur atau kursi roda mka skornya 0, jika lansia menjawab hanya mampu turun dari tempat tidur atau kursi roda namun tidak bisa jalan-jalan keluar maka skornya 1 dan jika lansia menjawab dapat jalan-jalan/beraktivitas di luar rumah maka skornya 2.


(40)

Pertanyaan keempat adalah apakah lansia mengalami stress psikologis atau penyakit akut selama 3 bulan terakhir? Jika lansia menjawab ya maka skornya 0 dan jika lansia menjawab tidak maka skornya 1.

Pertanyaan kelima adalah apakah anda mengalami masalah neuropsikologis? Jika lansia mengalami masalah neuropsikologis seperti demensia dan depresi berat maka skornya 0, jika lansia mengalami demensia ringan maka skornya 1 dan jika lansia tidak mengalami masalah neuropsikologi maka skornya 2.

Selanjutnya adalah pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Jika IMT kurang dari 19 maka skornya 0, jika IMT 19 sampai kurang dari 21 maka skornya 1, jika IMT 21 sampai kurang dari 23 maka skornya 2 dan jika IMT 23 atau lebih maka skornya 3.

Jika IMT tidak didapatkan, maka pengukuran IMT dapat diganti dengan mengukur lingkar betis. Jika lingkar betis kurang dari 31 maka skornya 0 dan jika lingkar betis 33 atau lebih maka skornya 3 ( Skates & Anthony, 2012 ).


(41)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dalam penelitian ini menjelaskan status nutrisi lansia. Penilaian status nutrisi lansia dilakukan dengan memodifikasi Mini Nutritional Assessment (MNA). Penilaian status nutrisi dilakukan dengan dikategorikan menjadi 2 bagian, yaitu nutrisi normal dan malnutrisi.

Dibawah ini adalah kerangka konsep yang digambarkan dalam bentuk skema.

Skema 3.1 Kerangka Konseptual Status Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang Medan

2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Status Nutrisi Status nutrisi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi/nutrisi pada lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

Modifikasi formulir MNA

yangdiisi dengan membacakan 4 pertanyaan dan mengukur IMT atau lingkar betis responden jika responden immobilisasi.

1. skor 0-2 = malnutrisi 2. skor 3-5 = normal

Ordinal Status Nutrisi 


(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN 1. Desain penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan desain deskriptif. Berdasarkan dimensi waktu penelitian ini bersifat

cross sectional sebab penelitian ini hanya melakukan satu kali pengukuran tanpa memperhatikan mana yang duluan terjadi antara faktor resiko dan kondisi yang sekarang terjadi (Ghazali, et.al, 2011).

2. Populasi dan Sampel

2.1 Populasi

Populasi adalah sejumlah besar subyek yang mempunyai karakteristik tertentu (Sastroasmoro, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang berusia ≥ 65 tahun. Dari hasil wawancara dengan bagian Kasi Pemerintahan Kecamatan Medan Selayang di dapatkan bahwa jumlah lansia di Kelurahan Sempakata sampai dengan Februari 2014 sebanyak 565 orang.

2.2Sampel

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu sehingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2011). Arikunto (2002) menyatakan bila populasi kurang dari 100 orang sebaiknya seluruh populasi dijadikan sampel, namun apabila subjeknya besar maka dapat di ambil 10 %, 15% atau 20% - 25% dari populasi sesuai dengan kemampuan peneliti. Berdasarkan pendapat Arikunto tersebut peneliti mengambil 10% dari


(43)

565 sebagai sampel penelitian. Oleh karena itu jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 57 orang.

1.3 Teknik sampling

Setelah menentukan sampel langkah selanjutnya yang harus dikerjakan adalah menentukan teknik pengambilan sampel agar sampel yang dipilih dapat mewakili populasi (representatif). Teknik pengambilan sampel yang dipilih adalah

consecutive sampling. Pengambilan sampel sampel dilakukan dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi (Sugiyono, 2001 dalam Hidayat, 2007). Kriteria sampel penelitian ini adalah lanisa yang dapat berkomunikasi serta berbahasa Indonesia, kooperatif dan bersedia menjadi responden.

3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang Medan. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut adalah karena di Kecamatan Medan Selayang terdapat posyandu lansia sehingga mungkin saja akan mempengaruhi status nutrisi lansia serta di lokasi tersebut belum pernah dilakukan penelitian mengenai status nutrisi lansia.

Penelitian ini dilakukan mulai September 2013 hingga Juni 2014 yang diawali dengan penyusunan proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan laporan penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan pada 24 Maret samapai dengan 11 Mei 2014.


(44)

4. Pertimbangan etik

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengurus surat permohonan izin penelitian terlebih dahulu kepada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU yang ditujukan kepada Lurah Sempakata melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kota Medan dan Camat Medan Selayang. Penelitian ini juga sudah melewati proses pemeriksaan oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Setelah mendapatkan izin penelitian dari Lurah Sempakata peneliti melanjutkan dengan proses pengambilan data. Pertama peneliti memperkenalkan diri kemudian memberi penjelasan kepada responden penelitian tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila responden bersedia maka responden dipersilahkan menandatangani informed consent. Peneliti juga menjelaskan bahwa responden yang diteliti bersifat sukarela dan tidak ada paksaan. Jika responden tidak bersedia, maka responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama proses pengumpulan data berlangsung.

Penelitian ini tidak menimbulkan resiko fisik dan psikologis bagi individu yang menjadi responden sebab peneliti akan memperhatikan kondisi responden sehingga responden merasa tetap nyaman tanpa merasa sakit ketika dilakukan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) berupa pengukuran tinggi lutut, penimbangan berat badan ataupun pengukuran lingkar betis. Peneliti juga merahasiakan data responden dengan tidak menuliskan nama responden (anonimity) pada instrumen tetapi hanya nomor kode yang digunakan untuk


(45)

menjaga semua kerahasiaan informasi yang diberikan. Data-data yang diperoleh dari responden juga hanya digunakan untuk penelitian.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner. Instrumen penelitian yang pertama berisi data demografi responden yang meliputi: suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, tempat tinggal, perokok atau tidak, kondisi rongga mulut, riwayat penyakit dan mengikuti posyandu lansia.

Insrumen kedua berisi kuesioner untuk menilai status nutrisi lansia dengan

mengadopsi formulir Mini Nutritional Assessment (MNA) yang sudah di

terjemahkan oleh sebuah lembaga bahasa yaitu BBC sebagai pertimbangan aspek legal dalam penelitian yaitu jika instrumen yang didapat merupakan bahasa asing, maka instrumen tersebut harus diterjemahkan oleh ahli bahasa atau lembaga bahasa.

Instrumen kedua merupakan modifikasi Mini Nutritional Assessment

(MNA) yang terdiri dari 7 pertanyaan namun satu pertanyaan adalah pertanyaan pengganti yang dapat dipakai jika IMT tidak tersedia contohnya pada responden yang immobilisasi yang tidak bisa diukur berat badannya dengan timbangan berat badan. Total skor dalam formulir Mini Nutritional Assessment (MNA) adalah 14 poin. Penilaian status nutrisi dengan MNA dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu: skor 0-7 dikategorikan malnutrisi, skor 8-11 dikategorikan beresiko malnutrisi dan skor 12-14 dikategorikan nutrisi baik.


(46)

Modifikasi yang dilakukan peneliti pada formulir Mini Nutritional Assessment adalah menghilangkan 1 pertanyaan mengenai status neuropsikologis sebab untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan akurat bisa didapatkan dari rekam medis responden dan penilaian dari ahli atau profesional status neuropsikolgis. Selain itu, peneliti juga memodifikasi 5 skor pertanyaan dengan membuat skor 0 untuk jawaban yang negatif atau mengarah ke malnutrisi dan skor 1 untuk jawaban yang positif atau tidak mengarah ke malnutrisi.

Pertanyaan pertama adalah apakah responden mengalami penurunan asupan makanan selama tiga bulan terakhir dikarenakan kehilangan selera makan, masalah pencernaan, kesulitan mengunyah atau menelan? Jika responden menjawab iya mengalami penurunan asupan makanan berat/parah maka atau iya mengalami penurunan asupan yang sedang maka skornya 0 dan jika responden menjawab tidak mengalami penurunan asupan maka skornya 1.

Pertanyaan kedua adalah apakah responden kehilangan berat badan selama 3 bulan terakhir? Jika responden menjawab kehilangan berat badan lebih dari 3 kilogram, tidak tahu atau kehilangan berat badan antara 1-3 kilogram maka skornya 0 dan jika responden lansia menjawab tidak kehilangan berat badan maka skornya 1.

Pertanyaan ketiga menanyakan mobilitas/pergerakan lansia. Bagaimana mobilitas/pergerakan anda sehari-hari? Jika responden menjawab hanya ditempat tidur atau kursi roda atau menjawab hanya mampu turun dari tempat tidur atau kursi roda namun tidak bisa jalan-jalan keluar maka skornya 0 dan jika responden menjawab dapat jalan-jalan/beraktivitas di luar rumah maka skornya 1.


(47)

Pertanyaan keempat adalah apakah responden mengalami stress psikologis atau penyakit akut selama 3 bulan terakhir? Jika responden menjawab ya maka skornya 0 dan jika tidak maka skornya 1.

Pertanyaan kelima adalah antropometri berupa pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Jika IMT kurang dari 18,5 maka skornya 0. Jika IMT ≥ 18,5, maka skornya 1.

Jika IMT tidak didapatkan, maka pengukuran IMT dapat diganti dengan mengukur lingkar betis. Jika lingkar betis kurang dari 31 maka skornya 0 dan jika lingkar betis 33 atau lebih maka skornya 1 (Skates & Anthony, 2012).

Skor terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan skor tertinggi yang mungkin dicapai adalah 5.

Menurut Wahyuni (2011) berdasarkan rumus statistika:

rentang

p =

banyak kelas

Dengan p adalah panjang kelas dan rentang merupakan selisih nilai tertinggi dengan nilai terendah. Rentang kelas adalah 5 dan banyak kelas adalah 0, maka diperoleh panjang kelas adalah 2,5. Panjang kelas kemudian digenapkan menjadi 3. Oleh karena itu, status nutrisi dikatakan malnutrisi jika skor yang didapat 0-2 dan dikatakan normal jika skor yang didapat 3-5.

Selain kedua instrumen tersebut peneliti juga menggunakan beberapa instrumen untuk mendapatkan data-data dari calon responden yaitu timbangan injak Seca merk Camry untuk mengukur berat badan, pengukur tinggi lutut yang dibuat sendiri oleh peneliti untuk mengukur tinggi lutut. Pengukur tinggi lutut


(48)

yang terbuat dari kayu didesain seperti gambar 2.1 a. Pengukur tinggi lutut terdiri dari tiga bagian penting yaitu lempeng alas tempat telapak kaki, batang sebagai tempat melekatnya angka tinggi lutut (satuan cm) dan lempeng kayu yang dapat digeser keatas atau kebawah untuk mendapatkan tinggi lutut. Selain iu, kalkulator untuk menghitung IMT dan mengkonversi tinggi lutut menjadi tinggi badan dan meteran untuk menghitung lingkar betis jika berat badan tidak didapatkan karena responden yang immobilisasi.

6. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang bersangkutan mampu mengukur apa yang akan diukur (Arikunto, 2009). Uji validitas pada penelitian ini tidak dilakukan oleh peneliti oleh karena instrumen penilaian status nutrisi lansia menggunakan Mini Nutritional Assessment yang sudah valid. Peneliti hanya menterjemahkan instrumen ke lembaga bahasa.

Uji reabilitas instrumen digunakan untuk mengetahui sejauh mana paengukuran tetap konsisten bila dilakukan dua kali atau lebih pengukuran gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama (Arikunto, 2010). Uji reliabilitas dilakukan pada 20 orang lansia yang bukan responden (sampel) peneliti, tetapi termasuk dalam populasi penelitian yang sama. Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan rumus R 20. Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai K-R 20 adalah 0,605 dan hasil ini dianggap reliabel sebab lebih tinggi dari nilai r


(49)

7. Pengumpulan Data

Setelah menyelesaikan proposal dan lulus sidang proposal, peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU untuk pengambilan data. Surat izin penelitian yang diberikan pendidikan ditujukan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan, Camat Medan Selayang dan Lurah Sempakata. Setelah mendapatkan izin penelitian, peneliti melanjutkan ke proses pengambilan data. Sebelum pengambilan data, peneliti terlebih dahulu melakukan uji reliabilitas.

Setelah reliabel, peneliti mendatangi calon responden dengan cara door-to-door. Selanjutnya peneliti menjelaskan kepada calon responden ataupun keluarga tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian. Jika calon responden setuju dan bersedia kemudian calon responden menandatangani lembar persetujuan

penelitian (informed consent). Pengumpulan data dilakukan dengan cara

membacakan pertanyaan data demografi kemudian membacakan pertanyaan dalam formulir penilaian status nutrisi. Setelah semua pertanyaan terjawab, peneliti melanjutkan pengumpulan data dengan melakukan pengukuran tinggi lutut lansia dengan posisi duduk caranya telapak kaki kiri lansia diletakkan diatas permukaan alas pengukur tinggi lutut kemudian tungkai diposisikan sejajar atau menempel dengan batang kayu yang sudah tertera angkanya dalam centimeter (cm). Selanjutnya, menimbang berat badan lansia. Caranya lansia berdiri diatas timbangan tanpa menggunakan alas kaki dan mata menatap lurus kedepan (tidak menunduk). Setelah semua data terisi kemudian data dikumpulkan untuk dianalisa.


(50)

8. Analisis Data

Data yang sudah terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer melalui tahapan editing, coding, entry, cleaning, dan analyzing. Editing

merupakan tahap penyuntingan data yang sudah terkumpul yaitu dengan

memeriksa kelengkapan data. Coding merupakan memberi kode atau angka

tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisis. Entry merupakan proses memindahkan atau memasukkan data dari kuesioner ke dalam komputer untuk diproses. Data dianalisis dengan menggunakan sistem komputerisasi. Cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

Analizyng data menggunakan analisis dengan deskriptif statistic. Analisis digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik responden (jenis kelamin, usia, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, tempat tinggal, perokok atau tidak, kondisi rongga mulut, riwayat penyakit dan mengikuti posyandu lansia) dan penilaian status nutrisi lansia menggunakan MNA. Dari data yang diperoleh akan diolah secara deskriptif dengan penyajian dalam bentuk tabel, distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral/grafik dan persentase.

           


(51)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dalam penelitian ini menjelaskan status nutrisi lansia. Penilaian status nutrisi lansia dilakukan dengan memodifikasi Mini Nutritional Assessment (MNA). Penilaian status nutrisi dilakukan dengan dikategorikan menjadi 2 bagian, yaitu nutrisi normal dan malnutrisi.

Dibawah ini adalah kerangka konsep yang digambarkan dalam bentuk skema.

Skema 3.1 Kerangka Konseptual Status Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang Medan

2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Status Nutrisi Status nutrisi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi/nutrisi pada lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

Modifikasi formulir MNA

yangdiisi dengan membacakan 4 pertanyaan dan mengukur IMT atau lingkar betis responden jika responden immobilisasi.

1. skor 0-2 = malnutrisi 2. skor 3-5 = normal

Ordinal Status Nutrisi 


(52)

BAB 4

METODE PENELITIAN 1. Desain penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan desain deskriptif. Berdasarkan dimensi waktu penelitian ini bersifat

cross sectional sebab penelitian ini hanya melakukan satu kali pengukuran tanpa memperhatikan mana yang duluan terjadi antara faktor resiko dan kondisi yang sekarang terjadi (Ghazali, et.al, 2011).

2. Populasi dan Sampel

2.1 Populasi

Populasi adalah sejumlah besar subyek yang mempunyai karakteristik tertentu (Sastroasmoro, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang berusia ≥ 65 tahun. Dari hasil wawancara dengan bagian Kasi Pemerintahan Kecamatan Medan Selayang di dapatkan bahwa jumlah lansia di Kelurahan Sempakata sampai dengan Februari 2014 sebanyak 565 orang.

2.3Sampel

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu sehingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2011). Arikunto (2002) menyatakan bila populasi kurang dari 100 orang sebaiknya seluruh populasi dijadikan sampel, namun apabila subjeknya besar maka dapat di ambil 10 %, 15% atau 20% - 25% dari populasi sesuai dengan kemampuan peneliti. Berdasarkan pendapat Arikunto tersebut peneliti mengambil 10% dari


(53)

565 sebagai sampel penelitian. Oleh karena itu jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 57 orang.

2.3 Teknik sampling

Setelah menentukan sampel langkah selanjutnya yang harus dikerjakan adalah menentukan teknik pengambilan sampel agar sampel yang dipilih dapat mewakili populasi (representatif). Teknik pengambilan sampel yang dipilih adalah

consecutive sampling. Pengambilan sampel sampel dilakukan dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi (Sugiyono, 2001 dalam Hidayat, 2007). Kriteria sampel penelitian ini adalah lanisa yang dapat berkomunikasi serta berbahasa Indonesia, kooperatif dan bersedia menjadi responden.

3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang Medan. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut adalah karena di Kecamatan Medan Selayang terdapat posyandu lansia sehingga mungkin saja akan mempengaruhi status nutrisi lansia serta di lokasi tersebut belum pernah dilakukan penelitian mengenai status nutrisi lansia.

Penelitian ini dilakukan mulai September 2013 hingga Juni 2014 yang diawali dengan penyusunan proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan laporan penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan pada 24 Maret samapai dengan 11 Mei 2014.


(54)

4. Pertimbangan etik

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengurus surat permohonan izin penelitian terlebih dahulu kepada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU yang ditujukan kepada Lurah Sempakata melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kota Medan dan Camat Medan Selayang. Penelitian ini juga sudah melewati proses pemeriksaan oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Setelah mendapatkan izin penelitian dari Lurah Sempakata peneliti melanjutkan dengan proses pengambilan data. Pertama peneliti memperkenalkan diri kemudian memberi penjelasan kepada responden penelitian tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila responden bersedia maka responden dipersilahkan menandatangani informed consent. Peneliti juga menjelaskan bahwa responden yang diteliti bersifat sukarela dan tidak ada paksaan. Jika responden tidak bersedia, maka responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama proses pengumpulan data berlangsung.

Penelitian ini tidak menimbulkan resiko fisik dan psikologis bagi individu yang menjadi responden sebab peneliti akan memperhatikan kondisi responden sehingga responden merasa tetap nyaman tanpa merasa sakit ketika dilakukan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) berupa pengukuran tinggi lutut, penimbangan berat badan ataupun pengukuran lingkar betis. Peneliti juga merahasiakan data responden dengan tidak menuliskan nama responden (anonimity) pada instrumen tetapi hanya nomor kode yang digunakan untuk


(55)

menjaga semua kerahasiaan informasi yang diberikan. Data-data yang diperoleh dari responden juga hanya digunakan untuk penelitian.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner. Instrumen penelitian yang pertama berisi data demografi responden yang meliputi: suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, tempat tinggal, perokok atau tidak, kondisi rongga mulut, riwayat penyakit dan mengikuti posyandu lansia.

Insrumen kedua berisi kuesioner untuk menilai status nutrisi lansia dengan

mengadopsi formulir Mini Nutritional Assessment (MNA) yang sudah di

terjemahkan oleh sebuah lembaga bahasa yaitu BBC sebagai pertimbangan aspek legal dalam penelitian yaitu jika instrumen yang didapat merupakan bahasa asing, maka instrumen tersebut harus diterjemahkan oleh ahli bahasa atau lembaga bahasa.

Instrumen kedua merupakan modifikasi Mini Nutritional Assessment

(MNA) yang terdiri dari 7 pertanyaan namun satu pertanyaan adalah pertanyaan pengganti yang dapat dipakai jika IMT tidak tersedia contohnya pada responden yang immobilisasi yang tidak bisa diukur berat badannya dengan timbangan berat badan. Total skor dalam formulir Mini Nutritional Assessment (MNA) adalah 14 poin. Penilaian status nutrisi dengan MNA dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu: skor 0-7 dikategorikan malnutrisi, skor 8-11 dikategorikan beresiko malnutrisi dan skor 12-14 dikategorikan nutrisi baik.


(56)

Modifikasi yang dilakukan peneliti pada formulir Mini Nutritional Assessment adalah menghilangkan 1 pertanyaan mengenai status neuropsikologis sebab untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan akurat bisa didapatkan dari rekam medis responden dan penilaian dari ahli atau profesional status neuropsikolgis. Selain itu, peneliti juga memodifikasi 5 skor pertanyaan dengan membuat skor 0 untuk jawaban yang negatif atau mengarah ke malnutrisi dan skor 1 untuk jawaban yang positif atau tidak mengarah ke malnutrisi.

Pertanyaan pertama adalah apakah responden mengalami penurunan asupan makanan selama tiga bulan terakhir dikarenakan kehilangan selera makan, masalah pencernaan, kesulitan mengunyah atau menelan? Jika responden menjawab iya mengalami penurunan asupan makanan berat/parah maka atau iya mengalami penurunan asupan yang sedang maka skornya 0 dan jika responden menjawab tidak mengalami penurunan asupan maka skornya 1.

Pertanyaan kedua adalah apakah responden kehilangan berat badan selama 3 bulan terakhir? Jika responden menjawab kehilangan berat badan lebih dari 3 kilogram, tidak tahu atau kehilangan berat badan antara 1-3 kilogram maka skornya 0 dan jika responden lansia menjawab tidak kehilangan berat badan maka skornya 1.

Pertanyaan ketiga menanyakan mobilitas/pergerakan lansia. Bagaimana mobilitas/pergerakan anda sehari-hari? Jika responden menjawab hanya ditempat tidur atau kursi roda atau menjawab hanya mampu turun dari tempat tidur atau kursi roda namun tidak bisa jalan-jalan keluar maka skornya 0 dan jika responden menjawab dapat jalan-jalan/beraktivitas di luar rumah maka skornya 1.


(57)

Pertanyaan keempat adalah apakah responden mengalami stress psikologis atau penyakit akut selama 3 bulan terakhir? Jika responden menjawab ya maka skornya 0 dan jika tidak maka skornya 1.

Pertanyaan kelima adalah antropometri berupa pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Jika IMT kurang dari 18,5 maka skornya 0. Jika IMT ≥ 18,5, maka skornya 1.

Jika IMT tidak didapatkan, maka pengukuran IMT dapat diganti dengan mengukur lingkar betis. Jika lingkar betis kurang dari 31 maka skornya 0 dan jika lingkar betis 33 atau lebih maka skornya 1 (Skates & Anthony, 2012).

Skor terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan skor tertinggi yang mungkin dicapai adalah 5.

Menurut Wahyuni (2011) berdasarkan rumus statistika:

rentang

p =

banyak kelas

Dengan p adalah panjang kelas dan rentang merupakan selisih nilai tertinggi dengan nilai terendah. Rentang kelas adalah 5 dan banyak kelas adalah 0, maka diperoleh panjang kelas adalah 2,5. Panjang kelas kemudian digenapkan menjadi 3. Oleh karena itu, status nutrisi dikatakan malnutrisi jika skor yang didapat 0-2 dan dikatakan normal jika skor yang didapat 3-5.

Selain kedua instrumen tersebut peneliti juga menggunakan beberapa instrumen untuk mendapatkan data-data dari calon responden yaitu timbangan injak Seca merk Camry untuk mengukur berat badan, pengukur tinggi lutut yang dibuat sendiri oleh peneliti untuk mengukur tinggi lutut. Pengukur tinggi lutut


(58)

yang terbuat dari kayu didesain seperti gambar 2.1 a. Pengukur tinggi lutut terdiri dari tiga bagian penting yaitu lempeng alas tempat telapak kaki, batang sebagai tempat melekatnya angka tinggi lutut (satuan cm) dan lempeng kayu yang dapat digeser keatas atau kebawah untuk mendapatkan tinggi lutut. Selain iu, kalkulator untuk menghitung IMT dan mengkonversi tinggi lutut menjadi tinggi badan dan meteran untuk menghitung lingkar betis jika berat badan tidak didapatkan karena responden yang immobilisasi.

6. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang bersangkutan mampu mengukur apa yang akan diukur (Arikunto, 2009). Uji validitas pada penelitian ini tidak lagi dilakukan oleh peneliti karena instrumen peniliaian status nutrisi menggunakan Mini Nutritional Assessment sudah valid. Peneliti hanya menterjemahkan instrumen ke lembaga bahasa.

Uji reabilitas instrumen digunakan untuk mengetahui sejauh mana paengukuran tetap konsisten bila dilakukan dua kali atau lebih pengukuran gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama (Arikunto, 2010). Uji reliabilitas dilakukan pada 20 orang lansia yang bukan responden (sampel) peneliti, tetapi termasuk dalam populasi penelitian yang sama. Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan rumus R 20. Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai K-R 20 adalah 0,605 dan hasil ini dianggap reliabel sebab lebih tinggi dari nilai r


(59)

7. Pengumpulan Data

Setelah menyelesaikan proposal dan lulus sidang proposal, peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU untuk pengambilan data. Surat izin penelitian yang diberikan pendidikan ditujukan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan, Camat Medan Selayang dan Lurah Sempakata. Setelah mendapatkan izin penelitian, peneliti melanjutkan ke proses pengambilan data. Sebelum pengambilan data, peneliti terlebih dahulu melakukan uji reliabilitas.

Setelah reliabel, peneliti mendatangi calon responden dengan cara door-to-door. Selanjutnya peneliti menjelaskan kepada calon responden ataupun keluarga tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian. Jika calon responden setuju dan bersedia kemudian calon responden menandatangani lembar persetujuan

penelitian (informed consent). Pengumpulan data dilakukan dengan cara

membacakan pertanyaan data demografi kemudian membacakan pertanyaan dalam formulir penilaian status nutrisi. Setelah semua pertanyaan terjawab, peneliti melanjutkan pengumpulan data dengan melakukan pengukuran tinggi lutut lansia dengan posisi duduk caranya telapak kaki kiri lansia diletakkan diatas permukaan alas pengukur tinggi lutut kemudian tungkai diposisikan sejajar atau menempel dengan batang kayu yang sudah tertera angkanya dalam centimeter (cm). Selanjutnya, menimbang berat badan lansia. Caranya lansia berdiri diatas timbangan tanpa menggunakan alas kaki dan mata menatap lurus kedepan (tidak menunduk). Setelah semua data terisi kemudian data dikumpulkan untuk dianalisa.


(60)

8. Analisis Data

Data yang sudah terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer melalui tahapan editing, coding, entry, cleaning, dan analyzing. Editing

merupakan tahap penyuntingan data yang sudah terkumpul yaitu dengan

memeriksa kelengkapan data. Coding merupakan memberi kode atau angka

tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisis. Entry merupakan proses memindahkan atau memasukkan data dari kuesioner ke dalam komputer untuk diproses. Data dianalisis dengan menggunakan sistem komputerisasi. Cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

Analizyng data menggunakan analisis dengan deskriptif statistic. Analisis digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik responden (jenis kelamin, usia, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, tempat tinggal, perokok atau tidak, kondisi rongga mulut, riwayat penyakit dan mengikuti posyandu lansia) dan penilaian status nutrisi lansia menggunakan MNA. Dari data yang diperoleh akan diolah secara deskriptif dengan penyajian dalam bentuk tabel, distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral/grafik dan persentase.

           


(61)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian serta pembahasan mengenai status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang.

1. Hasil Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan 24 Maret sampai dengan 11 Mei 2014 di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 57 orang.

1.1Karakteristik responden

Berdasarkan hasil penelitian bahwa karakteristik responden berdasarkan usia mayoritas berusia 60-74 tahun (elderly) sebanyak 45 orang (78,9%), berdasarkan jenis kelamin mayoritas perempuan sebanyak 43 orang (75,4%), berdasarkan suku mayoritas Karo sebanyak 35 orang (61,4%), berdasarkan agama mayoritas Kristen Protestan sebanyak 40 orang (70,2%), berdasarkan tingkat pendidikan mayoritas tamatan SD sebanyak 15 orang (26,3%), berdasarkan pekerjaan sebanyak 21 orang (36,4%). Berdasarkan penghasilan mayoritas tidak mempunyai penghasilan sebanyak 18 orang (31,6%) berdasarkan tempat tinggal mayoritas tinggal dengan anak sebanyak 28 orang (49,1%), berdasarkan riwayat merokok mayoritas tidak pernah merokok sebanyak 45 orang (78,9%), berdasarkan rongga mulut mayoritas ompong sebanyak 41 orang (71,9%), berdasarkan riwayat penyakit mayoritas menderita hipertensi sebanyak 26 orang (45,6%) dan berdasarakan keikutsertaan posyandu lansia mayoritas tidak


(62)

mengikuti sebanyak 50 orang (87,7%). Hasil karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang (n= 57orang)

Data Demografi Frekuensi (F) Persentase (%) Umur 60-74 tahun 75-90 tahun 46 11 78,9 19,3

Total 57 100

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki 43 14 75,4 24,6

Total 57 100

Suku Karo Batak Jawa Minang 35 12 8 2 61,4 21,1 14,0 3,5

Total 57 100

Agama Islam Kristen Katolik 15 40 2 26,3 70,2 3,5

Total 57 100

Pendidikan

Tidak sekolah/tidak tamat SD SD SMP SMA Akademi/PT 12 15 10 12 8 21,1 26,3 17,5 21,1 14,0

Total 57 100

Pekerjaan Tidak bekerja Pensiunan Wiraswasta Petani IRT 21 12 12 11 1 36,8 21,1 21,1 19,3 1,8


(63)

Penghasilan

Tidak ada < 500 ribu 500 ribu – 1 juta

> 1 juta – 1,5 juta > 1,5 juta – 2 juta > 2 juta

18 6 10 7 4 12 31,6 10,5 17,5 12,3 7,0 21,1

Total 57 100

Tempat tinggal Dengan anak Keluarga Suami istri Seorang diri 28 19 7 3 49,1 33,3 12,3 5,3

Total 57 100

Merokok Ya Tidak 12 45 21,1 78,9

Total 57 100

Rongga mulut Baik Ompong Gigi palsu 6 41 10 9,6 71,9 17,5

Total 57 100

Riwayat penyakit Hipertensi DM Penyakit sendi Gastritis Stroke Jantung Tidak ada 26 6 12 4 1 4 4 45,6 10,5 21,1 7,0 1,8 7,0 7,0

Total 57 100

Mengikuti Posyandu Ya Tidak 7 50 12,3 87,7

Total 57 100

1.2Status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang mayoritas kategori normal sebanyak 39 orang (68,4%) dan kategori malnutrisi sebanyak 18 orang (31,6%).


(64)

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Status Nutrisi Lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang (n=57orang)

Status Nutrisi Frekuensi Persentasi (%)

Normal 39 68,4

Malnutrisi 18 31,6

Total 56 100.0

2. Pembahasan

Hasil analisis data yang diperoleh, sebanyak 43 orang (75,4%) lansia adalah perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Oktariyani (2010) juga mendapati lansia berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan oleh karena usia harapan hidup perempuan lebih tinggi yaitu 72,7 tahun sedangkan laki-laki 68,7 tahun ( Trio, 2011).

Status nutrisi lansia di Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang mayoritas berstatus normal sebanyak 39 orang (68,4%) dan malnutrisi sebanyak 18 orang (31,6%). Status nutrisi lansia dipengaruhi oleh perpaduan perubahan fisik, sosial ekonomi dan psikososial yang terjadi pada lansia (Skates & Anthony, 2012). Perubahan fisik seperti sarcopenia (penurunan massa otot), penurunan kemampuan indra pengecap dan penghidu tubuh akan berdampak pada fungsi dan respon tubuh (Skates & Anthony (2012). Perubahan sosial ekonomi maupun psikososial yang sering terjadi seperti perubahan pendapatan, transportasi dan peraturan hidup dapat memicu isolasi sosial (Skates & Anthony, 2012). Status nutrisi lansia sebagian besar dipengaruhi oleh lokasi tempat tinggal (pedesaan atau perkotaan), status ekonomi, pendidikan, tipe keluarga, konsumsi obat, gangguan psikologis , zat gizi dan penyakit yang menyertai (Dewi, 2011).


(65)

Penelitian yang sama yang dilakukan Nanik (2007 dalam Mainake 2014) didapati 29 lansia (53,7%) status gizinya berada pada kategori normal, sebanyak 13 lansia (24,1%) dengan status gizi kurang tingkat berat dan 4 lansia (7,2%) dengan status gizi kurang tingkat ringan. Mainake (2011) juga mendapati sebanyak 52 orang (68,4%) status gizinya berada pada kategori normal sedangkan sebanyak 19 orang (25,0%) status gizinya berada pada kategori gemuk dan sebanyak 5 orang (6,6%) pada kategori kurus dengan rata-rata IMT 23,6.

Tingkat pendidikan mayoritas hanya tamat SD sebanyak 15 orang (26,3%). Hal yang sama melalui penelitian yang dilakukan oleh Pongantung (2007) yakni tingkat pendidikan responden paling banyak adalah SD yaitu sebanyak 31 orang (37,8%) dan yang paling sedikit adalah di Perguruan Tinggi sebanyak 6 orang (7,3%) (Mainake, 2014). Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoadmojo, 2007). Umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula pengetahuannya (Notoadmojo, 2007). Pengetahuan yang dimaksud misalnya tentang cara mempersiapkan makanan agar tidak kehilangan zat gizi/nutrisi, makanan yang kaya nutrisi dan tanda gejala apabila terdapat malnutrisi khususnya malnutrsi energi protein. Ketidaktahuan secara tidak langsung mempengaruhi status nutrisi lansia.

Status nutrisi lansia disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhi status nutrisi lansia yaitu sosial ekonomi lansia berupa penghasilan. Sebanyak 39 orang (68,4%) lansia yang masih memiliki penghasilan. Penghasilan seseorang berhubungan dengan pekerjaannya. Tingkat pendapatan berpengaruh terhadap


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)