TINJAUAN PUSTAKA
B. Perawat Sebagai Tenaga Kesehatan
1. Kewajiban perawat sebagai tenaga kesehatan
a. Perawat wajib memiliki :
1) Sertifikat Kompetensi (SK) ; sebagai bukti memiliki kompetensi standar sesuai level pendidikannya, sebagai dasar memperoleh STR
2) Surat Tanda Registrasi (STR) ; sebagai bukti telah teregistrasi secara hukum sebagai dasar pengajuan SIP
3) Surat Ijin Perawat (SIP) ; sebagai bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan diseluruh wilayah Indonesia.
4) Surat Ijin Kerja (SIK) ; sebagai bukti tertulis yang diberikan kepada perawat untuk melakukan praktek keperawatan di sarana kesehatan
5) Surat Ijin Praktek Perawat (SIPP) ; sebagai bukti tertulis yang diberikan kepada perawat untuk menjalankan praktek perawat perorangan atau kelompok
b. Perawat wajib menghormati hak-hak pasien.
c. Perawat wajib merujuk kasus yang tidak dapat ditangani.
d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang klien, kecuali jika dimintai keterangan oleh pihak berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Perawat wajib memberikan informasi kepada pasien keluarga yang sesuai batas kewenangan perawat.
f. Perawat wajib meminta persetujuan setiap tindakan yang akan dilakukan oleh perawat sesuai dengan kondisi pasien baik secara tertulis maupun secara lisan.
g. Perawat wajib mencatat semua tindakan keperawatan (dokumentasi asuhan keperawatan) secara akurat sesuai peraturan dan SOP yang berlaku.
h. Mematuhi standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam melaksanakan praktik profesi keperawatan
i. Meningkatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan dan kesehatan secara terus menerus.
j. Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa pasien sesuai
batas kewenangan dan SOP. k. Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat l. Mentaati semua peraturan perundang-undangan m. Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun
dengan anggota tim kesehatan lain. n. Perawat wajib memberikan kesempatan kepada klien untuk
berhubungan dengan keluarganya, selama tidak bertentangan dengan peraturan dan standar profesi yang ada.
o. Perawat wajib memberikan kesempatan kepada klien untuk
menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing selama tidak mengganggu klien yang lainnya.
p. Perawat didalam melakukan praktik mandiri dan atau berkelompok di
wajibkan untuk membantu program pemerintah.
2. Peraturan yang mengatur kewajiban perawat
a. Permenkes 148 Tahun 2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, pasal 8, 9, 10, 12
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 32
c. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, pasal
37 dan 38
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, pasal 26, pasal 58, 59, 60, 61, 62, pasal 66, pasal 70, pasal 73.
3. Sanksi jika perawat tidak memenuhi kewajiban
kewajibannya sebagai
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3) bentuk pembidangan hukum yakni :
a. Pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH-Perdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUH-Perdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berikut:
1) Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365 BW dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara mandiri.
2) Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367 BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah perintah dokterrumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggungjawab atas kerugian yang menimpa pasien.
3) Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming (perbuatan mengurus kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang itu untuk mengurusi kepentingannya) berdasarkan Pasal 1354 BW.
4) Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus 4) Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus
Perlindungan hukum dalam tindakan zaakwarneming perawat tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010. Perawat justru akan dimintai pertanggungjawaban hukum apabila tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam Pasal 10 tersebut. Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang perawat akan dimintai pertanggungjawaban apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu:
1) Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang perawat tidak mengerjakan semua tugas dan kewenangan sesuai dengan fungsi, peran, maupun tindakan keperawatan.
2) Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai fungsi tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus seorang perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan kateter secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu sampai penuh. Sehingga dari tindakan tersebut mengakibatkan pasien mengalami infeksi saluran kencing (ISK) dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang.
3) Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang seharusnya; suatu tugas yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat yang mengecilkan aliran air infus pasien di malam hari, tidak siap tanggap menjaga pasien rawat inap yang dalam penjagaan dan tanggungjawabnya di malam hari hanya karena tidak mau terganggu istirahatnya.
4) Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien tanpa perintah, menyuntik pasien tanpa kehati-hatian asal obat masuk saja, tanpa mempertimbangkan efek pemberian yang terlalu cepat 4) Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien tanpa perintah, menyuntik pasien tanpa kehati-hatian asal obat masuk saja, tanpa mempertimbangkan efek pemberian yang terlalu cepat
Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan sesuai personal liability.
b. Hukum pidana Pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut;
1) Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 1482010,
2) Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien,
3) Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa),
4) Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar.
c. Hukum administrasi Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Permenkes No. 1482010 telah memberikan ketentuan administrasi yang wajib ditaati perawat yakni:
1) Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik mandiri.
2) Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian Pasal 10.
3) Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi. Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan terhadap gugatan malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administrative malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum. Ada dua ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja di sebuah RS :
1) Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang mempekerjakan karyawantenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin praktik.
2) Sementara dalam Permenkes No. 1482010 SIPP bagi perawat yang bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri) tidak diperlukan.
Bentuk sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum administrasi ini adalah teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan izin.
C. Aspek Rahasia Medik
1. Pihak yang wajib menjaga rahasia medik
Yang wajib menyimpan rahasia medik. Disebutkan dalam PP No.10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Dokter, pasal 3 yang berbunyi:
a. Tenaga kesehatan yang terdiri dari:
1) Tenaga medis : dokter dan dokter gigi
2) Tenaga keperawatan : perawat dan bidan.
3) Tenaga kefarmasian : apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
4) Tenaga kesehatan masyarakat : epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
5) Tenaga gizi : nutrizionis dan dietisien
6) Tenaga keterapian fisik : fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara.
7) Tenaga keteknisian medis : radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi, dan perekam medis. (Lembaran Negara tahun 1963 No.78)
b. Mahasiswa, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
2. Peraturan perundangan yang mengatur rahasia medikrahasia jabatan
Perlindungan terhadap hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan perundang-undangan antara lain:
a. Pasal 57 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan
b. Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran mengatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia kedokteran
c. Pasal 32 (i) UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengatakan bahwa hak pasien untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
d. PP Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
e. PP Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
f. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
g. Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan bahwa setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan g. Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan bahwa setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan
3. Sanksi membuka rahasia medik
a. Sanksi pidana : KUHP Pasal 112, KUHP Pasal 322 KUHP Pasal 112 “Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keteranganketerangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, kepada seorang seorang raja atau suku bangsa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. KUHP Pasal 322 (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah (2) Jika kejahatan dilakukan pada seorang tertentu maka perbuatannya itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut
b. Sanksi perdata : KUH Perdata Pasal 1365, KUH Perdata Pasal 1366, KUH Perdata Pasal 1367 KUH Perdata Pasal 1365 “Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat kerugian bagi orang lain,mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. KUH Perdata Pasal 1366 “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya” KUH Perdata Pasal 1367 “Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugain yang b. Sanksi perdata : KUH Perdata Pasal 1365, KUH Perdata Pasal 1366, KUH Perdata Pasal 1367 KUH Perdata Pasal 1365 “Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat kerugian bagi orang lain,mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. KUH Perdata Pasal 1366 “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya” KUH Perdata Pasal 1367 “Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugain yang
c. Sanksi Administratif: undang-undang No.6 tahun 1963 pasal 11
d. Sanksi Sosial
D. Aspek Informed Consent
1. Hak-hak pasien yang tercantum dalam Informed Consent
a. Hak memperoleh informasi tentang dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa;
c. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
d. Memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
2. Peraturan perundangan yang mengatur Informed Consent
a. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 8 dan pasal 56 ayat 1
b. Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, pasal
32 poin J dan point K
c. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UUPK) pasal 45 tentang persetujuan tindakan medis
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, pasal 70, 71 dan 72
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290MENKESPERIII2008
Tentang
Persetujuan Tindakan
Kedokteran pasal 2 ayat 1 dan Pasal 2 ayat 3.
3. Peran perawat dalam Informed Consent
Peran perat sebagai advocator pasien dan sumber informasi (communicator) bagi pasien selama fase perawatan di rumah sakit. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan Peran perat sebagai advocator pasien dan sumber informasi (communicator) bagi pasien selama fase perawatan di rumah sakit. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan
E. Aspek Praktek Keperawatan
1. Pengertian praktek perawat
a. Menurut Kepmenkes 12392001 Tentang Praktik Keperawatan, praktik keperawatan adalah melakukan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis dokter. Dan perawat yang memiliki SIPP dapat melakukan kunjungan rumah.
b. Menurut UU 382014 Tentang Keperawatan : Praktek keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya.
Dengan demikian seorang perawat yang melaaksanakan profesinya harus menggunakan metode asuhan keperawatan yang terdiri dari : pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi selama melakukan interaksi dengan klien.
2. Aspek etis praktek perawat
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
d. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
e. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) 2000 e. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) 2000
g. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Aspek yuridishukum praktek perawat sesuai regulasi
a. SE Dirjen Yan-Med No. HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care Terdapat 23 tindakan keperawatan mandiri yang bisa dilakukan oleh perawat dalam kegiatan home care antara lain :
1) vital sign
2) memasang nasogastric tube
3) memasang selang susu besar
4) memasang cateter
5) penggantian tube pernafasan
6) merawat luka decubitus
7) suction
8) memasang peralatan O 2
9) penyuntikan (IV,IM, IC,SC)
10) pemasangan infus maupun obat
11) pengambilan preparat
12) pemberian huknahlaksatif
13) kebersihan diri
14) latihan dalam rangka rehabilitasi medis
15) tranpostasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostik
16) pendidikan kesehatan
17) konseling kasus terminal
18) konsultasitelepon
19) fasilitasi ke dokter rujukan
20) menyiapkan menu makanan
21) membersihkan tempat tidur pasien
22) fasilitasi kegiatan sosial pasien
23) fasilitasi perbaikan sarana klien.
b. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis
1) Pasal 6 Dokter, dokter gigi danatau tenaga kesehatan tertentu bertanggung jawab atas catatan danatau dokumen yang dibuat pada rekam medis
2) Pasal 7 Sarana Pelayanan Kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis.
3) Pasal 9 ayat (1) Rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat.
4) Pasal 10 ayat (1) Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
c. Undang-Undang 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
1) Pasal 1 ayat (6) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan danatau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Ayat (11) Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan danatau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara danmeningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah danatau masyarakat.
2) Pasal 22 ayat (1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
3) Pasal 23 ayat (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Ayat (4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
4) Pasal 24 ayat (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
5) Pasal 27 ayat (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ayat (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
6) Pasal 28 ayat (1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
7) Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
8) Pasal 34 ayat (2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
9) Pasal 49 ayat (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.
10) Pasal 54 ayat (1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
d. PMK Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan PMK 1482010 Tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktek Perawat
1) Pasal 2 ayat (1) Perawat dapat menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri danatau praktik mandiri. Ayat (3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) Keperawatan.
2) Pasal 3 ayat (1) Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri wajib memiliki SIKP. Ayat (2) Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di praktik mandiri wajib memiliki SIPP. Ayat (3) SIKP dan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupatenkota dan berlaku untuk 1 (satu) tempat.
3) Pasal 5A Perawat hanya dapat menjalankan praktik keperawatan paling banyak di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan di 1 (satu) tempat fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri.
4) Pasal 5B ayat (1) SIKP atau SIPP berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa berlakunya.
e. Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
1) Pasal 2 ayat (1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Ayat (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
2) Pasal 3 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Ayat (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan. Ayat (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu. Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju. Ayat (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis .
3) Pasal 4 ayat (1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien danatau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Ayat (2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik. Ayat (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
4) Pasal 5 ayat (1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan. Ayat (2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan. Ayat (3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
5) Pasal 6 Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien.
6) Pasal 7 ayat (1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien danatau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Ayat (2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
7) Pasal 9 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman. Ayat (2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan. Ayat (3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter 7) Pasal 9 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman. Ayat (2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan. Ayat (3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter
8) Pasal 10 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya. Ayat (2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten. Ayat (3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya. Ayat (4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
9) Pasal 11 ayat (1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan. Ayat (2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada persetujuan.
10) Pasal 12 ayat (1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Ayat (2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
11) Pasal 15 Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.
f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 13 ayat (3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
g. PMK Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran Pasal 4 ayat (1) Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran danatau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran. Ayat (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien; b. pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan; c. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan; d. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan; e. badan hukumkorporasi danatau fasilitas pelayanan kesehatan; dan f. mahasiswasiswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan, perawatan, danatau manajemen informasi di fasilitas pelayanan kesehatan.
h. Permenkes Nomor 42 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Immunisasi Pasal 27 ayat (3) Dokter di puskesmas dapat mendelegasikan kewenangan pelayanan imunisasi kepada bidan dan perawat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan imunisasi wajib sesuai program Pemerintah. Ayat (4) Dalam hal di puskesmas tidak terdapat dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bidan dan perawat dapat melaksanakan imunisasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (5) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) maka pelayanan imunisasi dapat dilaksanakan oleh tenaga terlatih.
i. Permenkes Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan
1) Pasal 2 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan praktik danatau pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari Pemerintah. Ayat (2) Untuk memperoleh izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan STR. Ayat (3) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh MTKI dan berlaku secara nasional. Ayat (4) Untuk memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Tenaga Kesehatan harus memiliki Sertifikat Kompetensi.
2) Pasal 3 ayat (1) Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberikan kepada peserta didik setelah dinyatakan lulus Uji Kompetensi oleh perguruan tinggi bidang kesehatan yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Pasal 4 ayat (1) STR berlaku sejak tanggal dikeluarkan dan berakhir pada tanggal lahir Tenaga Kesehatan yang bersangkutan di tahun kelima. Ayat (2) STR dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun setelah memenuhi persyaratan. Ayat (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan; dan b. pemenuhan kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, danatau kegiatan ilmiah lainnya. Ayat (4) Jumlah satuan kredit profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b untuk setiap kegiatan ditetapkan oleh MTKI atas usulan dari organisasi profesi.
4) Pasal 5 ayat (1) Pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (3) 4) Pasal 5 ayat (1) Pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (3)
5) Pasal 6 Dalam hal Tenaga Kesehatan tidak dapat memenuhi ketentuan persyaratan perpanjangan STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), maka Tenaga Kesehatan tersebut harus mengikuti evaluasi kemampuan yang dilaksanakan oleh organisasi profesi bekerja sama dengan MTKI.
j. Permenkes Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan
Rumah Sakit
1) Pasal 4 ayat (1) untuk mewujudkan tata kelola klinis yang baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, semua asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan yang dilaksanakan oleh setiap tenaga keperawatan di Rumah Sakit dilakukan atas Penugasan Klinis dari KepalaDirektur Rumah Sakit. Ayat (2) Penugasan kilnis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa pemberian Kewenangan Klinis tenaga keperawatan oleh KepalaDirektur Rumah Sakit melalui penerbitan Surat Penugasan Klinis kepada tenaga keperawatan yang bersangkutan.
2) Pasal 10 ayat (2) Subkomite Kredensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertugas merekomendasikan Kewenangan Klinis yang adekuat sesuai kompetensi yang dimiliki tenaga keperawatan.
k. Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik
1) Pasal 11 ayat (1) Ketenagaan Klinik rawat jalan terdiri atas tenaga medis, tenaga keperawatan, Tenaga Kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Ayat (2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis 1) Pasal 11 ayat (1) Ketenagaan Klinik rawat jalan terdiri atas tenaga medis, tenaga keperawatan, Tenaga Kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Ayat (2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis
2) Pasal 14 Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
3) Pasal 32 ayat (1) Klinik menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Ayat (2) Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu hari (one day care) danatau home care. Ayat (3) Pelayanan satu hari (one day care) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelayanan yang dilakukan untuk pasien yang sudah ditegakkan diagnosa secara definitif dan perlu mendapat tindakan atau perawatan semi intensif (observasi) setelah
6 (enam) jam sampai dengan 24 (dua puluh empat) jam. Ayat (4) Home care sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan dampak penyakit
l. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
1) Pasal 26 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaksanakan tugas sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya.
2) Pasal 27 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antar provinsi, 2) Pasal 27 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antar provinsi,
3) Pasal 28 ayat (3) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah di daerah khusus berhak mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.
4) Pasal 30 ayat (1) Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier Tenaga Kesehatan. Ayat (2) Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta kesinambungan dalam menjalankan praktik. Ayat (3) Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian kinerja.
5) Pasal 32 ayat (1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke
luar negeri dapat
dilakukan dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia di luar negeri.
6) Pasal 44 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR.
7) Pasal 46 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
8) Pasal 47 Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik.
9) Pasal 48 ayat (1) Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan. Ayat (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya.
10) Pasal 50 ayat (1) Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan danatau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan
11) Pasal 57 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak: a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional; b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya; c. menerima imbalan jasa; d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama; e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya; f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
12) Pasal 58 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, 12) Pasal 58 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional,
13) Pasal 59 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat danatau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Ayat (2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak Penerima Pelayanan Kesehatan danatau dilarang meminta uang muka terlebih dahulu.
14) Pasal 60 Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki; b. meningkatkan Kompetensi; c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi; d. mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan e. melakukan kendali
mutu pelayanan dan kendali
biaya dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan.
15) Pasal 61 Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung kepada Penerima Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan Penerima Pelayanan Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.
16) Pasal 62 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya. Ayat (2) Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari satu jenjang pendidikan memiliki kewenangan profesi sesuai dengan lingkup dan tingkat Kompetensi.
17) Pasal 63 ayat (1) Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.
18) Pasal 65 ayat (1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis.
19) Pasal 66 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.
20) Pasal 67 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik dapat melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
21) Pasal 68 ayat (1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan. Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat penjelasan secara cukup dan patut. Ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: a. tata cara tindakan pelayanan; b. tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis maupun lisan.
Ayat (5) Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
22) Pasal 69 ayat (1) Pelayanan kesehatan masyarakat harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak melanggar hak asasi manusia. Ayat (2) Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan program Pemerintah tidak memerlukan persetujuan tindakan. Ayat (3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus diinformasikan kepada masyarakat Penerima Pelayanan Kesehatan tersebut.
23) Pasal 70 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan perseorangan wajib membuat rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan. Ayat (2) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah Penerima Pelayanan Kesehatan selesai menerima pelayanan kesehatan. Ayat (3) Setiap rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan atau paraf Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan atau tindakan. Ayat (4) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
24) Pasal 73 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.
25) Pasal 74 Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki STR dan izin untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
26) Pasal 75 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
27) Pasal 77 Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
28) Pasal 78 Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
29) Pasal 79 Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
m. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
1) Pasal 2 Praktik Keperawatan berasaskan: a. perikemanusiaan; b. nilai ilmiah; c. etika dan profesionalitas; d. manfaat; e. keadilan; f. pelindungan; dan g. kesehatan dan keselamatan Klien.
2) Pasal 17 Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Perawat, Menteri dan Konsil Keperawatan bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan mutu Perawat sesuai dengan kewenangan masing-masing.
3) Pasal 18 ayat (1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki STR.
4) Pasal 19 ayat (1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin.
Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPP.
5) Pasal 21 Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik Keperawatan
6) Pasal 27 ayat (1) Perawat warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan Praktik Keperawatan di Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi.
7) Pasal 28 ayat (1) Praktik Keperawatan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan Klien sasarannya. Ayat (2) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Praktik Keperawatan mandiri; dan b. Praktik Keperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Ayat (3) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada kode etik, standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional. Ayat (4) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada prinsip kebutuhan pelayanan kesehatan danatau Keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah
8) Pasal 29 ayat (1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai: a. pemberi Asuhan Keperawatan; b. penyuluh dan konselor bagi Klien; c. pengelola Pelayanan Keperawatan; d. peneliti Keperawatan; e. pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; danatau f. pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu. Ayat (2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama ataupun sendiri-sendiri. Ayat (3) Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel.
9) Pasal 32 ayat (1) Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya. Ayat (2) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat. Ayat (3) Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab. Ayat (4) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada Perawat profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang diperlukan. Ayat (5) Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah pengawasan. Ayat (6) Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada pada pemberi pelimpahan wewenang.
10) Pasal 36 Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan
berhak: a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; b. memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien danatau keluarganya; c. menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan; d. menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan e. memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
11) Pasal 37 Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban: a. melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar Pelayanan Keperawatan dan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan; b. memberikan
Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; c. merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan
tingkat kompetensinya; d. mendokumentasikan Asuhan
Keperawatan sesuai dengan standar; e. memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien danatau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya; f. melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi Perawat; dan g. melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
12) Pasal 53 ayat (1) Pengembangan Praktik Keperawatan dilakukan melalui pendidikan formal dan pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan. Ayat (2) Pengembangan Praktik Keperawatan bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan keprofesionalan Perawat. Ayat (3) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempuh setelah menyelesaikan pendidikan Keperawatan. Ayat (4) Dalam hal meningkatkan keprofesionalan Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dalam memenuhi kebutuhan pelayanan, pemilik atau pengelola Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus memfasilitasi Perawat untuk mengikuti pendidikan berkelanjutan.
Ayat (5) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Organisasi Profesi Perawat, atau lembaga lain yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Ayat (6) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan Praktik Keperawatan yang didasarkan pada standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional.
13) Pasal 55 Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan, dan Organisasi Profesi membina dan mengawasi Praktik Keperawatan sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
4. Jenis-jenis praktek perawat
Menurut UU 382014 Tentang Keperawatan, terdapat beberapa jenis praktek keperawatan, yaitu :
a. Praktik keperawatan mandiri
1) Praktik perawat mandiri (UU 382014 Tentang Keperawatan)
2) Praktik keperawatan di rumahHome care (SK Dirjen Yan-Med Nomor HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care)
3) Praktik keperawatan di masyarakat (PMK No. 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas)
b. Praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
1) Klinik (PMK No. 92014 Tentang Klinik)
2) Rumah Sakit (UU No. 442009 Tentang Rumah Sakit dan PMK No. 492013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit)
3) Puskesmas (PMK No. 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas)