Tanah dan Faktor-faktor Pembentuknya

B. Tanah dan Faktor-faktor Pembentuknya

1. Pengaruh Iklim Terhadap Karakteristik Tanah di Daerah Kajian Penelitian

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa iklim merupakan salah satu faktor yang amat penting dalam proses pembentukan tanah. Adanya unsur suhu dan curah hujan pada iklim sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika tanah. Daerah Jayagiri, Gunung Tangkuban Parahu, dan Gunung Putri terletak di kecamatan Lembang. Menurut penelitian yang dimuat di dalam Repository IPB, bahwa Kecamatan Lembang mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu rata-rata 20, 04°C, persentase kelembaban rata-rata 84, 63% dan curah hujan bulanan rata-rata 160,58 mm selama sepuluh tahun terakhir. Sedangkan menurut Fakta dan Analisis Detail Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Lembang (2002) menyebutkan bahwa Kecamatan Lembang memiliki suhu terendah 16° C dan tertinggi 28° C dengan curah hujan yang turun berkisar antara 1500 – 3000 mm per tahun dan termasuk ke dalam curah hujan yang tinggi. Suhu dan curah hujan daerah lembang dapat dilihat pada gambar 4.7 dan 4.8.

Daerah kajian penelitian termasuk ke dalam iklim tropis. Menurut Hardjowigeno (1987, hlm. 27) adanya curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Akibatnya banyak tanah di indonesia telah mengalami pelapukan lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi masam. Sedangkan menurut Ayuningtias, dkk (2016: 28) Nilai pH masam pada tanah Andisol menandakan tingginya curah hujan dan bahan induk yang bersifat andesitik. Pengolahan tanah dan juga pemupukan yang terjadi pada perkebunan dan tegalan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pH. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengukuran pH tanah yang menunjukan bahwa tanah di daerah sekitar wilayah penelitian memiliki nilai pH berkisar dari

5 – 6. Menurut Prof. Dr. Ir. Dede Rohmat tanah bereaksi netral pada pH 6,5 – 7,5. 5,5 – 6,5 agak masam dan 4,5 – 5,5 dikatakan masam. Dengan demikian tanah di daerah kajian penelitian bereaksi masam sampai agak masam. Sedangkan menurut Hardjowigeno (1987, hlm. 62) salah satu pentingnya pH 5 – 6. Menurut Prof. Dr. Ir. Dede Rohmat tanah bereaksi netral pada pH 6,5 – 7,5. 5,5 – 6,5 agak masam dan 4,5 – 5,5 dikatakan masam. Dengan demikian tanah di daerah kajian penelitian bereaksi masam sampai agak masam. Sedangkan menurut Hardjowigeno (1987, hlm. 62) salah satu pentingnya pH

Sumber: Bappeda Kabupaten Bandung Barat (2010)

Gambar 4.7: Suhu rata – rata dari Tahun 2002 – 2011

Menurut Mindawati (2006: 155) tanah yang bersifat masam (pH rendah) konsentrasi kandungan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn dan Al akan meningkat tajam sehingga menjadi toksik bagi tanaman. Hal serupa juga dikatakan oleh Wasis, B (2005) bahwa tanah masam juga mengandung unsur Al, Fe dan Mn terlarut dalam jumlah besar sehingga dapat meracuni tanaman. Hasil pengukuran menunjukan bahwa bahwa tanah di daerah penelitian bereaksi agak masam sampai masam, sehingga unsur hara masih cukup mudah untuk dapat diserap oleh akar tanaman. Meskipun jika dilihat dari hubungan antara pH tanah dan tersedianya unsur hara (gambar 2.7 bab 2) menunjukan bahwa tanah pada pH 5 – 6 kekurangan unsur-unsur hara esensial makro seperti Ca, Mg, dan K tetapi lebih kaya unsur hara esensial mikro seperti Fe, Mn, Zn, Cu dan lain-lain yang keberadaannya diperlukan dalam jumlah yang hanya sedikit.

Sumber: Bappeda Kabupaten Bandung Barat. (2010).

Gambar 4.8: Curah hujan rata – rata dari Tahun 2002 – 2011

2. Pengaruh Organisme Terhadap Karakteristik Tanah di Daerah Kajian

Organisme sangat berpengaruh penting dalam proses pembentukan tanah, seperti akumulasi bahan organik, siklus unsur hara, dan proses pembentukan tanah sangat dipengaruhi oleh organisme di dalam tanah. Selain itu vegetasi yang tumbuh di atas tumbuhan juga sangat berperan penting terhadap keadaan tanah diantaranya sebagai pencegah terjadinya erosi sehingga tanah yang hilang akibat curah hujan dapat berkurang. Jenis-jenis cemara akan memberi kation-kation logam seperti Ca, Mg dan K yang rendah. Siklus unsur hara di bawah tanaman-tanaman tersebut adalah rendah, sehingga tanah di bawah pohon pinus biasanya lebih masam (Hardjowigeno, 1987, hlm. 27). Yonky dan Wuri (2008: 233) menyatakan bahwa dalam menjaga stabilitas lereng, vegetasi memiliki peranan yang sangat penting, tergantung pada jenis vegetasi dan kemiringan lereng. Akar vegetasi dapat mengikat partikel tanah sehingga tanah menjadi stabil dan pada akhirnya dapat memperkuat lereng. Daerah kajian penelitian pada umumnya merupakan daerah dengan vegetasi hitan pinus, baik yang berada pada jalur A, B, maupun C. Demikian juga hampir semua titik plot yang tersebar juga terdapat di daerah yang bervegetasi hutan pinus.

Berdasarkan telaah dari berbagai hasil penelitian, dapat dirumuskan adanya beberapa karakter pinus yang berpotensi sebagai pengendali tanah longsor, yaitu:

a. Daun dan tajuk pinus dapat mengurangi hujan netto melalui proses intersepsi, Mulyana et al. (2002) dalam Pusat Pengembangan Sumberdaya Hutan Perhutani (2002) menyebutkan bahwa kehilangan air (curah hujan) akibat proses intersepsi dari hutan pinus adalah yang tertinggi (15,7%) dibandingkan hutan agathis (14,7%) dan puspa (13,7%). Sementara itu menurut Pudjiharta dan Salata (dalam Yonky dan Wuri, 2008: 235) menemukan bahwa total intersepsi dari hutan pinus umur 10 - 30 tahun berkisar antara 15 - 39,7%. Pengurangan jumlah hujan netto (jumlah curah hujan yang sampai pada tanah) melalui kemampuan intersepsi pada tanaman pinus, berarti dapat mengurangi jumlah air infiltrasi yang dapat menjadi beban atau faktor penggelincir dalam proses terjadinya longsor pada tanah-tanah miring.

b. Akar pinus yang panjang dan dalam dapat memperkuat tanah, menurut Daniel et al (dalam Yonky dan Wuri, 2008: 235) sebagai pohon yang memiliki buah besar, pinus secara genetis memiliki perakaran tunggang yang dalam, sehingga akarnya dapat menembus lapisan yang kuat dan dalam. Sifat genetis pinus tersebut berpeluang tinggi dalam memperkuat tanah atau meningkatkan kekuatan tahanan geser tanah.

c. Pinus memiliki nilai evapotranspirasi yang tinggi sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya longsor, pinus sebagai pohon yang evergreen memiliki nilai evapotranspirasi yang besar dibandingkan dengan jenis pohon lain. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pudjiharta (1995) di Ciwidey, nilai evapotranspirasi pinus adalah sebesar 64,5% dari total curah hujan. Hal ini tentu amat baik bagi pengurangan tekanan air pori tanah yang dapat memicu longsoran.

Kesimpulannya bahwa pohon pinus yang telah dibudidayakan sebagai tanaman reboisasi di Jawa memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai pohon pengendali tanah longsor. Sifat-sifat pinus, yaitu 1) dapat mengurangi jumlah curah hujan netto dengan tingginya nilai intersepsi, 2) memperkuat Kesimpulannya bahwa pohon pinus yang telah dibudidayakan sebagai tanaman reboisasi di Jawa memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai pohon pengendali tanah longsor. Sifat-sifat pinus, yaitu 1) dapat mengurangi jumlah curah hujan netto dengan tingginya nilai intersepsi, 2) memperkuat

3. Pengaruh Bahan Induk Terhadap Karakteristik Tanah di Daerah Kajian Penelitian

Bahan induk sebagai penyedia asal mineral di dalam tanah. Tanah adalah hasil perkembangan lebih lanjut dari hasil pelapukan batuan induk yang disebut dengan bahan induk tanah (Sartohadi et al. , 2012: 12). Batuan induk terbagi atas tiga jenis, yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Ketiga batuan itulah yang menjadi bahan induk tanah berasal. Secara geologi menurut Van Bemmelen (1934) wilayah kajian penelitian berbahan induk andesit berumur holosen berupa: (1) tuf pasir cokelat yang mengandung kristal hornblende kasar, lahar lapuk kemerah-merahan, lapisan lapili dan breksi yang berasal dari Gunung Mindano dan Gunung Tangkuban Parahu yang kemudian disimbolkan dengan Qyd, (2) hasil gunung api tak teruraikan yang diberi simbol Qvu, (3) tufa berbatu apung berupa pasir tufaan, lapili, bom-bom lava berongga dan kepingan-kepingan andesit basal yang bersudut dengan banyak bongkah- bongkah dan pecahan batu apung berasal dari Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Tampomas. Dicirikan dengan simbol Qyt, (4) lava yang merupakan hasil gunung api muda dengan simbol Qyl. Hal yang serupa juga dinyatakan bahwa Desa Cikole yang berada di lereng selatan G. Tangkuban Parahu berkembang dari hasil erupsi G. Tangkuban Parahu, berbahan induk andesit berumur Holosen berupa tuf pasir kristal hornblende, lahar lapuk kemerahan, lapisan lapili dan breksi dari G. Dano dan G. Tangkuban Parahu yang disimbolkan dengan Qyd (Silitonga, 2003).

Sedangkan menurut Devnita (2012: 14 & 16) kenampakan mikroskopis mineral berat yang paling dominan pada Andisol yang berkembang dari hasil Sedangkan menurut Devnita (2012: 14 & 16) kenampakan mikroskopis mineral berat yang paling dominan pada Andisol yang berkembang dari hasil

1 km dari kawah gunung api. Hal tersebut terjadi karena tanah di daerah sekitar kawah adalah tanah yang baru terbentuk. Biasanya tanah tersebut memiliki karakteristik tidak subur, pH sangat asam, bertekstur pasir, strukturnya lepas, dengan solum tanah yang dangkal.

4. Pengaruh Topografi Terhadap Karakteristik Tanah di Daerah Kajian Penelitian

Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi tanah adalah topografi. Topografi adalah perbedaan ketinggian tempat atau lereng dari suatu daerah yang didasarkan pada suatu dataran tinggi, sedang, sampai pada dataran rendah (lembah). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa struktur tanah pada semua titik sampel tanah umumnya sama yaitu berstruktur granular/butir-butir serta remah karena di dominasi oleh tekstur partikel berukuran sedang dengan kelas tektur berlempung dengan kandungan fraksi pasir dan debu yang hampir sama dan sedikit fraksi liatnya. Pada umumnya tanah yang memiliki stuktur granural merupakan tanah yang sangat baik untuk pertanian lahan kering karena tanah yang seperti ini banyak mengandung bahan organik dan sifatnya sangat mudah diolah. Mengenai hal ini diungkap oleh Romig et al. (1995) bahwa struktur tanah yang remah/kersai atau bersatu tapi tidak keras merupakan tanah dengan kriteria sehat sedangkan Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi tanah adalah topografi. Topografi adalah perbedaan ketinggian tempat atau lereng dari suatu daerah yang didasarkan pada suatu dataran tinggi, sedang, sampai pada dataran rendah (lembah). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa struktur tanah pada semua titik sampel tanah umumnya sama yaitu berstruktur granular/butir-butir serta remah karena di dominasi oleh tekstur partikel berukuran sedang dengan kelas tektur berlempung dengan kandungan fraksi pasir dan debu yang hampir sama dan sedikit fraksi liatnya. Pada umumnya tanah yang memiliki stuktur granural merupakan tanah yang sangat baik untuk pertanian lahan kering karena tanah yang seperti ini banyak mengandung bahan organik dan sifatnya sangat mudah diolah. Mengenai hal ini diungkap oleh Romig et al. (1995) bahwa struktur tanah yang remah/kersai atau bersatu tapi tidak keras merupakan tanah dengan kriteria sehat sedangkan

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsistensi tanah pada tiap titik pengamatan memiliki konsistensi gembur, teguh, sampai lepas. Hal ini menunjukkan bahwa tanah yang konsistensi gembur merupakan tanah yang mudah diolah sedangkan tanah dengan konsistensi teguh merupakan tanah yang kurang baik karena agak sulit untuk dicangkul. Sedangkan tanah dengan konsistensi lepas terdapat di daerah puncak dekat kawah, karena tanah pada daerah tersebut merupakan tanah yang baru terbentuk. Untuk nilai pH seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa tanah di daerah kajian penelitian bereakasi agak masam sampai masam dengan nilai pH 5 – 6, baik daerah puncak (tinggi), sedang, dan rendah. Berkaitan dengan hal ini Lowery et al . (1996) dalam Irundu (2008) bahwa tanah dengan nilai pH dibawah 4,5 dan diatas 8,5 merupakan tanah dengan kriteria tidak sehat, nilai pH tanah berkisar antara 4,5 – 6,5 atau 7,5 – 8,0 merupakan tanah dengan kriteria kurang sehat, dan nilai pH tanah yang berkisar antara 6,5 – 7,5 merupakan tanah dengan kriteria tanah sehat. Sifat tanah lain yang umumnya berhubungan dengan topografi adalah kandungan bahan organik horizon A (Hardjowigeno, 1987: 33). Berdasarkan pada hasil pengamatan perbedaan yang mencolok dari kandungan bahan organik adalah yang terletak di puncak Gunung Tangkuban Parahu (plot 6). Hal tersebut terjadi karena tanah baru terbentuk serta tingginya komposisi belerang di daerah tersebut. Sedangkan pada plot lain menunjukan bahwa kandungan bahan organik mulai dari tinggi, sedang, sampai rendah tergantung pada kedalaman solum tanah.

5. Pengaruh Waktu Terhadap Karakteristik Tanah di Daerah Kajian Penelitian

Lamanya waktu yang diperlukan untuk pembentukan tanah berbeda- beda. Tanah yang berkembang dari batuan yang keras memerlukan waktu yang lebih lama untuk terbentuk tanah dibandingkan dengan yang berasal dari bahan induk yang lunak. Bahan induk vulkanik yang lepas-lepas seperti abu vulkanik memerlukan waktu 100 tahun untuk membentuk tanah muda dan 1.000 – 10.000 Lamanya waktu yang diperlukan untuk pembentukan tanah berbeda- beda. Tanah yang berkembang dari batuan yang keras memerlukan waktu yang lebih lama untuk terbentuk tanah dibandingkan dengan yang berasal dari bahan induk yang lunak. Bahan induk vulkanik yang lepas-lepas seperti abu vulkanik memerlukan waktu 100 tahun untuk membentuk tanah muda dan 1.000 – 10.000

6. Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Tanah di Daerah Kajian Penelitian

Setiap plot memiliki keadaan lingkungan yang berbeda, salah satunya yaitu penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang berbeda pada setiap plot seperti yang tertera pada tabel 3.1 (bab 3) akan berpengaruh terhadap karakteristik tanah di sekitarnya. Hal tersebut serupa dengan apa yang diutarakan oleh Ayuningtias dkk (2016: 28) bahwa penggunaan lahan yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Perubahan sifat tanah secara fisik akibat penggunaan lahan yang lebih intensif ditunjukkan dengan struktur tanah menjadi lebih padat serta berkurangnya pori makro dan pori meso. Hal tersebut berdampak terhadap kapasitas infiltrasi dan daya simpan air.

Penggunaan lahan setiap lokasi plot pada praktikum ini ada 3, yaitu semak belukar pada plot 1 jalur A; perkebunan pada plot 2 – 5 jalur A, plot 9 –

10 jalur B, dan plot 11 – 15 jalur C; serta hutan rimba pada plot 6 – 8 jalur C. Penggunaan lahan hutan memberikan pengaruh nyata terhadap sifat fisik tanah seperti kadar air, permeabilitas, dan porositas. Lahan hutan merupakan kontrol terhadap penggunaan lahan yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa lahan hutan memiliki nilai sifat fisik yang lebih baik dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Semakin rapat vegetasi dan semakin sedikit pengaruh campur tangan manusia dalam hal pengolahan lahan maka akan semakin baik sifat fisik tanah tersebut. Penggunaan lahan hutan menunjukan pengaruh yang nyata terhadap C-organik, N-total dan K-tersedia. Kandungan C-organik pada lahan hutan lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya dikarenakan 10 jalur B, dan plot 11 – 15 jalur C; serta hutan rimba pada plot 6 – 8 jalur C. Penggunaan lahan hutan memberikan pengaruh nyata terhadap sifat fisik tanah seperti kadar air, permeabilitas, dan porositas. Lahan hutan merupakan kontrol terhadap penggunaan lahan yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa lahan hutan memiliki nilai sifat fisik yang lebih baik dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Semakin rapat vegetasi dan semakin sedikit pengaruh campur tangan manusia dalam hal pengolahan lahan maka akan semakin baik sifat fisik tanah tersebut. Penggunaan lahan hutan menunjukan pengaruh yang nyata terhadap C-organik, N-total dan K-tersedia. Kandungan C-organik pada lahan hutan lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya dikarenakan

Menurut Shoji yang dikutip oleh Ayuningtias dkk (2016: 29) Nilai K tersedia pada lahan hutan tergolong tinggi sedangkan pada kebun teh ren-dah. Hal tersebut seiring dengan nilai pH pada masing-masing penggunaan lahan dimana ni-lai pH lahan hutan lebih rendah dibandingkan kebun campuran. Nilai pH memilik hubungan negatif dengan ketersediaan K yaitu saat pH naik maka konsentrasi K akan menurun. Tanah Andisol memiliki kandungan mineral muskovit yang banyak mengandung K dan Mg. Kandungan P tersedia pada lahan hutan lebih rendah dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut dikarenakan jerapan fosfat yang sangat kuat oleh mineral liat nonkristalin alofan, imogolit dan ferihidrit sehingga sangat sedikit tersedia bagi tanaman. Mineral alofan mampu meretensi P hingga 97,8 %, dan keberadaan Al dan Fe dalam bentuk amorf juga mempunyai kemampuan dalam mengikat P (Sukarman dan Dariah, 2014).

Nilai total bakteri pada penggunaan lahan hutan dan tegalan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai total bakteri. Hal tersebut sesuai dengan kandungan bahan organik pada kedua tutupan lahan tersebut. Penggunaan lahan hutan dengan kondisi alami memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan lahan tegalan dimana lahan tersebut dalam kondisi cenderung terbuka dan sedikit vegetasi pelindung tanah. Tingginya populasi mikroorganisme merupakan salah satu pertanda tingkat kesuburan tanah. Mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik hanya jika kondisi lingkungan tempat tumbuh mikroorganisme tersebut sesuai. Setiap penggunaan lahan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pH tanah. Nilai pH masam pada tanah Andisol menandakan tingginya curah hujan dan bahan induk yang bersifat andesitik. Pengolahan tanah dan juga pemupukan yang terjadi pada perkebunan dan tegalan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pH. (Ayuningtias dkk, 2016: 28).

Sedangkan perkebunan yang berkembang di lokasi daerah kajian penelitian diantaranya adalah perkebunan kopi bercampur dengan pohon pinus, yang terdapat pada plot 2, 3, 4, dan sebagian 5. Hasil pengukuran yang

dilakukan oleh Dariah, dkk dalam jurnalnya yang berjudul “Kualitas Tanah pada Lahan Usahatani Berbasis Tanaman Kopi ” (2005: 53) respirasi tanah menunjukkan bahwa aktifitas mikroorganisme pada lahan kopi nyata lebih rendah dibanding pada lahan hutan, baik yang dikelola secara monokultur maupun secara kebun campuran. Selain itu, respirasi tanah meningkat dengan bertambahnya umur tanaman kopi. Tanaman kopi mempunyai kemampuan untuk memulihkan sifat fisik tanah (dengan berkembangnya umur kopi), seperti ditunjukkan oleh adanya beberapa parameter sifat fisik (yakni pori drainase cepat dan pori air tersedia) yang tidak berbeda nyata dengan lahan hutan. Lahan kopi dewasa cenderung mempunyai sifat fisik tanah (bobot isi, ruang pori tota, dan distribusi pori) lebih baik dibandingkan lahan kopi muda.

7. Pengaruh Berbagai Faktor Pembentuk Tanah Terhadap Karakteristik Tanah Di Daerah Penelitian

Pada sub bab ini akan dijelaskan bagaimana pengaruh faktor-faktor pembentuk tanah yang terdapat di lokasi penelitian terhadap karakteristik tanah hasil temuan. Dengan kata lain sub bab ini merupakan ringkasan dari keenam faktor yang telah diuraikan sebelumnya. Data mengenai masing-masing faktor pembentuk tanah lokasi penelitian didapatkan dari berbagai sumber dan berdasarkan kepada hasil observasi lapangan. Berikut adalah karakteristik faktor pembentuk tanah di lokasi penelitian:

Tabel 4.1: Karakteristik faktor pembentuk tanah di lokasi penelitian Faktor Pembentuk Tanah

Keterangan Iklim

Mempunyai iklim tropis yang sejuk dengan suhu rata-rata 20, 04°C, persentase kelembaban rata- rata 84, 63% dan curah hujan bulanan rata-rata 160,58 mm selama sepuluh tahun terakhir. Sumber lain menyebutkan bahwa Kecamatan Lembang Mempunyai iklim tropis yang sejuk dengan suhu rata-rata 20, 04°C, persentase kelembaban rata- rata 84, 63% dan curah hujan bulanan rata-rata 160,58 mm selama sepuluh tahun terakhir. Sumber lain menyebutkan bahwa Kecamatan Lembang

Organisme Organisme yang paling menonjol dalam faktor ini adalah jenis vegetasi. Daerah kajian penelitian pada umumnya merupakan daerah dengan vegetasi hitan pinus, baik yang berada pada jalur A, B, maupun C. Demikian juga hampir semua titik plot yang tersebar juga terdapat di daerah yang bervegetasi hutan pinus.

Bahan induk Wilayah kajian penelitian berbahan induk andesit berumur holosen berupa tuf pasir cokelat, hasil gunung api tak teruraikan, tufa berbatu apung, lava gunung api muda, tuf pasir kristal hornblende, lahar lapuk kemerahan, lapisan lapili dan breksi yang berasal dari Gunung Dano & Gunung Tangkuban Parahu.

Topografi Kecamatan Lembang memiliki kemiringan lahan yang berbeda, persentase kemiringan lebih dari 40%, persentase kemiringan 15 –25 % dan persentase kemiringan 0 –8%.

Waktu Wilayah kajian penelitian berbahan induk andesit berumur holosen (10.000 tahun yang lalu) yang berasal dari erupsi Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Mindano.

Penggunaan lahan Secara umum lembang memiliki penggunaan lahan berupa Hutan rimba, sawah, perkebunan, ladang, pemukiman, dan semak belukar. Tetapi wilayah kajian penelitian hanya terdiri dari 3 penggunaan Penggunaan lahan Secara umum lembang memiliki penggunaan lahan berupa Hutan rimba, sawah, perkebunan, ladang, pemukiman, dan semak belukar. Tetapi wilayah kajian penelitian hanya terdiri dari 3 penggunaan

Sumber: Hasil pengolahan data Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap karakteristik sifat fisika,

kimia, dan biologi tanah di lokasi penelitian. Berikut diuraikan pengaruhnya pada masing-masing jalur:

Jalur A (Jayagiri) memiliki ketebalan solum mulai dari 60 cm sampai dengan > 150 cm; memiliki struktur tanah granular dan remah; bertekstur lempung berliat, lempung berpasir, pasir berlempung, dan pasir; dengan warna cokelat, hitam, cokelat terang, merah kecokelatan, dan cokelat kehitaman; batas horizon mulai dari baur, berangsur sampai dengan jelas; memiliki bahan organik sedang sampai tinggi; nilai pH 5 – 6; concretion terdiri atas Fe dan Mn; perakaran sedikit, sedang sampai banyak; fauna activity mulai dari sedikit sampai sedang; pori-pori tanah mulai dari sedikit, sedang, dan banyak dengan ukuran relatif kecil sampai besar.

Jalur B (Tangkuban Parahu) memiliki ketebalan solum 60 cm sampai dengan > 100 cm; berstruktur granular dan remah, memiliki tekstur lempung berdebu, lempung liat berpasir, lempung berpasir, lempung berliat, lempung, pasir berlempung, dan lempung liat berdebu; konsistensi mulai dari gembur, teguh, lekat dan lepas; memiliki nilai pH 5; dengan warna cokelat kemerahan gelap, cokelat pekat, cokelat kekuningan gelap, cokelat kemerahan, merah kekuningan, dan merah gelap; batas horizon mulai dari bergelombang, baur, berangsur, nyata dan jelas, mottles sedikit, sedang sampai banyak, dan fauna activity sedikit dan banyak; perakaran sedikit sampai banyak.

Jalur C (Gunung putri) memiliki tebal solum mulai dari 30 cm sampai dengan > 100 cm; berstruktur granuler dan remah dengan tingkat kekuatan lemah, sedang dan kuat; memiliki tekstur pasir, pasir berlempung, dan debu; dengan warna cokelat kekuningan gelap, cokelat pekat, cokelat sangat pekat, dan cokelat kemerahan gelap; batas horizon mulai dari baur, nyata, bergelombang, dan jelas; konsistensi gembur; bahan organik sedikit sampai Jalur C (Gunung putri) memiliki tebal solum mulai dari 30 cm sampai dengan > 100 cm; berstruktur granuler dan remah dengan tingkat kekuatan lemah, sedang dan kuat; memiliki tekstur pasir, pasir berlempung, dan debu; dengan warna cokelat kekuningan gelap, cokelat pekat, cokelat sangat pekat, dan cokelat kemerahan gelap; batas horizon mulai dari baur, nyata, bergelombang, dan jelas; konsistensi gembur; bahan organik sedikit sampai

Secara umum, tanah di lokasi penelitian memiliki tebal solum mulai dari 30 cm sampai dengan > 150 cm; berstruktur granuler dan remah; memiliki tekstur pasir, debu, lempung, pasir berlempung, lempung berdebu, lempung liat berpasir, lempung berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu; dengan warna warna cokelat kekuningan gelap, cokelat pekat, cokelat sangat pekat, cokelat kemerahan gelap, cokelat kemerahan, merah kekuningan, merah gelap, cokelat, hitam, cokelat terang, merah kecokelatan, dan cokelat kehitaman; batas horizon mulai dari baur, berangsur, nyata, jelas, dan bergelombang; konsistensi mulai dari gembur, teguh, lekat, dan lepas; mottles dari Fn dan Mn; bahan organik sedikit, sedang sampai banyak; nilai pH 5 – 6; fauna activity sedikit sampai banyak; dengan perakaran sedikit sampai banyak ukuran akar relatif kecil sampai besar.