PENATAAN POLITIK HUKUM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM RANGKA PENGUATAN DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA
PENATAAN POLITIK HUKUM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM RANGKA PENGUATAN DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SKRIPSI
Disusun Oleh:
FIRMAN 20110610143
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
(2)
i
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SKRIPSI
Disusun Oleh:
FIRMAN 20110610143
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
(3)
(4)
v
Kedua Orang Tuaku Mappiaban Dan
Marawati
==========================================
Keluargaku,Hj. Mingke, Nadia Zedi, Alif,
Hasra, Sandra
==========================================
Perempuan Spesial Dalam Hidupku, Pelangi
Baidara Ruhuy Liseptin
==========================================
Dan Akhirnya Isaac Newton pernah berkata, Jika aku bisa
melihat lebih jauh, itu karena aku berdiri dipundak para raksasa , maka ijinkan kuamandemen kata-kata tersebut dengan berkata, Jika aku memiliki sesuatu untuk
kukisahkan dalam kehidupanku nanti, itu karena aku berdiri diatas pundak kalian, para raksasa dalam kehidupanku
(5)
vi
MOTTO
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” *[Quran Surat an Nisa ayat 58]
“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (Quran Surat Yusuf ayat 76)
“Suatu pemerintahan apakah monarki ataukah demokrasi tercermin dari tertib hukum yang mengatur negara (legal order state) dari negara bersangkutan” * [Hans Kelsen]
“Intelektualitas adalah minoritas yang berkualitas” [Moh. Hatta]
“Politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh” *[Mochtar Kusumaatmadja]
“Dalam negara demokrasi, kebebasan asasi mendapat tempat yang istimewa, namun terkadang kebebasan diperaktekkan secara berlebihan, dan akhirnya melahirkan distorsi-distorsi yang dapat menodai hakikat dari pada demokrasi itu sendiri. Untuk itu dibutuhkan hukum sebagai kekuatan penyeimbang ditengah kebebasan tersebut *[Firman]
(6)
vii
Alhamdulillah puji syukur kehairat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “Penataan Politik Hukum
Pemilihan Kepala Daerah Dalam Rangka Penguatan Demokrasi Lokal Di
Indonesia” dapat diselesaikan dengan baik.
Melalui kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan rasa bangga, syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Anang
Sya’roni, S.H., M.Hum dan Septi Nurwijayanti, S.H., M.H. masing-masing sebagai dosen pembimbing penulisan skripsi ini, yang telah berkenang meluangkan waktu dan tiada lelah untuk memberikan bimbingan, nasihat dan motivasi. Atas dorongan dan toleransi terhadap gagasan-gagasan penulis kemudian mengarahkan dan membimbing secara sungguh-sungguh dan ikhlas merupakan sebuah kehormatan bagi penulis.
Kebaikan-kebaikan tersebut telah penulis rasakan sebagai hutang budi yang tak ternilai harganya. Kepada Allah Yang Maha Pemurah, penulis berdoa meminta mereka dicurahkan pahala amal jariyah yang tak terputus membawa hikmah dan berkah dunia dan akhirat.
ني سرملاو ء ي نأا فرش ى ع اَسلاو اَصلاو ،نيمل علا ر ه دمحلا
،
دمحم ن ديس
دعب َما نيعمج ه حصو هلآ ى عو
(7)
viii
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih yang tulus kepada para pihak yang telah membantu dan memungkinkan penulis menempuh pendidikan sarjana Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini sekaligus dapat menyelesaikan skripsi ini secara lancar antara lain kepada yang terhormat:
1. Ayah dan Ibu, Marawati dan Mappiabang yang telah memberikan dukungan dan doanya selama menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bapak Prof. Dr. Bambang Cipto, MA, beserta segenap Pembantu Rektor dan Stafnya. 3. Dr. Trisno Raharjo, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Bapak Anang Sya’roni, S.H., M.Hum, dan Ibu Septi Nur Wijayanti, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing, yang banyak membantu dan memberikan ide-ide kreatif dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Bambang Eka Cahya W., M.Si. (Ketua Bawaslu Republik Indonesia Periode 2004-2009) pakar politik terkhusus bagian pemilu dan demokrasi Indonesia yang telah menjadi narasumber penulis dalam melakukan wawancara demi kelengkapan penulisan skripsi penulis.
6. Ibu Dr. Ni’matul Huda, SH., M.Hum Pakar Hukum Tata Negara yang menjadi narasumber penulis untuk melakukan wawancara dalam penulisan skripsi ini.
(8)
ix
8. Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah berbagi pengalaman dan memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada seluruh teman-teman diorganisasiku di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Avicenna, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta, Komisi Pemilihan Umum Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Keluarga Pelajar Mahasiswa Wajo (KEPMAWA) Yogyakarta, Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia (IKPMDI) Yogyakarta yang telah memberikan support kepada saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari penyusunan dan penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu sangat dibutuhkan masukan dan kritikan yang membangun dari pembaca yang budiman demi penyempurnaan skripsi ini kedepannya. Akhirnya, Skripsi bersampul merah ini telah tiba saatnya saya katupkan, lembar demi lembar, halaman demi halaman yang telah terususun rapi, dan kepala pena tersatukan dengan tutupnya, seraya mengucapkan Puji Syukur Alhamdulillah. Penulis memohon untuk senantiasa mendapat curahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya dalam meniti liku-liku kehidupan di dunia sampai
(9)
x
diakhirat nanti, guna menggapai cita-cita mulia dengan sebaik-baiknya, al-Muhafadhah ‘Alal Qodimis shaleh wal-Akhdu bil Jadidil Ashlah.Dengan senang tiasa memegang teguh hal-hal yang baik dimasa lalu dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik lagi, semoga Allah SWT mengabulkan ungkapan hati nurani ini dan menjadikannya bagian menuju pengabdian yang sempurna. Amin.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
(10)
xi
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
MOTTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG POLITIK HUKUM 1) Istilan dan Pengertian Politik Hukum ... 14
2) Ruang Lingkup Politik Hukum ... 17
3) Kedudukan Politik Hukum Dalam Kerangka Ilmu Hukum ... 20
4) Kerangka Politik Hukum Nasional ... 25
B. TINJAUAN UMUM TENTANG PE,ILIHAN KEPALA DAERAH 1) Sejarah Dan Dasar Hukum Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia ... 32
2) Landasan Normatif Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Di Indonesia ... 56
(11)
xii
1) Konstitusionalisme Demokrasi Indonesia ... 63
2) Demokrasi Konstitusional Indonesia ... 67
3) Negara Hukum Demokratis... 76
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian... 82
B. Jenis Penelitian ... 82
C. Pendekatan Masalah ... 83
D. Sumber Bahan Hukum ... 84
E. Teknik Pengolahan Data ... 87
F. Teknik Analisis Data ... 88
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. POLITIK HUKUM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945 1) Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Era Demokrasi Liberal ... 90
2) Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Era Demokrasi Terpimpin ... 100
3) Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Era Orde Baru Dan Transisi Reformasi ... 110
4) Problematika Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Sebelum Amandemen UUD 1945 ... 123
B. POLITIK HUKUM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 1) Kilas Balik Pembahasan Amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ... 125 2) Penegasan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 sebagai
dasar konstitusional pelaksanaan pemilihan kepala daerah terhadap konsepsi demokrasi sebagaimana
(12)
xiii
UUD 1945 ... 145 4) Problematika Pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 ... 223 BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ... 229 B. SARAN ... 232 DAFTAR PUSTAKA ... 233 LAMPIRAN
(13)
xiv DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar 1 :
Lapisan ilmu hukum menurut Jan Gijssels dan Marck
van Hoecke ... 23 Gambar 2 :
Variable konfigurasi politik dan karakter produk
hukum ... 27 Tabel 1 :
Indikator sistem politik ... 27 Tabel 2 :
Indikator karakter produk hukum... 28 Tabel 3 :
Tabulasi bentuk pentaan politik hukum pemilihan
kepala daerah era demokrasi liberal ... 98 Tabel 4 :
Tabulasi bentuk penataan politik hukum pemilihan
kepala daerah era demokrasi terpimpin... 108 Tabel 5 :
Tabulasi bentuk penataan politik hukum pemilihan
kepala daerah era orde baru dan transisi reformasi ... 121 Tabel 6 :
Tabulasi bentuk penataan politik hukum pemilihan kepala daera era reformasi setelah amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945... 215
(14)
(15)
(16)
1
Politik hukum pemilihan kepala daerah sebagai bagian dari sistem politik hukum ketatanegaraan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang telah mengalami proses penataan sesuai tuntutan masyarakat dan perkembangan konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dalam catatan sejarah, politik hukum pemilihan kepala daerah telah mengatur beberapa sistem pemilihan kepala daerah, yakni sistem penunjukan atau pengangkatan yang diterapkan pada masa orde lama dibawah sistem demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin, sistem pemilihan perwakilan semu yang diterapkan pada masa orde baru hingga masa transisi menuju demokrasi melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Sistem pemilihan kepala daerah diatas memiliki kelemahan yang bervariatif. Sistem penunjukan atau pengangkatan yang diterapkan pada era orde lama sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19451 selalu diwarnai dengan unsur subyektivitas, diskriminasi dan perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sebagian besar kepala daerah yang terpilih pada saat itu berasal dari keluarga kepala daerah sebelumnya dan sangat tunduk kepada pemerintah pusat. Penelitian Sutherland saat itu menunjukkan sebuah fakta bahwa dari 75 orang bupati terpilih, 30 orang yang
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disingkat dengan UUD 1945.
(17)
2
menggantikan ayahnya, 3 orang yang menggantikan mertuanya, 24 orang yang berasal dari kabupaten lain, dan hanya 18 orang yang tidak memiliki pertalian kekeluargaan dengan seorang bupati dari garis kakek atau ayah mertua.2 Sistem pemilihan perwakilan semu yang diterapkan pada masa orde baru hingga masa transisi menuju demokrasi juga ditemukan sejumlah penyimpangan yang cukup menarik. Syaukani HR, Affan Gaffar, dan M. Ryaas Rasyid menggambarkan situasi pemilihan perwakilan semu tersebut telah menyebabkan rekrutmen politik lokal kebanyakan ditentukan oleh orang Jakarta, khususnya pejabat Depdagri untuk pengisian jabatan Bupati, Walikota, Sekretaris Daerah, dan kepala-kepala dinas provinsi. Sementara untuk jabatan Gubernur ditentukan oleh Depdagri, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, dan Sekretariat Negara.3 Sementara sistem pemilihan perwakilan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah4 juga sering mengalami problem yang serius karena kebanyakan kepala daerah yang terpilih tidak populer dikalangan masyarakat dan tidak mengenal potensi daerahnya. Hingga seringkali muncul penolakan dari masyarakat disejumlah daerah yang kemudian memunculkan konflik vertikal dan horizontal.
Sejak reformasi bergulir produk hukum yang mengatur mengenai pengisian jabatan eksekutif di daerah mengalami perubahan yang sangat
2
Sutherland, The Making of A Bureaucrtic Elite, sebagaimana dituliskan oleh Joko J. Prihatmoko, Mendemokrasikan Pemilu; Dari Sistem Sampai Elemen Teknis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 159.
3
Data Depdagri tahun 1994 menunjukkan bahwa 127 orang (42,61%) dari seluruh bupati/walikota yang berasal dari ABRI, sedangkan yang berasal dari sipil berjumlah 171 orang (57,39). Komposisi jumlah bupati/walikota dari ABRI semakin besar ditahun-tahun berikutnya dan mencapai puncaknya menjelang kejatuhan rezin Soeharto dimana jumlah ABRI melebihi jumlah sipil.
4 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disingkat dengan DPRD.
(18)
fundamental. Hal yang sangat fundamental mengalami perubahan adalah adanya penyelenggaraan demokrasi ditingkatan lokal melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat bahwa berakhirnya rezim orde baru yang digantikan dengan reformasi pada awal tahun 1998 pada hakikatnya telah membawa harapan baru terhadap dunia perpolitikan di Indonesia dari rezim otoritarian menuju rezim yang demokratis. Di awal kemerdekaan para penyelenggara negara sudah mempunyai komitmen besar untuk mewujudkan demokrasi politik di Indonesia.5 Mereka percaya, bahwa demokrasi bukan merupakan sesuatu yang hanya terbatas pada komitmen, tetapi juga merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan.6 Dalam mewujudkan sebuah tatanan demokrasi, maka dibutuhkan beberapa prasyarat melalui penerapan berbagai kriteria seperti akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen politik yang terbuka, pemilihan umum, dan satu ruang bagi warga negara untuk menikmati hak-hak dasarnya.7 Kriteria demikian sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi arah pembangunan demokrasi suatu negara, yaitu apakah penyelenggaraannya sesuai dengan kehendak rakyat atau sebaliknya.
Awal mula pembangunan demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari adanya reformasi politik pada akhir orde baru, yaitu sebuah proses hasil refleksi kondisi bangsa Indonesia dan dinamika pemahaman atas makna demokrasi. Hal
5
Kalau kita mengikuti risalah sidang-sidang Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), kita akan menemukan dengan jelas bagaimana besarnya komitmen para pembentuk negara terhadap demokrasi. Hal itu kemudian terwujud dalam Naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang pertama, UUD 1945
6 Untuk memahami bagaimana politik dan pemerintahan pada masa revolusi kemerdekaan, lihat Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornel University Press, New York, 1952, hlm. 33
7 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 7-9
(19)
4
demikian selanjutnya melahirkan sebuah gagasan untuk mereformasi konstitusi melalui perubahan UUD 1945,8 sebagai hukum tertinggi yang dianggap sebagai alat untuk mewujudkan pemerintahan yang otoriter dan anti demokrasi.9
Reformasi konstitusi dilakukan melalui langkah yang normatif untuk meneguhkan dan menegakkan kembali nilai-nilai demokrasi dan negara hukum yang telah diletakkan bersama sebagai dasar bernegara oleh para pendiri bangsa (the founding parents). Proses reformasi konstitusi ini dilakukan melalui empat
kali perubahan dalam kurung waktu 1999-2002 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI).10
8
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disingkat dengan UUD 1945
9 Pengertian masa reformasi merujuk pada masa pasca berhentinya Jenderal (Purn.) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998. Berhentinya Seoharto tersebut antara lain diakibatkan adanya portes yang bertubi-tubi dan terus menerus dari rakyat pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya di tengah merosotnya keadaan social dan ekonomi. Lihat selengkapnya dalam Setya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi, Jurna Konstitusi, Volume 3, Nomor 3, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hlm. 72-73
10
Dalam siding MPR-RI 1999 telah disepakati mengenai perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum (penambahan). Hasil perubahan pertama UUD 1945 meliputi: (a) kekuasaan lembaga perwakilan; (b) pembatasan masa jabatan presiden; dan (c) pemantapan mekanisme chek and balances. Hasil perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000 meliputi: (a) pemerintah daerah; (b) wilayah Negara; (c) kedudukan warga negara dan penduduk; (d) Hak Asasi Manusia; (e) pertahanan dan kemanan negara; dan (f) bendera, bahasa, lambing negara dan lagu kebangsaan. Hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 meliputi: (a) arti kedaulatan; (b) penegasan komitmen negara hukum; (c) adopsi sistem bicameral terbatas soft bicameral; (d) pemilu; (e) pembentukan Mahkamah Konstitusi; dan (f) prosedur amandemen UUD 1945. Hasil perubahan ke empat UUD 1945 pada tahun 2002 meliputi: (a) pemilihan umum presiden putaran kedua; (b) susunan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) pendidikan; dan (d) maslaah aturan peralihan dan aturan tambahan. Lihat selengkapnya dalam Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran Dalam Proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm 7.
(20)
Amandemen terhadap UUD 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia11, terutama berkaitan dengan proses pengisian jabatan eksekutif di daerah dengan istrumen politik yang digunakan. Walaupun dianggap sesuatu yang baru, akan tetapi perubahan dari masa ke masa diusahakan untuk menuju suatu negara demokrasi yang penuh dengan tantangan dan rintangan yang terjadi.12 Salah satu dampak dari amandemen konstitusi adalah adanya komitmen kuat untuk mendirikan negara hukum dan melakukan penguatan demokrasi baik ditingkat lokal maupun nasional,13 yang menurut pemikiran Soewoto Mulyosudarmo merupakan wujud perubahan Indonesia menuju sebuah kondisi yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya tentang pengaturan kekuasaan tertinggi untuk menempatkan keberadaan rakyat dalam negara sebagai pemilik kekuasaan tertinggi.14 Demokrasi yang dimaksudkan adalah demokrasi konstitusional sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen yang
11
Sistem ketatanegaraan adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi negara baik susunan, kedudukan, tugas dan wewenang, maupun hubungan antar satu dengan yang lainnya. terpetik dalam; I Gede Pantja Astawa Hak a gket dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
e urut U da g U da g Dasar 19 , Disertasi, Pascasarjana Unpad, Bandung, 2000, hlm. 5. 12 Elvi Juliansyah. Pilkada :Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah, Mandar Maju, Bandung, hlm. 1
13
Penguatan komitmen negara hukum yang dimaksud bahwa setelah perubahan UUD 1945
se ara or atif dala pasal 1 ayat UUD 19 ter a tu , Negara I do esia adalah egara huku . “e elu ya, yaitu erdasarka UUD 19 asli, pri sip egara huku i i ha ya tertua g
dalam penjelasan yang menentukan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat). Sedangkan yang dimaksud dengan penguatan demokrasi yaitu penegasan konsep demokrasi konstitusional yang merupakan perkembangan dari demokrasi parlementer yang telah diterapkan sebelum reformasi konstitusi dilakukan, yang kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lihat selengkapnya dalam Zainal Arifin Hoesein, Judicial Reviuw: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah Agung, Rajawali Pres, Jakarta, 2009, hlm. 52-53
14Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, In-Trans, Malang, 2004, hlm. 3.
(21)
6
menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Konsepsi demokrasi yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengandung prinsip konstitusionalisme, yaitu mengenai esensi dari pada pembatasan kekuasaan pemerintah demi menjamin Hak Asasi Manusia15 yang dilakukan berdasarkan konstitusi. Keberadaan konstitusi merupakan aturan dasar negara (staatsgroundgesets) sebagai hukum tertinggi (the supreme lawof the land) dan dasar bagi terbentuknya undang-undang (Formell Gesetz).16 Oleh karena itu,
prinsip demokrasi konstitusional ini sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen. Peranan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi semata-mata untuk menjamin pelakasanaan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam rangka melindungi dan menjamin hak-hak warga negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Hal demikian berimplikasi pada kekuasaan yang dibagi sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan pemerintah atas kewenangannya dapat diperkecil dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintah dalam tangan satu orang atau badan tertentu.17
Pemahaman demokrasi pasca amandemen UUD 1945 dapat diamati bahwa penyelenggaraan pemerintah perlu memberikan ruang gerak kepada setiap warga negara untuk turut berpartisipasi dalam bidang politik melalui pemilu. Penyelenggaraan pemilu dimaksudkan untuk menjadi wadah perwujudan ide
15
Hak Asasi Manusia dalam penulisan skripsi ini disingkat dengan HAM. 16
Lihat selengkapnya dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jakarta, 1998, hlm. 30-31.
17
Demokrasi konstitusional muncul sebagai suatu program dan sistem politik yang kongkret pada akhir abad ke-19 yaitu pembatasan kekuasaan negara diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis. Lihat selengkapnya dalam Mirian Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik , Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 107
(22)
kedaulatan rakyat yang harus memberikan hak kepeada rakyat untuk turut terlibat dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan dan melakukan pengawasan serta menilai fungsi-fungsi kekuasaan.18 Melalui pengaturan pemilu diharapkan dapat mendorong dan mengakomodasi suara rakyat untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih dan dipilih. Artinya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi mempunyai hak untuk dipilih dan memilih calon sesuai dengan kehendak dan hati nuraninya yang dianggap layak untuk memimpin dan mewakili aspirasinya melalui pemilu.
Di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen menentukan bahwa pemilu terdiri atas pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedangkan dalam perkembangannya pemilu mengalami perluasan makna sehingga pemilihan kepala daerah dimaksudkan sebagai bagian dari pemilu yang dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang sebelumnya hanya dipilih melalui DPRD. Pasca amandemen terhadap UUD 1945 dengan adanya penambahan ayat pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”, telah membuka ruang bagi pembentuk undang-undang untuk membuat peraturan mengenai pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pemilihan kepala daerah adalah salah satu bentuk instrument demokrasi yang ada ditingkatan lokal yang melalui pengaturannya dapat memberikan hak bagi setiap warga negara di daerah sebagai
18
Lihat selengkapnya dalam Jimly Asshiddiqie, Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 4, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hlm. 6
(23)
8
pemegang kedaulatan tertinggi untuk ikut dipilih dan memilih kepala daerahnya.19 Pengaturan pemilihan kepala daerah adalah bagian dari usaha pemerintah untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis.
Gagasan awal pemilihan kepala daerah di Indonesia muncul sebagai tindak lanjut dari adanya keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia khususnya ditingkatan daerah. Salah satu perbaikan tersebut yang dimaksudkan adalah implementasi kedaulatan rakyat, sehingga dalam kehidupan berdemokrasi perlu adanya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Namun demikian, Robert A. Dahl melihat bahwa disamping keberadaan demokrasi untuk menghindari munculnya tirani, juga dimaksudkan untuk tujuan lain yakni terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapatnya kesamaan politik, munculnya moral ekonomi, terdapatnya kesempatan untuk menentukan posisi individu dan kesejahtraan. Oleh karena itu dengan pelaksanaan pengaturan pemilihan kepala daerah diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai muara kebebasan rakyat dalam menentukan pemimpinnya, tetapi juga mampu melahirkan kemakmuran dan kesejahtraan bagi rakyat di daerah.20
19
Pengaturan pemilihan kepala daerah secara langsung pertama kali terdapat dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, Kepala daerah da wakil kepala daerah dipilih dala satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
20
Suharizal, Penguatan Demokrasi Lokal Melalui Penghapusan Jabatan Wakil Kepala Daerah, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 96
(24)
Melalui pengaturan pemilihan kepala daerah, proses keterbukaan ruang partisipasi publik daerah diharapkan mampu melahirkan pemimpin kredibel yang didukung langsung oleh rakyat. Selain itu melalui pengaturannya diharapkan berfungsi sebagai instrument penggantian jabatan politik agar mampu melahirkan pemimpin terbaik sehingga dapat memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Tidak dapat juga dipungkiri bahwa dengan pengaturan pelaksanaan pemilihan kepala daerah bukanlah jalan satu-satunya yang dapat dijadikan sebagai solusi dalam mewujudkan negara yang demokratis, khususnya dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Pada dasarnya, penyelengggaraan pemerintahan daerah yang berkedaulatan rakyat tidak sekedar diartikan melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Pemahaman ini berangkat dari pemilu yang merupakan instrumen dalam pelaksanaan prinsip demokrasi, sehingga keberadaan pemilu merupakan salah satu prasyarat demi terwujudnya negara yang demokratis. Sedangkan makna demokratis ini dapat diartikan tidak hanya melalui partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak politik, namun pada perwujudan dan singkronisasi pelaksanaan pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu bukanlah satu-satunya cara mewujudkan negara yang demokratis, namun tanpa penerapan pemilu akan berakibat terwujudnya negara yang totaliter.
(25)
10
Konsepsi negara hukum demokratis dapat ditelaah dan didasarkan pada demokrasi yang pelaksanaannya dilaksanakan secara konstitusional. Hal ini dapat dilakukan melalui perlindungan jaminan hak terhadap warga negara sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 hasil amandemen.21 Pengertian pemenuhan HAM menurut konstitusi tidak sebatas pada hak politik, tetapi juga hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sedangkan perwujudan sebuah negara yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ini tidak dapat dilepas tanpa adanya kontrol dan pembatasan melalui hukum sebagai wujud pelaksanaan negara hukum yang demokratis.
Pada hakikatnya prinsip negara hukum sangat berkaitan erat dengan paham negara kesejahtraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil.
Prinsip ini merupakan prinsip dari negara hukum modern, yaitu negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi dan negara hukum demokratis (democratiche rechtstaat) yang memikul tanggung jawab dalam mewujudkan
kesejahtraan dan kemakmuran rakyat.22 Prinsip ini sesuai dengan alenia keempat Pembukaan dan Pasal 34 UUD 1945 sebagai komitmen kuat Negara Indonesia demi mendukung pencapaian dan percepatan terwujudnya kemakmuran (prosperity) dan kesejahtraan (welfare) bagi setiap warga negaranya.23 Prinsip ini sangat berkaitan erat dengan pengaturan pemilihan kepala daerah. Melalui
21
Lihat selengkapnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen yang mengatur konsep HAM lebih terinci sebagaimana dalam Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan 28J`
22
Bagir Manan dalam Jazim Hamidi, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Total Media, 2009, Yogyakarta, hlm. 306
23
Lihat selengkapnya dalam Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku II, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 63.
(26)
pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebagai wujud pelaksanaan demokrasi prosedural tidak dapat dipisahkan atau mengesampingkan demokrasi substansial yang mengarah pada hakikat dari demokrasi itu sendiri.
Namun dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia terdapat sebuah permasalahan yakni mengenai pembangunan demokrasi itu sendiri yang seolah dikembangkan hanya secara sektoral dan bersifat formal, namun tidak berbanding lurus dengan pemenuhan kesejahtraan sebagai hak konstitusional warga negara yang seharusnya ikut dipenuhi secara integral sebagaimana ditentukan dalam konstitusi (conntitutional rights). Sedangkan yang menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah demokrasi yaitu adanya perlindungan, pemenuhan, dan jaminan HAM harus dilaksanakan secara holistik sehingga mampu terwujud konsolidasi demokrasi yang subtantif. Oleh karena itu, pengaturan dan penegakan hukum pemilihan kepala daerah menjadi sebuah keniscayaan untuk dapat dilaksanakan secara konsisten sebagai implementasi dari demokrasi.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas penulis berpendapat bahwa demi terwujudnya negara hukum yang demokratis diperlukan sebuah model penataan terhadap sistem politik hukum pemilihan kepala daerah di Indonesia sesuai dengan perkembangan dan konfigurasi politik. Penataan tersebut diperlukan dalam rangka untuk memperbaiki arah hukum pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia. Perbaikan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan hukum baru maupun penggantian hukum lama terkait pemilihan kepala daerah demi terwujudnya tujuan negara yang termaktub dalam konstitusi. Oleh karena itu penulis melakuan penelitian dengan memformulasi hukum melalui sebuah analisis
(27)
12
dalam sebuah penelitian yang berjudul, “Penataan Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Dalam Rangka Penguatan Demokrasi Lokal Di Indonesia”.
(28)
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis mengangkat satu pokok permasalahan, yakni “bagaimana bentuk penataan politik hukum pemilihan kepala daerah dalam rangka mewujudkan penguatan
demokrasi lokal di Indonesia?.” C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan pokok permasalahan tesebut diatas, maka penelitian ini difokuskan pada satu tujuan yaitu menganalisis bentuk penataan politik hukum pemilihan kepala daerah dalam rangka penguatan demokrasi lokal di Indonesia.
D. MANFAAT PENELITIAN
Secara umum manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua antara lain sebagai berikut:
1) Ilmu pengetahuan, diharapkan mampu memberikan penjelasan secara ilmiah mengenai konsep pengaturan pemilihan kepala daerah di Indonesia dalam praktik ketatanegaraan sehingga dapat dijadikan sebagai referensi dalam kajian Ilmu Hukum maupun Hukum Konstitusi.
2) Pembangunan, diharapkan mampu menjelaskan praktik pengaturan pemilihan kepala daerah di Indonesia sekaligus sebagai bahan masukan para pengambil kebijakan untuk merumuskan, menyusun, dan memperbaiki kebijakan,hukum,di,bidang,ketatanegaraan,Indonesia.
(29)
14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM TENTANG POLITIK HUKUM 1) Istilah Dan Pengertian Politik Hukum
Secara etimologi, Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari menjelaskan bahwa istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek yang merupakan bentukan dari dua suku kata yaitu recht dan politiek. Kata politiek dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh
Van der Tas mengandung arti beleid. Kata beleid dalam bahasa Indonesia berarti
kebijaksanaan. Jadi secara etimologi politik hukum mempunyai arti sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy).24
Sementara itu, Sofian Effendi mengatakan bahwa politik hukum sebagai terjemahan dari legal policy, mempunyai makna yang lebih sempit dari pada
politik hukum sebagai terjemahan dari politics of law atau politics of the legal
system.25 Berdasarkan dua pandangan tersebut menurut Otong Rosadi istilah
politik hukum merupakan terjemahan dari politics of law atau politics of the legal system, karena studi politik hukum jangkauannya sangat luas sampai menyentuh
pada persoalan tatanan atau sistem hukum.26 Sementara menurut terminologinya pengertian politik hukum dapat diamati dengan menggunakan dua model pendekatan. Pertama, politik hukum dapat dipahami dengan pendekatan
24
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 19-25.
25 Sofian Effendi, Politik Hukum (politics of the legal system) atau kebijakan hukum (legal policy).
26
(30)
memberikan masing-masing pengertian kata politik dan hukum (divergen)
kemudian menggabungkan kedua istilah tersebut (konvergen). Kedua, pendekatan yang langsung mengartikan satu nafas (satu kesatuan) sebagai satu frase yang mempunyai pengertian yang utuh. Frase politik hukum mengandung makna lebih luas dari pada kebijaksanaan hukum, pembentukan hukum, dan penegakan hukum. Artinya, sebagai satu frase, pengertian politik hukum merupakan keseluruhan aktivitas sebagaimana dimaksud.
Mariam Budiardjo mengartikan politik sebagai segala bentuk kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sebuah sistem untuk melaksanakan tujuan-tujuan tersebut.27 Ramlan Surbakti menyatakan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.28
Sementara yang dimaksud dengan hukum, para ahli hukum sendiri belum mampu memberikan definisi yang sama, dalam artian belum ada kesatuan pendapat diantara para ahli hukum dalam memberikan batasan tentang arti dari pada hukum. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Immanuel Kant bahwa “Noch
suchen die juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht” (tidak ada
27 Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008,hlm. 8 28
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 10-11.
(31)
16
satupun ahli hukum yang dapat membuat suatu definisi yang tepat tentang hukum).29
Mengingat belum adanya kesatuan pendapat para ahli hukum dalam memberikan batasan dan arti dari pada hukum, maka sebagai pedoman penulis mengambil definisi dari Untrecht yang mendefinisikan hukum sebagai himpunan petunjuk-petunjuk hidup yang memuat perintah dan larangan untuk mengatur tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati dan diikuti oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.30 Berhubungan dengan kepentingan untuk studi politik hukum dalam penelitian ini, maka hukum yang dimaksudkan adalah hukum positif. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta mendefinisikan hukum positif sebagai sistem atau tatanan hukum dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kahidupan manusia dalam masyarakat.31 Pada hakikatnya hukum positif itu menurut Sudikno Mertokusumo ialah hukum yang berlaku sekarang di suatu tempat atau negara, dan melekat pada suatu negara.32 Menurut Sunarjati Hartono yang dikategorikan sebagai hukum positif adalah hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis berupa hukum kebiasaan yang terus dipegang teguh oleh masyarakat setempat, dan yurisprudensi.33
29
Lihat L. J. Van Apeldoom, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ketigapuluh, Pradya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 1-7.
30 E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Indonesia, Djakarta,1956, hlm. 9. 31
Muchtar Kusumatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 5.
32
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm. 128.
33
Sunarjati Hartono, Peranan Peradilan Dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1975, hlm. 10.
(32)
Melihat berbagai pemikiran yang telah dipaparkan oleh para ahli hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah proses pembentukan dan pelaksanaan sistem atau tatanan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam suatu negara secara nasional. Jadi pengertian politik hukum tidak hanya mengandung makna pembentukan hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan (legal substance) sebagaimana yang dipahami selama ini,
namun juga dalam arti penguatan penegakan hukum dan sarana penegakan hukum (legal structure) serta pembangunan budaya hukum (legal culture).34
2) Ruang Lingkup Politik Hukum
E. Utrecht mengartikan politik hukum sebagai suatu ilmu yang normatif artinya suatu ilmu yang menentukan hal-hal yang seharusnya ada. Bagian dari pada politik hukum mencakup perundang-undangan, penyelenggaraan, dan pengadilan.35 Sementara Purnadi Purbacaka dan Soerdjono Soekanto mengatakan bahwa politik hukum mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.36
Kemudian Satjipto Raharjo mengatakan bahwa yang menjadi fokus kajian dari politik hukum antara lain sebagai berikut:
1. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada.
2. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa diapakai mencapai tujuan tersebut.
34
Penulis sampai pada kesimpulan demikian karena terinspirasi oleh pendapat yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Lihat Lawrence Friedman, American Law. New York, WW. Norton and Company, 1984, hlm. 7.
35 E. Utrecht, op.cit., hlm. 63. 36
Lihat Purnadi Purbacaka dan Soerjono Soekanto, Prihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 3.
(33)
18
3. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara bagaimana perubahan itu dilakukan.
4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan dan yang bisa membantu kita dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.37
Sementara Bagir Manan memaparkan bahwa tiada suatu negara yang terlepas dari adanya politik hukum. Politik hukum suatu negara terdiri dari politik hukum yang permanen berupa sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum, dan politik hukum yang temporer yaitu kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu kewaktu sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan.38 Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa poltik hukum tidak terlepas dari kebijaksanaan dibidang lainnya. Penyusunan politik hukum harus diusahakan selalu seiring dengan aspek-aspek kebijaksanaan dibidang lainnya seperti bidang ekonomi, bidang politik, bidang sosial, dan lain sebagainya. Namun demikian, setidak-tidaknya ada dua lingkup utama politik hukum diantaranya sebagai berikut:
1. Politik pembentukan hukum yaitu kebijaksanaan yang bersangkutan dengan penciptaan, pembaharuan dan pembangunan hukum. Politik pembentukan hukum mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Kebijaksanaan pembentukan perundang-undangan;
37
Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 309-339.
38 Bagir Manan, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah. Dalam Martin H. Hutabarat, et.al, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analisis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 144.
(34)
b. Kebijaksanaan pembentukan hukum yurisprudensi atau keputusan hakim;
c. Kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya.
2. Politik pelaksanaan hukum yaitu kebijaksanaan yang berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Kebijaksanaan dibidang peradilan;
b. Kebijaksanaan dibidang pelayanan hukum.39
Di antara kedua aspek politik hukum diatas, hanya sekedar dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan karena:
1. Keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada penerapannya. Apabila penegakan hukum tidak dapat berfungsi dengan baik, peraturan perundang-undangan yang bagaimanapun sempurnahnya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya;
2. Putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrument kontrol bagi ketetapan atau kekurangan suatu peraturan perundang-undangan;
3. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan melalui putusan dalam rangka penegakan hukum. Suatu peraturan perundang-undangan menjadi hidup dan diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Babak peraturan
39
(35)
20
undangan yang kurang baik akan tetap mencapai sasaran atau tujuan di tangan para penegak hukum yang baik.40
Berdasarkan pemaparan para ahli hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ruang lingkup dari pada politik hukum adalah studi politik hukum yang telah, sedang, dan akan diikuti secara nasional. Dengan demikian yang di pelajari dalam politik hukum adalah politik pembentukan hukum dan politik penegakan hukum yang telah, sedang, dan akan diikuti oleh pemerintah secara nasional.
3) Kedudukan Politik Hukum Dalam Kerangka Ilmu Hukum
Keberadaan dan kedudukan atau lokus politik hukum sebagai bagian dari studi ilmu hukum atau studi ilmu politik sering kali menimbulkan perdebatan dikalangan para penstudi hukum. Hal tersebut dikarenakan ada penstudi hukum yang menganggap bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik dan ada juga yang mengatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum. Penstudi hukum yang mengatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik antara lain sebagai berikut:
1. E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, mengatakan bahwa perbuatan mencita-citakan hukum yaitu membayangkan hukum adalah suatu perbuatan politik hukum dan kami meragu-ragukan apakah hukum yang dicita-citakan itu
40
(36)
menjadi obyek ilmu hukum. Menurut pendapat kami hukum yang dicita-citakan itu adalah proyek dari ilmu politik.41
2. Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa didalam tata hukum sekarang terletak tunas-tunas tentang tata hukum yang akan terwujud dikemudian hari. Kenyataan ini harus diusahakan dengan sadar supaya sungguh terlaksana. Dengan demikian, diusahakan terbentuknya hukum sebagaimana yang diharapkan itu ialah antara lain melaksanakan perundang-undangan, tetapi juga sekalipun dalam menguraikan isi hukum yang berlaku. Lebih-lebih dalam tata hukum yang masih dalam pertumbuhan seperti halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, percampuran dari hukum yang sekarang dengan hukum yang seharusnya tidak jarang terjadi. Namun sebenarnya, hal-hal tentang hukum yang akan datang itu lekatnya dalam lapangan politik hukum, yang dapat menjadi obyek ilmu pengetahuan tersendiri, dapat pula dipandang sebagai bagian dari ilmu pengetahuan politik.42
Sementara penstudi hukum yang mengatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum antara lain sebagai berikut:
1. Soerdjono Dirdjosisworo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa masyarakat yang teratur senantiasa memiliki tujuan untuk mensejahtrakan warganya sebagaimana politik pada hakikatnya
41
Lihat E. Unrect dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, PT. Penerbitan dan Balai Buku Ictiar, Jakarta, 1982, hlm. 45.
42
Lihak Kusumadi Pudjosewojo, Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hlm. 15-16.
(37)
22
adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut yang untuk itu dilalui proses pemilihan tujuan. Oleh karenanya politik adalah juga aktivitas memilih tujuan tertentu. Dalam hukum dijumpai keadaan yang sama. Hukum yang selalu berusaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut adalah termasuk bidang politik hukum. Jelasnya bahwa politik hukum adalah disiplin hukum yang menghususkan dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat tertentu.43 2. Moh. Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum, mengatakan bahwa jika
ilmu hukum diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara dan sebagainya. Disinilah dapat ditemukan argumen mengapa politik hukum dilihat sebagai bagian dari ilmu hukum.44
3. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari dalam bukunya Dasar-Dasar Politik Hukum, mengatakan bahwa disiplin politik hukum memiliki akar yang sangat kuat kepada studi hukum. Bahwa kemudian, dalam tataran aplikatif disiplin politik hukum digunakan pula untuk melihat keterpengaruhan politik terhadap hukum, itu tidak bisa menjustifikasi bahwa politik hukum
43 Lihat Soerdjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ketigabelas, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm. 48-49.
44
(38)
menjadi bagian dari studi ilmu politik. Karena pada kenyataannya ujung (core problem) dari studi politik hukum adalah hukum positif.45
Mengingat adanya perbedaan pendapat tersebut, maka secara singkat akan dijelaskan tentang lokus studi politik hukum dalam kerangka ilmu hukum. Jan Gijssels dan Marck van Hoecke mengemukakan bahwa studi ilmu hukum terdiri dari studi Filsafat Hukum, Teori Hukum, dan Dogmatik Hukum (ilmu hukum positif).46 Studi Filsafat Hukum, Teori Hukum, dan Dogmatik Hukum, pada tataran aplikatif diarahkan pada studi politik hukum. Politik hukum menyangkut dua aspek utama yaitu politik pembentukan hukum dan politik penegakan hukum. Secara skematik dapat digambarkan seperti yang ada dibawah ini:
Gambar. 1
Lapisan ilmu hukum menurut Jan Gijssels dan Marck van Hoecke
Studi Politik Hukum
Keterangan: Garis Penghubung (Turunan/Bagian)
Berdasarkan gambar diatas, terlihat dengan jelas bahwa studi politik hukum merupakan bagian dari studi ilmu hukum, dalam artian studi politik hukum
45
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, op.cit., hlm. 34-35.
46Lihat Jan Gijsses dan Marck van Hoecke, Wat is Rechtsteori?, yang diterjemahkan oleh Bennard Arief Shidarta, Apakah Teori Hukum Itu?, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2003, hlm. 8.
Filsafat Hukum Teori Hukum
(39)
24
merupakan ilmu pengetahuan yang terlahir dalam tataran aplikatif dari studi filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum, dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa studi politik hukum berdasar pada filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum.
Selanjutnya Jan Gijssels dan Marck van Hoecke mengatakan bahwa hukum pada dirinya sendiri tidak pernah merupakan suatu tujuan melainkan suatu sarana untuk mencapai suatu tujuan non-yuridikal.47 Pemikiran yang dikemukakan oleh Jan Gijssels dan Marck van Hoecke mengandung makna bahwa berfungsinya hukum bagi suatu negara bertujuan untuk mencapai cita-cita dan tujuan negara tersebut.48 Menjadikan hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara merupakan pekerjaan politik hukum. Dengan kata lain bahwa tugas dari politik hukum adalah menjadikan hukum agar berfungsi secara optimal demi mencapai tujuan dan cita-cita negara. Berdasarkan uraian tersebut jelas terlihat bahwa studi politik hukum merupakan bagian dari studi ilmu hukum.
47Ibid, hlm. 13. 48
Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa kalau kita mau merumuskan tujuan negara, maka kita harus bertolak dari apa yang secara dasariah diharapkan dari hukum. Tatanan hukum membatasi kelakuan warga negara, tetapi tidak diciptakan demi pembatasan-pembatasan itu sendiri, melainkan demi nilai-nilai yang mau direalisasikan melalui hukum itu. Realisasi nilai-nilai itulah yang diharapkan dari negara. Lihat Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 304.
(40)
4) Kerangka Politik Hukum Nasional
Mahfud MD dalam bukunya “Politik Hukum di Indoneia”49
ada tiga macam jawaban yang bisa menjelaskan hubungan kausalitas antara hukum dan politik dalam kerangka hukum nasional antara lain sebagai berikut:
1. Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
2. Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atas kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berintraksi dan bersaing.
3. Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lainnya, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tapi begitu ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.50
Selanjutnya Mahfud MD mengatakan bahwa dalam hubungannya tolak tarik antara politik dan hukum maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari pada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik maka hukum berada dalam kedudukan yang lemah. Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik maka
49
Poltik hukum baru yang berisi upaya pembaharuan hukum menjadi keharusan ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 indonesia diproklamasikan sebagai Negara merdeka dengan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasarnya. Proklamasi kemerdekaan menentukan pembaharuan atau penggantian atas hukum-hukum peninggalan zaman penjajahan Jepang dan Belanda, sebab jika dilihat dari sudut tata hokum maka proklamasi kemerdekaan merupakan tindakan perombakan secara total. Lihat selengkapnya dalam Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jogjakarta, 1998, hlm. 9.
50
(41)
26
menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerap kali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik.51 Sehubungan dengan lebih kuatnya energi politik ketika berhadapan dengan hukum maka apa yang dikemukakan oleh Dahrendof dapat memperjelas mengapa hukum dapat menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau identik dengan kekuasaan. Dengan merangkum karya tiga sosiolog Pretto, Mosca, dan Dahrendof yang mencatat ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik, yaitu:
1. Jumlahnya lebih kecil dari pada kelompok yang dikuasai.
2. Memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan material, intelektual, dan kehormatan intelektual.
3. Dalam pertentangan selalu terorganisir lebih baik dari pada kelompok yang ditundukkan.
4. Kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa dalam bidang politik.
5. Kelas penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas atau kelompoknya sendiri.
6. Ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.52
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik, maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga meletakkan politik
51
Ibid, hlm. 13. 52
(42)
sebagai variable bebas dan hukum sebagai variable terpengaruh. Secara umum
posisi keduanya dapat dilihat pada gambar berikut ini:53
Gambar. 2
Variable Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum
Variable bebas Variable terpengaruh
Ket.: Garis Penghubung (Bentuk karakter yang saling mempengaruhi)
Karena istilah dalam ilmu sosial sering kali mempunyai arti yang dapat menimbulkan penafsiran ambigu maka kedua variable diatas setelah
dikonsepsikan mempunyai indikator-indikator sebagai berikut:54
Tabel. 1
Indikator sistem politik
No Konfigurasi Politik Demokratis Konfigurasi Politik Otoriter
1
Partai politik dan Parlemen kuat menentukan haluan atau kebijakan
Negara
Partai politik dan parlemen lemah, dibawah kendali
eksekutif 2 Lembaga eksekutif (pemerintahan) netral Lembaga eksekutif
(pemerintah) intevensionis 3 Pers bebas, tanpa sensor dan
pembrendelan
Pers terpasung, diancam sensor dan pemberendelan Sumber: Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, hlm. 7
53
Hal tersebut menunujukkan bahwa konfigurasi politik suatu Negara akan melahirkan karakter politik hukum tertentu dinegara tersbut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukum yang dihasilkan adalah produk hukum yang berkarakter responsive/populistik. Sedangkan Negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter ortodok/konservatif/elitis. Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum.
54
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. 6, 2014, hlm. 7
Konfigurasi Politik Karakter Produk Hukum
Demokrasi Responsif/Populistik
Konsevatif/Ortodoks/Elitis otoriter
(43)
28
Tabel. 2
Indikator Karakter Produk Hukum
No Karakter Produk Hukum Responsif Karakter Produk Hukum Ortodoks
1 Pembuatannya partisipatif Pembuatannya
sentralistik-dominatif
2 Muatannya aspiratif Muatannya
positivist-instrumentalistik
3 Rincian isinya limitative Rincian isinya open
interpretative Sumber: Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, hlm. 7
Dari pemaparan tersebut diatas terlihat bahwa corak kondisi dari kekuasaan negara atau politik suatu negara sangat mempengaruhi watak dari pada hukum negara itu sendiri.
Abdul Hakim Garuda Nusantara mendefinisikan politik hukum (legal policy) sebagai kebijakan hukum yang hendak diterapkan secara nasional oleh
suatu pemerintahan negara tertentu meliputi:
1. Pelaksanaan secara konsisten atas ketentuan yang telah ada;
2. Pembangunan hukum yang berintikan pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pemuatan hukum-hukum baru;
3. Penegasan fungsi penegak hukum serta pembinaan para anggotanya; dan 4. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi elit pengambil
kebijakan.55
Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai berlakunya hukum diwilayahnya mengenai
55
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 3.
(44)
arah perkembangan hukum yang dibangun sehingga mencakup ius constitutum
dan ius constituendum. Sedangkan politik hukum menurut Padmo Wahjono
merupakan kebijakan dasar penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menjadikan sesuatu menjadi hukum yang mencakup pembentukan, penerapan dan penegakan hukum. Pandangan tersebut merupakan telaah tentang pergulatan politik dibalik lahirnya hukum yang mendapat tempat didalam studi politik hukum sehingga menempatkan hukum sebagai produk politik.56 Hal demikian sejalan dengan pemikiran Nonet dan Selznick bahwa perubahan hukum akan datang melalui proses politik, namun perlu adanya pemisahan antara hukum dan politik sehingga penyimpangan terhadap hukum harus ditindak dengan tegas.57 Menurut pandangan Suwoto Mulyosudarmo, politik hukum terbagi atas politik hukum makro dan mikro. Politik Hukum Makro dirumuskan dalam suatu peraturan dasar sebagai peraturan yang tertinggi. Sedangkan politik hukum yang bersifat mikro dilaksanakan melalui berbagai peraturan yang lebih rendah. Melalui cara yang demikian akan tercipta peraturan perundang-undangan yang taat asas dan dibenarkan pada tataran politik hukum yang makro.58
Politik hukum sebagai arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar berpijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Hal demikian merupakan upaya untuk
56
Moh. Mahfud MD.., op.cit., hlm. 14
57 Hal demikian menghendaki agar Ilmu Hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial. Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Terjemahan dari: Law and Society in Transition: Towards Responsif Law, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm. 7.
58 Ngesti D. Prasetyo, Konstruksi Politik Hukum Ekonomi Dalam Hasil Peubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi,Volume 2 Nomor 3, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, 2005, hlm. 112.
(45)
30
menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara sehingga politik hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang hendak diapakan hukum dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara.59 Keberadaan hukum berfungsi untuk memanusiakan manusia, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan tentang kebahagiaan dan kesejahtraan yang dicapai dengan cara memuliakan manusia. Keberadaan hukum ini merupakan alat untuk meraih tujuan dan politik hukum sebagai arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum guna mencapai cita-cita dan tujuan bangsa. Politik hukum harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut:60
1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila.
2. Politik hukum nasional ditujukan untuk mencapai tujuan negara, meliputi: a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahtraan umum;
c. Mencerdasakan kehidupan bangsa; dan
d. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, meliputi:
a. Berbasis moral agama;
b. Menghargai dan melindungi HAM tanpa diskriminasi;
59
Moh. Mahfud MD, Me a gu …, op. it., hlm. 15-16. 60
(46)
c. Mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan primordial; dan
d. Membangun keadilan sosial.
4. Terikat dengan cita negara hukum Indonesia, politik hukum nasional harus dipadu oleh keharusan untuk:
a. Melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan teritori;
b. Mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi kemasyarakatan; c. Mewujudkan demokrasi dan nomokrasi; dan
d. Menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban dan kemanusiaan.
5. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan paduan tersebut, maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila. Sistem hukum demikian setidaknya mempertemukan unsur-unsur dari ketiga sistem nilai dan meletakkannya dalam hubungan keseimbangan.61
61
Maksudnya sebagai sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial dan konsep keadilan ke dalam suatu ikatan hukum prismatic dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Hubungan keseimbangan yang dimaksud antara lain: (a). hubungan antara individualism dan kolektivisme, (b). keseimbangan antara rechtstaat dan rule of law, (c). keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan (d). keseimbangan antara negara agama dan negara sekuler (theo-demokratis) atau religious nation state. Moh. Mahfud MD, Ibid, hlm. 32.
(47)
32
B. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH 1) Sejarah Dan Dasar Hukum Pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah Di Indonesia
Pada tataran konseptual pencermatan atas perjalanan sejarah pemilihan kepala daearah di Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari adanya tarik ulur kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan yang berkisar pada otonomi daerah dan negara kesatuan itu sama-sama mempergunakan referensi demokrasi sebagai satu ukuran untuk menyebut bahwa keduanya satu bingkai demokrasi. Pemahaman tentang mekanisme pemerintahan daerah dalam negara kesatuan tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sistem pemerintahan demokrasi. Pada dekade terakhir, demokrasi menjadi pilihan sistem pemerintahan hampir semua negara di dunia. Demokrasi yang dimaksud adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat dengan perantara wakil-wakilnya yang mereka pilih secara bebas, yang kemudian diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Berkenaan dengan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh badan legislatif, C. F. Strong mengemukakan bahwa Badan Pembentuk Undang-Undang yang mempunyai kedudukan tinggi, fungsinya bisa berkembang lebih kompleks berdasarkan pertumbuhan masyarakat yang juga kompleks, dalam hal membawa dan melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mewujudkan demokrasi. Sementara itu menurut Soewandhi Kartanegara, kerakyatan adalah padanan kata demokrasi. Dalam batang tubuh UUD 1945, kerakyatan diterjemahkan menjadi kedaulatan
(48)
rakyat sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Istilah kedaulatan rakyat juga terdapat dalam pembukaan UUD 1945 “…yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat…”. Kerakyatan,
kedaulatan rakyat atau demokrasi menurut Undang-Undang Dasar 1945 dijalankan dengan permusyawaratan/perwakilan.
Berkaitan dengan sejarah pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebagai wujud penguatan demokrasi lokal di Indonesia tentunya tidak lepas dari adanya Pasal 18 UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen yang menjadi dasar konstitusionalnya. Semenjak disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 telah lahir beberapa produk hukum pemerintahan daerah yang memuat ketentuan mengenai tata cara pengisian jabatan eksekutif di daerah. Produk hukum tersebut diantaranya:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah
Selama berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah mekanisme pengisian jabatan eksekutif di daerah
dilaksanakan berdasarkann ketentuan Pasal 3 yang menyatakan bahwa “Oleh
Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang sebagai Badan Eksekutif, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan Pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu.” Jadi semenjak berlakunya undang-undang ini kepala daerah dipilih oleh dewan.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
(49)
34
Mekanisme pemilihan kepala daerah dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Adapun ketentuan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah sebagaimana ketentuan dalam pasal tersebut antara lain:
1. Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikitnya-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi.
2. Kepala Daerah Kabupaten (kota besar) diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRDDesa (kota kecil).
3. Kepala Daerah Desa (kota kecil) diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-sedikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRDDesa (kota kecil).
4. Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh yang berwajib atas usul DPRD yang bersangkutan.
5. Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu.
6. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5).
(50)
7. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. Dari pasal tersebut diatas jelas terlihat bahwa semenjak berlakunya undang-undang tersebut kewenangan penuh untuk menentukan pemimpin ditataran lokal berada pada kendali pemerintah pusat, sementara DPRD sebagai penjelmaan suara rakyat di daerah hanya diberi kewenangan sebatas pada pengusulan calon kepala daerah.
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, ketentuan mengenai mekanisme pengisian jabatan eksekutif di daerah diatur dalam beberapa pasal. Pasal tersebut diantaranya:
1) Pasal 23 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1. Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
2. Pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan Undang-undang.
2) Pasal 24 ayat (1) dan (2) menyatakan:
1. Sebelum Undang-undang tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) ada, untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam ayat (2) sampai dengan 7.
(51)
36
2. Hasil pemilihan Kepala Daerah dimaksud dalam ayat (1) memerlukan pengesahan lebih dahulu dari:
a. Presiden apabila mengenai Kepala Daerah dari tingkat ke I.
b. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya apabila mengenai Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III.
3) Pasal 25 ayat (1) dan (2) yang mengatur mengenai mekanisme pengisian jabatan eksekutif di daerah istimewa. Pasal tersebut menyatakan sebagai berikut:
a. Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I, Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III.
b. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1).
Berdasarkan uraian pasal tersebut diatas jelas terlihat masih kuatnya posisi pemerintah pusat dalam hal menentukan kepala daerah. Meskipun kepala
(52)
daerah dipilih oleh DPRD akan tetapi masih membutuhkan pengesahan terlebih dahulu dari pemerintah pusat.
d. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah
Pengaturan mengenai mekanisme pengisian jabatan eksekutif di daerah mengalami perubahan pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 dan 5 Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang menyatakan sebagai berikut:
1. Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang menyatakan: a. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:
a) Presiden bagi Daerah tingkat I; dan
b) Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah tingkat II. b. Seorang Kepala Daerah diangkat dari antara calon-calon yang diajukan
oleh DPRD yang bersangkutan.
c. Presiden dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah masing-masing boleh menetapkan pengangkatan Kepala Daerah tingkat I dan Kepala Daerah tingkat II di luar pencalonan termaksud pada ayat (2) pasal ini. d. Pengangkatan Kepala Daerah tersebut pada ayat (1) pasal ini dilakukan
dengan mengingat syarat-syarat pendidikan, kecakapan dan pengalaman dalam pemerintahan yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden.
e. Kepala Daerah adalah pegawai Negara, yang nama jabatan dan gelarnya, kedudukannya dan penghasilannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
(53)
38
f. Kepala Daerah diangkat untuk suatu masa jabatan yang sama dengan masa duduk DPRD yang bersangkutan, tetapi dapat diangkat kembali setelah masa jabatannya berakhir.
g. Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan DPRD. 2. Pasal 6 Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 menyatakan:
a. Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
b. Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut diatas terlihat adanya upaya pemerintah pusat untuk menguasai proses pemilihan kepala daerah. Sementara DPRD terkesan tidak berdaya karena kepala daerah yang dipilihnya bisa saja dibatalkan oleh pemerintah pusat dan bahkan pemerintah pusat dapat mengangkat kepala daerah diluar dari pilihan DPRD.
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah
(54)
Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 11, 12, 13, dan 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dinyatakan sebagai berikut:
Kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden Bagi Daerah Tingkat I
b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II dan,
c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri untuk Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.
2. Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 diatur ketentuan sebagai berikut:
1) Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRDyang bersangkutan.
2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah, maka DPRD yang bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang
(55)
40
alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.
3) Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti di maksud ayat (2) diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat, maka Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.
3. Lebih lanjut dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 juga diatur mengenai tata cara pemilihan dan penetapan kepala daerah tingkat II sebagai berikut:
1) Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.
2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka DPRD yang bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.
3) Apabila juga dalam pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam ayat (2) diatas tidak,ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan. 4. Mengenai tata cara pemilihan dan penetapan kepala daerah untuk daerah
(1)
4) Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara pada saksi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota, PPL, PPS dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (12) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
5) Setiap KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf q, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
6) Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah dan paling banyak Rp . . , dua belas juta rupiah .
111. Ketentuan Pasal 195 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal
Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah . 112. Ketentuan Pasal 196 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah .
(2)
Pasal
1) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan perolehan hasil Pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2) Dihapus.
114. Ketentuan Pasal 200 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal
1) Pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota yang dilaksanakan pada tahun 2015 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
2) Dalam hal kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota yang dilaksanakan pada tahun 2015 dan dilanjutkan pada tahun 2016, pendanaannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2016.
3) Bagi daerah yang sedang melaksanakan tahapan Pemilihan, tahapan Pemilihan yang sedang berjalan menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
115. Ketentuan Pasal 201 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal
1) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.
2) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017. 3) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018.
4) Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada tahun 2020.
(3)
5) Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022. 6) Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023. 7) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027.
8) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat , ayat , ayat , ayat , dan ayat diatur dengan Peraturan KPU.
116. Ketentuan Pasal 202 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.
117. Di antara Pasal 205 dan Pasal 206 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 205A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(4)
Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 18 Maret 2015 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 18 Maret 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY
(5)
(6)
SEKILAS TENTANG PENULIS
Firman lahir di Tanete pada tanggal 12 Januari 1993. Tanete adalah satu kampung yang berada tepatnya di Desa Awota, Kec. Keera, Kab. Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Pada umur enam tahun pertama kali memasuki dunia pendidikan formal disalah satu Sekolah Dasar Negeri tepatnya SDN 195 Tanete yang sekarang berubah nama menjadi SDN 192 Awota. Enam tahun mengenyam pendidikan sekolah dasar dan lulus, kemudian melanjutkan pendidikan disalah satu pesantren Madrasah Tsanawiyah As Adiyah di kecamatan Keera (MTs As Adiyah 22 Longka). Lulus dari pesantren kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas negeri (SMAN 3 Sengkang Unggulan Kabupaten Wajo) dan lulus pada tahun 2011.
Setelah lulus dari SMAN 3 Sengkang Unggulan Kabupaten Wajo kemudian melanjutkan pendidikan disalah satu perguruan tinggi swasta terbaik se-Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Selama kuliah selain belajar di dalam ruang kelas waktunya juga banyak dihabiskan untuk belajar diluar ruang kelas dengan mengikuti beberapa organisasi, baik organisasi intra maupun ekstra kampus diantaranya; Pengurus Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Periode 2012/2013, Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UMY Periode 2012/2013, Menteri Dalam Negeri BEM KM UMY Periode 2013/2014, Ketua Komisi Pemilihan Umum Keluarga Mahasiswa UMY Periode 2014/2015, Ketua Keluarga Pelajar Mahasiswa Wajo Yogyakarta Periode 2014/2015 dan Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat UMY Periode 2012/2013.
Skripsi ini merupakan karya terakhir sebagai mahasiswa dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Strata 1 (satu) di Fakultas Hukum UMY. Penataan Politik
Hukum Pemilihan Kepala Daerah Dalam Rangka Penguatan Demokrasi Lokal Di Indonesia diambil
sebagai judul untuk menkaji dan menganalisis lebih dalam bagaimana bentuk penataan politik hukum pemilihan kepala daerah di Indonesia dalam rangka penguatan demokrasi lokal di Indonesia. Apakah politik sangat mempengaruhi pembuatan produk hukum pemilihan kepala daerah. Bagaimana relasi antara politik dan hukum di Indonesia. Apakah penataan politik hukum pemilihan kepala daerah di Indonesia telah mengarah pada proses penguatan demokrasi lokal dalam rangka mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dalam skripsi ini itu menjadi fokus kajian penulis.