TINJAUAN UMUM TENTANG POLITIK HUKUM

satupun ahli hukum yang dapat membuat suatu definisi yang tepat tentang hukum. 29 Mengingat belum adanya kesatuan pendapat para ahli hukum dalam memberikan batasan dan arti dari pada hukum, maka sebagai pedoman penulis mengambil definisi dari Untrecht yang mendefinisikan hukum sebagai himpunan petunjuk-petunjuk hidup yang memuat perintah dan larangan untuk mengatur tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati dan diikuti oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. 30 Berhubungan dengan kepentingan untuk studi politik hukum dalam penelitian ini, maka hukum yang dimaksudkan adalah hukum positif. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta mendefinisikan hukum positif sebagai sistem atau tatanan hukum dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kahidupan manusia dalam masyarakat. 31 Pada hakikatnya hukum positif itu menurut Sudikno Mertokusumo ialah hukum yang berlaku sekarang di suatu tempat atau negara, dan melekat pada suatu negara. 32 Menurut Sunarjati Hartono yang dikategorikan sebagai hukum positif adalah hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis berupa hukum kebiasaan yang terus dipegang teguh oleh masyarakat setempat, dan yurisprudensi. 33 29 Lihat L. J. Van Apeldoom, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ketigapuluh, Pradya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 1-7. 30 E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Indonesia, Djakarta,1956, hlm. 9. 31 Muchtar Kusumatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 5. 32 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm. 128. 33 Sunarjati Hartono, Peranan Peradilan Dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1975, hlm. 10. Melihat berbagai pemikiran yang telah dipaparkan oleh para ahli hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah proses pembentukan dan pelaksanaan sistem atau tatanan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam suatu negara secara nasional. Jadi pengertian politik hukum tidak hanya mengandung makna pembentukan hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan legal substance sebagaimana yang dipahami selama ini, namun juga dalam arti penguatan penegakan hukum dan sarana penegakan hukum legal structure serta pembangunan budaya hukum legal culture. 34 2 Ruang Lingkup Politik Hukum E. Utrecht mengartikan politik hukum sebagai suatu ilmu yang normatif artinya suatu ilmu yang menentukan hal-hal yang seharusnya ada. Bagian dari pada politik hukum mencakup perundang-undangan, penyelenggaraan, dan pengadilan. 35 Sementara Purnadi Purbacaka dan Soerdjono Soekanto mengatakan bahwa politik hukum mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai. 36 Kemudian Satjipto Raharjo mengatakan bahwa yang menjadi fokus kajian dari politik hukum antara lain sebagai berikut: 1. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada. 2. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa diapakai mencapai tujuan tersebut. 34 Penulis sampai pada kesimpulan demikian karena terinspirasi oleh pendapat yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Lihat Lawrence Friedman, American Law. New York, WW. Norton and Company, 1984, hlm. 7. 35 E. Utrecht, op.cit., hlm. 63. 36 Lihat Purnadi Purbacaka dan Soerjono Soekanto, Prihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 3. 3. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara bagaimana perubahan itu dilakukan. 4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan dan yang bisa membantu kita dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. 37 Sementara Bagir Manan memaparkan bahwa tiada suatu negara yang terlepas dari adanya politik hukum. Politik hukum suatu negara terdiri dari politik hukum yang permanen berupa sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum, dan politik hukum yang temporer yaitu kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu kewaktu sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan. 38 Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa poltik hukum tidak terlepas dari kebijaksanaan dibidang lainnya. Penyusunan politik hukum harus diusahakan selalu seiring dengan aspek-aspek kebijaksanaan dibidang lainnya seperti bidang ekonomi, bidang politik, bidang sosial, dan lain sebagainya. Namun demikian, setidak-tidaknya ada dua lingkup utama politik hukum diantaranya sebagai berikut: 1. Politik pembentukan hukum yaitu kebijaksanaan yang bersangkutan dengan penciptaan, pembaharuan dan pembangunan hukum. Politik pembentukan hukum mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Kebijaksanaan pembentukan perundang-undangan; 37 Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 309-339. 38 Bagir Manan, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah. Dalam Martin H. Hutabarat, et.al, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analisis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 144. b. Kebijaksanaan pembentukan hukum yurisprudensi atau keputusan hakim; c. Kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya. 2. Politik pelaksanaan hukum yaitu kebijaksanaan yang berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut: a. Kebijaksanaan dibidang peradilan; b. Kebijaksanaan dibidang pelayanan hukum. 39 Di antara kedua aspek politik hukum diatas, hanya sekedar dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan karena: 1. Keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada penerapannya. Apabila penegakan hukum tidak dapat berfungsi dengan baik, peraturan perundang-undangan yang bagaimanapun sempurnahnya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya; 2. Putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrument kontrol bagi ketetapan atau kekurangan suatu peraturan perundang- undangan; 3. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan melalui putusan dalam rangka penegakan hukum. Suatu peraturan perundang-undangan menjadi hidup dan diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Babak peraturan perundang- 39 Ibid, hlm. 145. undangan yang kurang baik akan tetap mencapai sasaran atau tujuan di tangan para penegak hukum yang baik. 40 Berdasarkan pemaparan para ahli hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ruang lingkup dari pada politik hukum adalah studi politik hukum yang telah, sedang, dan akan diikuti secara nasional. Dengan demikian yang di pelajari dalam politik hukum adalah politik pembentukan hukum dan politik penegakan hukum yang telah, sedang, dan akan diikuti oleh pemerintah secara nasional. 3 Kedudukan Politik Hukum Dalam Kerangka Ilmu Hukum Keberadaan dan kedudukan atau lokus politik hukum sebagai bagian dari studi ilmu hukum atau studi ilmu politik sering kali menimbulkan perdebatan dikalangan para penstudi hukum. Hal tersebut dikarenakan ada penstudi hukum yang menganggap bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik dan ada juga yang mengatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum. Penstudi hukum yang mengatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik antara lain sebagai berikut: 1. E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, mengatakan bahwa perbuatan mencita- citakan hukum yaitu membayangkan hukum adalah suatu perbuatan politik hukum dan kami meragu-ragukan apakah hukum yang dicita-citakan itu 40 Ibid, hlm. 145. menjadi obyek ilmu hukum. Menurut pendapat kami hukum yang dicita- citakan itu adalah proyek dari ilmu politik. 41 2. Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa didalam tata hukum sekarang terletak tunas-tunas tentang tata hukum yang akan terwujud dikemudian hari. Kenyataan ini harus diusahakan dengan sadar supaya sungguh terlaksana. Dengan demikian, diusahakan terbentuknya hukum sebagaimana yang diharapkan itu ialah antara lain melaksanakan perundang-undangan, tetapi juga sekalipun dalam menguraikan isi hukum yang berlaku. Lebih- lebih dalam tata hukum yang masih dalam pertumbuhan seperti halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, percampuran dari hukum yang sekarang dengan hukum yang seharusnya tidak jarang terjadi. Namun sebenarnya, hal-hal tentang hukum yang akan datang itu lekatnya dalam lapangan politik hukum, yang dapat menjadi obyek ilmu pengetahuan tersendiri, dapat pula dipandang sebagai bagian dari ilmu pengetahuan politik. 42 Sementara penstudi hukum yang mengatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum antara lain sebagai berikut: 1. Soerdjono Dirdjosisworo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa masyarakat yang teratur senantiasa memiliki tujuan untuk mensejahtrakan warganya sebagaimana politik pada hakikatnya 41 Lihat E. Unrect dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, PT. Penerbitan dan Balai Buku Ictiar, Jakarta, 1982, hlm. 45. 42 Lihak Kusumadi Pudjosewojo, Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hlm. 15-16. adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut yang untuk itu dilalui proses pemilihan tujuan. Oleh karenanya politik adalah juga aktivitas memilih tujuan tertentu. Dalam hukum dijumpai keadaan yang sama. Hukum yang selalu berusaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut adalah termasuk bidang politik hukum. Jelasnya bahwa politik hukum adalah disiplin hukum yang menghususkan dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat tertentu. 43 2. Moh. Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum, mengatakan bahwa jika ilmu hukum diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara dan sebagainya. Disinilah dapat ditemukan argumen mengapa politik hukum dilihat sebagai bagian dari ilmu hukum. 44 3. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari dalam bukunya Dasar-Dasar Politik Hukum, mengatakan bahwa disiplin politik hukum memiliki akar yang sangat kuat kepada studi hukum. Bahwa kemudian, dalam tataran aplikatif disiplin politik hukum digunakan pula untuk melihat keterpengaruhan politik terhadap hukum, itu tidak bisa menjustifikasi bahwa politik hukum 43 Lihat Soerdjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ketigabelas, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm. 48-49. 44 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 7-8. menjadi bagian dari studi ilmu politik. Karena pada kenyataannya ujung core problem dari studi politik hukum adalah hukum positif. 45 Mengingat adanya perbedaan pendapat tersebut, maka secara singkat akan dijelaskan tentang lokus studi politik hukum dalam kerangka ilmu hukum. Jan Gijssels dan Marck van Hoecke mengemukakan bahwa studi ilmu hukum terdiri dari studi Filsafat Hukum, Teori Hukum, dan Dogmatik Hukum ilmu hukum positif. 46 Studi Filsafat Hukum, Teori Hukum, dan Dogmatik Hukum, pada tataran aplikatif diarahkan pada studi politik hukum. Politik hukum menyangkut dua aspek utama yaitu politik pembentukan hukum dan politik penegakan hukum. Secara skematik dapat digambarkan seperti yang ada dibawah ini: Gambar. 1 Lapisan ilmu hukum menurut Jan Gijssels dan Marck van Hoecke Studi Politik Hukum Keterangan: Garis Penghubung TurunanBagian Berdasarkan gambar diatas, terlihat dengan jelas bahwa studi politik hukum merupakan bagian dari studi ilmu hukum, dalam artian studi politik hukum 45 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, op.cit., hlm. 34-35. 46 Lihat Jan Gijsses dan Marck van Hoecke, Wat is Rechtsteori?, yang diterjemahkan oleh Bennard Arief Shidarta, Apakah Teori Hukum Itu?, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2003, hlm. 8. Filsafat Hukum Teori Hukum Dogmatik Hukum merupakan ilmu pengetahuan yang terlahir dalam tataran aplikatif dari studi filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum, dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa studi politik hukum berdasar pada filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum. Selanjutnya Jan Gijssels dan Marck van Hoecke mengatakan bahwa hukum pada dirinya sendiri tidak pernah merupakan suatu tujuan melainkan suatu sarana untuk mencapai suatu tujuan non-yuridikal. 47 Pemikiran yang dikemukakan oleh Jan Gijssels dan Marck van Hoecke mengandung makna bahwa berfungsinya hukum bagi suatu negara bertujuan untuk mencapai cita-cita dan tujuan negara tersebut. 48 Menjadikan hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara merupakan pekerjaan politik hukum. Dengan kata lain bahwa tugas dari politik hukum adalah menjadikan hukum agar berfungsi secara optimal demi mencapai tujuan dan cita-cita negara. Berdasarkan uraian tersebut jelas terlihat bahwa studi politik hukum merupakan bagian dari studi ilmu hukum. 47 Ibid, hlm. 13. 48 Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa kalau kita mau merumuskan tujuan negara, maka kita harus bertolak dari apa yang secara dasariah diharapkan dari hukum. Tatanan hukum membatasi kelakuan warga negara, tetapi tidak diciptakan demi pembatasan-pembatasan itu sendiri, melainkan demi nilai-nilai yang mau direalisasikan melalui hukum itu. Realisasi nilai-nilai itulah yang diharapkan dari negara. Lihat Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 304. 4 Kerangka Politik Hukum Nasional Mahfud MD dalam bukunya “Politik Hukum di Indoneia” 49 ada tiga macam jawaban yang bisa menjelaskan hubungan kausalitas antara hukum dan politik dalam kerangka hukum nasional antara lain sebagai berikut: 1. Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. 2. Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atas kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berintraksi dan bersaing. 3. Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lainnya, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tapi begitu ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. 50 Selanjutnya Mahfud MD mengatakan bahwa dalam hubungannya tolak tarik antara politik dan hukum maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari pada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik maka hukum berada dalam kedudukan yang lemah. Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik maka 49 Poltik hukum baru yang berisi upaya pembaharuan hukum menjadi keharusan ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 indonesia diproklamasikan sebagai Negara merdeka dengan Undang- undang Dasar 1945 sebagai hukum dasarnya. Proklamasi kemerdekaan menentukan pembaharuan atau penggantian atas hukum-hukum peninggalan zaman penjajahan Jepang dan Belanda, sebab jika dilihat dari sudut tata hokum maka proklamasi kemerdekaan merupakan tindakan perombakan secara total. Lihat selengkapnya dalam Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jogjakarta, 1998, hlm. 9. 50 Ibid, hlm. 9. menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerap kali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik. 51 Sehubungan dengan lebih kuatnya energi politik ketika berhadapan dengan hukum maka apa yang dikemukakan oleh Dahrendof dapat memperjelas mengapa hukum dapat menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau identik dengan kekuasaan. Dengan merangkum karya tiga sosiolog Pretto, Mosca, dan Dahrendof yang mencatat ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik, yaitu: 1. Jumlahnya lebih kecil dari pada kelompok yang dikuasai. 2. Memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan material, intelektual, dan kehormatan intelektual. 3. Dalam pertentangan selalu terorganisir lebih baik dari pada kelompok yang ditundukkan. 4. Kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa dalam bidang politik. 5. Kelas penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas atau kelompoknya sendiri. 6. Ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa. 52 Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik, maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga meletakkan politik 51 Ibid, hlm. 13. 52 Ibid, hlm. 14. sebagai variable bebas dan hukum sebagai variable terpengaruh. Secara umum posisi keduanya dapat dilihat pada gambar berikut ini: 53 Gambar. 2 Variable Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum Variable bebas Variable terpengaruh Ket.: Garis Penghubung Bentuk karakter yang saling mempengaruhi Karena istilah dalam ilmu sosial sering kali mempunyai arti yang dapat menimbulkan penafsiran ambigu maka kedua variable diatas setelah dikonsepsikan mempunyai indikator-indikator sebagai berikut: 54 Tabel. 1 Indikator sistem politik No Konfigurasi Politik Demokratis Konfigurasi Politik Otoriter 1 Partai politik dan Parlemen kuat menentukan haluan atau kebijakan Negara Partai politik dan parlemen lemah, dibawah kendali eksekutif 2 Lembaga eksekutif pemerintahan netral Lembaga eksekutif pemerintah intevensionis 3 Pers bebas, tanpa sensor dan pembrendelan Pers terpasung, diancam sensor dan pemberendelan Sumber: Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, hlm. 7 53 Hal tersebut menunujukkan bahwa konfigurasi politik suatu Negara akan melahirkan karakter politik hukum tertentu dinegara tersbut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukum yang dihasilkan adalah produk hukum yang berkarakter responsivepopulistik. Sedangkan Negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter ortodokkonservatifelitis. Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum. 54 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. 6, 2014, hlm. 7 Konfigurasi Politik Karakter Produk Hukum Demokrasi ResponsifPopulistik KonsevatifOrtodoksElitis otoriter Tabel. 2 Indikator Karakter Produk Hukum No Karakter Produk Hukum Responsif Karakter Produk Hukum Ortodoks 1 Pembuatannya partisipatif Pembuatannya sentralistik- dominatif 2 Muatannya aspiratif Muatannya positivist- instrumentalistik 3 Rincian isinya limitative Rincian isinya open interpretative Sumber: Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, hlm. 7 Dari pemaparan tersebut diatas terlihat bahwa corak kondisi dari kekuasaan negara atau politik suatu negara sangat mempengaruhi watak dari pada hukum negara itu sendiri. Abdul Hakim Garuda Nusantara mendefinisikan politik hukum legal policy sebagai kebijakan hukum yang hendak diterapkan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu meliputi: 1. Pelaksanaan secara konsisten atas ketentuan yang telah ada; 2. Pembangunan hukum yang berintikan pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pemuatan hukum-hukum baru; 3. Penegasan fungsi penegak hukum serta pembinaan para anggotanya; dan 4. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi elit pengambil kebijakan. 55 Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai berlakunya hukum diwilayahnya mengenai 55 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 3. arah perkembangan hukum yang dibangun sehingga mencakup ius constitutum dan ius constituendum. Sedangkan politik hukum menurut Padmo Wahjono merupakan kebijakan dasar penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menjadikan sesuatu menjadi hukum yang mencakup pembentukan, penerapan dan penegakan hukum. Pandangan tersebut merupakan telaah tentang pergulatan politik dibalik lahirnya hukum yang mendapat tempat didalam studi politik hukum sehingga menempatkan hukum sebagai produk politik. 56 Hal demikian sejalan dengan pemikiran Nonet dan Selznick bahwa perubahan hukum akan datang melalui proses politik, namun perlu adanya pemisahan antara hukum dan politik sehingga penyimpangan terhadap hukum harus ditindak dengan tegas. 57 Menurut pandangan Suwoto Mulyosudarmo, politik hukum terbagi atas politik hukum makro dan mikro. Politik Hukum Makro dirumuskan dalam suatu peraturan dasar sebagai peraturan yang tertinggi. Sedangkan politik hukum yang bersifat mikro dilaksanakan melalui berbagai peraturan yang lebih rendah. Melalui cara yang demikian akan tercipta peraturan perundang-undangan yang taat asas dan dibenarkan pada tataran politik hukum yang makro. 58 Politik hukum sebagai arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar berpijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Hal demikian merupakan upaya untuk 56 Moh. Mahfud MD.., op.cit., hlm. 14 57 Hal demikian menghendaki agar Ilmu Hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial. Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Terjemahan dari: Law and Society in Transition: Towards Responsif Law, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm. 7. 58 Ngesti D. Prasetyo, Konstruksi Politik Hukum Ekonomi Dalam Hasil Peubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Volume 2 Nomor 3, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, 2005, hlm. 112. menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara sehingga politik hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang hendak diapakan hukum dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara. 59 Keberadaan hukum berfungsi untuk memanusiakan manusia, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan tentang kebahagiaan dan kesejahtraan yang dicapai dengan cara memuliakan manusia. Keberadaan hukum ini merupakan alat untuk meraih tujuan dan politik hukum sebagai arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum guna mencapai cita-cita dan tujuan bangsa. Politik hukum harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut: 60 1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. 2. Politik hukum nasional ditujukan untuk mencapai tujuan negara, meliputi: a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahtraan umum; c. Mencerdasakan kehidupan bangsa; dan d. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, meliputi: a. Berbasis moral agama; b. Menghargai dan melindungi HAM tanpa diskriminasi; 59 Moh. Mahfud MD, Me a gu …, op. it., hlm. 15-16. 60 Ibid, hlm. 30 c. Mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan primordial; dan d. Membangun keadilan sosial. 4. Terikat dengan cita negara hukum Indonesia, politik hukum nasional harus dipadu oleh keharusan untuk: a. Melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan teritori; b. Mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi kemasyarakatan; c. Mewujudkan demokrasi dan nomokrasi; dan d. Menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban dan kemanusiaan. 5. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan paduan tersebut, maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila. Sistem hukum demikian setidaknya mempertemukan unsur-unsur dari ketiga sistem nilai dan meletakkannya dalam hubungan keseimbangan. 61 61 Maksudnya sebagai sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial dan konsep keadilan ke dalam suatu ikatan hukum prismatic dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Hubungan keseimbangan yang dimaksud antara lain: a. hubungan antara individualism dan kolektivisme, b. keseimbangan antara rechtstaat dan rule of law, c. keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan d. keseimbangan antara negara agama dan negara sekuler theo-demokratis atau religious nation state. Moh. Mahfud MD, Ibid, hlm. 32.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH

1 Sejarah Dan Dasar Hukum Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia Pada tataran konseptual pencermatan atas perjalanan sejarah pemilihan kepala daearah di Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari adanya tarik ulur kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan yang berkisar pada otonomi daerah dan negara kesatuan itu sama-sama mempergunakan referensi demokrasi sebagai satu ukuran untuk menyebut bahwa keduanya satu bingkai demokrasi. Pemahaman tentang mekanisme pemerintahan daerah dalam negara kesatuan tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sistem pemerintahan demokrasi. Pada dekade terakhir, demokrasi menjadi pilihan sistem pemerintahan hampir semua negara di dunia. Demokrasi yang dimaksud adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat dengan perantara wakil-wakilnya yang mereka pilih secara bebas, yang kemudian diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berkenaan dengan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh badan legislatif, C. F. Strong mengemukakan bahwa Badan Pembentuk Undang-Undang yang mempunyai kedudukan tinggi, fungsinya bisa berkembang lebih kompleks berdasarkan pertumbuhan masyarakat yang juga kompleks, dalam hal membawa dan melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mewujudkan demokrasi. Sementara itu menurut Soewandhi Kartanegara, kerakyatan adalah padanan kata demokrasi. Dalam batang tubuh UUD 1945, kerakyatan diterjemahkan menjadi kedaulatan rakyat sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Istilah kedaulatan rakyat juga terdapat dalam pembukaan UUD 1945 “…yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat…”. Kerakyatan, kedaulatan rakyat atau demokrasi menurut Undang-Undang Dasar 1945 dijalankan dengan permusyawaratanperwakilan. Berkaitan dengan sejarah pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebagai wujud penguatan demokrasi lokal di Indonesia tentunya tidak lepas dari adanya Pasal 18 UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen yang menjadi dasar konstitusionalnya. Semenjak disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 telah lahir beberapa produk hukum pemerintahan daerah yang memuat ketentuan mengenai tata cara pengisian jabatan eksekutif di daerah. Produk hukum tersebut diantaranya:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah

Selama berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah mekanisme pengisian jabatan eksekutif di daerah dilaksanakan berdasarkann ketentuan Pasal 3 yang menyatakan bahwa “Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang, sebanyak-banyaknya 5 lima orang sebagai Badan Eksekutif, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan Pemerintahan sehari- hari dalam daerah itu.” Jadi semenjak berlakunya undang-undang ini kepala daerah dipilih oleh dewan.

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-

Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri Mekanisme pemilihan kepala daerah dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Adapun ketentuan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah sebagaimana ketentuan dalam pasal tersebut antara lain: 1. Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikitnya-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi. 2. Kepala Daerah Kabupaten kota besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRDDesa kota kecil. 3. Kepala Daerah Desa kota kecil diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-sedikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRDDesa kota kecil. 4. Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh yang berwajib atas usul DPRD yang bersangkutan. 5. Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu. 6. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat 5.