16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu
terjadi.
17
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Kerangka teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang
dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.
18
Menurut Meuwissen, tugas teori hukum adalah memberikan suatu analisi tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam
hubungan ini relevan, kemudian menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan suatu pilsafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran
metode untuk praktek hukum.
19
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori Positivisme Yuridis dari Hans Kelsen “bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-
anasir yang nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Jadi,
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm.122.
18
M. Soly Lubis, Pilsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hlm.80.
19
B. Arif Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007, hlm.31.
Universitas Sumatera Utara
17
hukum adalah suatu sollens kategorie kategori keharusanideal, bukan seins kategorie kategori faktual”.
20
Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah bagaimana
hukum itu seharusnya what the law ought to be. Tetapi apa hukumnya itu Sollen Kategorie, yang dipakai adalah hukum positif ius consitusium, bukan hukum yang
dicita-citakan ius constituendum.
21
Bagi Kelsen hukum berurusan dengan bentuk forma, bukan material. Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada diluar hukum. Suatu hukum dengan demikian
dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Disisi lain Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya dapat
saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasapun tidak
akan memaksakan penerapannya. Dalam hukum pidana misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan istilah dekriminalisasi dan depenalisasi,
hingga suatu ketentuan dalam hukum positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku lagi, terutama secara sosiologis.
22
Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear,
20
Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm.109.
21
Ibid.
22
Ibid., hlm.109-110.
Universitas Sumatera Utara
18
mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang
deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan
hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum. Perjanjian tidak bernama, misalnya leasing adalah perjanjian-perjanjian yang
belum ada pengaturannya secara khusus di dalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHPerdata dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang KUHD. Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian
atau partij otonomi. Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi: ”Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama
khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.
Secara normatif sebenarnya tidak ada peraturan perundang-undang yang mengatur asas lelang namun apabila dicermati klausula-klausula yang ada dalam
peraturan perundang-undangan di bidang lelang dapat dikemukakan adanya asas-asas sebagai berikut:
23
1. Asas keterbukaan, yaitu menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan yang sama
untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh undang-undang. Oleh
23
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Keuangan Umum, Modul Pengetahuan Lelang: Penghapusan BMN, Diklat Teknis Substantif Spesialisasi Pengelolaan Kekayaan
Negara Diklat Jarak Jauh, Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2007.
Universitas Sumatera Utara
19
karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang.
2. Asas keadilan, yaitu mengandung pengertian bahwa dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional
bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya keberpihakan Pejabat Lelang kepada Peserta Lelang tertentu atau berpihak
hanya pada kepentingan penjual.
3. Asas kepastian hukum, yaitu menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik.
4. Asas efisiensi, yaitu akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan pada
tempat dan waktu yang telah ditentukan dan Pembeli disahkan pada saat itu juga.
5. Asas akuntabilitas, yaitu menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggungjawabkan Pejabat Lelang meliputi
administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang. Asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam Undang-undang
Jaminan Fidusia adalah :
24
1. Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak
penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
2. Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada.
3. Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoris. Artinya bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan
oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah perjanjian hutang piutang yang
melahirkan hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia.
4. Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada kontinjen.
24
Tan Kamello, op.cit, hlm.159.
Universitas Sumatera Utara
20
5. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada.
6. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunanrumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain.
7. Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia.
8. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.
9. Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. 10. Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki
oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjiakan. 11. Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur
penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor fidusia daripada kreditur yang mendaftarkan kemudian.
12. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai iktikad baik te goeder trouw, in good faith.
13. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi. Kemudahan pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan fidusia. Adanya asas-asas hukum lelang dan fidusia tersebut menunjukkan bahwa
ketentuan mengenai leasing, fidusia dan lelang merupakan suatu kesatuan sistem hukum, dimana masing-masing saling terkait satu sama lain, dan tunduk pada
ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga lelang, fidusia serta leasing. Oleh karena itu para pihak yang terkait dengan ketiga lembaga tersebut
harus tunduk dan mentaati setiap ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut secara konsisten guna tercapainya kepastian hukum.
2. Konsepsi